12 Memories (2)

"Saki!" panggil Kahime agak membentak dengan berlari menghampirinya. Dia menghampirinya lalu menekan bahunya dengan erat.

"Adu-duduh,..lepasin tanganmu... Bahuku sakit nih." rintih Saki kesal melepas tangan Kahime dari bahunya. Kemudian kembali berjalan tanpa menghiraukan panggilannya.

"Saki! Kalau kamu ada masalah cerita sama aku, kalau kamu kayak gini gimana bisa aku ngerti'in perasaan kamu." katanya lirih agak membentak.

Saki menghentikan langkahnya dan berbalik, mata birunya memandang mata lavender bulat yang menatap tajam padanya.

"Kamu habis nolak cewek 'kan? Karena kamu suka sama cewek lain, kamu nggak tahu harus gimana lagi 'kan?" tanya Kahime cemas dengan tangan kirinya memegang tangan kanan Saki. Ia tertegun dan termangu, bibirnya hendak mengucapkan sesuatu, tapi tak mampu karena terasa berat.

"Kahime." panggilnya lirih.

"Akhirnya manggil aku juga, ya ada apa, tuan penggoda?" tanya Kahime agak menggoda dengan senyum jahilnya.

"Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Ini tentang sekolah." jawabnya lirih memandang sendu gadis di depannya yang tengah menggenggam tangannya.

Hei...hei. Jangan memasang muka seperti anak kecil, Saki. Kalau itu hal yang menyedihkan sekaligus menyakitkan, katakan saja aku bisa terima itu. --- katanya dalam hati gelisah.

"Dua hari lagi, aku akan pindah sekolah ke luar kota. Apa kamu-..." belum selesai ia bicara sudah dipotong olehnya. "Aku nggak apa-apa, kok. Kamu jangan khawatir, aku bukan gadis cengeng yang gampang nangis ditinggal sahabatnya."

Kini kedua tangan Kahime menggenggam erat tangan kirinya, ia pun terkejut dengan mata berbinar-binar.

"Persahabatan kita yang dipertemukan oleh musim dingin tidak akan berakhir sampai musim semi yang sekarang. Persahabatan ini, akan terus berlanjut. Meskipun aku akan lupa, aku akan mengingatnya. Mengingat pertemuan kita, kebersamaan kita, dan juga...perpisahan kita yang telah menanti." tuturnya lembut dan tersenyum lebar seperti anak kecil.

"Kahime, aku pasti akan kembali menemuimu. Aku janji." kata Saki menarik Kahime ke dalam pelukannya.

"Aku tidak butuh janji, jika kau lupa akan janjimu maka kau berhutang padaku dan begitu juga aku. Lebih baik, kita saling mengisi dan memahami, saling melindungi satu sama lain, dan saling mempercayai satu sama lain." balasnya membalas pelukan Saki.

Maafin aku, aku tahu kamu mau ngajak aku pindah ikut kamu. Tapi, aku gak bisa karena tugasku belum selesai dan kita mungkin gak bisa ketemu lagi dalam waktu yang lama. Aku sangat menyayangimu, seperti kamu menyayangiku kepada keluargamu.--- batin Kahime menyesal.

Dua hari kemudian di malam hari....

"Kamu harus cepat. Mereka mengincar keluarga yang akan pindah malam ini melewati jalur hutan kecil di timur." tegas pemuda berambut hitam, bermata biru, dan memakai jas sedang menyetir mobil sport hitam dengan cepat.

"Baiklah, dimengerti." balas seorang gadis bertopi ungu gelap, memakai masker biru dongker, dan berjaket biru laut tua dengan tudung menutupi kepala di atas kap mobil tengah bersiap melompat.

Rambut putih bagian luar menari-nari ditiup angin dan mata lavendernya menatap tajam jalan di depannya. Kemudian, dia melompat dan mendarat dia atas dahan pohon, lalu melompati setiap dahan pohon ke dahan pohon lainnya sebagai jalan pintas. (Author numpang lewat: maklumlah fans-nya NarutošŸ˜…šŸ˜‚šŸ¤£šŸ™)

Takkan kubiarkan siapapun melukai sahabatku, setidaknya aku mempunyai dua tugas yang bisa menolong sahabatku. --- pikirnya optimis.

Di jalur hutan kecil...

"Saki, apa kamu sudah bertemu Kahime sebelum kita pergi?" tanya ayahnya cemas sambil fokus menyetir.

"Belum, ketika aku mau berkunjung dan mengetuk pintu. Aku menemukan catatan kecil di pintunya. Dia catatannya, ['nggak usah nyari dia kalau mau berangkat, soalnya dia sendiri sibuk kerja paruh waktu.']" jawab Saki lesu.

"Setidaknya kamu sudah bilang sama dia 'kan? Kalau malam ini kita pergi." kata ayahnya memastikan.

"Iya, sudah." sahutnya lirih sambil memandang pemandangan di luar dari jendela. Ia termenung sejenak dan termangu ketika melihat seseorang melompat dari dahan ke dahan lain seperti kera. "Ayah, ada orang yang mengikuti kita." sambungnya tanpa mengalihkan pandangannya.

"Dimana? Di belakang tidak ada apa-apa." balas ayahnya tidak percaya. Dan tiba-tiba mengerem mendadak. Saki dan ibunya tidak apa-apa hanya terkejut, karena mereka memakai sabuk pengaman.

"Ayah?.. Kenapa tiba-tiba berhenti?" tanya ibunya penasaran melihat situasi di depan dari tempatnya.

"Ini sangat buruk." jawab ayahnya gelagapan dan gelisah.

"Hah?... Apa-apa'an ini? Siapa mereka?" tanya Saki heran dan kesal.

"Saki, kamu harus keluar dari dalam mobil sekarang." tegas ibunya lirih.

Di depan mereka terdapat sekelompok orang dengan senjata yang mereka pakai untuk berkelahi atau tawuran.

"Nggak, kalau aku keluar, ayah dan ibu gimana?" tanyanya cemas.

"Kami nggak apa-apa, disini berbahaya. Para gangster ini, nggak akan kasih kita jalan." jawab ibunya gugup. Kemudian Saki segera melepas kunci sabuk pengaman dan segera keluar lari meninggalkan mereka.

"Bodoh. Dia kira bisa lolos semudah itu dengan lari seperti kelinci yang ketakutan." kata salah satu anggota mereka meludah ke sisi lain, mulai melangkah dan mengejar Saki dengan diikuti beberapa orang. "Tangkap anak itu! Yang lain, urus kedua orang tua dalam mobil!!" tegas prmimpin gangster dengan tersenyum sinis.

Keadaan pun semakin buruk karena berada di jarak dan arah yang berlawanan, membuatnya harus berusaha keras menolong mereka.

"Orang tua! Cepat keluar dari mobil!" kata dua orang gangster menarik paksa mereka berdua keluar dari mobil. "Mana kunci mobilnya?" tanya seorang gangster yang berada di depan ayah Saki dengan paksa. Akam tetapi, ayahnya sama sekali tidak menghiraukannya.

"Hei, paman. Kau cari mati, ya? Apa kau mau kupukul dengan ini?" cetusnya menyeringai sembari melayang-layangkan tongkat besi tersebut sampai mengenai wajah ayah Saki. Setiap kali tongkat besi melayang ke arahnya, wajahnya langsung membiru memar dan berdarah tipis.

Ibunya hanya menundukkan kepala menahan tangisnya sampai terisak-isak.

"Oi, kalau kau masih mau hidup. Cepat berikan kunci mobilnya." cetusnya bersiap melayangkan tongkat besi di tangan kirinya. Ayahnya hanya diam, sama sekali tidak menghiraukannya, sehingga membuat kesabarannya habis. "Baiklah, paman. Kau tidak memberiku pilihan. Selamat tinggal." katanya melayangkan tongkat besi ke arah kiri ayahnya.

TAP!

"Hah?!" celatuk gangster itu ketika sebuah tangan berhandshock menahan tongkat besi yang dilayangkan dengan keras tanpa rasa sakit.

"Sungguh keterlaluan, menyiksa orang tua tak berdaya. Apa kau sudah lupa bagaimana caranya bertata krama?!" tegur seorang gadis dengan rambut putih bergelombang yang tidak tertutup tudung jaketnya, dan mata lavender menatap tajam pada gangster tersebut. "Sekarang akulah lawan kalian. Bibi, bawa paman dan bersembunyilah di tempat yang aman. Aku akan mengulur waktu untuk kalian dan 'dia'." ujar gadis itu menggenggam erat dan kuat tongkat yang dia tahan sampai bengkok lalu hancur sebagian, kemudian menendang tongkat besi yang dipegang gangster tersebut ke atas, melayang di udara.

Gangster itu terkejut dan mundur beberapa langkah, lalu dikerumi anggota lain mengepungnya. "Bocah, kau jangan ikut campur urusan kami. Ini urusan kelompok kami gangster Musang Merah, kau bisa apa dengan sendirian melawan kami yang jumalhnya lebih banyak darimu?" ejek gangster tersebut sambil menudingnya.

Gadis itu mengulurkan tangan kanannya ke depan dan terdiam. Lalu menggenggam dengan erat sambil terkekeh. Kekehannya membuat mereka bingung.

"Hei bocah, jangan mempermainkan kami. Memangnya, apa ada sesuatu di tanganmu? " tanya gangster itu heran.

"Mau tau aja apa mau tahu banget?" tanya baliknya masih terkekeh kecil dan membuat mereka semakin bingung terperangah.

"Kampret, cepetan lah! Kami gak ada waktu main-main sama lhu!!" tegur gangster tersebut sebal dan gregetan sampai menendang pantat anak buah yang ada di sampingnya.

"Nih! Bego bener kalian, mau aja a gua yang masih bocah. Dasar babi.... Hahahaha... Hahaha... " sahutnya menegakkan jari tengah dari kepalan tangannya sampai tertawa lepas.

FUCK YOU!!

Para gangster itu tertohok dan kesal karena sudah dipermainkan olehnya. "Bocah kampret, berani-beraninya ngeremehin kami. Keroyok dia!!" tegas wakil gangster memberi aba-aba menyerangnya.

Seketika tongkat besi bekas tendangannya jatuh mengenai anak buah gangster tersebut.

"Hmph, lemah. Tongkat besi yang cuma 70 ton aja, udah keok. Dasar cemen." ejeknya mengambil tongkat besi itu dan menopangnya dipundak.

"Kalian ini gimana sih?! Kerja gak becus, masa kalah sama tongkat besi gua?! Nggak guna, kalian anak buah yang nggak guna!!" bentak wakil gangster kesal. Lalu, wakil gangster mengambil sebuah regem dari dalam sakunya, kemudian memakaikannya di tangan kanannya.

"Gimana? Mau ngelawan aku sendirian, nggak takut?" tanya gadis itu menatap enteng wakil gangster tersebut sambil tersenyum sinis.

"Siapa takut? Aku bukan seperti mereka, mudah dibuat tumbang." jawab wakil gangster penuh percaya diri.

"Yosh!.. Tatakai ga hajimatta." ucapnya melempar tongkat besi sampai melambung ke kiri, berputar seperti boomerang membentuk area pertarungan, mengitari mereka berdua dengan cepat.

"Bocah kayak lhu bakal gua kalahin." kata wakil gangster sombong dan melayangkan pukulan ke arah wajahnya, tapi meleset dan hilang dari hadapannya. "Cepet banget!!" wakil gangster itu tercekat dan diam di tempatnya dalam posisi waspada.

"Aku disini." kata gadis itu lirih di belakang dan langsung mendorongnya ke depan, lalu berpindah dengan cepat menendang perutnya menggunakan lututnya, kemudian berpindah lagi memukulnya dengan tinju dari belakang. Setelah itu, dia berhenti di depan wakil gangster dan menangkap tongkat besi yang membatasi area pertarungan mereka.

Wakil gangster tersebut mulai sempoyongan dan mengernyitkan dahinya. "Bocah kampret, siapa yang membayarmu? Kenapa kau mau melakukan ini?" pertanyaannya membuat gadis itu terdiam dan mengangkat tongkat besi yang beratnya berkurang seperempatnya.

"Naga Hitam yang mebayarku, kau mau menyewaku? Kau sendiri kalah dariku, buat apa kau menginginkanku. Yang ada kau kalah dariku seorang gadis kecil. Aku mau melakukan pekerjaan karena demi melindungi orang-orang yang mungk8n menganggapku sudah tiada." jawabnya panjang lebar.

"Apa yang akan kau lakukan?!" tanya wakil gangster terbelalak ketika dia siap melayangkan bagian tongkat besi yang rusam padanya. "Kumohon! Jangan bunuh, aku!! Aku... Aku mengaku kalah.. Kumohon.." pintanya mundur beberapa langkah, akan tetapi waktunya sudah habis. Waktu yang gadis itu berikan pada wakil gangster agar melarikan diri, gadis yang berusaha menahan keinginannya untuk menghabisinya. Tongkat besipun melayang secepat kibasan kipas lipat, dan mengarah ke wakil gangster.

SRAT! JLEB! CROT! tes...tes...tes...

Ujung tongkat besi yang hancur telah merobek di depan badannya dan menembus dada kirinya. Darah segar keluar dari lubang di dadanya dan sesekali keluar dari mulut saat ia terbatuk-batuk. Tangan berhandshock itu masih memegang ujung tongkat besi yang tumpul lalu menariknya dengan paksa sampai dia terkena cipratan darahnya. Ia jatuh terduduk sambil menopang tubuhnya. Bibirnya yang mulai pucat bergetar dan membuka hendak berkata.

"Khh... Ibu...maafkan....aku...uhuk..uhuk...aku...tidak...akan...pulang....ke...uhuk...uhuk...rumah...mulai...sekarang..." kata-kata terakhir wakil gangster lirih dengan terbatuk-batuk dan mata berkaca-kaca digenangi air mata. Kemudian ia terjatuh ke tanah disaat napas terakhirnya, dia hanya terdiam dan pergi ke sisi lain dimana para gangster mengejar sahabatnya.

Malam untuk pertama kali aku mengakhiri hidup seseorang. Aku baru ingat, saat itu juga adalah...

Saki dihajar habis-habisan oleh ketua gangster dan beberapa anak buahnya.

"Ketua!..khh...uhuk..." teriakan rintihan salah satu anak buahnya yang berakhir sama dengan wakil gangster membuat perhatian mereka teralihkan.

"Apa yang terjadi? Kau?! Bagaimana bisa...kau datang kesini?!" bentak ketua gangster terbata-bata dengan tubuh gemetaran dan ketakutan.

"Ketua, bukankah bocah itu yang dipilih Naga Hitam?" tanya salah satu anak buahnya.

"Sebaiknya kita berhenti. Kalian! Lepaskan bocah laki-laki itu atau kau akan mati!!" tegur ketua gangster langsung beranjak dsri tempatnya diikuti anak buahnya. Akan tetapi, gadis itu memutar tongkat besi bekas darah itu dan melayangkannya ke arah mereka. Teriakan mereka menggema di tengah jalan yang berdekatan dengan hutan dan sepi. Gadis itu tak memperdulikan tongkat besi yang melayang menyiksa para gangster tersebut.

Dia berjalan perlahan menghampiri Saki dan membopongnya dengan bahu kecilnya.

Tangannya membelai wajah tampan itu dengan sendu dan tangan kirinya menangkap tongkat besi yang sudah mengakhiri para gangster tersebut. Kemudian membuangnya ke dalam hutan, setelah itu kembali berjalan ke tempat yang aman.

"Ka..hi...me..." gumam Saki di tengah perjalanan menghampiri orang tuanya. "Kahi..me...hah...Kahime..."

Gadis itu mengerutkan dahinya, mata lavendernya berbinar sembab. Cairan hangat itu perlahan turun dan mengalir deras. Dia terisak pelan tak ingin membangunkan pemuda yang terlelap lelah di bahunya.

Saki, dia terus memanggilku. Tapi, aku tak bisa menjawabnya. Tak apa sebentar lagi, kita akan sampai ke orang tuamu, Saki. ---pikirnya terus berjalan.

"Jawablah panggilannya, aku mengijikanmu menjawab panggilannya. Tapi, hancurkan terlebih dahulu teleponnya." kata seseorang dari earing bluetooth di telinga kirinya. Tanpa basa-basi dia segera mengambil earing bluetoothnya dan menghancurkannya dengan satu kali remukan.

"Saki...aku disini." jawab gadis sambil tertatih-tatih ketika berjalan. Saki perlahan membuka matanya dan menoleh ke suara yang lembut itu.

"Kahime...kamu disini. Syukurlah, kamu ada disini." balasnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis.

"Iya, sebentar lagi kita akan menghampiri orang tuamu. Bertahanlah sedikit lagi. Sesampainya disana aku akan memberimu obat." tutur gadis yang dipanggil 'Kahime' dengan lembut tanpa menoleh ke arahnya.

"Tidak perlu obat pun aku masih bisa bertahan." sahutnya terkekeh kecil dan termangu sesaat. Dia berhenti dan menoleh ke arahnya, wajah mereka kini 5 cm cukup dekat. Ia melepas pegangannya dan memegang kedua bahunya.

Mata lavendernya membulat berkaca-kaca ketika bertatapan langsung dengan mata biru yang menatapnya secara intens.

Saki memeluk erat dirinya dan meringis masih merasakan rasa sakit yang dia dapat dari para gangster di tubuhnya. "Kahime, aku..ka..mu." perkataannya tak terdengar jelas olehnya.

Dia terbelalak bingung lalu membalas pelukannya pelan dan melepas pelukannya.

"Saki, coba ulangi apa yang kau katakan padaku." pintanya memegang kedua tangannya.

"Tidak mau." sahutnya singkat lalu mencium pelipis kanan Kahime lembut. "Sampai jumpa, gadisku." bisiknya pelan, kemudian ia pingsan jatuh ke tanah.

"Saki!" teriaknya cemas dan langsung mendekapnya.

Sedekat itu kah kami? Apa sudah waktunya kembali? Aku merasakan sesuatu yang aneh.

"Kahime, kumohon bangunlah. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku harap kamu mendengarku." panggilanseseorang terdengar jelas olehnya.

"Saki?" tanyanya heran dan melihat sebuah cahaya putih di depannya, lalu dia menyunggingkan senyuman manis di wajahnya, kemudian masuk ke dalam cahaya tersebut.

*****

"Ternyata kamu cengeng banget, ya."

avataravatar
Next chapter