12 #Persiapan #010

Sebelumnya...

Adiwangsa bersiul riang dalam ruangannya. Cetak biru sebuah bangunan terhampar di lantai. Tidak ada meja di ruangannya selain untuk satu set komputer dan meja dapur, jadi segala sesuatunya diletakkan di lantai.

Ada garis kecil yang diwarnai dengan menggunakan spidol di atas cetak biru yang dihampar. Garis itu jelas merupakan sebuah tempat yang sempit. Disebut sebagai sebuah tempat rasanya tidak begitu tepat. Warna spidol berakhir pada sebuah ruangan yang dilingkari dengan garis merah, tempat yang akan menjadi tujuannya.

Adiwangsa masih bersiul. Ia sangat suka saat-saat dirinya harus beraksi. Ia suka saat-saat mendebarkan yang mampu memicu adrenalinnya. Ia suka saat-saat harus bergerak secara terang-terangan dibanding hanya duduk saja di mejanya sembari menggerak-gerakkan jarinya di atas tuts, atau berbaring di ranjangnya untuk menyusun siasat. Beraksi secara langsung lebih seru, lebih menantang.

Adiwangsa berjalan ke arah rak buku. Ia bukan sedang ingin membaca atau mencari referensi, tapi untuk menyiapkan peralatan.

Fungsi buku dalam rak bukan hanya untuk dibaca, atau untuk mencari referensi, atau mengumpulkan informasi. Ada yang lain. Ya, buku memang selalu memiliki banyak fungsi tersembunyi. Kamu tidak akan rugi saat mengoleksinya.

Ada beberapa buku di rak sangat tebal dan berat. Terlalu tebal bahkan. Adiwangsa menarik salah satunya. Ketika dibuka, bagian tengah buku berlubang, tidak ada tulisan sama sekali di dalamnya, yang ada sebuah revolver.

Adiwangsa sedang mempertimbangkan untuk membawa senjata. Ia berpikir sesaat kemudian menggeleng, menutup buku dan mengembalikan ke tempat semula.

Tempat yang akan Adiwangsa datangi lebih banyak dihuni oleh sipil dibanding pasukan bersenjata. Meski keamanannya akan lebih ketat dari sebelumnya, tapi tidak mungkin terjadi hujan peluru di sana. Jadi tidak perlu mempersiapkan senjata api untuk ia bawa.

Tidak perlu senja api bukan berarti tidak perlu membawa senjata. Adiwangsa memilih buku yang lain.

Buku-buku di rak disusun berdasarkan kode batang pada buku. Hanya Adiwangsa yang tahu kode batang mana yang menyembunyikan peralatan dan mana yang merupakan buku biasa.

Mengingat banyak angka memang merepotkan. Adiwangsa mengakali dengan mengingat angka paling buntut dan angka tengahnya saja.

Perlengkapan-perlengkapan yang Adiwangsa simpan dalam buku adalah perlengkapan modern, sederhana, dan efisien, yang tidak akan bisa ditemukan di Shopee, Tokopedia, atau platform belanja Online mana pun.

Ah, sepertinya tidak terlalu tepat. Beberapa mungkin bisa. Otak manusia itu kelewat pintar. Jika menyukai sesuatu mereka tidak akan ragu-ragu membuat imitasinya. Tapi tiruan tetap hanya tiruan, mana bisa kualitasnya disamakan dengan yang asli.

Adiwangsa mengambil sebuah tongkat susun yang berupa senter, yang jika disentak akan bertambah panjang. Kelebihannya bukan hanya untuk menggebuk orang atau membantu penerangan, tapi ada fungsi kejut listrik di bagian ujung pegangannya. Tidak hanya itu, tongkat juga bisa membelah diri, maksudnya digandakan menjadi dua dengan fungsi yang sama.

Tongkat tidak terlalu berat, tapi kekuatannya tidak perlu diragukan lagi pokoknya tidak bisa disandingkan dengan barang tiruan. Adiwangsa tidak perlu khawatir seseorang menjadi terbunuh. Sangat efektif dan efisien. Adiwangsa tidak suka sesuatu yang rumit, karena hidupnya sendiri sudah penuh dengan hal-hal rumit.

Aksi Adiwangsa kali ini untuk mencuri, bukan membunuh, jadi ia harus ekstra berhati-hati. Lagi pula ia bukan pembunuh bayaran. Membunuh orang sembarangan justru akan membuat pekerjaannya semakin rumit. Bisa-bisa ia yang akan diburu bosnya jika sampai salah langkah dan mengacaukan tugas.

Bos Adiwangsa sangat mengerikan. Salah langkah sedikit saja bisa-bisa tidak digaji selama tiga bulan. Kesalahan setitik bisa mengakibatkan gaji hangus berbulan-bulan. Benar-benar keterlaluan. Sama sekali tidak ada toleransinya. Juga tidak sudi mempertimbangkan situasi yang sedang Adiwangsa hadapi.

Ya, karakter bos mungkin semuanya memang seperti itu. Yang terpenting adalah hasil.

Bos Adiwangsa lebih gila lagi. Bayangkan saja konsekuensi tidak digaji selama tiga bulan. Dengan pekerjaan yang Adiwangsa lakukan, bagaimana mungkin ia boleh kekurangan uang. Bagaimana kalau karena kepepet kondisi ekonomi Adiwangsa berbelok? Bagaimana kalau ia nekat menjual informasi negaranya dan menjadi penghianat?

"Kalau sudah seperti itu berarti sudah saatnya kamu mengucapkan selamat tinggal pada matahari dan bulan," ancam bos Adiwangsa sembari menodongkan pistol ke arahnya ketika satu kali Adiwangsa mencoba protes.

Adiwangsa hanya bisa menggeleng.

"Lagi pula diidentitasmu yang sekarang kamu adalah seorang yatim piatu, jadi polisi akan berlaku wajar jika tidak ada yang mencarimu. Ditambah lagi kamu tinggal di Negara lain. Belum lagi jika mereka tahu kamu memalsukan identitas."

"Wah!" Adiwangsa menggeleng sekali lagi.

Adiwangsa tahu kata-kata itu hanya gurauan, tapi entah kenapa benar-benar menohok perasaannya. Ia merasa seperti sedang dimanfaatkan sebagai seorang warga Negara dan bisa dibuang kapan pun saat tidak dibutuhkan lagi.

Meski menyakitkan, Adiwangsa tidak pernah merasa sakit hati. Ia menyukai pekerjaannya dan akan terus melakukannya. Jika diberi kesempatan mengulang, Adiwangsa akan tetap memilih pekerjaan yang sama.

Adiwangsa pernah hidup normal sebelum ini, dan kehidupan itu membosankan, tidak cocok untuknya. Meski sebelumnya ia menggeluti pekerjaannya demi sebuah tujuan, sekarang ia bisa menikmatinya.

Bukankah pekerjaannya yang sekarang sangat keren? Bukankah memiliki banyak identitas adalah sebuah kelebihan istimewa yang tidak semua orang bisa miliki. Selain jenis kelamin, ia bisa mengubah usia, pekerjaan, kewarganegaraan, status sosial, dan banyak hal lainnya.

Hal yang menyenangkan selain bisa berganti identitas dengan mudah, Adiwangsa bisa menyusup, beraksi diam-diam maupun terang-terangan, menantang bahaya, menuntut dirimu lebih dari sebelumnya. Di mana lagi kamu bisa menemukan pekerjaan yang begitu seru, menantang, sekaligus menarik. Pekerjaan yang mampu menekanmu untuk mengetahui batas kemampuan sendiri.

Bagian yang patut disayang juga ada. Salah satunya ia tidak bisa lagi bertemu dengan wanita yang saat marah terlihat begitu seksi.

Adiwangsa menghela napas saat memikirkan wanita itu. "Biarlah." Ia berusaha tidak terpengaruh. "Biarkan dia tertipu laki-laki lain lagi sampai dia bisa belajar di mana letak kesalahannya dalam memilih."

Adiwangsa memasukkan senjata yang ia pilih ke dalam waistbagnya. Ia kembali fokus memilih peralatan.

Pasokan listrik akan ia matikan, jadi ia harus menggunakan kacamata yang mampu bekerja saat gelap. Adiwangsa mengambil sebuah buku dengan barcode 06 di tengahnya, dan 60 di akhirnya.

Adiwangsa mengenakan kacamata yang baru ia ambil. Di bawah pencahayaan normal, kacamata akan berfungsi normal juga. Jika pencahayaan redup dan menjadi gelap, otomatis fungsi lain kacamata akan bekerja. Kacamata juga dilengkapi dengan kamera mikro, jadi hasilnya bisa ia gunakan untuk reviu pekerjaannya.

Selain kacamata dan senjata, Adiwangsa juga mengambil buku dengan barcode 12 bagian tengah dan 21 bagian akhir. Sebuah buku yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu tebal. Buku yang menyimpan sebuah pulpen cetek.

Tampilannya memang mirip pulpen biasa dengan tiga warna berbeda, hitam, biru, merah. Jika warna yang dipilih adalah merah dan di cetek dua kali dengan cepat, maka yang akan keluar adalah sinar laser. Laser dengan kekuatan yang mampu memotong besi dan baja dengan cepat. Adiwangsa membutuhkan alat pemotong untuk berjaga-jaga seandainya mereka didesak ke suatu tempat.

Senjata, kacamata, alat pemotong, semua perlengkapan sudah cukup untuk membantu melancarkan aksinya. Ia memiliki cetak biru bangunan, mengenal tempat yang akan ia datangi, juga pengetahuan yang cukup. Peluang keberhasilannya mendekati sempurna.

Selesai dengan perlengkapan, Adiwangsa beralih pada penampilan.

Wajah Adiwangsa telah dikenali, jadi masuk tanpa persiapan sama saja bunuh diri. Adiwangsa menambahkan kumis tipis di bawah hidungnya, juga kerutan di sekitar mata dan bibir. Kemungkinan keamanan akan diperketat dengan menambahkan pemindai wajah, jadi ia juga harus bersiap.

Bentuk wajah setiap orang berbeda-beda tapi semakin maju teknologi, semakin operasi plastik menjadi sesuatu yang wajar, bentuk wajah yang mirip akan semakin banyak ditemui. Kerutan akan memanipulasi usia yang ditampilkan alat pemindai wajah.

Adiwangsa mengenakan setelan teknisi dan mengenakan sepatu militer. Ia telah mengantongi ID teknisi dari perusahaan HI yang telah menandatangani kontrak kerja sama. Persiapannya sempurna. Adiwangsa segera meninggalkan ruangannya.

"Pak Tua!" sapa Adiwangsa.

"Zac!" Pak Tua menyapa balik. "Sekarang bercosplay sebagai seorang teknisi?"

Adiwangsa menepuk kedua tangannya sebagai isyarat 'tepat'. "Bagaimana penampilanku?" Adiwangsa berputar dan bergaya layaknya seorang model. Pak Tua mengacungkan kedua ibu jarinya. "Kalau begitu aku pergi dulu."

Adiwangsa berbelok ke belakang gedung apartemen untuk mengambil kendaraannya.

###

avataravatar
Next chapter