21 Jujur memang sakit

Hari itu di Sekolah, Bagas benar-benar merasa sangat bahagia. Sikap Arya padanya akhir-akhir ini semakin hangat saja. Meskipun Bagas belum tahu apa Arya sudah mulai merasakan sesuatu padanya atau belum? Tapi Bagas menganggapnya demikian. Karena banyak sekali kode, atau tanda-tanda yang membuat Bagas sampai berpikir jika Arya sudah mulai memiliki rasa padanya.

Seperti fotonya yang masih bertahan, terpampang nyata di layar HP Arya yang baru. Arya yang selalu menanyakan alasan 'kenapa' kalau Bagas tidak datang ke toko. Bahkan Arya juga selalu memaksanya untuk bermalam di rumahnnya jika besok hari libur. Meskipun tidak melakukan apapun, tapi Bagas merasa sangat senang.

Oia satu lagi, Arya seperti tidak suka jika Bagas mengobrol terlalu lama dengan pelanggan lak-laki yang sedang berbelanja bahan bangunan. Arya selalu menggantikannya untuk melayani pembeli laki-laki tersbut. Dengan alasan Arya menyuruh Bagas melakukan kegiagatan lain, atau tiduran saja bersama Adnan.

"Dek tolong jagain Adnan, biar mas yang layani"

"Dek udah, kamu capek pulang sekolah, tiduran aja, biar mas aja yang ngaldeni"

"Tolong kerjain ini dek, sini biar mas yang ngobrol sama masnya"

Itu kalimat yang selalu keluar dari mulut Arya, tiap kali Bagas sedang sibuk mengobrol dengan pelanggan pria.

Anehnya sikap Arya yang seperti itu, tidak berlaku untuk pelanggan wanita. Arya selalu terlihat cuek dan seperti tidak perduli jika Bagas sedang membantu melayani dan mengobrol terlalu lama dengan pelanggan wanita.

Cemburukah? Atau hanya perasaan Bagas saja? Entahlah. Yang jelas itu sudah cukup membuat Bagas merasa sangat Bahagia.

Oleh sebab itu Bagas ingin mengambil sebuah keputusan. Yaitu keputusan yang mungkin akan melukai hati seseorang yang tidak berdosa. Meski itu sedikit berat untuk Bagas, namun ia tidak ingin membohongi perasaannya. Ia juga tidak ingin membohongi perasaan seorang yang mungkin akan terluka dengan keputusannya.

"Kamu mau ngapa si Gas? Ngajak aku dateng ke Alun-alun?" Tanya Anggun sambil menyelipkan anak rambut di balik telinganya.

Bagas yang sejak lima menit lalu teridam, sejak ia dan Anggun duduk di bawah pohon beringin, di tengah Alun-alun kota Purworejo. Ia sedang menikmati sejuknya semilir di bawah pohon beringin.

"Gaass...!" Anggun mendorong pelan punggung Bagas dan membuatnya tersentak.

"Eh... iya kenapa?" Tanya Bagas gugup.

"Yah..." Anggun memutar bola matanya malas. "Kok kamu yang tanya sih? Kamu mau ngapain ngajakin aku kesini? Palah ngelamun lagi." Tanya Anggun kembali. Ia mendengus dan menggembungkan kedua pipinya.

"Oh iya..." Bagas menatap teduh wajah Anggun. "Nggun..." Bagas kembali terdiam. Rasanya sangat berat untuk mengeluarkan kata-kata yang sudah ia susun sebelumnya. Lidahnya terasa kelu, ia hanya mampu menatap Anggun tidak berkedip.

Wajah Anggun terlihat sangat berseri, dengan terpahan angin yang menyebabkan anak rambutnya bergelombang. Rasanya Bagas tidak tega melukai wajah yang begitu manis.

Tatapan yang tidak biasa membuat Anggun tersipu, dan tersenyum simpul. "Kamu kenapa sih ngliatin aku kayak gitu?"

"Aku..." Bagas merai pergelangan tangan Anggun kemudian meremasnnya. "Aku mau minta maaf," ucapnya.

"Maaf?" Anggun mengkerutkan kening, menatap heran Bagas. "Kenapa?"

"Aku... aku..." Bagas merunduk ia tidak sanggup berbicara dengan memandang wajah Anggun. "Aku nggak bisa nerusin hubungan kita."

Deg...! Anggun mengibaskan tangan Bagas yang masih memegang tangannya. Kemudian ia turun dari pondasi yang mengelilingi pohon beringin. Anggun berdiri tepat di hadapan Bagas dan menatapnya dengan kening yang berkerut.

"Kamu ngomong apa sih Gas?" Tanya Anggun dengan nada yang ia naikan.

Secara perlahan Bagas mengangkat wajahnya memberanikan diri menatap wajah Anggun.

"Kamu bercanda kan?"

"Aku serius, aku minta maaf." Ucap Bagas dengan suara yang datar. "Kita... kita puputs!"

Anggun terkejut untuk kedua kalinya, ia menyipitkan matanya menatap Bagas penuh dengan selidik. "Kamu udah punya yang lain? Kamu selingkuh? Apa aku punya salah sama kamu?"

Bola mata Anggun sudah mulai berkaca, ia tidak percaya dengan keputusan Bagas yang ingin mengahiri hubungan dengannya tanpa alasan.

"Bukan..." ucap Bagas.

"Terus apa?" Tanya Anggun, kemudian ia memijit pelipisnya yang mendadak pusing.

"Aku cuma nggak mau bohongin kamu Nggun... maaf ternyata aku nggak bisa cinta sama kamu." Akhirnya kalimat yang sangat berat untuk ia ucapkan bisa terlontar dari mulutnya. Meski dadanya naik turun dan napasnya tersenggal karena merasa kahawatir.

Sementara Anggun terlihat membuka mulutnya, dan membelalakan matanya yang sudah mengeluarkan air mata. Rasanya petir seperti menyambar tepat di jantungnya. "Kita udah jalan berbulan-bulan, tapi kamu baru bilang kalau kamu nggak bisa cinta sama aku?"

Kemudian Bagas juga turun dari pondasi tanaman pohon beringin itu. Lalu Ia berdiri, berhadapan, dan menatap datar wajah Anggun yang sudah basah karena air mata.

"Nggun..." ucap Bagas sambil tangannya mencoba meraih tangan Anggun. Namun sayang, Anggun mengibaskankan tangannya saat ia sudah berhasil menyentuh pergelangan Anggun. Dan tentu saja itu membuat Bagas sedikit tersentak.

"Kamu keterlaluan Gas, jadi selama ini kamu anggep aku apa?" Tanya Anggun dengan suaranya yang sudah terisak karena tangis.

"Aku minta maaf." Hanya itu kalimat sanggup untuk Bagas utarakan.

"Maaf? Kamu udah nyakitin aku, mutusin aku tanpa alasan. Apa kamu pikir, kata maaf bisa langsung bikin sakit hatiku ilang?"

"Tapi aku ngerasa ini terbaik buat kamu, buat aku juga." Ujar Bagas.

"Terbaik?" Anggun mengkerutkan keningnya.

"Aku... aku... aku..." rasanya sangat berat Bagas untuk memberi tahu yang sebenarnya. Bagas merunduk dan bola matanya mulai berkaca.

"Kamu kenapa?" Tanya Anggun.

"Maaf Nggun... aku... gay." Aku Bagas, Dengan kepala yang masih merunduk.

Dan pengakuan Bagas membuat Anggun harus memeggangi dadanya, karena membuatnya merasa sangat sakit. Mulutnya bergetar dan matanya menyipit, menatap tajam tubuh Bagas.

Lalu.

Plak..!

Telapak tangan lembut Anggun, mendaratkan tamparan di pipi kiri Bagas. Kemudian gadis malang itu berlari meninggalkan Bagas sambil menutupi mulutnya. Anggun terlihat shock, dan Anggun sangat kecewa.

Sedangkan Bagas menjatuhkan tubuhnya di atas rumput Alun-alun. Ia masih memegangi pipinya yang merah akbiat tamparan dari Anggun. Kepalanya merunduk, dan terlihat punggungnya naik turun. Suara tangis sesegukanpun, mulai terdengar dari mulutnya. Bagas menangis.

====

Tamparan yang diberikan Anggun memang sakit, hingga membuat pipi Bagas langsung memerah. Tapi mungkin rasa sakit di hati Anggun jauh lebih sakit dari tamparan yang dirasakan Bagas.

Tidak ada pilihan lain bagi Bagas meskipun itu menyakitkan, jujur sama Anggun jauh lebih baik. Dari pada ia harus berpura-pura mencinitainya dan menjadikannya pacar. Itu akan jauh menyakitkan buat Anggu, akan menjadi beban juga buat perasaanya.

Bagas tidak bisa membuat alasan apapun untuk mengahiri hubungannya dengan Anggun. Ia tidak ingin Anggun banyak berharap padanya. Bagas juga tidak mau Anggun mempunyai pikiran yang macam-macam.

Mengakui jati diri yang sebenarnya, adalah pilihan yang tepat bagi Bagas.

Anggun adalah orang kedua yang mengetahui jati dirinya setelah mas Arya.

Hasilnya kini Bagas merasa sangat lega, plong, rasanya seperti menghirup udara yang seagar. Ia juga merasa tidak memikul beban berat di pundaknya. Bagas hanya bisa berharap suatu saat Anggun bisa mengerti keadaanya.

Setelah menyatakan putus dengan Anggun. Bagas memilih untuk tidak kembali kesekolah. Ia butuh sendiri untuk menenangkan pikirannya. Bagas juga belum siap melihat wajah Anggun yang mungkin sedang bersedih saat ini.

Bagas memarkirkan mobilnya di halaman toko bangunan. Saat turun dari mobil, bibirnya tersenyum simpul melihat motor Arya berdiri gagah di tempat parkiran khusus. Kemudian ia berjalan setengah berlari masuk ke dalam ruko untuk menemui Arya.

"Lho mas Bagas udah pulang?" Tanya Wanto salah satu pegawainya yang kebetulan sedang berada di meja kasir.

"Bolos mas hehe..." jawab Bagas sambil tertwa kecil. "Mas Wanto di sini? Mas Aryanya mana?"

Bagas merasa heran, tidak biasanya Wanto berjaga di meja kasir. Ia juga belum melihat sosok yang sangat di rindukan, meski baru semalam tidak bertemu.

"Oh mas Arya lagi nemenin ibu ke Jogja, makannya aku diminta tolong buat jaga kasir." Wanto berdiri dari kursi dan berjalan mendekati Bagas yang sedang bengong. "Mumpung ads mas Bagas, jadi aku ngerjain kerjaanku aja mas ya? Mas Bagas yang ngasirin." Ujar Wanto setelah ia sudah berhadapan dengan Bagas.

"Oh iya... nggak papa," Bagas menganggukan kepalanya, wajahnya berubah datar. "Emang ngapain ibu sama Mas Arya ke Jogja?" Tanya Bagas, dan hatinya merasa cemas.

"Anu mas..., katanya ibu mau liat stand yang ada di mol baru, mau buka butik di sana," jelas Wanto yang sudah dikasih tahu ibu Ratna sebelumnya.

"Owh... Adnan ikut?" Tanya Bagas tanpa ekspresi.

"Enggak mas, tadi aku yang anter Adnan pulang, solanya mungkin agak lama, jadi kucing-kucingan dulu tadi sama Adnan," jelas Wanto.

Bagas hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja. Kemudian dengan hati yang sangat malas ia berjalan ke arah kursi kasir dan duduk di sana.

Sedangkan Wanto terlihat sudah melakukan pekerjaanya di halaman ruko.

Tidak ada Arya di tempat, membuat Bagas terlihat sangat lesu dan tidak bersemangat. Sebenarnya ia ingin bercerita dengan Arya bahawa dirinya sudah putus dengan Anggun. Bagas ingin melihat ekspresi Arya, atau tanggapan Arya tentang kabar putusnya dengan Anggun.

Tapi kenyataannya, Arya tidak ada di tempat. Dan parahnya lagi, Arya sedang pergi hanya berdua saja dengan ibunya.

Hari sudah mulai gelap, para karyawan sudah menutup tokonya. Empat karyawan sudah pulang kerumah masing-masing, karena jarak rumah mereka yang tidak terlalu jauh. Kecuali pakde, yang memang diberi tugas untuk menempati, sekaligus menjaga ruko jika malam hari.

Bagas yang masih memakai seragam sekolah masih duduk termenung di kursi kasir. Ia melihat jam yang menempel di dinding, dan ternyata waktu sudah menunjukan pukul setengah enam. Akan tetapi Arya dan ibu Ratna masih belum kembali dari Joga.

Menghela napas kasar, sambil berdiri dari kusrinya. "Pakde aku pulang..." teriak Bagas berpamitan.

"Oh enje mas Bagas, hati-hati," jawab pakde yang masih berada di kamar mandi.

====

Selesai mandi dan berganti pakaian, Bagas melihat jam di dinding kamarnya. Sudah hampir jam sembilan malam, tapi ia belum mendengar suara mobil ibunya. Bagas semakin gelisah. Pikirannya melayang kemana-mana. Berungkali ia mengambil HP, bermaksud untuk menghubungi Arya. Namun ia urungkan karena merasa tidak enak, dan tidak punya alasan apapun.

Bagas mendengus, membuang napas legah. Kemudian ia berjalan keluar kamar menuju ruang tamu.

Sesampainya di ruang tamu Bagas merasa lega karena melihat ibunya sudah duduk di sofa sambil memjit-mijit pundaknya.

Terlihat ibu Ratna seperti sangat kelelahan.

"Baru pulang bu?" Sapa Bagas yang membuat ibu Ratna sedikit tersentak. "Malem banget?"

Ibu Rana berdiri berjalan menghampiri Bagas. Meski sedang letih tapi wajah bu Ratna terlihat berseri dan sangat bahagia.

"Iya ibu habis dari Jogja, sama mas Arya. Ibu mau buka butik di Mall yang baru di Jogja." Ujar bu Ratna saat ia sudah berdiri tepat di hadapan anaknya. "Ibu mau mandi dulu, belum sholat isya," ucap ibu Ratna sambil melangkah melewati Bagas.

Deg...!

Bagas terkejut, tapi bukan karena mendengar kata sholat isya. Sejauh ini ibu Ratna memang sering melewatkan sholat isya. Kadang alasan lelah yang membuat wanita paru bayah itu merasa malas untuk menunaikan ibadah sholat siya.

Bagas terkejut karena, pada saat ibu Ratna berjalan melewatinya, ia mencium aroma parfum Arya yang sudah melekat di hidung dan otaknya.

Bagas mengendus, perlahan meresapi aroma parfum Arya yang terasa sangat tajam di tubuh ibu Ratna.

Selama ini Bagas sering duduk berdektan dengan Arya, tapi bau parfum Arya tidak sampai menempel di tubuhnya.

Ibu ganti parfum? Ah nggak mungkin, itu parfum laki-laki. Ibu nggak pernah gonta-ganti parfum.

Lalu? Apa ibu teralu dekat duduknya dengan mas Arya?

Banyak sekali tanya yang berkecamuk di dalam otaknya. Bagas semakin cemas dan gelisah.

"Ibu habis ngapain sama mas Arya?" Ucap Bagas di hatinya. Tubuh Bagas mendadak gemetaran, dan pikirannya-pun semakin kacau.

avataravatar
Next chapter