4 Looking Different-2

"Wah, kamu keren juga kalau dilihat dari bawah sini. Kahime." kata orang itu halus.

"Apakah itu semacam pujian? Atau lebih tepatnya ejekan yang serupa dengan hinaan mereka?" tanya Kahime acuh tak acuh.

"Yah, aku sama sekali tak berniat mengejek. Kan' aku tidak tertarik dengan hal yang tidak berguna itu." jawabnya kesal.

Dia menghela napas pelan mendengar jawabannya.

"Souka? Begitu ya?" gumamnya pelan mengangkat kepala ke atas dan tersenyum dibalik rerimbun dedaunan pohon itu.

Rambutnya menari-nari mengikuti arah angin, mata lavender itu membulat, dan senyuman manis tak terduga menggantung di wajahnya.

Cewek ini, berbeda dari para cewek yang biasanya aku temui. Biasanya malu kalau ketemu cowok yang lihat dia diatas pohon, gimana enggak orang dia sendiri pakai celana pendek diatas lutut.

Kalau aku perhatikan, dia cantik juga.

Heh, kalau aku berpikiran kayak gitu, bisa-bisa aku kena pukul dia lagi. Kapok dah. ---- pikir Saki gelisah.

"Yu-chan, sepertinya kita ada tambahan orang." kata Kahime turun dengan melompat dari atas dan mendarat mukus tepat di depan Saki. Dia termangu dan mengerjipkan matanya beberapa kali, seolah tidak percaya apa yang dia lihat.

"Kamu melompat dari atas dahan itu?" tanyanya heran.

"Iya, aku baru saja menyentuh tanah dan mendarat tepat di depanmu." jawab Kahime sombong.

"Hah, kau pasti bercanda 'kan? Bagaimana bisa cewek kayak kamu bisa turun semudah itu? Pasti ada alat bantunya, iya' kan?" tanyanya masih tidak percaya sampai gugup.

"Dasar, apa matamu tidak bisa melihatnya dengan jelas? Kalau aku pakai alat bantu itu akan membuang-buang waktu. Jadi, percaya atau tidak itu terserah kamu. Lagipula, ini sudah menjadi kebiasaanku. Kamu gak usah khawatir, aku ini bukan cewek cengeng." jelas Kahime lagi-lagi dengan berbesar hati.

"Oh iya, tadi kau bilang 'sepertinya kita ada tambahan orang', apa maksudmu?" tanyanya bingung keheranan.

"Huft---3, kamu ini sudah menjadi teman kami dengan sah." jawab Kahime girang, --- saking senangnya dia memukul pelan bahu Saki.

"Pukulanmu tidak sakit sama sekali. Tapi, kenapa kemarin malam pukulannya sakit sekali ya?" tanyanya penasaran sambil memegang tangan kanan Kahime.

"Heh?!" Kahime kaget.

Yuri tertegun, wajahnya pucat pasi dicampur keringat dingin, dan bibirnya bergetar ketakutan.

"Padahal tanganmu kecil, tubuhmu ideal, kulitmu mulus. Bagaimana bisa punya tenaga sebesar itu?" tanyanya heran mengusap-usap punggung tangan kanan Kahime.

Itu membuatnya geram dengan mengepalkan tangan kanannya.

"Omae..." gumam Kahime menatapnya tajam dan mematikan.

"Saki, kamu harus segera melepas pegangan tanganmu atau tak sadarkan diri." ujar Yuri gugup.

"Ada apa? Memangnya kenapa? Kan' cuma pegangan tangan, apa masalahnya?" bantah Saki heran.

"Lepas." gerutunya menggeram.

"Ada apa? Kenapa aku harus melepasnya? Bukankah kita sudah jadi teman?" goda Saki mendekatkan wajahnya dengan Kahime.

Sebuah tinju melayang ke wajahnya dan seketika membuatnya ambruk.

BUAK! BRUK!

Hosh..... Hosh.... Hosh....

"Itulah akibatnya jika menyentuhku." tegur Kahime mengancamnya.

"Maaf, aku tidak bisa membantumu." kata Yuri pasrah.

"Gila, dia itu cewek tomboy. Pasti, cowok yang naksir dia bakal takut." gerutu Saki terlentang di tanah dengan pipi kanan memar.

"Woi, sampai kapan kamu begitu terus?" tanyanya dalam posisi jongkok di atas Saki.

" Sampai waktu istirahat habis." jawab Saki kesal.

"Apa kau mau ikut denganku?" ajaknya sedikit ragu, karena tadi dia refleks memukulnya.

"Buat apa ikut kamu?" tanyanya kesal dengan menutupi wajahnya, menggunakan tangan kanannya.

"Itu... Untuk mengobati lukamu." jawab Kahime mengalihkan pandangannya. "Maaf, tadi aku memukulmu. Itu juga salahmu, karena tidak segera melepas peganganmu. Jadi... Aku refleks memukulmu." tuturnya sebal.

"Oh.....kukira kau sengaja melakukannya. Baiklah, aku akan ikut. Tapi..." Saki memotong perkataanya, dia bangun mendekati Kahime, lalu tangan kirinya mengangkat dagu Kahime. Sehingga manik mereka saling bertemu.

"Tapi apa? Kalau kau berbuat macam-macam denganku, aku tidak segan-segan menghajarmu lebih parah daripada ini." ucap Kahime memperingatkannya, tanpa mengalihkan tatapannya dari pemuda pirang itu.

"Ada syaratnya, jika kau mau melakukannya aku akan ikut." balasnya melepas tangannya dari dagu gadis tersebut.

"Syarat? Apa syaratnya? Aku mau saja melakukannya, asalkan itu juga tidak menyeleneh seperti mereka yang di atas." ujar Kahime menunjuk dengan malas pada dua orang yang berdiri di atas genteng sekolah.

Saki terpekik setelah melihat apa yang ditunjuk olehnya, dua orang pemuda berjalan di atas genteng sekolah sambil membawa lima buku besar di atas kepala mereka.

"Apa yang mereka lakukan?! Bukankah itu sangat gila?!..... M-mere-mereka bisa terluka, jika melakukan sedikit kesalahan." cetusnya gelagapan, masih tidak percaya denan apa yang sudah dia lihat.

Gila bener dah. Apa mereka sudah tidak waras? Untuk apa mereka melakukan itu semua? Bukan hanya luka, kematian bisa saja menemui mereka. Jadi, dia berkata seperti itu karena tidak mau seperti mereka. ------pikir Saki tak mau merepotkan gadis itu.

"Baiklah, sudah ditentukan." tegasnya penuh percaya diri, lalu berbalik pada gadis itu dan tersenyum.

"Heh? HEEEEEEEE-----------HH????!!!!----"

********

"Kupikir kau tidak akan peduli padaku setelah marah tadi. Ternyata aku salah." kata pemuda pirang itu menggantungkan senyum kecil di bibirnya.

"Jangan senang dulu. Aku bisa saja seperti orang jahat, jika aku bisa melakukannya." balasnya kesal menepuk pipi pemuda yang baru saja diobati.

"Apa maksudnya? Ada kalanya kita baik kepada seseorang dan menjadi jahat karena sesuatu yang sulit dijelaskan." tutur pemuda itu memandang gadis berambut putih yang sudah mengobati lukanya dan kini sedang berdiri di depannya. Gadis itu diam, lalu mengambil napas perlahan berusaha mengatur pernapasannya.

Tangan kanannya mengepal erat, iris biru bening itu menciut. Pemuda itu terkejut, sebuah pukulan yang tidak begitu kasar, akan tetapi tetap saja itu menyakitkan. Pukulan yang ditimpakan pada diri sendiri.----- Gadis itu, Kahime Murasaki memukul dadanya sendiri. Temannya hanya diam mengamati, sama sekali tidak ada niat menghentikannya. Sedangkan pemuda itu, dia tercengang. Sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dilakukan seorang gadis dengan memukul dadanya sendiri.

"...."

Hening. Seisi ruang UKS menjadi sunyi, setelah gadis itu berhenti memukul dadanya. Ketiganya masih diam, belum ada yang memulai pembicaraan. Kemudian, gadis itu beranjak dari tempatnya.

"Terima kasih." kata pemuda pirang itu, ketika gadis tersebut mulai melangkahkan kakinya.

"Itu, bukan masalah. Sebentar lagi, waktu istirahat tinggal beberapa menit saja. Sebaiknya kita segera kembali ke kelas." balasnya tanpa menoleh.

"Iya." sahutnya gugup.

Kemudian mereka bertiga keluar dari ruang UKS.

"Yuri, kamu kembali kelas dulu bareng Saki. Aku mau ke toilet."

"Oh, ya. Sebaiknya kamu juga cepat, habis ini pelajaran olahraga." ujar Yuri agak berteriak.

"Um." sahutnya mengangguk kecil.

Setelah gadis rambut putih itu pergi, mereka berjalan ke arah sebaliknya untuk menuju ke kelas.

Di tengah langkah kaki dalam perjalanan menuju ke kelas. Pemuda rambut pirang itu mulai berbicara.

"Anu, apa kau tahu kenapa dia seperti itu?" tanya pemuda itu heran.

Yuri menghentikan langkah kakinya.

"Aku tidak tahu." jawabnya singkat acuh tak acuh, akan tetapi sangat jelas dalam sorotan mata jingga itu dia mengetahuinya, dalam tatapan yang dingin.

"Apa dia sering melakukannya?" dia kembali bertanya dan itu terdengar lirih.

"Tidak begitu sering, hampir setiap hari dia melakukannya." jawabnya dingin.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya pemuda itu tampak khawatir.

"Saki, kita harus kembali ke kelas. Dan kalau kau khawatir dengannya, jangan sampai terlalu jauh." jelas Yuri melanjutkan langkah kakinya menuju kelas dan diikuti pemuda itu dari belakang.

********

Kahime membasuh wajahnya berkali-kali. Lalu, memandang kosong dirinya dari cerminan kaca dinding didepannya.

"Aku... Apa... Aku.... Apakah aku masih pantas mendapatkannya lagi? Tapi,...kenapa....hiks....hiks.....kenapa?... Kenapa?!" dia menggerutu tidak jelas, emosinya tidak terkontrol. Dia berteriak histeris, meraung seperti singa, dan menangis dengan air mata yang mengalir deras.

Kepalanya berdenyut-denyut keras sehingga rasa sakit yang sangat membuatnya pingsan.

Kenapa? Kenapa harus seperti ini?

avataravatar
Next chapter