6 Lost Way-2

Kahime meremas bajunya di bagian dada sambil mengatur pernapasannya. Sensuke yang melihatnya heran dan muncul rasa penasaran terhadapnya.

Cewek sialan, apa dia berusaha menipuku? Tapi,jika kuperhatikan lagi dia terlihat lebih pucat daripada sebelumnya dan cara bernapasnya tidak wajar. Sebenarnya, ada apa dengan cewek ini?!---- pikir Sensuke berhenti dan diam tapi,tetap waspada.

"Tuan muda!!" panggil anak buahnya dari belakang.

"Tidak apa, aku baik-baik saja. Hanya dia yang kelihatan tidak baik." Balas Sensuke tanpa menoleh, masih menatap intens gadis itu.

Gawat. Aku mulai lemah disaat seperti ini. Dadaku sangat sesak, rasanya sulit sekali untuk bernapas. Harus ke pinggir, harus bisa.---- desahnya dalam hati.

Lalu dia berjalan ke pinggir penghalang jembatan dengan terpencal-pencal sembari mengatur pernapasannya. Kemudian bersandar pada tiang besarnya.

Sensuke memasukkan kembali kedua belati ke dalam lengan jaketnya.

"Tuan muda, ada apa?" tanya salah satu anak buahnya gelisah.

Dia hanya diam menatap gadis itu, matanya tampak benci dan sedih.

"TUNGGU!!!" teriak Yuri menghampiri mereka di jembatan.

"Hentikan ini semua!" bentaknya kesal.

"Hei! Ini bukan urusanmu." Cetus Sensuke dingin.

"Siapapun yang sudah membuat masalah dengan anggota Naga Putih harus mendapat balasan yang setimpal." Sambungnya berjalan menghampiri Kahime.

Dia berhenti menjaga jarak satu meter dari tempat Kahime.

"Apa yang kau tunggu? Bukankah..... hah.... hah... kau ingin .....membalas....untuk anak buahmu?" tanya Kahime gugup dengan napas tersengal-sengal.

Sensuke hanya memandangnya dalam diam, sedangkan Kahime mulai kesulitan untuk bicara apalagi bernapas.

Kenapa ada cewek seperti dia? Dia tampak kuat pada awalnya dan saat dia tidak bisa lagi bertahan, barulah kelemahannya terlihat. Sama persis seperti dia, hanya saja aku tidak pernah tahu siapa namanya. Tapi, kenapa perasaan ini sama seperti waktu itu? Mungkinkah cewek ini adalah dia,dia yang selama ini kutunggu dan kucari.

"Tuan muda!!" tegur anak buahnya, membuat Sensuke terbangun dari lamunannya.

"Hah?!" dia terkejut spontan pupilnya mengecil, ketika mengetahui Kahime bersanggar di balkon jembatan.

Rambut putih yang tergerai ditiup angin menari-nari dan mata lavender itu memandang kosong mereka.

"Hei, apa yang-....?!" belum selesai Sensuke bicara, gadis itu langsung melompat dari tempatnya.

BYUURRRR!!!

Kahime melompat dan jatuh ke dalam sungai, yang berjarak 200 meter dari balkon jembatan dan sungai yang kedalamannya 20 meter.

Sensuke segera ke balkon, matanya mencari-cari sosok yang melompat tadi dan belum mendapatkannya.

"KAHIIMEEE~~~~!!!!" teriak Yuri dengan sangat keras dan lantang sampai menggema.

"Kalian, tetaplah disini!" Tegas Sensuke melepas jaketnya.

"Tuan muda, apakah anda akan menyelamatkan cewek itu?" tanya anak buahnya gugup.

"Kelompok kita bukanlah pembunuh. Meskipun begitu, pertarunganku dengannya belum selesai." Cetusnya kesal.

"Tuan muda, sudah ada orang lain yang berusaha menolongnya." Balas anak buahnya gugup.

********

Kahime terombang-ambing setengah sadar, dia kesakitan di dada dan perutnya.

Apakah aku akan mati disini? Yuri, maaf. Siapa pun tolong aku.

Tangan ini, kuharap aku menggapai tangan seseorang yang menolongku.

Sebuah tangan besar menarik tangannya, kemudian sosok itu membawanya berenang ke permukaan.

"Hah.....Kahime! Bertahanlah!!"

Tak lama kemudian...

Setelah sampai ke tepi sungai, sosok pemuda berambut pirang mata biru itu, membaringkannya dengan perlahan.

"Kahime, sadarlah." Panggil pemuda itu menepuk pelan pipi kanannya. "Wajahnya pucat sekali, apa yang sudah terjadi padanya?... darah?" pemuda tersebut terkejut melihat luka tusukan di perutnya.

"Yu...ri...uhuk.... uhuk...." rintih Kahime setengah sadar.

"Kahime?! Syukurlah, kau sudah sadar. Sekarang kita harus segera mengobati lukamu. Kau terluka cukup parah." Tutur pemuda itu segera menutupinya dengan jaket untuk menghangatkannya. Kemudian menggendongnya ke atas bukit.

"Yuri... Yuri...."

"Bertahanlah, aku akan menolongmu." Ucap pemuda itu mempercepat langkahnya dengan hati-hati.

Di atas bukit...

Seorang gadis sembilan tahun berambut pirang sedang duduk dikursi bersama seorang wanita tiga puluh tahunan.

"Ibu! Sasha!" panggil pemuda tersebut membuat dua orang itu terkejut.

"Saki?... dia, apa yang sudah terjadi? Kenapa sampai basah kuyup begini?" tanya ibu pemuda tersebut khawatir.

"Dia tenggelam di sungai karena jatuh dari jembatan dan luka di perutnya aku tidak tahu, ibu kita harus bawa dia ke rumah sakit!!" tegurnya panik.

"Baiklah, ibu yang akan bawa mobil. Sasha, kamu duduk di depan dengan ibu. Saki, kau tetap bersamanya." Cetus ibunya membuka pintu kiri belakang mobil. Lalu, Saki masuk dengan perlahan dan hati-hati.

"Awas, kepalanya. Cepat tutup pintunya. Gunakan selimut ini untuk menghangatkannya." Ujar ibunya membalutkan selimut pada gadis yang berada di pangkuan putranya. Sasha yang sudah duduk di kursi depan hanya diam memperhatikan gadis yang tak sadarkan diri itu.

"Sudah selesai, sekarang kita berangkat." Sambungnya segera masuk ke dalam mobil, lalu menyalakan mesin, dan menancap gas. Kemudian mobil melaju dengan cepat.

********

Sesampainya di rumah sakit yang dituju, mereka segera membawa Kahime ke UGD.

"Perawat, cepat tolong dia. Dia kedinginan dan terluka." Kata Saki membaringkannya di atas kereta tandu.

"Baik, tapi anda harus tetap disini menunggunya. Kami yang akan mengurus pacar anda." Balas perawat perempuan mencegahnya masuk ke dalam karena sedang dilakukan pemeriksaan.

Saki terkejut dalam diam dan membeku ditempatnya.

Pacar? Aku dan Kahime? Tapi, itu tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin dan kenal dia di sekolah. Mana mungkin kami berpacaran, kami hanyalah teman. Dia sendiri yang bilang begitu, matanya yang indah seindah bunga violet yang dijatuhi cahaya matahari. Matanya menunjukkan kebahagiaan, akan tetapi terasa berat.----- pikir Saki bimbang. Mata birunya berkaca-kaca menatap pintu UGD yang tertutup dan masih dalam pemeriksaan Kahime.

Seseorang menghampiri Saki, lalu menepuk bahunya.

"Kau tidak usah khawatir nak, dia akan baik-baik saja." Kata pria tiga puluh lima tahun berambut coklat, bermata biru , berkacamata, dan berjenggot tipis di dagunya.

"Ayah?!" tanya Saki kaget saat menoleh ke kiri dan ternyata ayahnya.

"Ada apa? Bukankah, kamu sudah terbiasa dengan situasi saat ayah bertemu denganmu?" tanya balik ayahnya heran.

"Bukan itu, ada yang aneh dengan wajah ayah." Jawabnya gugup. Lalu memberikan cermin kecil pada ayahnya.

"Memangnya apa yang aneh? Aku pikir biasa saja... Hah?!" teriak singkat ayahnya terkejut setelah bercermin. Wajahnya penuh dengan coretan acak kadul dan bola merah menempel di hidungnya. "A-apa ini?! Kenapa wajahku jadi begini?!" sambungnya histeris berlebihan.

"Hihihi.... hihihihi.... berhasil membuat ayah jadi badut. Hihihi....." suara anak perempuan terkekeh membuat ayahnya tersenyum.

"Oh, ternyata ada yang mengerjaiku. Emmm, siapa ya kira-kira? Saki, apa kau tahu?" tanya ayahnya mengacuhkan gadis sembilan tahun di belakang Saki.

"Tidak, aku tidak tahu." Jawabnya mengangkat kedua tangan dan menggeleng kecil. "Apa ada sesuatu yang menarik?" sambungnya heran.

"Tentu saja, kalau ada yang mau ngaku atau ada yang menangkap orang yang melakukannya akan kuberi hadiah." balas ayahnya sembari mengelus jenggot tipisnya.

Hadiah?!--- bak petir menyambar pikiran mereka setiap kali mendengarnya, apalagi dari ayahnya. Akhirnya mereka punya ide agar sama-sama dapat hadiah.

"Aku yang melakukannya!!" tegas anak perempuan sembilan tahun yang muncul dari persembunyiannya. Lalu berdiri di depan Saki dan ditangkap olehnya.

"Aku berhasil menangkapnya!!" tegasnya mengangkat dan memberikan anak itu pada ayahnya.

"Kalian ini, selalu saja bertindak aneh-aneh kalau demi hadiah." Cetus ayahnya gemas dengan kedua anaknya. "Ini, coklat silverqueen. Ayah, baru saja beli dan kebetulan sekali dapet bonus. Beli dua gratis satu." Sambungnya memberi Saki dua silverqueen dan anak perempuannya satu.

"Kak, yang satu berikan pada dia saja." Ujar adiknya langsung to the point, membuat Saki ngefly. Walaupun wajahnya tidak memerah, tapi dari wajahnya sudah jelas sekali kalau dia ingin berbagi dengan Kahime.

"Dokter Randi, pasien yang baru saja di periksa membutuhkan donor darah." Tutur perawat yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaaan.

"Apa golongan darahnya?" tanya Saki menyela.

"Golongan darahnya, A." Jawab sang perawat dingin.

"Bagaimana keadaannya?" tanya ayah Saki yang dipanggil 'Dokter Randi'.

"Dia kehilangan banyak darah karena tusukan pada bagian perut, pernapasannya tergangu karena asam lambung yang naik, dan dehidrasi ringan karena kekurangan cairan." Jelas perawat tersebut khawatir.

"Ada apa?" tanya Dokter Randi heran.

"Sekarang stok darah untuk golongan A tidak ada, selain itu jika tidak segera ditolong pasien akan mengalami koma atau kematian." Tuturnya gugup.

Saki tercengang, hatinya terasa sakit dan hampa mendengar penjelasan dari perawat tersebut.

"Aku akan jadi sukarela, golongan darahku A+." Cetus Saki mengajukan dirinya sebagai sukarelawan untuk mendonorkan darahnya dan diberikan pada Kahime.

Ayahnya- Dokter Randi, menghela napas lega bahwa putranya mau mendonorkan darahnya.

"Baiklah, kami akan memeriksa anda dan segera melakukan transfusi darah." Tutur perawat tersebut mengajaknya ke ruangan untuk melakukan pemeriksaan dan tranfusi darah.

Di ruang tranfusi darah.....

"Silahkan berbaring di sini, tranfusinya akan segera dilakukan." Tutur perawat mengeluarkan peralatan yang sudah disiapkan untuk tranfusi darah.

"Baik." Balasnya langsung berbaring di kasur yang sudah disiapkan berjarak setengah meter dari Kahime.

********

"Kahime, kenapa dia membiarkan dirinya terus seperti itu?" gumam Yuri bertanya pada dirinya sendiri.

"Maaf, sepertinya kau harus pulang sekarang. Ini sudah mau malam." Ujar Sensuke jongkok di depannya.

"Aku tidak mau, kaesu.... watashi no tomodachi kaesu.... " balasnya dingin.

"Kimi wa baka onna." Cetus Sensuke mendengus kesal.

"Kamu, mengerti apa yang aku katakan?" tanyanya kaget tidak percaya. Dan tiba-tiba, matanya terbelalak setelah melihat wajah Sensuke. Tangan kanannya melayang mau menampar pemuda tersebut dan ditangkap dengan kencang. "Gara-gara kamu, temanku... dia....aku... aku kehilangan dia!!" sambung Yuri membentak kesal padanya.

"Diam!! Temanmu sudah diselamatkan orang lain, aku yakin dia akan baik-baik saja. Percayalah padaku." Tutur Sensuke berusaha menenangkannya.

"Bagaimana bisa aku percaya padamu?!" tanya Yuri sangat kesal yang sedari tadi menahan isak tangis.

"Kami tidak akan melukai sahabatnya ataupun menyentuhnya, dan tidak ada pengecualian jika kami datang untuk memberinya pelajaran. Selain itu..." perkataannya terpotong.

"Apa yang kamu inginkan? Cepat katakan!!" Yuri semakin kesal sehingga air matanya tidak bisa lagi dia bendung.

"Gadis itu, siapa namanya?" tanya Sensuke pelan.

"Kenapa kau ingin tahu namanya, dia sama sekali tidak ingin orang jahat sepertimu mengetahui namanya." jawabnya lirih sambil menghapus air matanya.

"Katakan saja, siapa namanya?" tanyanya sekali lagi dengan tubuh gemetar.

"Jika kau sudah tahu namanya, apa yang akan kau lakukan?" tanya Yuri curiga.

"Entahlah, mungkin dengan mengetahui namanya. Aku mungkin, bisa membiarkannya." Jawabnya menahan gemetar tubunya.

"Kalau begitu, akan kuberitahu. Tapi, ada syaratnya." Balas Yuri dengan membuat kesepakatan.

"Apa syaratnya?" tanyanya penasaran.

"Jangan bilang kau tahu namanya dariku." Jawabnya mengacungkan telunjuk di depannya.

"Kau khawatir, kalau temanmu itu akan marah padamu saat ditanya darimana aku tahu namanya dan kujawab darimu?" tanya balik Sensuke. "Baiklah, aku tidak akan bilang. Jadi, cepat beritahu aku namanya." sambungnya tidak sabar.

"Kahime. Kahime Murasaki, itu namanya. Beneran lho ya, tidak akan bilang padanya." cetusnya gugup.

"Kahime... Murasaki.... Hmm, baiklah aku tidak akan beritahu dia. Terima kasih, sudah memberitahuku namanya." balasnya berdiri lalu beranjak dari tempatnya meninggalkan Yuri.

"Sama-sama." Yuri berdiri lalu menatap langit malam yang dihiasi taburan bintang.

Kahime,gomenne.--- batinnya dalam hati.

********

Selesai melakukan tranfusi darah sang perawat menyarankan Saki untuk istirahat. Lalu dia pasrah karena lemas setelah melakukan tranfusi darah. Kemudian terdengar suara langkah kaki kecil memasuki ruangan tersebut.

"Kakak." Panggil gadis kecil yang menghampirinya, dengan memeluk boneka teddy bear jingga berpita di telinga kanannya.

"Sasha, ada apa? Dimana ibu?" tanya Saki lemas.

Sasha duduk di kursi yang berada di tengah antara Saki dan Kahime. Lalu mata birunya yang bulat melirik Kahime, kemudian melirik kakaknya-Saki. Ia bingung apa yang sedang dilakukannya dengan melirik Kahime dan dirinya.

"Kak, apa dia pacarmu?" tanya Sasha datar. Saki pun terpekik karena mereka berdua baru kenal lima jam di sekolah. "Kalau diam berarti jawabannya-..." belum selesai dia bicara, ia segera menanggapinya.

"Bu-bukan! Haduh~.....Dia bukan pacarku, kami baru kenal di sekolah selama lima jam. Mana mungkin, tiba-tiba pacaran. Kamu ini masih kecil, kok mikirin begitu." Celatuknya gelagapan mengelus lembut kepala adiknya.

"Habis, waktu kakak sudah kembali. Kakak terlihat sangat khawatir dan panik, takut kalau dia kenapa-napa." Cetus Sasha menutupi sebagian wajahnya dengan boneka kesayangannya.

"Gimana gak khawatir sama teman sendiri? Kamu ini loh~." Ucapnya gemas dengan mencubit pelan pipi adiknya.

"Teman?" tanya Sasha bingung.

"Iya, teman. Kamu setidaknya bisa punya teman kok, dek. Kakak yakin itu." jawab Saki meyakinkan adiknya dengan tersenyum.

"I-iya, aku akan berusaha." Balasnya gugup. Setelah itu, dia memandang Kahime dengan sendu dan sedikit khawatir. "Teman kakak ini, siapa namanya?" sambungnya mulai penasaran.

"Namanya, Kahime Murasaki. Dia ini tinggal di sebelah rumah, lho." Sahutnya dengan nada lebay.

"Aku tidak tahu, kalau teman kakak tinggal di rumah sebelah yang besar itu." balasnya termangu menoleh pada Saki dan kembali memandang Kahime yang belum sadar. "Aku boleh main ke rumahnya tidak ya?"

"Yah, kalau itu kita tunggu dia sampai sembuh. Untuk sementara, tapi kamu mau kan merawatnya saat kakak masih sekolah? Soalnya, kamu pulang sekolahnya lebih awal dan juga bersama ibu." Pinta Saki mengajak adiknya berjabat tangan untuk saling sepakat.

"Umm, oke. Tapi, kakak harus memberiku dua roti melon per hari sampai teman kakak sembuh." Balas adiknya sepakat menjabat tangan kakaknya.

"Oke, deh. Soal roti melon itu gampang." Celatuknya meringis bersama adiknya.

"Hore~. Aku akan merawatnya dengan baik." Balas adiknya semangat dengan senyum simpul menggantung di wajah imutnya.

Sejak saat itu mereka pun mulai bergilir merawat Kahime sampai sembuh.

avataravatar
Next chapter