webnovel

Father and Son 1

Setelah Aji pergi meninggalkannya seorang diri, Ben duduk di tempat tidur sambil menatap jendela yang ada di ruang perawatannya. Ia menjadi gusar tiap kali ia mengingat wajah David. Ayah sekaligus orang yang sudah membunuh ibunya dan juga hampir menghilangkan nyawanya dua belas tahun silam.

Di dalam ingatannya, Ben masih belum bisa melupakan semua kejadian tersebut. Tanpa sadar Ben meletakkan telapak tangan di lehernya. Nafas Ben tertahan ketika ia menekan lehernya sendiri. Itu yang ia rasakan ketika tangan David yang besar menekan lehernya ketika ia berusia lima tahun. Namun dengan kekuatan yang jauh lebih besar hingga Ben saat itu merasa David seolah mematahkan selutuh tulang yang ada di lehernya. Tubuhnya masih mengingat semua peristiwa itu.

"Hosh…hosh…hosh…" Ben melepaskan tekanan pada lehernya dan bernafas seperti sedia kala. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan dan berbaring di tempat tidurnya.

Diam-diam di luar ruang perawatannya, Aji mengintip. Ia melihat apa yang baru saja dilakukan Ben dengan ekspresi sedih. Ia sudah sering melihat Ben kehilangan kesadaran tiap kali tanggal kematian ibunya tiba, dan setiap kali melihat Ben tidak sadarkan diri ia mencoba menguatkan dirinya sendiri sambil berharap Ben bisa sembuh dari luka batinnya. Namun nampaknya apa yang diharapkan Aji masih jauh dari harapan. Pertemuan dengan David justru menambah perilaku tidak biasa yang Ben lakukan. Sebelumnya ia tidak pernah melihat Ben mencekik dirinya sendiri.

"What's wrong, Ji?" tanya David yang keheranan melihat perubahan ekspresi wajah Aji.

Aji menoleh dan menatap David. "You really want to meet him?"

David mengangguk.

"Just think, you and Ben finally met, what did you do after you met him? You left so many scars on him. I actually don't want to see Ben suffer anymore. Even now, he is still traumatized by the incident," ucap Aji.

David menghela nafas panjang. "What do you suggest to me?"

"leave him alone," jawab Aji tenang.

David terdiam setelah mendengar jawaban yang diberikan oleh Aji. Alih-alih menyahuti ucapan Aji, David justru berjalan mendekat ke pintu ruang perawatan Ben. Ia menatap Ben yang sedang berbaring dari jendela kecil yang ada di pintunya. Lalu, tanpa banyak bicara ia menerobos masuk.

"What the—" gumam Aji yang terkejut melihat David tiba-tiba masuk ke dalam ruang perawatan Ben. Ia pun segera menyusul masuk ke dalam. "Dave?!"

Ben tidak kalah terkejutnya ketika ia melihat David berdiri di hadapannya. Matanya membulat sementara ia menelan ludahnya. Nafasnya tercekat ketika ayah kandungnya itu mendekat.

"W—what do you want?" tanya Ben dengan suara tertahan.

David tidak melepaskan tatapannya pada Ben. "Don't look at me like that?"

"Then what kind of look do you expect from me?" sahut Ben.

Aji mendekati David. "Don't force him, Dave."

David menoleh pada Aji. "Can you just leave us alone for a moment?"

"No, Aji. You stay here," sahut Ben cepat.

Aji menoleh pada Ben. Ia bisa melihat ekspresi wajah bocah lima tahun yang ketakutan di dalam tatapan yang diberikan oleh Ben. Ia juga bisa melihat tangan Ben yang bergetar sambil meremas selimutnya. Keponakan yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya itu seolah memohon agar dirinya tetap berada di dalam ruangan tersebut. Aji lalu mengalihkan perhatiannya pada David. Pria itu masih menatap Aji. Tatapannya seakan memohon agar Aji bisa meninggalkannya bersama Ben.

"Finish your business here, and leave Ben," ucap Aji.

"I promise," sahut David sambil mengangguk.

Aji kemudian mendekat pada Ben. "I'll be outside. You need to talk to him, Ben."

Ben menggeleng cepat. "Ngga ada yang perlu dibicarakan sama dia."

"Yes, you did. There is so much anger in your heart. Maybe this is the good time for you to get your peace," ucap Aji lembut. Ia menepuk-nepuk bahu Ben sambil tersenyum simpul. Ia lalu berjalan pergi meninggalkan ruang perawatan Ben dan meninggalkannya bersama David.

"I owe you, Ji," ucap David ketika Aji menutup pintu ruang perawatan Ben. Ia lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada Ben.

Ben melengos dan mengalihkan perhatiannya ke arah lain agar ia tidak bertatapan dengan David.

"Look at me, Ben," pinta David.

Ben menggelengkan kepala. "I don't want to."

"You need to. This is the look from the man who tries to kill his son, and now he regrets it," ucap David.

Ben berdecak pelan. Lalu perlahan ia menoleh dan menatap David. "Now what?"

"I'm sorry. Trully sorry," jawab David dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

"Okey, are you done?" sahut Ben singkat.

"Not yet," jawab David.

"Make it quick."

David berdecak pelan melihat ekspresi keras yang ditunjukkan Ben padanya. "You know what, at first, I think you'll give me a look that you shared years ago. But I was wrong. You're not a coward boy anymore. You have a stone heart and a kind of rebel instinct. I can see it in your eyes."

"I hate my eyes," sambar Ben.

"For mix-bloods, it's rare to have those green eyes."

"Yeah, I know. And I hate it."

"Your mom really loves your eyes." David tersenyum simpul. "I remember how she smiles when she looks into your eyes. She smiled so bright then."

"What you really want to say?" tanya Ben tidak sabar.

David menghela nafas panjang dan mendekat. "What I want to say is that those eyes may be from my genes. But don't think about me when you look into your eyes. Think about your mother. Do not hide it."

Ben terdiam setelah mendengar kata-kata David. Ia kemudian mendesah pelan.

David tersenyum simpul sambil menatap Ben. "Bye, boy. I don't think you want to see me any longer. Thank you for letting me talk to you."

Ben masih terdiam. Ia bahkan tidak menatap David ketika pria itu berjalan menuju pintu ruang perawatan Ben.

"Thanks," ujar Ben begitu David hendak keluar dari ruang perawatannya.

David menghentikan langkahnya dan mengalihkan perhatiannya pada Ben. "What do you say?"

"Thanks for saving me," jawab Ben tanpa mengalihkan perhatiannya pada David. Mata Ben menatap lurus kakinya yang tertutup selimut.

"Tell Aji if you want us to talk again. I'll be in Yasmin's house," ucap David sambil tersenyum. Setelah itu ia keluar dari ruang perawatan Ben.

Setelah David meninggalkan ruang perawatannya, Ben menghela nafas panjang dan memejamkan matanya.

***