18 #Masa_Lalu #016

"Kak, panas! Apa kita enggak bisa masuk ke rumah sekarang ?"

Dua orang bocah laki-laki tengah berbaring terlentang di atas rumput di halaman rumah mereka. Sang kakak adalah Adiwangsa ketika berusia 10 tahun dan adiknya bernama Adiraja berusia 7 tahun.

Waktu baru menunjukkan pukul 08.00 pagi tapi kedua orang tua mereka sudah terlibat pertengkaran. Di hari minggu, saat anak-anak mereka berada di rumah. Adiraja yang terbangun karena ribut-ribut, langsung saja dialihkan sang kakak ke luar rumah agar tidak melihat dan mendengar kedua orang tuanya bertengkar.

"Kak!"

Adiraja yang tidak mendapat tanggapan dari kakaknya mulai mengangkat kepalanya tapi belum sampai bangun, Adiwangsa menekan kening adiknya sampai merapat lagi di atas rumput.

"Belum cukup!" Adiwangsa menegaskan. Ia memperhatikan waktu pada jam di pergelangan tangannya. "Untuk memaksimalkan manfaatnya paling enggak kita harus berjemur selama 30 menit setiap hari. Sebentar lagi musim penghujan dan kamu selalu mudah sakit-sakitan waktu musim hujan. Memangnya kamu mau terserang flu dan dilarang ibu main karena sakit?" Adiwangsa bertanya dan adiknya menggeleng.

"Tapi aku sudah lapar." Adiraja mulai merengek.

"Sebentar lagi. Nanti Kakak gorengkan dua sosis."

"Ditambah telur mata sapi dan nasi goreng," Adiraja menawar.

"Oke. Dua sosis, telur mata sapi, dan nasi goreng," Adiwangsa setuju dengan cepat.

"Berapa menit lagi?"

"Hitung sampai 100. Kalau sudah selesai kita bangun, Kakak buatkan sarapan."

"Oke." Adiraja memejamkan matanya dan mulai menghitung degan khidmat.

"Sinar mata hari pagi bisa meningkatkan produksi vitamin D dalam tubuh yang bagus untuk tulang biar kamu bisa cepat tinggi. Juga bagus untuk daya tahan tubuh kita. Apa gurumu belum mengajarkan manfaat berjemur di pagi hari?" Adiwangsa bertanya pada adiknya yang masih fokus menghitung.

"Belum. Mungkin itu pelajaran kelas tiga," jawab Adiraja asal.

Karena menjawab pertanyaan kakaknya, Adiraja jadi lupa jumlah hitungannya. Ia jadi harus mulai menghitung lagi dari awal.

Adiwangsa kembali mengajukan pertanyaan, berulang kali. Ia sengaja mengacaukan hitungan adiknya agar waktu yang mereka habiskan di luar semakin lama. Agar saat mereka kembali ke dalam rumah nanti, ayah dan ibu sudah berhenti bertengkar dan sudah lebih tenang.

Matahari bersinar dengan hangat. Benar-benar terasa nyaman berbaring di atas rumput dengan menghadapkan tubuh pada langit. Tenang, damai. Tidak lama lagi matahari akan bersinar lebih panas, lebih membakar. Adiwangsa berharap sebelum matahari bertambah terik, mereka sudah bisa masuk ke dalam rumah. Ia sendiri tidak ingin menjadi gosong karena terpanggang terlalu lama.

"55, 56, 57..."

Suara Adiraja masih terdengar berhitung pelan. Sebelum mencapai hitungan ke-80, Adiwangsa mengajukan pertanyaan lagi, membuat adiknya mau tidak mau harus menghitung dari awal lagi.

Langit cerah berwarna biru dengan gundukan awan putih yang berarak. Sesekali terlihat sekelompok burung lewat, sesekali elang berputar dengan angkuh. Sesekali angin berembus, sesekali kicau burung terdengar.

Adiwangsa mengubah tangan kanannya sebagai bantalan untuk kepalanya karena tangan kirinya mulai terasa keram. Perlahan mata Adiwangsa mulai terpejam. Tapi kemudian ia dikejutkan oleh suara tembakan. Mata Adiwangsa kembali terbuka. Ia diam beberapa saat, mencoba mencerna suara apa yang baru ia dengar.

Ketika firasat buruk mulai menjalari tubuhnya, Adiwangsa beranjak dan lari masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Adiraja yang masih menghitung.

Adiwangsa berlari, terus berlari. Sampai di dalam rumah, ia melihat pintu ruang kerja terbuka. Adiwangsa mendekat, semakin mendekat. Perasaan tidak enak, perasaan takut yang entah pada apa mulai merangkak dan menguasai hatinya.

Di depan ruang kerja, hal pertama yang Adiwangsa lihat adalah tubuh ibunya yang berdiri membelakangi pintu.

"Ibu..." Adiwangsa memanggil ibunya ragu. Ketika ibunya berbalik, pandangan mereka bertemu.

Adiwangsa melihat tatapan mata kosong di wajah ibunya. Adiwangsa tidak mengerti, seolah tidak lagi mengenal sosok yang biasanya cerewet yang saat ini berdiri di depannya. Ketika Adiwangsa mengalihkan pandangannya, ia melihat tubuh ayahnya duduk di kursi kerja. Tubuh yang tidak lagi bernyawa.

Ada darah, ada lubang di pelipis kanan ayahnya. Ada aroma mesiu yang samar-samar masih tercium. Mata ayahnya terpejam dengan jejak sudut mata yang memperlihatkan air, tangis. Tangan kanan ayah tergantung di tangan kursi, sementara sebuah pistol tergeletak di lantai.

Wajah Adiwangsa pucat, mulutnya terbuka dengan air yang mulai menumpuk di kelopak matanya. Lutut Adiwangsa bergetar, nyaris kehilangan kekuatan yang mampu menyanggah berat badannya.

"Kak, kenapa aku ditinggal?" Adiraja yang baru datang ikut masuk. "Kak..."

"Jangan lihat!" Adiwangsa segera menarik adiknya dan menutup matanya.

"Kenapa?" Suara Adiraja bergetar. Terkejut mendengar suara kakaknya yang tiba-tiba berteriak dan menariknya.

"Pokoknya jangan lihat!" Adiwangsa semakin meninggikan suaranya.

Dimarahi lagi membuat Adiraja menangis. Meski terisak, kakaknya tetap tidak membuka penutup matanya.

Mendengar isak tangis anak keduanya, jiwa ibu yang hilang seolah telah kembali padanya. Ibu memeluk Adiwangsa dan Adiraja bersamaan. Berusaha menenangkan keduanya. Ia membawa mereka menjauh dari TKP dan menutup pintu ruang kerja.

Tidak lama setelah ibu selesai menelepon, beberapa orang berkemeja rapi masuk melalui pintu belakang. Ada dua orang. Mereka berbicara dengan ibu kurang dari lima menit, kemudian ibu berkemas-kemas dengan cepat. Membawa Adiwangsa, Adiraja, pakaian, dan barang-barang berharga seperlunya dan meninggalkan rumah melalui pintu belakang.

Adiwangsa tidak pernah mendapat penjelasan mengenai apa yang dilihatnya hari itu. Ia tidak berani bertanya dan ibu sama sekali tidak pernah membahasnya. Setelah hari itu, mereka berpindah ke tempat yang jauh, bahkan mengganti nama keluarga.

Berita mengenai ayahnya, bagaimana polisi melakukan penyelidikan, Adiwangsa sama sekali tidak mendapat akses. Ibu tidak mengizinkan anak-anaknya menonton kecuali siaran anak-anak. Ibu juga tidak berlangganan surat kabar. Ponsel mereka ditahan sampai lebih dari sebulan.

Waktu sebulan dengan penuh tanda tanya telah berlalu, ibu kembali bekerja, dan dengan segera mendapat kenaikan pangkat. Ibu menjadi lebih sibuk, hampir setiap hari pulang terlambat, dan sering pergi dinas.

Adiwangsa juga semakin sibuk. Sibuk mengurus adiknya dan sibuk mengurus dirinya sendiri. Waktu demi waktu terus berlalu. Ibu telah sukses mengalihkan perhatiannya, membuatnya terus sibuk.

Sebanyak apa pun waktu terlewati, sejauh apa pun kenangan itu tertinggal di belakang, Adiwangsa tidak akan pernah bisa lupa apa yang dilihatnya hari itu. Bagaimana ekspresi ibu, apa yang terjadi pada ayahnya. Tidak akan lupa. Lebih tepatnya tidak bisa. Ia selalu dihantui, bahkan dalam tidurnya.

Bahkan setelah 19 tahun berlalu, setelah ia berdiri di sudut lain di luar negaranya, semua masih hidup jelas dalam ingatannya. Bahkan aroma samar dari bubuk mesiu yang memenuhi udara hari itu masih bisa ia cium.

Jika diingat-ingat lagi, alasan Adiwangsa tidak menyukai kopi adalah sejak kejadian itu. Kopi mengingatkan Adiwangsa pada ayahnya, lebih tepatnya aromanya. Di dalam rumah, hanya ayah satu-satunya yang menyukai kopi. Ketika Adiwangsa mencium aroma kopi, ia seperti bisa melihat ayahnya tersenyum padanya. Tapi bagaimana mungkin itu senyum karena sampai hari ini Adiwangsa masih belum bisa menemukan kebenaran mengenai apa yang terjadi pada ayahnya.

Adiwangsa tidak ingin melupakan ayahnya, tapi juga tidak ingin meragukan ibunya. Setelah ayah meninggal, hanya ibu dan Adiraja yang ia punya. Adiwangsa tidak ingin kehilangan lagi. Tidak sanggup.

Semakin beranjak remaja, semakin keingintahuan menguasai Adiwangsa. Saat pertama kali belajar meretas, akun yang pertama kali ia jebol adalah milik ibunya. Dari kata sandi laptop, file-file yang disembunyikan, sampai email yang digunakan.

Untu pertama kalinya Adiwangsa tahu bahwa ibunya bekerja di Badan Inteligen Nasional. Selama ini yang Adiwangsa tahu, hanya sebatas ibunya bekerja sebagai pegawai negeri. Tidak lebih.

Mengetahui pekerjaan asli ibunya kembali membangkitkan keingintahuan mengenai penyebab kematian ayah sebenarnya. Adiwangsa mulai mengumpulkan informasi melalui surat kabar lama dan mencari-cari di internet.

Informasi yang akhirnya berhasil ia dapatkan membuatnya terperangah. Kasus bunuh diri ayahnya berubah menjadi kasus bunuh diri satu keluarga. Rumah lama mereka hangus terbakar dan hanya menyisakan bongkahan arang, tidak meninggalkan jejak apa pun.

Adiwangsa semakin mengasah kemampuannya menyusup dan menjebol berbagai keamanan komputer. Adiwangsa telah berulang kali mencoba masuk ke Data Base tempat ibunya bekerja tapi selalu gagal. Yang ia butuhkan adalah hadware yang telah terdaftar dan berada dalam lingkungan kantor.

Adiwangsa memulai pengalaman pertamanya menyamar dan menjadi penyusup di dunia nyata. Ia mengambil laptop milik ibunya diam-diam dan masuk ke gedung Badan Inteligen Nasional dengan mencuri ID seorang cleaning servis.

Begitu berhasil masuk, Adiwangsa segera mencari tempat untuk bisa dengan leluasa menggunakan laptop milik ibunya. Tidak butuh waktu lama untuk Adiwangsa berhasil masuk ke Data Base. Adiwangsa meminta akses untuk membuka profil ayahnya.

Setelah mendapat izin, Adiwangsa membaca nama yang sangat asing bahkan tidak pernah ia dengar sebelumnya bersanding dengan foto seorang pria yang ia kenal sebagai ayahnya. Adiwangsa tidak dapat membaca lebih banyak karena tiba-tiba aksesnya terputus dan akun yang ia gunakan dikeluarkan. Adiwangsa tahu aksinya telah ketahuan.

Adiwangsa pulang ke rumah dengan punggung membungkuk. Meski ia ketahuan, aksinya tidak sia-sia sama sekali. Ia mendapat informasi berharga, ayahnya adalah seorang mata-mata. Berbagai dugaan berkelebat di kepala Adiwangsa tanpa bisa ia kendalikan.

"Kakak bolos lagi?" Adiraja langsung menyambut kakaknya begitu melihat saudaranya memasuki gerbang. Suaranya terdengar khawatir.

Ibu duduk menunggu di ruang tamu dengan rotan di tangannya.

"Kamu tahu apa kesalahanmu?" Ibu berdiri dengan berkaca pinggang begitu Adiwangsa telah berada di depannya. Adiwangsa mengangguk, kepalanya tertunduk. "Letakkan laptop ibu dan perlihatkan tanganmu!"

Adiwangsa patuh. Ia masih tidak mengatakan apa pun, tidak tahu harus memulai dari mana. Ia meletakkan laptop di meja kemudian membuka telapak tangannya. Dengan rotan, ibu mulai memecut telapak Adiwangsa, beberapa kali.

Adiraja masih berdiri di sisi kakaknya. Meski bukan tangannya yang dipecut, ia ikut merasa kesakitan. Keningnya ikut mengernyit.

"Apa Ibu yang membunuh Ayah?"

Kalimat Adiwangsa membuat rotan yang akan memukul telapaknya hanya diam di udara. Adiwangsa yang sebelumnya masih menunduk telah mengangkat wajahnya. Pandangannya lurus menatap wajah ibunya.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" Bukannya menyangkal, ibunya justru balik bertanya.

Adiwangsa tidak menjawab. Ia hanya memandangi wajah ibunya lamat-lamat. Seolah dari sana ia bisa menemukan jawaban yang selama ini ia cari.

Adiraja yang masih berdiri di sisi kakaknya, menyikut ulu hatinya. "Orang lain boleh meragukan Ibu, satu dunia boleh mencurigai Ibu, tapi kita tidak!" Adiraja berkata tegas.

Adiwangsa menatap ibu dan adiknya bergantian kemudian kembali menunduk, tanpa berkata apa pun.

Pagi harinya sebelum pergi ke sekolah, ibu, Adiwangsa, dan Adiraja sarapan bersama di satu meja. Suasana begitu tenang, canggung. Hanya suara denting sendok yang menyentuh piring yang terdengar. Adiwangsa kesulitan mengangkat sendok karena telapaknya masih kaku oleh rasa sakit.

"Apa Ibu yang memaksa Ayah bunuh diri?"

Hening. Setiap orang berhenti mengangkat sendok mereka dan menatap ke arah Adiwangsa. Baru kemarin sore ia bertanya. Belum sampai 24 jam dan ia kembali membahas maslah yang sama.

"Bukan!" Ibu menjawab dengan tatapan mata lurus tertuju pada anak lelaki tertuanya.

Adiraja yang tidak suka dengan topik pembicaraan yang kakaknya bahas, melemparnya dengan kacang sayur dari piringnya. Ia menggeleng pada kakaknya dan menyuruhnya melanjutkan makan dengan tenang.

Sampai hari ini Adiwangsa terus bertanya-tanya kenapa jawaban ibunya berubah-ubah. Apa ibu sengaja mengacaukannya?

Ketika pertama kali Adiwangsa bertanya, jawaban ibu membuatnya curiga. Harusnya saat ditanya seseorang yang tidak bersalah cukup memberikan jawaban bukannya balik bertanya. Ketika bertanya untuk yang kedua kalinya, ibu langsung menjawab, menyangkal, tapi Adiwangsa tetap tidak berhenti curiga, tetap terus bertanya-tanya.

Ibunya adalah orang yang berdedikasi penuh pada pekerjaan, pada negaranya. Berbeda dengan Adiwangsa yang melakukan pekerjaannya karena menyenangkan. Orang yang penuh dedikasi bukankah sangat mungkin membuang perasaannya demi sebuah pengabdian.

Setelah hari itu Adiwangsa tidak berani bertanya lagi. Ia takut ibunya mengubah jawaban lagi dan mengaku. Jika sudah seperti itu, dunianya pasti runtuh. Setelah itu apa yang harus ia lakukan?

###

avataravatar
Next chapter