webnovel

Objek 011

Seorang pemuda dijadikan objek penelitian oleh negaranya. Selama 7 tahun. Dalam tidurnya hal-hal menyakitkan, menyedihkan, mengerikan, berkali-kali diulang. Perasaan putus asa dan frustrasi telah menguasai akal dan pikirannya. Ingin berhenti, tidak bisa berhenti. Ingin mati, tidak diizinkan mati. Sampai akhirnya seseorang datang dan menyelamatkannya … Berhasil melarikan diri tidak berarti semua baik-baik saja. Kehidupan normal pun tidak bisa ia dapatkan. Efek samping penelitian mulai mengambil alih akal sehatnya.

NurNur · Action
Not enough ratings
47 Chs

#Objek_009 #023

Haidee menangkap tangan Yumi yang diam-diam bergerak untuk menjangkau ponselnya. Haidee menarik Yumi dan merapatkan tubuhnya di dinding.

"Kamu tahu," Haidee berkata lembut "Hari ini aku kehilangan keluargaku, kehilangan tempat untuk pulang. Mereka menghianati, membuangku demi orang-orang itu. Kamu seharusnya tidak melakukan hal yang sama. Tidak boleh!" Tatapan Haidee dipenuhi kesedihan.

Yumi berusaha melepaskan diri dari Haidee, tapi cengkeraman Haidee tidak melonggar sedikit pun.

"Kamu adalah orang yang menyelamatkanku. Kamu yang membuatku bisa bertahan. Aku bangun untuk bertemu denganmu," kata Haidee lagi.

Yumi mengerutkan keningnya, sama sekali tidak mengerti dengan maksud perkataan Haidee.

Yumi Zahrani adalah orang yang bekerja pada Arata Baswara. Ia adalah perawat yang ditugaskan Arata selama Objek berada di lab. Riset dan Teknologi. Yumi mengurus dan merawat segala hal mengenai Objek 011. Setelah Objek kabur, Arata kembali menugaskannya untuk mendekati Objek 011.

Adiwangsa menyelidiki setiap orang yang berhubungan dengan Objek 011 dan proyek Rekayasa Emosi Manusia. Adiwangsa pernah beberapa kali berpapasan dengan Yumi di lobi lab. saat masih bekerja di sana. Sejak itu Adiwangsa mulai menyelidiki wanita itu dan mencari tahu latar belakangnya.

Haidee menatap Yumi dalam, tapi wanita itu tetap juga tidak melunak. Tiba-tiba terbesit sesuatu dalam benak Haidee. Haidee merapatkan kelapa Yumi ke dadanya. Ia menahan kepala Yumi dan mulai memeriksa sesuatu di belakang daun telinga sebelah kiri.

Sesuai dugaan Haidee. Sebuah angka tercetak di sana. Sama seperti daun telinganya yang tercetak angka 011, daun telinga Yumi tercetak angka 009.

"Kamu juga objek?" Haidee terkejut. Lebih dari itu, tidak menyangka.

Yumi mendorong Haidee dengan sekuat tenaga hingga pria itu menjauh darinya. "Aku melakukannya dengan suka rela."

Haidee akan protes, tapi ia menatap Yumi lagi, kemudian beralih pada bocah yang berbaring di ranjang. Seketika itu ia mengerti. "Demi anakmu? Mereka menukarnya dengan fasilitas perawatan untuk anakmu?"

Yumi tidak menjawab tapi Haidee tahu tebakannya benar.

Objek 009 adalah perekaman emosi mengenai seorang ibu dan menjadi seorang ibu. Semua perasaan bahagia, sedih, dan kehilangan, penelitian terhadap Objek 009 diselesaikan dengan cepat.

Objek 011 adalah perekaman emosi mengenai rasa sakit. Segala jenis rasa sakit diujikan pada perasaannya untuk mendapatkan emosi yang diinginkan. Ada banyak jenis rasa sakit di dunia ini. Sakit fisik, tidak diinginkan, perasaan dikhianati, kehilangan, dipandang rendah, dan rasa sakit karena kemarahan. Begitu kompleksnya emosi yang ada pada rasa sakit membuat rekayasa pada Haidee memakan waktu lebih lama, lebih panjang.

"Haidee, aku mengerti seperti apa rasanya. Jadi tidakkah seharusnya kamu melunak dan..."

"Tidak!" Haidee menolak dengan tegas. "Tidak ada yang tahu seperti apa rasanya. Tidak ada yang mengerti! Aku tidak berutang apa pun pada mereka, tapi mereka mencuri hari-hariku, mereka membuatku gila!"

Haidee tidak ingin melampiaskannya pada Yumi, tapi ia benar-benar merasa marah. Haidee mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia berjalan mondar-mandir, berusaha meraih kembali ketenangannya. Ia datang bukan untuk berdebat dengan Yumi, ia datang untuk menetapkan pilihannya.

"Aku akan meninggalkan Negara ini," Haidee membocorkan rencananya "Ayo, ikut denganku!"

Yumi tidak segera bereaksi, tidak yakin dengan apa yang didengarnya. Haidee itu menatapnya penuh harap, memohon. Yumi membalas tatapan pria yang berdiri di depannya.

"Anakku sedang sakit. Kamu ingin aku meninggalkannya?" Yumi merasa marah.

Haidee menggeleng. "Kita bisa membawanya. Kita bisa mencari dokter paling hebat di negara-negara maju di luar sana untuk mengobatinya."

Yumi tersenyum meremehkan. "Kamu tahu biaya yang akan dihabiskan? Kamu yakin bisa menanggung semuanya?"

Yumi pernah ditinggalkan seorang diri setelah sebelumnya mereka berjanji melalui semuanya bersama, berjanji untuk terus saling menguatkan. Masa itu membuat Yumi belajar untuk tidak mudah terbuai lagi dengan janji semu, dengan kata-kata manis. Ia memilih menjadi seorang wanita yang realistis.

"Aku adalah Objek 011. Mereka masih mengejarku karena aku berharga. Kita akan menjual informasi yang ada di kepalaku ke Negara lain. Aku akan melakukan apa pun. Aku akan bertanggung jawab. Aku tidak akan menelantarkan kalian," janji Haidee.

"Kamu memintaku menjadi penghianat? Mengkhianati negaraku?" Yumi menggeleng tidak habis pikir. Kini ia menatap Haidee dengan berbeda. Tidak menyangka pria itu begitu putus asa.

Sebelumnya Adiwangsa pernah memberi saran serupa. Sebelumnya Haidee menganggap ide itu konyol dan sama sekali tidak tertarik. Sekarang tanpa sadar, ia sendiri yang menyarankan ide konyol itu pada Yumi.

Adiwangsa benar tentang satu hal, jatuh cinta itu benar-benar merepotkan.

"Haidee, kamu tahu yang akan terjadi sendainya kamu benar-benar menjual negaramu? Kamu tahu apa dampaknya bagi negaramu? Bagi orang-orang di Negara ini?" Yumi berusaha meluluhkan Haidee. "Tentang rasa sakit bukankah kamu yang paling tahu. Kalau sampai..."

"Tapi semua itu bohong! Rasa sakit itu palsu!" Haidee kembali meninggikan suaranya.

Yumi menghela napas. Mereka terlalu berbeda satu sama lain. Isi kepala mereka sama sekali tidak bisa disatukan. "Semuanya demi negaramu. Kenapa kamu tidak menganggap semua ini sebagai bentuk pengorbanan?"

"Pengorbanan, pengorbanan!" Haidee merasa muak mendengar kata itu. "Ini bukan pengorbanan tapi pemaksaan. Kenapa kalian selalu mengulang-ulang omong kosong yang sama?" Haidee tidak memiliki banyak waktu lagi tapi ia tidak ingin berhenti mencoba. Ia menarik napas, meminta untuk yang terakhir kalinya. "Yumi, ikutlah denganku!"

Tidak ada titik temu antara Haidee dan Yumi. Yumi sama sekali tidak melunak dan Haidee tidak berencana mengubah rencananya.

Yumi menggeleng dengan cepat. Bahkan tanpa mengambil waktu untuk berpikir.

***

"Zen Adnan!"

Adiwangsa sedang terburu-buru ketika ia mendengar suara dari orang yang paling ingin dihindarinya. Adiwangsa mengenal pemilik suara itu. Tentu saja, tidak akan pernah lupa. Tidak bisa!

"Kamu pikir dengan kamu tidak berbalik, aku tidak tahu kalau itu kamu?!" Wanita itu meninggikan suaranya. Hana Lutfia. Adiwangsa akan angkat kaki, tapi Hana berseru lagi, "Berhenti!" Anehnya Adiwangsa menurut, tidak bergerak lagi.

Bagai robot, Adiwangsa memutar badannya perlahan, dengan kaku. Hana kini berdiri tepat di depannya, terlihat sangat marah.

"Berani sekali kamu membiarkan wanita cantik menunggumu, sendirian, semalaman! Bukannya kamu bilang akan datang!"

Adiwangsa berusaha tersenyum tapi otot di sekitar bibirnya mendadak kaku. Ia tahu, ia akan luluh jika terlalu lama menghadapi Hana saat marah. Adiwangsa tidak akan bisa lupa kesan pertamanya saat bertemu dengan Hana. Mungkin itu yang disebut dengan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Hana mendekat dengan langkah cepat. Suara sepatunya yang menyentak-nyentak terdengar berisik.

"Apa kamu menyukaiku?" tanya Hana ketika ia telah berdiri begitu dekat dengan Adiwangsa.

Adiwangsa tidak langsung menjawab, ia berpikir. "Tentu saja... bukankah pernah kubilang aku sudah hampir setahun mengejarmu."

Mendengar kalimat yang sudah tidak asing di telinganya membuat Hana semakin marah. "Breng..."

Hana akan menampar wajah Adiwangsa, tapi pria itu menahan lengannya. Hana akan melakukan dengan lengannya yang lain, tapi Adiwangsa menahannya lagi. Tatapan Adiwangsa mendadak lembut. Ia menghela napas panjang.

"Aku benar-benar sangat sibuk sekarang," kata Adiwangsa. Suaranya begitu lembut, memohon pengertian. Ia melepaskan tangan Hana sembari sedikit mendorongnya menjauh. "Maaf, kita lanjut lagi kapan-kapan," tambahnya kemudian kabur.

"Zen Adnan, berani sekali kamu mendorongku!" Hana semakin murka, tidak sadar sedang berada di tempat umum, di parkiran rumah sakit.

Para pengejar Haidee telah berkeliaran di suruh rumah sakit. Jumlah mereka semakin banyak. Sama dengan yang Adiwangsa lakukan, mereka juga sedang bergerak ke bagian ruang rawat anak. Tampaknya para pengejar telah belajar banyak setelah dua kali gagal menangkap targetnya. Pelarian hari ini tidak akan berjalan semudah sebelumnya.

Ketika Adiwangsa sampai di ruang VIP tempat anak Yumi di rawat, pintu ruangan terbuka. Di depan pintu ada seorang pria tergeletak dan satu lagi di dalam ruangan.

"Wah!" Adiwangsa hanya berseru, tidak tahu harus berkata apa. Ia memperhatikan Haidee dan Yumi yang duduk terpisah di sudut yang berbeda. "Tampaknya jalur diplomasi gagal," komentarnya setelah memahami situasi yang terjadi.

"Kenapa lama sekali," sungut Haidee.

"Ada musuh besar menghadang. Aku harus mengecohnya agar tidak ikut mengejar sampai ke sini," kata Adiwangsa beralasan.

Adiwangsa memperhatikan seisi ruangan, mencari cara agar mereka bisa meninggalkan rumah sakit dengan aman. Ia memutar otak, memutar matanya. Ada jendela yang langsung menghadap ke halaman depan, tapi mereka ada di lantai empat. Melompat tanpa pengaman sama dengan mati.

Kembali ke pintu depan ketika memeriksa situasi di luar, para pengejar sudah sampai di lorong depan. Dari arah lain juga sama. Mereka terjebak. Adiwangsa kembali memutar pandangannya dan melihat boks peralatan pemadam APAR[1] di dinding.

"Cepat singkirkan dua orang ini dari jalanku!" Adiwangsa memberi tugas pada Haidee. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk mengecoh para pengejar dan meninggalkan rumah sakit.

"Kamu mau apa?"

"Jangan cerewet! Setelah itu cepat sembunyi!" Perintah Adiwangsa lagi. "Menangani hal seperti ini saja tidak bisa, bagaimana nanti kamu hidup tanpaku?"

Adiwangsa bergegas ke tepi jendela. Ia melihat-lihat keadaan, mengukur, memperhitungkan. Setelah selesai berhitung mengenai nasibnya, Adiwangsa melompat dengan menggunakan fire hose[2] yang dililitkan di pinggangnya.

Adiwangsa tidak lagi terlihat di ruang VIP lantai 4. Tubuhnya bergantung. Sebelum fire hose kembali melepaskan gulungan lain, ia berayun dan melompat masuk ke sebuah ruangan yang jendelanya terbuka.

Sepertinya Adiwangsa diam-diam memiliki kecenderungan lain karena suka melakukan hal-hal yang berbahaya. Kalau tidak, ia tidak akan begitu tergila-gila dengan aksi yang memicu adrenalin dan berulang kali terjun dari ketinggian.

Pendaratan Adiwangsa tidak berlangsung mulus karena ia menginjak pinggiran kursi dan akhirnya jatuh bergedebuk di lantai. Orang-orang seisi ruangan jelas terkejut. Adiwangsa sempat mengumpat karena kesakitan sebelum mengembalikan pijakannya dan melanjutkan pelariannya.

Begitu para pengejar sampai di ruangan VIP tempat anak Yumi dirawat, yang bisa mereka lihat hanya fire hose yang menjuntai ke bawah melalui jendela. Mereka tentu saja tidak berpikir hanya satu orang yang melompat. Bukankah mustahil untuk orang yang harusnya datang menolong meninggalkan partnernya seorang diri.

Setelah para pengejar berhambur untuk mengejar ke lantai bawah, Haidee keluar dari persembunyiannya. Haidee menatap Yumi untuk terakhir kalinya tapi wanita itu tetap membatu, bahkan tidak sekalipun mengangkat kepalanya untuk balas memandang Haidee atau sekadar mengucapkan 'selamat tinggal.'

Haidee pergi dengan meninggalkan hatinya pada Yumi.

Begitu Haidee sudah tidak terlihat lagi, Yumi bertingkah seperti tidak ada yang terjadi. Ia menaikkan selimut putranya, merapikan tempat tidurnya. Ketika sedang membenarkan sudut-sudut seperai bagian atas, Yumi menemukan amplop. Ada uang tunai di dalamnya, di sembunyikan di bawah bantal.

###

[1] Alat pemadam Api Ringan.

[2] Selang pemadam kebakaran.