10 My Best Friend

"Huu~hh...dia ini hilang kemana 'sih?" gerutu Yuri sambil menyantap stik coklat dengan kesal. Duduk di gazebo elegan dipenuhi bunga yang tumbuh merambat dengan akarnya.

"Nona, apa ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang maid berambut merah muda mata merah keunguan sembari meletakkan secangkir jus jeruk segar di meja samping Yuri.

"Hmm, tidak ada. Hanya masalah kecil, aku mau nyari orang yang menyebalkan." Jawabnya dingin.

"Baiklah, kami akan carikan orang itu." cetus maid tadi membuka ponselnya.

"Sudahlah,... sudah kukatakan kalau itu hanya masalah kecil!" bentaknya geram.

Kemudian maid tersebut tertegun menundukkan kepalanya.

"Maafkan saya, nona." katanya sambil membungkuk.

"Nggak apa-apa, aku hanya terlalu khawatir dengan orang yang menyebalkan itu." cetusnya melambai-lambaikan tangan kanan dan tersenyum kecut. "Lagipula hidupku hanya sebentar, mereka dengan cepat atau lambat akan menemukannya." sambungnya lirih sembari menyilangkan kedua tangan di dadanya yang rata.

"Nona, bukankah anda terlalu pesimis?" tanya maid itu cemas.

"Kori, kamu terlalu banyak bicara." cetusnya menyangkal pertanyaan maidnya yang dia panggil 'Kori'.

Yuri memandang kosong halaman rumahnya yang luas.

"Haaaaahhh~~!!" desahnya keras penuh kekesalan dan rasa bosan.

"Siang bolong gini, tumben gak tidur." celatuk seseorang dari kejauhan tengah bersembunyi di balik semak rumput bunga lily yang mekar.

"Hmmm." sahutnya acuh tak acuh dengan melirik malas. "Udah hilang satu bulan dua minggu, sekarang baru nongol. Kukira udah mati, masih hidup ternyata. " sambungnya mengejek.

"Nona, kami permisi sebentar mempersiapkan makan siang." pamit Kori membungkuk bersama beberapa maid, lalu pergi meninggalkan gazebo.

"Maaf, aku nggak sempat ngabarin kamu. Soalnya, selama perawatan harus istirahat penuh." katanya menghampiri Yuri dan duduk di sampingnya. Akan tetapi, Yuri sama sekali tidak menggubrisnya.

Beberapa saat kemudian, Yuri baru membuka mulutnya.

"Siapa yang menolongmu?" tanya Yuri penasaran menoleh dan memandang malas padanya.

"Lah :v." cetusnya terperangah kaget.

Langsung nyosor kalo nanya, bisa malu gua. ---pikirnya gelisah.

"Kenapa? Nggak mau cerita ya udah." balas Yuri cuek dan terasa menusuk ke dalam hatinya.

"Eh! Oke deh, aku bakalan cerita." katanya gugup.

"Cepetan." tegur Yuri datar sembari menopang kepalanya pada tangan kanan yang bertumpu di atas meja.

"I-iyah. Sebenernya, yang nolongin aku waktu itu.... Saki." tuturnya gugup dan rona merah yang mulai tampak di wajahnya.

Yuri mengerjipkan matanya berkali-kali dan tercekat.

"Hah?!"

"Dia yang nolongin aku dan udah ngerawat aku di rumah sakit." lanjutnya masih gugup.

Ia menyeringai dan terkekeh. Dia menoleh lalu mengernyitkan dahi, dibuat bingung oleh kekehannya yang menyebalkan.

"Apa yang lucu?" tanyanya bingung.

Ia memandangnya sambil tersenyum.

"Sepertinya ada perkembangan nih." ejeknya sembari menunjukkan seringaian anehnya.

"Maksudnya?" tanyanya semakin bingung.

"Dasar, kamu ini gak peka sama perasaanmu sendiri." jawabnya agak membentak.

"Aku gak peka sama perasaanku sendiri. Maksud kamu apa sih? Aku sama sekali nggak paham." tanya baliknya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal karena dilanda kebingungan.

"Udah ah, daripada bahas itu lebih baik bahas yang lain." celatuknya malas dan memberinya sekotak stik coklat.

"Umm, oke deh. Tapi, enaknya bahas apa ya?" sahutnya berbalik tanya padanya dengan wajah tanpa dosa sambil menyantap stik coklat.

"Entahlah, mungkin kita bahas orang baru aja." cetusnya melempar sebuah map coklat yang terkunci.

"Orang baru? Maksudmu Saki." sahutnya polos.

"Bukan. Orang baru yang kumaksud itu SM01." ia mengijikannya membuka map tersebut.

"SM01... Oh, cewek misterius yang beritanya lagi rame toh." katanya menatap tajam dokumen yang dia temukan setelah membuka map tersebut.

"Iyah, kemarin juga ada yang nemu dan nyebarin berita tentang identitas cewek ini." ucapnya gelisah.

"Hmmm, bukannya bagus kalau pada tahu SM01 itu siapa. Terus, ngapain kamu gelisah gitu?" tanyanya menaikkan alis kirinya sambil nyengir.

"Aku khawatir kalau identitasnya ketahuan, dia pasti bakal kena masalah setiap harinya baik dalam keadaan menyamar ataupun kesehariannya." tuturnya gugup.

"Ngapain kamu khawatir sama orang yang sama sekali nggak kamu kenal, toh dia juga gak kenal sama kamu. Buat apa perasaan kamu kebuang sia-sia cuma buat orang asing?" tanyanya dingin. Ia tercengang dan menundukkan kepalanya.

Dia mengelus kepalanya dengan lembut dan itu membuatnya kaget.

"Kamu pasti ngira aku sebagai cewek misterius yang disebut SM01 itu ya?" tanyanya menatap sendu dan ia menjawabnya dengan anggukan kecil.

"Waktu aku dikejar itu ada yang harus dijelasin, tapi belum selesai." sambungnya mendekatkan wajahnya dengan kepalanya.

"Apa yang mau dijelasin?" gerutunya sedikit mengintip.

"Aku dikejar karena sudah melawan mereka dan gak mau bantu mereka menyelesaikan pekerjaan." jelasnya nyengir cengengesan.

"Masa sampe segitunya 'sih?! Cuman gara-gara itu mereka tega bikin kamu terluka dan sengsara." gerutunya kesal.

"Yah, setiap organisasi mempunyai cara tersendiri." balasnya agak menghela napas.

"Aku gak tahu lagi harus bilang apa." sahutnya kembali menyembunyikan wajah dengan menundukkan kepala di balik meja dan kedua tangannya.

Dia terkekeh lalu mengambil sebuah kotak hitam berpita merah dari tasnya dan meletakkannya tepat di depan wajah gadis rambut coklat itu.

"Maafin aku yah, udah bikin kamu khawatir." gumamnya beranjak dari sana dan pergi meninggalkannya.

Yang sudah terjadi tidak bisa diperbaiki, sama seperti nasi menjadi bubur. Sama sepertiku, aku sudah membawa masalah itu sampai sekarang dan aku tidak bisa memperbaikinya.

*****

Seorang pemuda berambut pirang bermata hijau kekuningan sedang duduk bersandar di bawah pohon rindang tengah melamun memandang selembar foto di tangan kanannya.

"Shitou...gadis kecil yang imut dan ceria. Gadis kecil yang sudah mengubah hatiku...hmph...teman kecilku...aku merindukanmu." gumamnya tersenyum kecut sembari memandang ke atas melihat kupu-kupu terbang melintas kesana kemari dengan sayapnya yang warna-warni.

"Tuan muda Sensuke." panggil seorang butler pria dua puluh tujuh tahun berambut hitam bermata merah ruby membungkuk di sampingnya memberi penghormatan sesaat dan kembali berdiri tegak.

"Ada apa?" tanya pemuda yang dipanggil 'Sensuke' itu datar.

"Ini soal keluarga Shitou, kami sudah menyelidikinya dan mengumpulkan semua dokumennya." jawab butler itu halus sembari memberinya sebuah map merah yang cukup tebal. Sensuke menerimanya lalu membuka map tersebut, kemudian membacanya.

"Terima kasih, Refan." katanya melambaikan tangan, lalu butler yang dipanggil 'Refan' beranjak dari tempatnya dan kembali bekerja.

Keluarga Shitou, kepala keluarganya adalah Watari Shitou seorang guru di SMA Sakura Hana. Ibu rumah tangganya Kaname Hatori, lalu tiga anaknya. Dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan paling tua.

Mata hijau kekuningannya berkaca-kaca ketika melihat sebuah foto keluarga tersebut. Keluarga yang sederhana dan bahagia.

Kahime Shitou sahabat kecilku, apakah kau benar-benar telah tiada atau kau bersembunyi di suatu tempat?

Sekarang keluarga ini bertambah dua orang ya? Anak laki-laki kembar, berarti empat bersaudara.

Dia meletakkan berkas dokumen tersebut di sampingnya dan kembali memandang langit biru.

"Percuma saja melakukannya, lagipula dia tidak akan kembali lagi." gumamnya lirih sehingga tertidur.

*****

"Hei! Apa yang sudah kalian lakukan padanya?!" bentak seorang gadis dua belas tahun berambut putih gelombang sebahu, bermata lavender dengan kesal dan menatap tajam dua anak laki-laki lima belas tahun yang sedang memalak seorang anak sebayanya.

"Eh, bocah cewek. Ini bukan urusan anak kecil, mendingan kamu pulang ke rumah daripada disini. Ini tempat dimana orang jahat berkumpul." kata salah satu pemalak mengancamnya dan menghampirinya, lalu mendekatkan wajahnya dengan gadis kecil bertatapan tajam.

"Aku gak takut sama kalian ataupun orang jahat lainnya, yang penting adalah tekad yang bulat untuk membasmi kemungkaran dan menegakkan kebenaran." balas gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya. Anak itu tersenyum sinis dan terkekeh.

"Hahaha...bocah sepertimu bisa apa?" tanyanya agak mengejek dan menaikkan dagu gadis itu.

PLAK! BUK! BAK! BUK! BAM!

Anak laki-laki itu berakhir dalam keadaan babak belur. Temannya terperangah melihat anak itu sudah dibuat babak belur seorang gadis dua belas tahun dalam waktu singkat.

"Kalian udah gede masa gak bisa ngajarin bocah kayak aku supaya jadi anak baik, malah ngajarin malak!!" bentaknya kesal sambil mengambil sebuah papan kayu besar tedi sampingnya.

"Buat apa kamu ngambil papan kayu segede itu?" tanya seseorang yang berada jauh di belakangnya. Gadis itu mendengus kesal dan menoleh ke belakang.

"Buat mukul 'bola' yang udah kadaluwarsa dan gak bermanfaat." jawabnya dan mulai mengangkat papan kayu setinggi mungkin, kemudian melayangkannya pada anak yang babak belur itu sampai terpental jauh melewati langit.

CLING

"Buset dah, bocah....udah gitu cewek...kok....bisa....sih?" celatuk teman anak yang sudah dijauhkan tadi dengan gemetar ketakutan bercuruan keringat dingin. Wajahnya mulai pucat pasi secara perlahan lemas dan jatuh terduduk di tanah langsung bersujud pada gadis itu. "Ampunin kakak, dek. Kakak janji gak bakal malak lagi." sambungnya meminta maaf atas perlakuannya tadi dengan temannya yang sudah disingkirkan.

"Huft---3... Sejak kapan aku punya kakak?" tanyanya acuh tak acuh dan menatap tajam.

"Barusan...tadi...a-....." belum selesai bicara gadis itu langsung melayangkan papan kayu padanya sampai terpental menyusul temannya.

"Jangan harap bisa jadi kakakku!!" bentaknya kesal sampai ngos-ngosan.

"AMPUUUNNNnnnnnnn....." teriakannya mulai hilang perlahan.

CLING

Gadis itu segera membuang papan kayu ke tempatnya semula dan menghampiri anak perempuan sebayanya.

"Kamu nggak apa-apa 'kan?" tanyanya cemas sembari memberi tangan kanannya.

Anak itu menepis tangannya dan mendorongnya sampai jatuh ke tanah.

"Aku nggak butuh bantuan orang aneh kayak kamu." jawabnya dingin dan meninggalkannya begitu saja.

"Kasihan banget, udah nolongin malah dihina." celatuk seorang pemuda empat belas tahun berambut pirang dan bermata hijau kekuningan dari belakang gadis itu.

"Aku gak pantes dikasihani, emang udah sepantesnya aku dihina. Aku memang orang aneh, jadi gak pantes dikasihani." sahutnya membenarkan posisinya yang terjatuh ke posisi duduk bersila dan menundukkan kepalanya.

"Dasar, omongannya jangan dimasukin hati lah. Lagian aku nggak beneran, cuman bercanda." balasnya menghampirinya dan duduk di depan gadis itu.

"Hmm, tapi memang bener kok. Yang dia bilang kalo aku orang aneh, aku sendiri gak tahu kenapa dianggap aneh." sahutnya lirih.

"Oh, maaf aku kayaknya udah kelewatan. Ngomong-ngomong, boleh nggak aku tahu namamu?" tanyanya penasaran.

"Kalo udah tahu mau ngapain?" tanya balik gadis itu datar.

"Emm, yah~... Siapa tahu kalo ketemu lagi bisa nyapa kamu dan main bareng." celatuknya gugup.

"Namaku...." katanya sembari mengangkat kepalanya.

TRITITING TING!

Mereka berdua spontan kaget mendengar suaranya karena keras.

"Hah?!... Maaf, aku gak kedengeran. Tadi, suara alarm HP." celatuknya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil meringis.

"Sekarang jam berapa kak?" tanya gadis itu gugup. Mata lavendernya membulat, rambut putihnya yang bergelombang sebahu menari-nari ditiup pelan oleh angin, dan wajahnya yang agak merona menambahkan kesan imut.

Apalagi pemuda yang berada di depannya sempat memerah dan segera menutupi mulutnya sampai ke atas hidung agar tidak kelihatan sama gadis kecil itu.

Imutnya. --- itulah yang dia pikirkan.

"Sudah jam 15:25, ada apa? Kamu mau pulang, ya? Aku anterin deh." bujuknya dengan posisi jongkok setengah berdiri dan dihentikan dia.

Ia termangu bingung karena rambutnya ditarik olehnya.

"Aku bisa pulang sendiri, makasih udah nemenin aku kak." tuturnya beranjak dari tempatnya meninggalkan tempatnya dan pemuda itu sendirian di sana.

Pemuda tersebut berdiri di tempatnya memperhatikannya.

Setelah berjalan beberapa langkah dia menatap pemuda itu dengan tatapan kosong diikuti deru angin yang menyembulkan rambutnya dan cahaya matahari oranye bersinar terpantul dimata lavendernya .

Pemuda itu terbelalak, tiba-tiba dia berada di tempat yang berbeda yaitu jembatan besar yang tidak jauh dari rumah sakit. Rambut putih yang tergerai menari-nari ditiup angin, tatapan mata lavender yang kosong memantulkan cahaya matahari yang terbenam. Seorang gadis enam belas tahun bertengger di atas pembatas jembatan yang lari dari rumah sakit menatapnya dengan kosong.

"Kamu... Chotto matte!! Sore wa abunai!!.... Dame!!" tegurnya cemas dengan tangan kanan yang berusaha menangkap gadis itu.

*****

"Tuan muda..... Tuan muda Sensuke...anda tidak apa-apa?... TUAN!" panggil Refan sambil mengguncang-guncangkan tubuh Sensuke yang tertidur di bawah pohon.

"Kahime!!" teriak Sensuke terbelalak panik ketika terbangun dari mimpinya.

"Tuan muda Sensuke, silahkan minum air dulu." ujarnya memberi segelas air putih pada Sensuke untuk menenangkannya. Dia segera meminumnya dan menarik napas perlahan lalu membuangnya.

"Apa anda baik-baik saja?" tanya Refan khawatir.

"Terima kasih, Refan. Aku baik-baik saja, maaf sudah membuatmu khawatir."jawabnya tersenyum tipis, lalu melirik dokumen di sampingnya.

"Tuan muda, ada yang perlu anda ketahui." ucapnya lirih.

"Apa itu?" tanya Sensuke heran lalu menoleh.

"Ini tentang SM01 petarung bayaran milik Naga Hitam." jawabnya lantang dan sopan.

"Apa kalian sudah mendapatkan informasi tentang SM01?" tanya Sensuke membaca kembali dokumen yang belum dia baca sambil mendengarkan Refan.

"Maaf, kami belum mendapatkan informasi sedikitpun tentangnya. Sepertinya mereka tidak ingin ada orang lain termasuk kelompok gangster Naga bersaudara meskipun berbeda marga." jawabnya sembari memberinya lima lembar foto yang baru saja dicetak.

Sensuke menoleh dan heran.

"Apa ini?" tanya Sensuke heran kemudian menerima lima lembar foto tersebut dan melihatnya.

"Seorang utusan dari Naga Emas menemukan gambar-gambar ini lalu mencetaknya, kemudian ingin anda melihat fotonya." jawabnya lembut dan sendu.

"Bukankah ini gambar SM01 yang hanya diam di tempatnya menunggu diserang dahulu oleh lawan?...tunggu dulu, darimana mereka mendapatkan semua gambar ini?!" bentak Sensuke kesal lalu melempar semua dokumen dan foto-foto tersebut sampai berhamburan.

"Kami tidak tahu. Maafkan kami." ucapnya menundukkan kepala dalam-dalam.

"Aku tidak menyalahkan kalian, kalian sama sekali tidak melakukan kesalahan. Kau tidak perlu meminta maaf, aku yang salah. Refan... Bagaimana menurutmu tentang beritanya yang menyebar di dua kota besar secara bersamaan?" tanya Sensuke dengan napas yang agak berat.

"Sepertinya kelompok Naga Emas tahu identitas asli SM01 dan hendak membuat kesepakatan kerja sama." jawabnya lirih.

"Sudah satu bulan dua minggu,... gara-gara kepalaku terbentur pintu mobil aku lupa kejadian di rumah sakit yang sudah kubuat kacau dan tentang jembatan yang tidak jauh dari rumah sakit itu. Aku tidak menyerah begitu saja." gerutunya kesal dengan mengepalkan tangan kanannya dan menendang pohon di belakangnya dengan agak keras sampai retak.

"Maaf, saat itu saya juga terkejut ketika anda mengantar seorang gadis muda sampai di depan rumah sakit." sahutnya gugup penuh penyesalan.

"Oh, itu temannya orang yang kulupakan." celatuknya hanya beroh ria.

*****

"Udah tengah malam, kayaknya harus cepet-cepet nih." kata Kahime gelisah segera berlari dari halte bis menuju rumahnya.

Tak lama kemudian...

"Huft--3, akhirnya sampe rumah." cetusnya menghela napas lega di depan pintu rumahnya. Ketika tangan kanannya sudah menggenggam kenop pintu, tiba-tiba terhenti. "Siapa kalian?" gerutunya kesal.

Dua orang pemuda bertopeng iblis hitam dan berjaket hoodie hitam berdiri di belakangnya sambil mengeluarkan sebilah pisau belati pada salah satu tangan mereka. "Kami diberi misi untuk memberi hukuman pada anda." kata pemuda di sebelah kiri bermata hijau dengan lirih.

"Anda sudah membuat sebuah kesalahan." sambung pemuda sebelah kanan mata merah dengan lirih.

"Ah, aku ingat. Aku tidak sengaja bertemu mereka di sana, tidak bisa memberiku sedikit keringanan kah? Hanya kebetulan bertemu mereka, aku juga tidak tahu kalau mereka akan menghabiskan waktu disana....tidak bisakah kalian memahami perasaanku?" gumamnya lirih ketika mengucapkan kalimat paling belakang.

"Maaf, perasaan anda tidak dapat merubah keadaan. Kami harus menyelesaikan misi." sahut mereka berdua bersamaan membentuk posisi siap menyerang.

Dia menghela napas dan tersenyum masam, mata lavendernya berkaca-kaca, lalu dia meletakkan tasnya tepat di depan pintunya, kemudian berbalik menghadap mereka berdua.

"Jadi...aku harus dihukum karena ketidak sengajaan yang melibatkan banyak perasaan. Sampai menyuruh kalian sebagai utusannya. " balasnya acuh tak acuh.

Seketika mereka berdua bergerak secepat kilat menyerangnya bersamaan dan saat itu dia sama sekali tidak menghindar.

JLEB  tes...tes...tes...

Luka tusuk di dua sisi perut

"Kemampuan kalian sudah meningkat ya,...uhuk...uhuk...aku...bangga...uhuk...uhuk....pada kalian...berdua..." ucapnya terbata-bata diikuti batuk darah yang keluar dari mulutnya. Dia tersenyum membelai lembut topeng kedua pemuda tersebut sembari tersenyum manis pada mereka sampai topeng yang dipakai itu terlepas.

Aku sungguh payah, lukaku baru saja proses penyembuhan malah terbuka lagi. Sial!... Aku tidak boleh jatuh sekarang, apalagi di depan adik ajaranku....aku tidak boleh menyerah! ---pikirnya yakin.

"Kakak guru, maafkan kami.... Huh?!... Kakak guru, kau-..." perkataan pemuda bermata hijau berambut coklat terbelalak, ketika merasakan sebuah lapisan yang melindungi perutnya tepat di tempat yang dia tusuk.

"Aku tidak...apa-apa...kalian harus pergi...dari sini..." ujarnya mengelus wajah mereka berdua dengan lembut.

"Kakak guru...kami..." gumam pemuda bermata merah berambut coklat tampak menggertakkan giginya karena kesal.

"Sudahlah..uhuk...uhuk...kembalilah...ke markas...ini...perintah..." tegasnya terbata-bata dan kembali batuk berdarah.

"Baik." sahut mereka seketika menghilang di tempatnya.

BRUK!

Kahime pun terjatuh ke tanah dalam posisi terduduk. Darah terus mengalir dari perutnya membasahi baju yang dia pakai. Tubuhnya gemetaran dan penglihatannya mulai kabur.

"Kahime!" panggil seseorang di depan gerbang kecil rumahnya. Lalu dia menoleh dan tersenyum kecut.

"Sa...ki..." gumamnya.

Mata birunya berkaca-kaca, tak tega melihat gadis di depannya terluka di tengah malam.

"Kahime! Bertahanlah! Kahime! Aku pasti akan menolongmu!!" teriaknya menghampiri Kahime sampai mengejutkan tetangganya.

Saki, kenapa kamu selalu ada ketika aku benar-benar terluka, kau merawatku dan saat aku seperti ini lagi. Apakah kau tidak membenciku? Apa yang membuatmu ingin melindungiku?

avataravatar
Next chapter