11 Memories

Sebuah tangan wanita menangkap sehelai kelopak bunga sakura di tangannya.

"Kahime, perempuan itu bagaikan sebuah siklus musim, kelopak bunga, dan pohon sakura." tutur seorang wanita tiga puluh tahunan berambut coklat  bermata ungu pada gadis sebelas tahun berambut putih dan bermata ungu---yang dipanggil 'Kahime' .

"Kok bisa? Kenapa ibu bisa seyakin itu?" tanyanya heran dengan mata ungu bulatnya.

Wanita yang dia panggil 'ibu' tersenyum dan membelai kepala putrinya dengan halus. "Tentu saja ibu yakin, karena itu sama sepertimu. Kamu selalu berubah seiring berjalannya waktu, tapi sikapmu sama sekali tidak berubah seperti anak kecil. Tidak sepenuhnya seperti anak kecil, kamu kuat seperti pohon sakura ini karena kamu bertahan dari semua ganggguan temanmu di sekolah dan sama sekali tidak mengeluh. Selain itu, suatu saat akan seperti kelopak bunga, meskipun berguguran dan jatuh mereka selalu tampak indah." jelas ibunya kembali tersenyum padanya sampai dia memiringkan kepala ke kiri menunjukkan wajah polosnya.

"Aku mengerti, tapi apakah aku bisa sekuat pohon sakura? Berubah seperti siklus musim? Dan tetap indah meskipun berguguran seperti kelopak bunga sakura yang jatuh?" tanya Kahime menatap lembut ibunya. Ibunya tersenyum manis dan menatap lembut juga padanya.

"Tentu kamu bisa, itu kalau kamu bersungguh-sungguh dan bertekad kuat." jawab ibunya sambil memeluknya.

Kenangan ini... Sejak kapan ya? Ah, sudah cukup lama sebelum umurku dua belas tahun. Kenangan bersama ibu di musim semi yang hangat ditambah pelukan ibu, sangat terasa hangat sampai ke hati.

"Kakak, selamat ulang tahun di umur kakak yang kedua belas. Ini hadiah dariku untuk kakak." kata seorang anak laki-laki delapan tahun yang memiliki warna rambut dan mata yanh sama sepertinya.

Kahime menerima kotak hadiah yang cukup besar.

"Wah~, Mitsuho terima kasih. Kira-kira isinya apa ya?" celatuknya penasaran, lalu membuka tutup kotak hadiahnya.

"Aku yakin, kakak pasti suka banget." balasnya bangga berseri-seri.

"Whoaahh~, bagus banget dek. Aku suka banget, makasih adekku~😘." sahutnya senang langsung memeluk erat Mitsuho adiknya.

"Ini juga ada hadiah dari ayah dan ibu lho~." kata pria tiga puluh sembilan tahun, berambut putih, dan bermata biru.

"Hore~, apa hadiahnya?" tanyanya penasaran dan girang penuh semangat.

Ayah dan ibunya duduk di sampingnya, lalu memberikan dua kotak hadiah kecil yang berbeda.

"Yeay~, terima kasih." ucapnya menerima dua kotak hadiah pemberian ayah dan ibunya.

"Masih ada lho hadiahnya, kamu harus tutup mata." cetus ibunya mengedipkan mata kirinya.

"Oke." sahutnya langsung menutup kedua matanya.

"Sekarang bisa buka mata." cetus ayahnya.

Ketika dia membuka matanya, ayah ibunya mencium pipinya dari sisi yang berbeda.

"Hahaha...kakak jadi lucu mukanya. Hahahaha..." celatuk Mitsuho diikuti gelak tawanya. Kemudian seorang balita dua tahun, berambut coklat, dan bermata biru, - -- menghampirinya.

"Usuga mau kasih hadiah ke kakak juga yah." katanya segera menggendong Usuga dan memangkunya.

Lalu, adik balitanya-Usuga langsung memeluk erat dirinya.

"Peuk." balas Usuga polos.

"Wahhh, Usuga sudah berani bicara." celatuk ibunya senang.

"Eh, hadiahnya pelukan. Makasih, dek Usuga." sahutnya membalas pelukan kecil adiknya.

Kemudian, perayaan ulang tahun itu diakhiri dengan gelak tawa bahagia.

Ini, adalah perayaan ulang tahun di umurku yang ke dua belas. Di waktu pertengahan musim dingin, aku tidak merasakan kedinginan. Yang aku rasakan adalah rasa hangat... Kehangatan dari kasih sayang keluarga.

Tidak seperti yang selama ini sudah kurasakan....tidak ada canda tawa keluarga...tidak ada kehangatan....yang tersisa hanyalah sebuah kenangan...kenangan bersama keluarga yang tersimpan di hatiku yang mendingin.

"Sekarang, kamu bisa tinggal disini." ujar seorang pemuda delapan belas tahun, berambut biru, dan mata biru dongker dengan datar.

"Hm." sahutnya hanya berdehem acuh tak acuh.

"Hei, ingatlah tugasmu dan peringatan dariku." kata pemuda itu sebal dan langsung menarik paksa kerah jaket hijau toska berbulu di luar area yang dingin.

"Aku ngerti kok, jadi lepasin tanganmu dari jaketku." balasnya dingin dan sedih.

Pemuda tersebut melepasnya sambil mendorongnya sampai jatuh ke tanah bersalju dingin. Ia tersenyum sinis, lalu mengambil sebuah kartu biru dari saku jaketnya, kemudian dilempar ke arahnya. Dia menangkapnya dan bengong.

"Kartu apa ini? Lalu ini buku apa?" tanyanya heran tanpa ekspresi.

"Itu adalah kartu ATM dan buku rekening. Sandinya adalah namamu. Bukankah kau sudah tahu cara menggunakannya?" tanya balik pemuda itu meragukan kemampuan teknologinya.

"Hmm. Aku tahu, aku pernah melihat ayahku menggunakannya di ATM dan mengecek tabungan di BANK." jawabnya lirih.

"Baguslah, kalau kau tahu cara memakainya. Mulai musim semi ke sepuluh, kau akan bekerja untukku dan seterusnya." balas pemuda itu acuh tak acuh, membalikkan badannya dan pergi meninggalkan gadis muda itu.

Gadis itu bangun, lalu membersihkan salju yang tertinggal di pakaiannya. Kemudian, memandang lesu rumah besar di sampingnya.

"Rumah yang besar." katanya kagum.

Musim dingin ke lima setelah perayaan ulang tahunku yang kedua belas. Waktu itu..aku sudah mengubah marga keluargaku dalam waktu yang singkat. Dan saat itulah aku memulai kehidupanku yang baru...tak ada yang menyambut kedatanganku kecuali angin musim dingin.

"Sepertinya harus buat air hangat buat mandi dulu." gumamnya datar.

Lalu dia masuk ke dalam rumah besar dan mewah itu dengan menarik koper ungu besar, dan membawa dua tas sedang di kedua bahunya.

"Ng.. Berat...banget.." gerutunya besusah payah masuk ke dalam karena kedua tas tersebut terjepit dan menghambatnya.

"Butuh bantuan, nggak?" tanya seseorang di belakangnya berdiri tepat di rumahnya.

"I-iyah...soalnya ini...berat banget.."jawabnya tidak berhenti menarik paksa semua barang bawaannya.

"Oke." balas orang itu langsung menarik dirinya ke arah yang berlawanan. "Kamu coba berhenti narik ke dalam." ujar orang itu bersiap menarik keluar.

"Apa..semuanya bisa...masuk...kalo...aku berhenti?" tanyanya bawel.

"Bisa kok, sini!" tegasnya menariknya keluar dengan santai. Dua tas dan kopernya tidak apa-apa, lalu karena kaget dia hampir jatuh ke belakang dan....

HUP

"Kamu nggak apa-apa'kan?" tanya anak laki-laki tiga belas tahun, berambut pirang, dan bermata biru yanh sudah menangkapnya.

Kahime termangu dan mengerjipkan matanya berkali-kali.

Matanya indah seperti laut.---pikirnya.

Secara perlahan wajahnya merona dan panas.

Hah? Apa aku pernah mengalami hal ini saat pindah rumah untuk pertama kalinya? Tapi, kenapa rasanya nggak asing sama anak itu? Siapa ya? Anak itu mengingatkanku akan seseorang dan rasanya dia mirip... Saki?

"Halo~, kamu beneran nggak apa-apa?" tanya kembali anak itu sambil melambaikan tangan kanannya di depan Kahime beberapa kali. Dan ketika dia terbangun dari lamunannya, dia terkejut.

"Ah! Aku nggak apa-apa, bisa lepas tanganmu dariku." jawabnya gugup.

"Oke." balasnya polos.

Anak itu melongo bingung dan langsung melepasnya sampai jatuh ke tanah.

"Aduh!.. Hiiihh, sakit lah bego..." rintihnya kesal kembali bangun dan menghadap anak itu.

"Hehe.. Maaf, jangan salahkan aku karena kamu sendiri yang minta." celatuknya cengengesan.

"Huh." desahnya kesal.

"Kamu baru pindah ke sini, ya?" tanya anak itu penasaran.

"Mm.. Iya. Apa kakak juga tinggal di sekitar sini?" tanya balik Kahime agak memiringkan kepalanya dan wajah polos.

"I-iya, aku tinggal di sebelahmu." jawabnya gugup.

Imutnya😍😍---pikir anak itu di sisi lain.

"Apa?! Sebelahku?!" tanya Kahime agak membentak dan gugup.

"I-iya. Memangnya ada apa?" tanya balik anak itu kaget dan heran.

"Nggak ada, cuman kaget aja. Oh, iya!..kak, kakak tahu gak dimana lokasinya SMP Kagamitsu?" sahut Kahime menarik kopernya kembali ke dalam rumah. Lalu, anak itu mengambil dua tas sedang di sisi lain dan memberikan salah satu tas sedang itu pada Kahime untuk dibawa masuk ke dalam rumah. Kemudian dia ikut masuk membawakan tasnya.

"Aku tahu, mulai musim semi aku kesana dan kamu...masuk ke sana juga?" tanyanya heran.

"Iya. Betul banget, mulai musim semi aku juga masuk ke sana. Wah, beruntungnya ada tetangga yang satu sekolahan." jawabnya girang.

"Eh? Ngomong-ngomong, kamu masuk kelas apa?" tanyanya penasaran.

Kahime menaikkan alisnya dan meletakkan telunjuknya di samping bibir.

"Mm...kalo nggak salah, ya. Kelas 1-2 B, iya bener kelas itu." jawabnya asik sendiri.

"Oh, kamu masuk kelas itu. Selain itu, kenapa kamu sendirian disini? Dimana keluargamu?" tanya anak itu heran sembari melihat sekitar.

"Umm, keluargaku...mereka sedang bekerja di luar negri." jawabnya lirih.

"Begitu ya, kamu jadi tinggal disini untuk sekolah. Oh iya, perkenalkan namaku Saki Raijuu. Kalau kau butuh bantuanku, kau bisa datang berkunjung ke rumahku." ujar anak yang memperkenalkan dirinya,---Saki tersenyum manis padanya dan percaya diri.

"Iya." sahutnya mengangguk pelan.

Ternyata benar kalau anak itu adalah Saki. Rasanya, agak aneh kalo aku baru tahu waktu pertama kali ketemu dia manggilnya ada tambahan 'Kak'. Tapi, kenapa waktu ketemu di bis tidak saling mengenal?

Saki...dia sudah banyak menolongku. Aku pasti akan membalas kebaikanmu.

*****

"Saki." gumam Kahime pelan di dalam ruang UGD masih belum sadar, dan Saki yang menemaninya duduk di sampingnya terkejut.

"Kahime....barusan, aku tidak salah dengar 'kan? Dia memanggil namaku." ucapnya lirih memegang erat tangan kanan Kahime dan mencium tangannya. "Cepatlah sembuh, aku ada disini menemanimu dan menunggumu." gumamnya lirih sambil menundukkan kepala.

*****

Sore, matahari terbenam dengan warna jingganya. Aku melupakan momen terindah saat itu, apalagi di musim dingin.

"Permisi. Apa ada orang disini? Permisi." kata Kahime mengetuk pintu tiga kali dan duduk di samping pintu menunggu. "Mungkin, kak Saki sedang tidak ada di rumahnya. Lebih baik pulang aja, deh." gerutunya agak sebal. Dia beranjak dari tempatnya dan melangkahkan kakinya keluar dari sana.

Tiba-tiba, dia menabrak sesuatu dan terdorong ke belakang.

HUP!

Dia tidak merasakan sakit karena jatuh, justru merasakan ada seseorang yang menangkapnya. Lalu dia membuka matanya perlahan dan terbelalak.

"Kak Saki?!...heh?...lepaskan aku!.." tegurnya gelagapan dengan rona merah di wajahnya. Meskipun begitu, Saki tidak melepaskannya. Ia justru membantunya berdiri. "Ma..kasih... Makasih, kak." sambungnya gugup sembari memberinya sekotak bekal dibungkus sapu tangan sambil membungkuk.

"Bukan masalah, kok." balasnya singkat dan menerima kotak bekal dari Kahime. "Mau mampir gak? Aku kenalin kamu sama keluargaku." ajaknya memegang tangan kanan Kahime dan dia spontan langsung berdiri tegak.

Wajahnya merona semerah tomat, matanya berkaca-kaca, dan tersenyum. Saki yang melihatnya termangu dan agak merona.

Kemudian mereka berdua pun masuk ke dalam rumah sederhana bertingkat dua.

"Mm, ayo masuk. Aku pulang~." kata Saki ketika masuk ke dalam rumah sederhananya.

"Permisi." kata Kahime mengikuti dari belakangnya dan masuk bersamanya.

"Eh~, kamu bawa cewek cantik ke rumah. Temanmu ya?" tanya ibunya mengajak Kahime ke ruang makan.

"Waduh..waduh...anak lakiku bawa cewek kemari, sini ikut duduk di sebelah paman." goda ayah Saki padanya. Kahime pun duduk di sebelah ayah Saki.

"Oh iya, ayah. Dia tetangga baru kita yang baru saja pindah tadi pagi." kata Saki agak berteriak di dapur tengah membantu ibunya mempersiapkan makan malam.

"Begitu yah, namamu siapa?" tanya ayah Saki seperti pedofil.

"Saki." tegas ibunya sedikit membanting entong kayu pada lemari. Saki yang sedang membuat omelet menggunakan teflon persegi langsung menempelkan bagian bawahnya di atas kepala ayahnya.

NYUUSSSS

"Pa-panas!!!! Kalian berdua kejam sekali...huuu...huu.." rengek ayahnya sambil memegang kepalanya yang agak hangus.

Tak lama kemudian....

Pada akhirnya, ketika mereka mau makan malam. Kahime duduk bersama Saki dan Ayahnya bersama ibunya.

"Sebaiknya, aku pulang aja ke rumah. Malah jadi ngerepotin." kata Kahime gugup.

"Nggak apa-apa, makin rame makin bagus." balas ibu Saki girang.

"Tidak, terima kasih. Aku mau pulang makan di rumah saja. Ini sudah waktunya makan malam di rumah." ucap Kahime menolak ajakannya.

"Lho~, makan disini dulu baru pulang. Kalau orang tuamu marah, maka kami akan berbalik memarahi mereka." celatuk ayah Saki seenaknya.

"Mm, maaf aku harus pulang." sahut Kahime kembali menolak ajakan mereka. Lalu dia beranjak dari tempatnya. Tapi, Saki sama sekali tidak menghiraukannya dan hanya menatapnya datar. Tatapannya membuat Kahime tidak nyaman. Matanya menunjukkan apa yang akan dia katakan.

'Lebih baik makan bersama, daripada makan sendirian di rumah besar.'

Dia kembali duduk dan mengambil sumpit, lalu ikut menyantap makan malam bersama keluarga Saki.

"Enak. Bibi, apa kau yang membuat pastel isi daging ayam ini? Ini sangat lezat." kata Kahime kagum dan terpana oleh cita rasa masakan yang dihidangkan sampai berseri-seri.

"Bukan. Yang membuat makan malam hari ini adalah Saki. Karena dia bilang, 'Ibu, malam ini aku yang buat makan malam. Temanku datang berkunjung' begitu." jelas ibu Saki menciptakan awan imajinasi di atas kepalanya menggambarkan perkataannya, sampai dapat dilihat oleh mereka semua.

"Wah~, kak Saki sungguh hebat. Aku sendiri tidak begitu pandai memasak sepertimu." kata Kahime memandang Saki dengan wajah polosnya.

Saki menelan ludah kasar, ketika Kahime memandangnya. Dan segera berpaling melanjutkan makan malam.

Dia sangat imut dan cantik, senang juga dipuji dia. --- batin Saki berbangga hati.

"Saki, kau tidak apa-apa 'kan?" tanya ibunya gelisah.

"Ya, aku nggak apa-apa." jawabnya enteng dengan senyum yang bangga.

"Kak, kamu beneran nggak apa-apa makan cabe besar itu?" tanya Kahime mengambil cabe besar bekas gigitannya dan memakannya.

"Ca-cabe?!... Sejak kapan?! Kenapa kamu makan bekas gigitanku?!.." tanya Saki kaget karena tanpa sadar dia memakan cabe merah besar dan malu karena bekas gigitannya dimakan oleh Kahime.

"Sejak tadi, itu tadi cabe punyaku dan kakak mengambilnya. Karena itu aku ambil dan kumakan." jawabnya enteng.

Astaga!!! Sungguh memalukannya diriku~.... Kenapa aku melakukan hal memalukan seperti itu?! Mungkin ini adalah bukti bahwa kami pernah bertemu.

Di musim semi....

"Ayo, cepetan! Kita bisa ketinggalan bis kalo kamu lambat kayak kura-kura." ejek Saki di depannya.

"Aku bukan kura-kura!! Saki curang!!" balas Kahime tidak terima melayangkan sebuah tinju padanya.

Saki menghindar dan memegang tangannya, lalu mendekatkan bibirnya di telinganya. "Coba aja kalo bisa, kalau pukulanmu belum kena aku. Aku bisa aja ngerja'in kamu sesukaku, lho~." bisiknya langsung mencium pipi kiri Kahime. Dia terbelalak dan wajahnya spontan memerah semerah tomat dan kesal.

"SAAAKIIII!!!! ~!!!" teriak Kahime kesal.

Aku ngerasa nonstalgia, dia... Apa dia juga ngerasa'in hal yang sama? Kalau aku ngomong soal sekolah disana bareng dia, apa dia bakalan ingat?

"Halo, namaku Saki Raijuu dan ini Kahime Murasaki tetangga sekaligus-...." ucapannya disela oleh para anak MOS di aula.

"Pacar!!" kata para siswa-siswi di aula serempak bersamaan.

"Tentu saja, bukan. Kami ini hanya sahabat biasa, nggak lebih dari itu." cetus Kahime dingin acuh tak acuh.

"Gimana kalau cium pipiku?" godanya mendekatkan pipinya padanya. Dia mendengus kesal dan mengepalkan tangan kanannya. Sedangkan para siswa-siswi berteriak histeris karena kelakuan nakal Saki.

"Semuanya pada neriakin kita, nih." godanya mendekatkan dirinya dengan Kahime.

"Yang ada mereka pada neriakin kamu yang bodoh!!!" bentaknya melayangkan pukulannya secepat angin dan berhasil mengenai pipinya sampai terjatuh ke belakang.

"Mantap!" celatuknya mengacungkan jempol kanan padanya dengan hidung berdarah. Karena kesal, dia beranjak dari atas panggung MOS dan dihambat olehnya. Kaki kirinya dipegang erat sambil merengek tidak mau ditinggal sendirian.

Semua anggota MOS tertawa lepas melihat kelakuan mereka.

Aku bersamanya di panggung MOS, sampai menghibur seluruh anggota MOS termasuk para guru dan senior. Pantas saja, sikapnya padaku beda sama yang lain.

"Kahime, nanti boleh nggak mampir ke rumahmu?" tanya dua siswa yang menghampirinya berkemas.

"Mm, tentu saja-..." jawabannya dipotong oleh suara bantingan meja yang keras diantara mereka.

"Nggak boleh." sambung Saki dengan tatapan mengintimidasi kedua siswa tersebut. Seketika kedua siswa itu lari ketakutan dan meninggalkan mereka berdua di kelas.

"Kenapa kamu kasar sama mereka? Mereka 'kan cuma mampir sebentar." kata Kahime kesal. Saki tertegun, lalu melangkah mendekatinya. "Saki, kamu kenapa? Kalau kamu ngelakuin yang aneh-aneh, aku bakalan-...." ucapannya terpotong saat ditarik ke dalam dekapannya.

"Aku takut, aku takut kamu kenapa-napa. Kamu selama ini tinggal sendirian di rumahmu dan sama sekali nggak ada yang bisa diminta tolong kalo kamu ada di dalam ruangan. Apalagi kalo kamu cuma bertiga sama dua cowok. " tuturnya cemas sampai mempererat dekapannya.

"Kamu terlalu berlebihan. Aku sudah bisa mandiri." cetus Kahime melepas dekapannya. Lalu tersenyum tipis dan mundur beberapa langkah. "Aku bukan lagi anak kecil, aku bisa jaga diriku sendiri. Sudah  dan sebentar lagi liburan musim panas. Mendingan kamu cari tempat hiburan buat kunjungan kita." tuturnya lembut. Kemudian dia mengambil tasnya dan melompat ke arah belakang keluar dari jendela.

"Kahime." gumamnya gelisah.

Ini, ingatanku kah? Aku sama sekali nggak ingat dan tahu tentang kehidupan baru ketika masuk SMP. Aku pengen ingat lagi, mengingat kebersamaanku bersama Saki.

Di tahun kedua...

Saki datang ke halaman belakang sekolah untuk menemui seorang siswi yang mencarinya.

"Saki, ada yang pengen aku omongin sama kamu." kata seorang siswi mendekati Saki.

"Mau ngomong apa?" tanyanya dingin acuh tak acuh.

Secara tak sengaja, Kahime juga ada di sana melihat mereka berdua dan langsung memanjat pohon, bersembunyi diantara dedaunan dan dahan pohon.

Mereka berdua lagi ngapain? ---pikir Kahime heran.

"Sebenarnya, aku suka kamu." jawab gadis itu gugup dengan rona di wajahnya.

Kahime tertegun dan memperhatikan mereka berdua dari sana. Ternyata mau nembak toh, tapi kenapa Saki nggak ada reaksi seneng atau gugul ya? ---pikir Kahime penasaran.

"Kayaknya, kamu salah orang deh." katanya dingin.

"Nggak! Aku nggak salah orang! Aku sangat menyukaimu, Saki!!" ucapnya lantang dengan mata berkaca-kaca hampir meneteskan air mata.

Kahime terkejut mendengarnya dan terdiam membeku di tempatnya. Sedangkan Saki, ia mendekati siswi itu dengan langkah yang menakutkan seperti zombie.

Siswi itu berjalan mundur menjauhinya karena ketakutan.

"Maaf, aku nggak ada niat menyakitimu. Tapi, ada yang perlu kamu tahu. Perasaanku cuma buat satu cewek dan dia beda dari semua cewek yang kulihat." tuturnya sembari menyeringai.

"Siapa yang kamu maksud?" tanya siswi itu penasaran.

"Bukannya udah jelas, dia beda sama cewek lainnya. Nggak kayak kamu." jawabnya enteng agak mengejeknya.

Saki punya perasaan suka juga ternyata, tapi siapa yang dia suka? ---- tanya Kahime dalam hati.

"Kahime 'kan? Cewek itu pasti Kahime, iya' kan?!" tanya siswi itu tidak percaya. Ia terkekeh pelan.

Lah, kok?! Apa hubungannya sama aku? Kami 'kan cuma sahabat. Ngapain dia bawa namaku? --- pikir Kahime kesal.

"Kalau iya, kenapa? Nggak terima, cewek kayak dia malah dapetin hatiku. Itu bukan urusanmu, mendingan kamu cepetan balik ke kelas." jawabnya acuh tak acuh. Dan siswi tersebut pergi meninggalkannya dengan kekecewaan sedangkan Saki menghela napas lega.

Dia pasti sengaja, sengaja pake namaku buat nolak cewek. Pasti dia sengaja. --- pikir Kahime kesal.

avataravatar
Next chapter