6 #Zen_Adnan #004

Seorang pria Asia Tenggara, berkulit kecokelatan keluar dari toilet. Ia mengenakan sepatu kets, jubah putih, dan masker. Ia memperhatikan jam di pergelangan tangan kirinya beberapa saat, menghitung waktu, kemudian melanjutkan langkahnya. Ada misi yang harus ia tuntaskan.

Menteri Riset dan Teknologi sedang berjalan meninggalkan laboratorium. Ia dikawal oleh beberapa orang penting di laboratorium sehingga saat ini adalah waktu yang tepat untuk bergerak.

Karena orang-orang penting dalam laboratorium sedang mengantar orang paling penting lainnya, otomatis perhatian akan lebih difokuskan ke orang-orang penting itu. Dan entah kenapa ketika orang penting berkunjung, pengawasan menjadi dua kali lebih ketat, semua orang menjadi lebih fokus, orang-orang bekerja tiga kali lebih teliti. Sedangkan saat orang penting pergi, pengawasan dan ketelitian orang-orang di bagian kontrol dan keamanan justru bisa menurun sampai 50 persen.

Tidak ingin membuang-buang waktu, pria itu mempercepat langkahnya. Tujuannya adalah ruang khusus tempat di mana objek berharga berada.

Ada dua pintu yang harus dilewati sebelum sampai di ruang khusus. Pintu pertama dijaga oleh dua orang petugas keamanan. Mereka bertugas memeriksa tubuh dan bawaan orang yang akan lewat. Karena hanya membawa kertas dan pena, dan tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan ia diizinkan lewat.

Sebagai peraturan yang sudah dihafal seluruh tim yang menghuni ruang bawah laboratorium, bahwa kecuali profesor penanggung jawab tidak satu pun orang diberi kewenangan memberi obat, vitamin, atau apa pun pada Objek. Meski kunci dipegang oleh Profesor dan asistennya, pemberian obat-obatan mutlak hanya wewenang profesor penanggung jawab. Termasuk hal sederhana seperti bongkar pasang infus.

Begitu sampai di pintu terakhir, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, keycard. Sepasang kunci ruang khusus. Satu milik Profesor dan satu lagi milik asistennya. Bukan asli tentunya, hanya duplikatnya. Ada usaha yang tidak mudah di balik keberhasilannya membuat kunci duplikat.

Di dalam ruangan, ia meletakkan kertas laporan di atas meja dan hanya memegang penanya saja. Ketika kepala pena dibuka, terlihat ujung jarum suntik yang runcing.

Ia mengeluarkan jarum suntik yang berisi cair tanpa warna, kemudian memasukkan cairan ke dalam infus yang telah berkurang setengahnya.

Ia bekerja dengan cepat dan teliti, bukan karena kamera pengawas tapi karena waktu yang ia miliki memang sempit. Ia sama sekali tidak merisaukan CCTV karena sebelumnya telah ia sabotase. Sejak berjalan ke arah ruang khusus sampai berada dalam ruangan, monitor sama sekali tidak menangkap gambar dirinya. Seperti tidak ada yang datang dan pergi. Semua aman. Paling tidak ia akan baik-baik saja sampai jam kerjanya selesai. Kemudian ia akan menghilang.

Begitu cairan dari jarum suntik telah bercampur ke dalam cairan infus, pria itu melenggang pergi. Ada senyum kemenangan yang terukir di bibir tipisnya.

Sebenarnya ada sedikit perasaan sedih karena ia harus segera melepaskan pekerjaannya, harus berganti identitas lagi. Sisi baiknya ia bisa bebas bermalas-malasan dan bangun jam berapa pun yang ia mau.

Padahal pekerjaannya cukup keren dengan gaji yang sangat memuaskan. Dibanding pekerjaan yang sebelum-sebelumnya, ia akui gaji di tempat ini paling sesuai dengan keinginannya.

Selain masalah gaji, yang paling ia sayangkan adalah ia baru berhasil menggoda rekan kerja wanitanya dan telah membuat janji kencan malam minggu ini. Sayang sekali. Padahal ia sudah lama tertarik pada rekan wanitanya itu. Karena rekannya itu baru putus dari pacarnya, ia akhirnya mendapat kesempatan pergi kencan dan menjadi lebih dekat.

Sayang sekali...

"Zen, saya tunggu laporanmu besok pagi-pagi sekali!"

"Baik, Pak." Pria yang dipanggil Zen menyahut patuh. Padahal dalam hati ia bercelatuk, "Tunggu saja sampai kepalamu bertambah botak," sembari tersenyum puas.

Zen telah kembali ke ruangannya di lantai dua. Misinya selesai dengan baik. Tidak ada yang salah, tidak ada yang kurang. Fungsi CCTV pun kembali normal setelah 15 menit. Ia adalah tipe orang yang hati-hati dan penuh perhitungan. Karena aksinya telah diperhitungkan dengan matang dan ia melakukan semuanya dengan hati-hati, seharusnya memang tidak akan ada yang salah.

Zen adalah salah satu teknisi di laboratorium Riset dan Teknologi. Unit ia di tempatkan memang tidak ada hubungannya dengan proyek rahasia. Hanya karena berada dalam bangunan yang sama, mendapatkan informasi jadi tidak sulit. Hanya perlu berhati-hati dan memilih waktu yang tepat.

Karena jam kerja Zen telah selesai, ia mulai berkemas untuk pulang. Membiarkan mejanya tetap berantakan seperti hari yang sudah-sudah. Seolah menunggu tuanya datang untuk menjamahnya. Seolah menunggu tuannya datang dan menyelesaikan pekerjaan yang tertunda hari ini.

"Tapi itu tidak akan pernah," Zen bergumam. "Jadi jangan tunggu aku." Zen tersenyum lagi.

"Bahagia sekali," seorang wanita menyapa. Wanita yang sudah hampir satu tahun Zen goda dan baru mendapat kesempatan untuk bisa lebih dekat baru-baru ini.

"Tentu saja." Zen menyanggah ranselnya dan membuntuti wanita itu sampai ke pantri.

Wanita itu tinggi dengan tubuh ramping. Meski bertubuh ramping, pipinya cukup tembam, membuat Zen tidak pernah bosan memandang wajahnya. Rambutnya yang kecokelatan panjang dan bergelombang, membuat parasnya semakin terlihat manis.

"Apa kencan kita bisa dipercepat sampai malam ini?" Zen benar-benar sayang harus melewatkan kesempatannya.

"Kenapa? Sudah tidak sabar?" balas wanita itu dengan senyum menggoda.

"Tentu saja. Bukannya sudah kubilang, aku sudah hampir setahun mengejarmu."

Wanita itu menghela napas, "Tidak bisa," katanya merasa berat "Kepala bagian di unitku meminta lembur. Ada beberapa hasil analisa yang salah dan harus segera diperbaiki. "

"Baiklah." Zen mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Aku akan bersabar sampai malam minggu nanti," tambahnya seolah janji itu akan benar-benar ia tepati.

Wanita itu hanya tersenyum dan mulai mengisi kembali gelasnya yang kosong.

Zen dan wanita itu berada di unit yang berbeda, dengan pekerjaan yang berbeda juga. Mereka sering bertemu hanya karena berada di lantai yang sama. Zen masuk ke laboratorium Riset dan Teknologi enam bulan lebih cepat dari wanita itu.

"Kalau begitu aku pulang. Jangan rindukan aku! Satu lagi, jangan terlalu banyak minum kopi! Oke?" Zen menepuk kepala wanita di depannya dengan lembut, kemudian tersenyum untuk terakhir kalinya.

Wanita itu membeku. Tangannya berhenti mengaduk dan pipinya merona.

Zen menyukai ekspresi menggemaskan itu dan ingin melihatnya lebih lama. Zen juga menyukai suara sepatu pantofelnya saat berjalan. Ia bahkan hafal nada tuk-tuk yang terdengar. Ia juga suka saat kaki wanita itu mengenakan heels, terlihat sangat menawan. Dan, yang paling Zen sukai dari wanita itu adalah ekspresinya saat marah. Entah kenapa terlihat sangat seksi. Mungkin sejak saat itu Zen jatuh cinta.

Ah, tidak! Orang sepertinya adalah palsu. Jatuh cinta tidak pantas untuk sesuatu yang palsu.

###

avataravatar
Next chapter