webnovel

Selamat tinggal, SMP

Baru saja jutaan air mata jatuh membasahi Bumi, ada air mata kebahagiaan, ada juga air mata kesedihan. Air mata itu bercampur tepat di depan mading setiap sekolah. Air mata kebahagiaan itu berhenti seketika melihat teman yang berada di depan mading ada yang tidak lulus. Tidak ada waktu bagi mereka meluapkan rasa bahagia. Cat semprot yang berada di tas mereka, sama sekali tidak keluar. Hanya orang bodoh yang merayakan kelulusan mereka dengan menyemprotkan cat semprot di bajunya, sementara di sekitarnya ada temannya yang duduk bersandarkan tembok sambil menangis, karena melihat nomor ujian mereka tidak ada di mading.

"Jadi tidak nih?" Aris mengeluarkan cat semprotnya saat suasana mulai tenang.

"Kamu semprot saja sendiri!" Imam.

Oji mengabaikan Aris dan Imam, dia berjalan ke Adri, salah satu teman baiknya. Adri masih bersandar di tembok sambil menundukkan kepalanya di lutut.

"Sorry." Oji berbisik. Oji tidak sempat memberi contekan ke Adri karena waktu ujian sudah habis.

"Sorry." Oji mengulanginya lagi.

Dan akhirnya Adri merespon "Ngapain minta maaf, kamu tidak salah apa-apa." Berbicara dengan lusuh sambil masih menyandarkan kepalanya di lutut.

Dari wajah Oji, dia menunjukkan ekspresi sangat bersalah atas ketidak lulusan Adri.

"Masih ada tahun depan." Oji berusaha memberi semangat ke Adri, disusul dengan Aris dan Imam. Mereka juga memberi semangat ke Adri.

Aris menarik tangan Adri keluar dari pagar sekolah. Adri masih menundukkan kepalanya ketika ditarik, dia malu, memperlihatkan mukanya yang cengeng. Aris masih menarik Adri, jauh dan semakin jauh dari sekolah. Oji dan Imam mengikutinya. Langkah Aris berhenti, dia sudah merasa aman dari pengawasan guru. Aris mengerluarkan kembali cat semportnya, dia menyemprotkannya ke Adri. Menulis namanya, menulis nama cewek yang Adri suka, menulis nama guru yang paling Adri takuti. Wajah murung Adri menghilang, senyuman sedikit muncul di wajahnya bercampur dengan air mata yang sudah mulai mengering di pipinya. Mereka berempat tertawa sambil bergantian menyemprot ke baju masing-masing.

***

Begitu banyak berita yang beredar anak sekolah stres, sampai bunuh diri karena tidak lulus ujian nasional. Tiga tahun kita bersekolah, hanya satu minggu yang menentukan segalanya yaitu ujian nasional. Oji selalu bermimpi mudah-mudahan ujian nasional bisa hilang untuk generasi anak sekolah berikutnya. Oji mengalihkan pikirannya, yang tadi sibuk memikirkan tentang dunia pendidikan, sekarang beralih untuk mempersiapkan diri untuk ke dunia baru, dunia di mana kita akan menemukan jati diri kita, yaitu masa putih abu-abu. Masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah, putih abu-abu adalah dunia yang penuh canda dan tawa. Tidak ada yang mampu melupakan kenangannya di masa ini dan selalu berkhayal dapat kembali di masa putih abu-abu. Di sana lah kisah kasih sekolah yang paling indah dimulai.

Pagi ini Oji harus mengikuti tes untuk masuk ke SMA, dia begitu semangat karena yakin bisa menjawab soal dengan cepat dan tepat. Oji sudah dijanjikan kunci jawaban dengan teman ayahnya yang mengajar di sana. Sebenarnya ayahnya tidak setuju dengan ini, katanya melihat kunci jawaban itu adalah perbuatan yang curang, itu sama saja mencuri. Tapi menurut Oji melihat kunci jawaban itu tidak apa-apa sih, tidak semua orang di dunia ini diciptakan cerdas di semua mata pelajran oleh Tuhan. Sang pencipta memberikan manusia kecerdasan yang berbeda-beda. Ada yang pandai berhitung, ada yang gampang mengingat Sejarah, ada yang fasih berbahasa Inggris, Ada anak yang ahli komputer, ada yang berbakat memainkan alat musik, ada yang sangat senang dengan Biologi. Oji adalah anak yang senang dengan Biologi. Tidak begitu cerdas dengan Biologi, tapi Oji sangat bahagia ketika belajar Biologi. Apalagi ketika memasuki bagian mengenai sistem reproduksi. Gairah belajar Oji tak terkalahkan.

Tesnya dimulai jam delapan, sekarang sudah jam delapan dan Oji masih di rumah. Begitulah Oji, tiada hari tanpa telat. Bahkan hal sepenting ini pun masih telat. Baginya telat itu sudah biasa dan menjadikan telat sebagai hobi tapi orang tuanya tidak suka dengan hobinya. Menurut Oji, hobinya punya manfaat, tidak terlalu serius dengan aturan membuat kita bebas dengan namanya penyakit stres.

Berhubung belum bisa naik motor, Oji diantar ke sekolah. Kayaknya tidak wajar, dia sudah berumur lima belas tahun tapi belum bisa naik motor. Menurutnya ini sungguh memalukan. Yang lebih malu saat dia melihat anak SD balapan motor, harga dirinya seperti dinjak-injak. Yaah begitulah, Oji sulit mengendarai motor karena dia adalah anak yang terlahir sebagai manusia bertangan kidal. Dia kurang bisa mengontrol gas dengan tangan kanan, seandainya gas motor di sebelah kiri, dia yakin bisa mengendarai motor dengan baik, sebaik Valentino Rossi.

Oji sudah sampai ke calon sekolah barunya, tepatnya SMA 1994. Tanpa mencium tangan ibunya, dia langsung berlari menuju ruangan ujian karena mengetahui dirinya sudah terlambat. Belum resmi sekolah di sana, Oji sudah memberi kesan yang buruk. Di saat Oji berlari menuju ruang ujian handphonenya berdering. Ada sebuah pesan masuk, kunci jawaban!.

Tok tok tok Oji mengetuk pintu dengan gugup "Tadi sebelum ke sini, saya antar adik dulu ke sekolah, Bu." alasan palsu yang dia buat.

Walaupun hobinya telat tapi ini adalah momen menakutkan dalam hobinya ketika mengetuk pintu dalam keadaan terlambat. Semua mata tertuju padanya saat mengetuk pintu.

"Anak yang baik, kamu masih bisa mengantar adikmu di saat ujian seperti ini. Silakan masuk!" Untung ibu gurunya baik.

Bangku kosong hanya ada dua, di baris ketiga dan pertama. Di baris ketiga adalah tempat yang bagus untuk melihat kunci jawaban. Oji langsung menuju bangku baris ketiga. Di sampingnya ada seorang cowok yang lembar jawabannya masih kosong. Oji tersenyum tipis melihat nasib anak itu.

Dengan penuh percaya diri Oji menjawab soal yang berada di depannya, masalah hanya satu yaitu cara jawabnya harus dibulati seperti ujian nasional. Hal seperti ini yang buat dia frustasi, Oji orangnya kalau mengerjakan lembar jawaban seperti itu, pasti kotor. Apalagi dia kidal, setiap pergerakan tangannya akan selalu menyentuh bulatan-bulatan yang dia sudah lingkari. Kalau kotor walaupun jawaban benar semua tetap saja tidak lulus. Bagaimanapun dia harus menjawab soal dengan lembar jawaban seperti itu.

Tok tok tok masih ada yang lebih telat dari pada Oji, rekor telatnya dikalahkan. Tapi tidak apa-apa menurutnya, seandainya dia yang paling telat pasti tidak ada pilihan lain selain duduk di bangku barisan depan. Anak lelaki itu duduk di bangku barisan depan dengan ekspresi wajah yang keberatan. Oji akan melakukan ekspresi yang sama jika berada di posisi seperti dia.

"Bu, kayaknya ada yang salah deh. Ini bukan tempat duduk saya. Soalnya bukan nomor tes yang saya punya." Protes anak lelaki tersebut, dan Oji baru tahu kalau tempat duduk sudah di tentukan sebelumnya sesuai nomor tes. Oji melihat nomor yang tertempel di mejanya, ternyata tidak sama dengan nomor tes yang dia miliki. Oji adalah orang yang mengambil meja anak tersebut. Oji mulai berpikir, Bagaimana dirinya bisa melihat kunci jawaban yang dia miliki kalau duduk di bangku paling depan. Oji berdiri dari kursinya sambil menggaruk-garuk rambutnya. Sekarang, kunci jawaban itu menjadi sia-sia.

Oji hanya menatap pemandangan di sekitarnya, sudah banyak lembaran yang dipenuhi bulatan hitam. Oji tidak tahu kalau itu jawaban hasil mereka sendiri atau melihat kunci jawaban seperti dirinya. Oji mulai beraksi lagi, memberanikan dirinya daripada tidak mencoba sama sekali. Oji menaruh HPnya di paha untuk melihat kunci jawaban, jika pengawas tidak memperhatikannya, dia menunduk kembali untuk melihat kunci jawabannya.

"Oi... Oi... bagi dong." Ada yang meminta jawaban ke Oji.

Oji menggelengkan kepala.

"Saya aduin sama pengawas nih." Anak itu memaksa.

Daripada terjadi masalah, Oji dengan terpaksa berbagi kunci jawaban dengan anak di sampingnya.

Beberapa menit kemudian, Selesai! Oji langsung berjalan mengumpul lembar jawaban dengan penuh percaya diri. Begitupun dengan anak di sampingnya, Oji tampak kesal melihat anak itu juga langsung mengumpulkan lembarannya, tanpa rasa terima kasih.

***

Hari ini adalah dimana hari surat kabar sangat laku, bukan karena ada peristiwa pembunuhan dan bukan juga karena adanya berita tentang pelecehan sexual. Surat kabar sangat laku hari ini karena hari ini adalah pengumuman tes SMA. Masih pagi, tapi Oji sudah tidak sabar ingin lihat hasil pengumuman. Oji bergegas melangkahkan kakinya ke lampu lalu lintas paling dekat dari rumahnya dengan membawa uang sepuluh ribu. Sebenarnya sepuluh ribu itu terlalu banyak untuk membeli koran tapi memang sisanya dia rencanakan buat penjual koran. Siapa tahu dengan niat baik, dia bisa lulus.

"Surat kabarnya, Kak!" seorang anak kecil menghampirinya dan menawarkan sebuah surat kabar.

Oji selalu bangga sama anak kecil seperti ini, masih kecil sudah berusaha mencari uang. Semangat muda mereka membara. Oji mengambil surat kabarnya dan memberi uang sepuluh ribu tadi. Anak kecil ini bahagia sekali pada saat diberi uang lebih, mudah-mudahan Oji juga bahagia pada saat membuka surat kabarnya. Banyak orang dengan seusia Oji menghampiri anak kecil itu, mereka juga ingin melihat pengumuman. Kebanyakan orang tidak membeli surat kabar anak kecil itu, mereka hanya melihat ke halaman hasil pengumuman dan mengembalikan korannya. Anak kecil itu seperti tidak ikhlas atas perilaku orang-orang itu. Tapi apa daya, mungkin anak ini takut meminta uang kepada mereka. Oji sangat ingin menegur manusia-manusia bangsat itu tapi nyalinya kurang. Oji bukan Genji yang bisa menang melawan orang sebanyak itu. Mending berdoa saja supaya mereka tidak lulus karena telah menganiaya anak kecil.

Baru saja Oji ingin membuka koran untuk melihat pengumuman, niatnya langsung batal untuk membukanya sekarang karena melihat orang di sampingnya tidak lulus. Bagaimana kalau hal yang sama terjadi dengannya? Oji memutuskan untuk membuka koran pada saat di rumahnya saja. Oji berjalan dengan cepat menuju rumah, dirinya sangat gelisah memegang koran yang berisi jutaan takdir anak sekolah. Saat sampai di rumah, dia menuju kamar. Kamar adalah tempat yang paling tepat untuk melihat pengumuman. Oji bebas mengekspresikan kebahagiaan, seperti loncat-loncat di ranjang mungkin. Tapi kalau tidak lulus, tinggal buka jendela kamar terus loncat.

Srettt srettt sretttt bunyi lembaran koran yang dibukanya, akhirnya sudah sampai ke lembaran pengumuman. Oji melihat satu persatu nomor tes yang berada di halaman pengumuman. Matanya mencari angka 453 di deretan angka tersebut. Lirikan matanya sudah mendekati deretan angka empat ratusan, 441 450 452 459 466..... Oji tidak lulus, dia langsung membuang badannya ke tempat tidur. Sambil melamun mengapa dia bisa tidak lulus padahal sudah melihat kunci jawaban, mungkin lembar jawabannya kotor. Oji melirik benda-benda yang di sekitarnya, lirikan matanya berhenti di cermin dan dengan seketika tangannya melempar handphone ke arah cermin. Matanya berkaca-kaca, Oji berdiri dan membanting kipas angin yang berada di kamarnya. Yah, Oji adalah anak yang cengeng tapi mempunyai sikap yang brutal. Silakan bayangkan kalau Oji tidak lulus ujian nasional, bisa saja barang seluruh rumahnya dirusak. Respon orang tua mereka sudah biasa melihat Oji seperti ini, sedari SD sudah mulai merusak barang-barang ketika marah. Sebenarnya Oji mendapat hadiah pukulan sapu kalau berbuat seperti itu, tapi karena melihat anaknya tidak lulus, niat itu batal.

Kalau di Indonesia tidak lulus pintu masih terbuka lebar asal kita punya uang. Semua bisa di beli dengan uang. Mama Oji sudah memikirkan hal tersebut, sedangkan ayahnya tidak pernah setuju dengan hal seperti itu. Ayah Oji memang orang jujur, mending anaknya masuk sekolah yang kurang bagus daripada masuk ke sekolah yang bagus tapi memakai uang sogok. Mama Oji tidak peduli, dia tetap ingin memasukkan anaknya ke SMA 1994.

"Pokoknya saya tidak mau sekolah, kalau bukan di 1994. Mama pokoknya harus masukin saya ke sana!" Cengeng dan kemauannya harus diikuti, itulah Oji.

"Iya iya, mama akan urus." Mamanya langsung mengambil handphone untuk menelepon pihak SMA 1994.

Next chapter