17 #Setelah_Menyelamatkan #015

Pukul 07.00

Adiwangsa menguap berkali-kali. Ia memasuki swalayan 24 jam yang bertuliskan, Tutup. Langkahnya malas dan berat. Harusnya ia masih terlelap sekarang. Seharunya ia diberi waktu istirahat lebih panjang, setidaknya hari ini, setelah ia melakukan misi penyelamatan yang tidak mudah. Ia baru tidur 30 menit ketika ponselnya berteriak-teriak membangunkannya.

Sebelumnya Adiwangsa dapat mendarat dengan aman setelah melepas kaitan pada tali karena bagian belakang harnes dilengkapi dengan balon angin yang akan muncul jika tuasnya ditekan. Yang membuat tubuhnya tidak langsung membentur tanah saat jatuh.

Berhasil lepas dari para pengejar, Adiwangsa segera mencari Haidee. Sayangnya pemuda itu sudah tidak ada di bak pembuangan. Jejak yang ditinggalkan memperlihatkan pria itu sudah meninggalkan tempat di mana seharusnya mereka bertemu.

Adiwangsa mengumpat kesal. Pekerjaannya bertambah lagi.

Setelah sampai di rumah, Adiwangsa duduk dengan tenang di depan komputernya. Ia mulai meretas CCTV jalan. Adiwangsa melakukan pencarian yang membosankan selama berjam-jam.

Titik terakhir Haidee terlihat, pria itu memasuki sebuah jalan kecil yang gelap. Tidak ada CCTV di titik itu. Jalan yang Haidee lewati mengarah pada 5 jalur yang berbeda-beda. Dua jalur tidak dilengkapi CCTV.

Adiwangsa menunggu di persimpangan tapi sosok Haidee tetap tidak muncul. Tidak ada pilihan selain memeriksa setiap jalan, satu per satu. Barangkali saja Haidee menggunakan jalan tikus, barang kali saja pencariannya terlewat.

Ketika akhirnya Adiwangsa mendapat titik terang, Haidee telah diangkut oleh ambulans. Adiwangsa akan melakukan pemeriksaan di rumah sakit terdekat untuk mencari Haidee tapi ia sudah terlalu lelah. Tidak bisa lagi terus berjaga. Ia pun menyisakan pekerjaan untuk dilanjutkan pagi ini.

Adiwangsa telah menyusun rencana untuk dilakukan pagi harinya. Rencananya ia akan bangun pukul 10.00, kemudian melakukan pencarian. Setelah menemukan nama rumah sakit dan ruang rawatnya, ia akan berkunjung.

Sayangnya rencana hanyalah rencana. Baru matanya bisa terpejam dengan lelap, ponselnya sudah menjerit-jerit dan memperlihatkan sebuah panggilan masuk. Awalnya Adiwangsa berencana mengabaikan panggilan yang masuk bahkan hendak mengubah mode pada ponselnya menjadi non-aktif. Tapi, begitu melihat nama siapa yang tertera di layar, Adiwangsa segera melupakan kantuknya.

Dan, di sinilah Adiwangsa berada sekarang. Sedang mendorong troli belanjaan dan berhenti di rak minuman. Selain Adiwangsa, ada seorang wanita bersetelan jas dan celana panjang hitam. Usianya 53 tahun tapi wajahnya sama sekali tidak tampak menua sejak terakhir kali Adiwangsa bertemu. Tatapannya senantiasa waspada, pembawaannya tenang, karismanya benar-benar menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin yang disegani.

"Bagaimana misi penyelamatan?" Orang itu adalah seorang wanita bernama Ratu Khalisa.

Ratu Khalisa merupakan salah satu pimpinan Badan Intelijen di negaranya. Ia ikut datang ke N Island dengan menyamar sebagai salah satu pengawal Presiden. Agenda Presiden di N Island adalah kunjungan kenegaraan, jadi sebagai pengawal ia tidak bisa pergi terlalu lama.

"Target berhasil diselamatkan tapi..."

"Tapi lepas dari pengamatan dan akhirnya kamu kehilangan target." Ratu Khalisa memotong ucapan Adiwangsa dan menambahkan dengan apa yang dipikirkannya.

Adiwangsa menunduk. Bosnya yang satu ini memang yang paling tidak bisa dibohongi. Seperti tidak ada apa pun yang bisa disembunyikan dari pandangannya. Adiwangsa selalu berpikir Ratu Khalisa memiliki banyak mata-mata yang bekerja untuknya, yang telah ditempatkan di setiap sudut N Island.

Tunggu dulu!

Seharusnya Adiwangsa tidak perlu merasa bersalah dan menundukkan kepala. Keputusannya sudah benar. Jika saat itu mereka tidak berpisah, bisa-bisa penjaga segera menyadari hilangnya Objek 011 dari ruangannya, bisa-bisa penyelamatan gagal, dan mereka berdua justru tertangkap.

Adiwangsa kembali mengangkat wajahnya. "Memang benar target lepas dari pengawasan dan saya kehilangan target, tapi bukannya misi penyelamatan tetap berhasil."

"Kamu pikir dia akan baik-baik saja di luar sana seorang diri? Kamu bisa menjamin dia tidak akan kembali menjadi objek dengan sukarela?" Ratu Khalisa melotot, membalas kalimat Adiwangsa yang terdengar tidak bertanggung jawab.

"Ayolah, dia sudah tujuh tahun tertidur saja di ranjangnya yang empuk, dia benar-benar lamban sekarang. Kalau kami terus-menerus bersama, kami bisa tertangkap sekaligus." Adiwangsa masih membela diri.

"Tapi kamu bisa meletakkan alat pelacak di pakaiannya atau apa pun itu. Meski kalian berpisah, pengawasanmu terhadap target tidak akan lepas. Apa kamu pikir setelah dia bebas, dia akan menunggumu untuk berterima kasih? Iya?! Sejak kapan Adiwangsa jadi senaif ini? Apa aku pernah mengajarimu bekerja dengan otak setengah-setengah? Di mana rasa percaya diri yang selalu kamu pamerkan selama ini?"

"Oke, oke saya salah. Saya salah." Adiwangsa menghela napas panjang. Telinganya selalu saja berdenging setiap kali ia mendengar ocehan panjang lebar.

"Apa keberadaan target sudah berhasil diketahui?"

"Seseorang menemukannya pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit." Adiwangsa mendadak bungkam. Ia yakin bosnya akan mengomel lagi.

"Bagus, Adiwangsa, bagus! Kamu bisa dengan yakin mengatakan dibawa ke rumah sakit tapi kamu sendiri tidak tahu di rumah sakit mana Objek ditempatkan. Sepertinya memotong gaji 3 bulan belum cukup untuk mengubah kebiasaanmu yang suka menunda-nunda pekerjaan."

"Bos, ayolah. Saya juga butuh istirahat agar bisa tetap fokus bekerja. Bukankah kurang tidur bisa mengurangi fokus, bukankah saya tidak boleh melakukan kesalahan?" Suara Adiwangsa terdengar memohon.

"Pintar sekali kamu beralasan!" ucap Ratu Khalisa.

"Ayolah, beri kelonggaran sedikit saja. Bukankah Ibu sengaja datang ke sini langsung karena merindukanku?" Adiwangsa mengubah nada bicaranya. Ia terdengar sedang menggoda.

Sontak Ratu Khalisa menarik telinga Adiwangsa. Adiwangsa mengaduh kesakitan dan ikut memegangi telinganya. "Berani sekali mengalihkan pembahasan saat sedang serius membicarakan misi."

"Misi apanya? Yang dari tadi Ibu lakukan hanya mengomeliku," sungut Adiwangsa. Ia sekarang benar-benar telah menjelma menjadi seorang anak.

"Masih mau dijewer?!" ancam Ratu Khalisa. Adiwangsa menggeleng dengan cepat, kemudian tertawa. "Bagaimana situasimu?"

"Ada seorang wanita yang menyelidiki latar belakangku." Adiwangsa kembali pada mode serius. "Sepertinya dia wanita yang sama, yang menjadi asisten Menteri Riset dan Teknologi."

"Tidak masalah. Semakin cepat dia tahu keberadaan kita akan semakin baik. Mereka tidak akan berani membesar-besarkan masalah ini karena mereka juga memiliki dosa yang sama di masa lalu. Anggap saja ini peringatkan untuk mereka agar tidak memandang remeh Negara kita."

"Tapi..." Adiwangsa melipat tangannya di depan dada, sementara tangan kanannya mengelus-elus dagu berpikir. "Hubungan Menteri dengan asistennya sepertinya tidak biasa. Lagi pula seorang asisten yang bisa masuk ke pasar gelap dengan mudah untuk mencari informasi juga tidak terlihat seperti asisten biasa."

"Apa kamu pikir hanya keluarga kita yang memainkan hubungan rumit? Keluarga lain juga sama. Bahkan lebih rumit lagi." Ratu Khalisa menyunggingkan senyum. Jelas ia mengetahui sesuatu. "Cukup! Tidak perlu membahas hubungan keluarga orang lain, ini tidak ada hubungannya dengan misi."

Walau Ratu Khalisa telah mengatakan seperti itu, Adiwangsa telanjur tertarik dan merasa ingin tahu. Memang tidak ada hubungannya dengan misi hari ini, tapi siapa tahu bisa membantunya di masa depan. Menjadi seorang hacker telah mengajari Adiwangsa pelajaran hidup paling penting, bahwa memegang rahasia orang lain adalah investasi yang paling berharga melebihi apa pun.

"Berhenti berpikir usil tentang urusan keluarga orang lain!" Ratu Khalisa mengingatkan sekali lagi. Sebagai seorang ibu, tidak mungkin ia tidak bisa menebak apa yang Adiwangsa pikirkan. Ia juga tahu saat Adiwangsa telah tertarik terhadap sesuatu, sepanjang apa pun ocehannya anak itu tidak akan mendengarkannya.

Adiwangsa mengangkat kedua bahunya bersamaan dan tersenyum jahil.

Waktu mereka telah habis. Sebelum pergi, Ratu Khalisa mengambil kopi kaleng dan menyerahkannya pada Adiwangsa.

"Ibu, kan tahu aku tidak suka kopi!" Adiwangsa protes.

"Ada banyak pekerjaan yang harus kamu lakukan hari ini. Jadi aku tidak akan menerima alasan mengantuk yang akan kamu katakan." Ratu Khalisa meninggalkan swalayan lebih dulu.

Lama Adiwangsa memandangi kopi pemberian ibunya. Ia benar-benar tidak menyukai kopi, tapi kopi yang ada di tangannya adalah pemberian dari ibu untuk pertama kali setelah lima tahun mereka tidak bertemu. Jadi, bagaimana mungkin Adiwangsa bisa menolaknya.

Adiwangsa menghela napas. Ia meletakkan kopi pemberian ibunya dalam troli. Ia mengambil banyak susu UHT hingga troli belanjanya nyaris penuh.

Di meja kasir, seseorang yang berjaga tengah tertidur lelap. Adiwangsa mengetuk-ngetuk meja kasir untuk membangunkan. Ia harus membayar barang-barang dalam troli belanjaan sebelum pergi.

Swalayan yang harusnya buka, bertuliskan tutup. Pekerja yang bertugas jaga tertidur, CCTV disabotase, itu sebabnya seorang mata-mata bisa bertemu dengan bosnya dengan tenang. Bisa berbicara dan berdebat sesuka hati.

Selesai membayar, Adiwangsa meninggalkan swalayan dengan menenteng dua tas belanjaan. Tulisan Tutup yang sebelumnya menggantung di depan pintu telah dibalik menjadi Buka. Adiwangsa berjalan kemudian berbelok ke taman kota. Taman cukup sepi. Hanya ada tiga orang yang berlari lambat di jogging track.

Adiwangsa menemukan kursi panjang kosong dan duduk di sana. Ia mengambil kopi yang ia letakkan paling atas dibanding belanjaan yang lain.

Setelah membuka segel, Adiwangsa mulai meneguk kopi instannya. Tidak lupa ia menekan hidung dengan sebelah tangannya dan memejamkan kedua matanya. Adiwangsa meneguknya dengan cepat seperti ketika ia meminum jamu yang sangat pahit saat kecil.

Begitu satu kaleng kopi habis, Adiwangsa menghela napas lega.

Matahari bersinar hangat dan bersahabat mendekati musim penghujan. Adiwangsa mendongakkan wajahnya menyambut terpaan mentari yang membuat pandangannya silau. Awalnya ia merasa terganggu, tapi lambat laun mulai terbiasa.

Rasanya persis seperti hari itu. Sinar matahari pagi di negaranya juga sehangat ini. Adiwangsa mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pulang. Tiba-tiba saja ia merasa begitu merindukan kampung halamannya. Begitu merindukan rumahnya.

Masakan di negaranya tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan masakan Negara mana pun. Lidahnya sudah terlalu terbiasa dengan cita rasa gurih dan pedas yang hanya cocok dengan masakan dari negaranya. N Island juga merupakan Negara kepulauan sama seperti negaranya, tapi ombak terbaik untuk berselancar tetap saja ada di negaranya.

Semakin Adiwangsa bernostalgia, semakin ia ingin segera terbang dan pulang.

###

avataravatar
Next chapter