1 Insiden Tak Terlupakan

Tempat berhias lampu dekorasi berwarna gold, menghiasi sekeliling cafe bernuansa keluarga. Beberapa orang, terlihat berkumpul dan berbincang asik duduk di meja-meja cafe dengan anggota keluarganya. Ada beberapa kumpulan keluarga yang berada di cafe itu. Bahkan, karena saat itu adalah waktu berlibur, ada keluarga yang datang dari Negara lain, untuk menikmati waktu liburan bersama orang tersayang.

Hari itu, pengunjung cafe sedang begitu ramai. Sehingga membuat para pelayan cafe, sedikit kewalahan melayani pengunjung hari itu. Meskipun, cafe itu, tempatnya terpencil. Namun, cafe itu selalu ramai dikunjungi oleh penduduk setempat. Karena untuk ukuran tempat terpencil seperti itu, cafe ini adalah tempat terbaik untuk menikmati momen liburan hanya untuk sekedar makan bersama.

Musim dingin, musim dimana salju akan turun, adalah waktu yang orang tunggu-tunggu di Canada. Karena saat itu, bertepatan dengan hari libur dan akhir tahun. Tak terkecuali satu keluarga yang kini tengah duduk di salah satu meja cafe, dengan pernak-pernik khas perayaan ulang tahun.

"Sayang … sekarang kamu tiup lilinnya, ya?" ujar seorang wanita yang terlihat masih muda dan berparas sangat cantik, dengan kulit putih dan kornea mata yang berwarna kecoklatan, yang sedang memandang lekat-lekat putranya.

"Bunda, kenapa Vero harus meniup lilin ini?" tanya Vero kecil yang bertanya dengan tatapan polos.

Bundanya pun, tersenyum mendengar pertanyaan yang dengan polosnya dilontarkan oleh putranya yang saat ini sedang merayakan hari ulang tahun yang kelima.

"Vero-- sayang, kamu harus berdo'a sebelum meniup lilin ini, setelah semua do'a sudah kamu panjatkan pada tuhan, kamu boleh meniup lilin ini. Kemudian, semua do'a yang kamu panjatkan pada tuhan, akan dikabulkan." jelas Bunda Vero dengan sangat lembut, dan senyuman yang mampu membuat Vero merasa tenang meskipun, keadaan di cafe itu sangatlah ramai.

"Iya, Vero-- benar, apa yang dikatakan oleh bundamu. Kamu harus berdo'a dengan penuh keyakinan, agar do'a-mu dikabulkan." tambah laki-laki yang juga berada di samping Vero saat itu, laki-laki berpostur tubuh ideal, membuat semua mata tertuju padanya. Siapa lagi-- jika bukan Ayah Vero. Tubuh yang tinggi, besar-- sanggup membuat para wanita terlena. Untunglah, Ayah Vero bukan tipe pria yang mudah tergoda dengan rayuan wanita.

"Baiklah, akan aku lakukan. Tapi, aku ingin berdo'a sebanyak mungkin, agar banyak pula yang dapat terkabulkan." lagi-lagi dengan polosnya, Vero menjawab ucapan kedua orang tuanya.

Kedua orang tua Vero terkekeh mendengar jawaban yang Vero berikan. Namun, saat Vero mulai menutup matanya, dan menempelkan kedua telapak tangannya di depan wajah mungilnya, seraya memanjatkan do'a pada tuhan. Kedua orang tuanya, berhenti terkekeh, dan kini memandangi putra kesayangannya dengan tatapan kasih sayang.

"Aku mohon, buat ayah dan bundaku selalu sayang denganku, karena aku juga sangat menyayangi--,"

"Jangan bergerak, angkat tangan kalian semua!" tiba-tiba suara teriakan yang terdengar sangat menakutkan dari seorang laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam menggema di ruangan cafe yang tadinya riuh dengan obrolan-obrolan keluarga.

Seketika semua pengunjung cafe di sana, mengalihkan pandangan pada dua perampok yang datang dengan menodongkan senjata yang mereka pegang.

Cafe yang tadinya riuh dengan riuh orang-orang yang bersuka cita menikmati momen kebersamaan dengan keluarga itu pun, kini mendadak berubah menjadi mencekam. Semua orang tampak mengangkat tangannya dan terdiam menuruti perintah perampok itu.

"Kedua orang tuaku." suara lirih Vero yang masih memejamkan matanya terdengar oleh kedua orang tuanya yang sudah lebih dulu mengangkat kedua tangannya menuruti perintah perampok itu.

Bunda Vero segera membungkam mulut Vero dengan satu tangannya, membuat Vero langsung membuka kelopak matanya secara perlahan. dan kini, setelah membuka kelopak mata dengan sempurna, Vero terlihat menunjukkan ekspresi bingung, karena semua orang yang berada di cafe itu nampak mengangkat tangannya dan terlihat sangat ketakutan.

Vero sangat ingin mengajukan pertanyaan pada bundanya, namun, karena mulutnya yang dibungkam oleh tangan bundanya, membuat dirinya tak dapat berkutik.

"Tetap di tempat kalian masing-masing, jika ada yang berani pergi satu langkah dari tempatnya, akan saya tembak saat itu juga!" ancam perampok itu sambil terus mengarahkan senjata tajam berupa pistol.

Vero tak mengerti dengan semua ini, semuanya datang secara tiba-tiba. Sehingga membuatnya pasrah, dengan mulut yang kini dibungkam oleh bundanya.

Jarak antara meja Vero dengan perampok itu cukuplah jauh. Terlebih lagi, mereka duduk tak jauh dari pintu keluar. Membuat Ayah Vero memiliki ide untuk melarikan diri dari sana.

Ayah Vero, mengerlingkan matanya pada isterinya itu, sambil mengarahkan matanya menuju pintu keluar yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

Bunda Vero pun, paham apa yang dimaksud oleh suaminya itu. Ia segera menganggukkan kepalanya.

"Vero, jangan berkata apa pun, ya? Kita akan pergi dari sini," bisik bundanya dengan mendekatkan mulutnya pada telinga Vero.

Sedangkan Vero yang mulutnya masih dibungkam rapat oleh tangan bundanya itu pun, tak dapat berkata apa-apa. Ayah dan bundanya, kini melangkahkan kakinya perlahan, sambil menuntun Vero perlahan, saat mereka rasa perampok itu sedang lengah, karena tengah menodongkan senjata mereka pada beberapa pengunjung cafe agar diberikan harta berharga milik pengunjung cafe itu.

Ayah dan Bunda Vero, sebentar lagi akan mencapai pintu keluar itu. Namun, saat itu juga, datanglah dua orang anggota polisi.

"Jangan bergerak!" teriak seorang anggota polisi yang kini berada di ambang pintu yang akan menjadi pintu keluar untuk Vero beserta orang tuanya.

Ayah dan Bunda Vero yang saat itu sedang berjalan jongkok sambil menuntun putranya pun, kaget. Karena, ia tak menyangka jika polisi akan datang secepat itu, di tempat terpencil seperti ini.

Ayah dan Bunda Vero langsung berdiri dari posisi berjongkoknya. dan Bunda Vero juga melepaskan tangannya, yang sejak tadi membungkam mulut Vero.

"Bunda, aku belum meniup lilinnya," ucap Vero dengan sangat polos, sambil memandang ke arah meja mereka tadi, dimana lilin berbentuk angka lima yang tertancap pada kue tart berwarna biru muda itu.

Dorrr … Dorrr…

Dua peluru melesat di dada Ayah dan Bunda Vero. Peluru yang ditujukan pada dua orang polisi yang membawa senjata tajam pula itu pun, malah melesat pada dua orang tak bersalah.

Vero yang melihat kedua orang tuanya memegangi bekas masuknya peluru di dada kiri atas mereka masing-masing yang sudah berlumuran darah segar itu pun, hanya bisa diam, dan tak dapat berkata-kata apa pun. Kejadian mengerikan itu, terjadi begitu saja, tepat di hadapan matanya.

Suasana di cafe itu pun, kini mendadak menjadi riuh. Kedua polisi tadi, langsung berlari mengejar perampok tadi. Sedangkan, beberapa pengunjung dan pelayan cafe itu, nampak mengerumuni Ayah dan Bunda Vero yang kini tergeletak tak berdaya di lantai.

"Ve-vero sayang … Vero harus jan-ji ya, pada ayah dan bunda. Ka-lo Vero akan menjadi anak yang kuat, kebanggaan ayah dan bunda--," ujar bundanya dengan terbata-bata, karena menahan sakit. Namun, kemudian bundanya langsung memejamkan matanya tak sadarkan diri, setelah mengucapkan kalimat terakhirnya itu.

Sedangkan ayahnya, sudah lebih dulu tak sadarkan diri dibanding dengan bundanya. Vero yang terduduk di depan kedua orang tuanya yang kini memejamkan matanya disertai dengan darah yang mengalir dari luka tembak itu pun, menangis sekencang-kencangnya. Ia beberapa kali menggoyang-goyangkan tubuh ayah dan bundanya. Namun, nihil-- tak ada jawaban dari keduanya.

"Ayah, bunda … jangan tinggalin Vero, Vero takut disini sendirian," teriak Vero dengan histeris, dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti.

"Ayah … bunda … aku takut," Vero terus saja melontarkan kalimat itu, sampai pada saat ayah dan bundanya dibawa dan dimasukan ke dalam ambulan, untuk dibawa ke rumah sakit.

Sedangkan Vero, dibawa oleh seorang polisi wanita yang datang bersamaan dengan mobil ambulan.

"Aku tidak mau ikut denganmu, aku ingin bersama ayah dan bundaku!" teriak Vero sambil memukuli punggung polisi wanita yang berpostur tubuh sangat ideal itu.

Namun, apa boleh buat, saat itu juga Vero melihat ayah dan bundanya dimasukan ke dalam ambulan, dan dirinya tetap dibawa oleh polisi wanita itu, meskipun Vero sejak tadi meminta untuk ikut bersama kedua orang tuanya.

Malam itu, bersamaan dengan turunnya salju. Vero hanya bisa terus menangis. dan terus memikirkan bagaimana keadaan kedua orang tuanya. Kejadian yang tak mungkin terlupakan untuk seorang Vero yang harusnya menikmati momen bahagia di malam itu.

avataravatar
Next chapter