10 #Identitas_Lain #008

Di bagian Timur lab. Riset dan Teknologi merupakan salah satu kawasan terpadat di Pulau Gama. Gedung perkantoran dan sekolah saling berjajar. Area di sekitarnya terkenal sebagai pusat wisata kuliner. Dari warung tenda pinggir jalan, kafe, sampai resto mewah berbintang memenuhi daerah itu.

Di salah satu apartemen kelas menengah di kawasan itu, lantai tiga dengan nomor pintu 303, tertera nama Adiwangsa sebagai penghuninya. Ruangan di balik pintu itu los. Di bagian paling kiri ada tempat tidur dengan ranjang rendah. Di sebelah kiri, bagian lainnya, adalah dapur. Di antara kamar dan dapur ada lemari pakaian dua pintu.

Ruangan 303 luas dan terkesan lebih luas karena tidak ada dinding penyekat yang membatasi tempat satu dengan tepat lainnya. Satu-satunya tempat tertutup adalah kamar mandi. Semua tempat bisa terlihat dari satu kali pandangan. Tidak adanya sofa atau meja menandakan tuan rumah tidak pernah dan tidak berencana menerima tamu.

Di bagian paling dalam, mulai luas tengah ruangan yang ditandai dengan rak buku besar yang tidak terlalu tinggi, sampai ujung paling kanan, lantainya sedikit lebih rendah. Di tempat itu terdapat satu set komputer dan beberapa monitor yang sedang menyala.

Seorang pemuda baru saja bangun dari tidur nyenyaknya. Ia tertidur sangat pulas, seolah sudah sangat lama tidak memiliki jam tidur panjang. Pria itu menggeliat beberapa kali sebelum beranjak dan meninggalkan ranjangnya yang terlalu luas untuk ditempati seorang diri. Jam menunjukkan pukul 10.05 pagi.

Adiwangsa berjalan dengan malas ke arah dapur, masih belum sepenuhnya rela meninggalkan ranjangnya yang nyaman. Ia mulai memanggang dua lembar roti tawar. Selagi menunggu roti matang, ia beralih ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Begitu roti matang, ia mengoleskan banyak selai stroberi di atasnya. Kulkas dibuka, ia menuangkan susu cair ke dalam gelas kaca tinggi.

Dengan roti di tangan kanan dan gelas di tangan kiri, Adiwangsa meninggalkan dapur dan menuju meja kerjanya.

"Wah, sepertinya mereka sudah begitu sibuk saat aku masih tidur dengan nyenyak," komentar Adiwangsa setelah beberapa saat mengamati apa yang terjadi dalam monitor.

Adiwangsa mulai menggigiti rotinya. Setelah habis, ia meneguk minumannya dalam tegukan besar, dan mulai bekerja. Ia memutar video dari awal untuk memastikan apa yang telah terjadi memang sesuai dengan naskah yang ia inginkan.

"Ini sudah lebih dari lima jam sejak kekacauan terjadi dan mereka belum juga sadar aku menyabotase jaringan dan komputer mereka. Hah, benar-benar membosankan." Nada bicara Adiwangsa lebih terdengar kecewa dibanding meremehkan.

Suara bip singkat mengalihkan perhatian Adiwangsa pada monitor di sebelah kanan. Seseorang di seberang sana telah mengirim email untuk bertukar informasi kepada pihak lain.

Adiwangsa telah menunggu-nunggu bagian ini. Ia berharap bisa mendapatkan informasi berharga secara cuma-cuma. Saat Adiwangsa mengeklik email untuk mengintip isinya, pesan yang ditampilkan di luar perkiraannya.

"Kamu pikir bisa mendapatkan informasi penting secara gratis, jangan mimpi!"

Ujung bibir Adiwangsa terangkat. Ia tersenyum antusias. Tidak lama kemudian, monitor yang sebelumnya mempertontonkan kesibukan dalam Lab. Riset dan Teknologi lantai bawah, dipenuhi ribuan semut.

Tidak berhenti di situ, monitor utama bergerak-gerak sendiri. Muncul banyak tulisan di layarnya seolah kendalinya telah diambil alih. Adiwangsa tersenyum lagi. Matanya dipenuhi binar-binar kebahagiaan.

"Seperti ini baru benar," katanya sebelum menggerak jari-jarinya di atas tuts komputer.

Seseorang di seberang sana sedang mencoba menyusupi komputernya dan mencari tahu keberadaannya. Tentu saja tidak akan mudah menembus pertahanannya, kalau tidak ia tidak akan menekuni bidang ini.

Pertarungan terjadi selama sepuluh menit, sebelum akhirnya Adiwangsa berhasil membuat lawannya bertekuk lutut dan tidak lagi bisa berkutik. Selain berhasil mengalahkan lawan, Adiwangsa juga berhasil mengetahui identitas orang di seberang sana. Kemenangan mutlak.

"Ogawa?" Adiwangsa menggumamkan sebuah nama, "Rasanya tidak asing."

Adiwangsa mulai mengingat-ingat dan tidak butuh waktu lama untuk bisa menemukan wajah seorang pria kurus, tidak terlalu tinggi, dengan wajah polos, mengenakan seragam pengawas muncul dalam ingatannya.

"Ah! Seseorang yang punya nama depan yang sama denganku. Zen Ogawa!" seru Adiwangsa.

Karena memiliki nama depan yang sama, beberapa kali mereka bertegur sapa. Adiwangsa tidak menyangka di balik wajah polos dan lugu pria itu, ia adalah seorang hacker yang lumayan.

Merasa tertarik, Adiwangsa mulai mencari tahu latar belakang Zen Ogawa. Setelah mendapatkan daftar riwayat hidupnya, Adiwangsa mencetaknya di kertas HVS.

Adiwangsa menyentakkan kakinya dan kursi terdorong ke meja printer yang baru saja berhenti mencetak. Ada dua lembar kertas yang dipegang Adiwangsa. Selain nama, alamat, riwayat pendidikan, beberapa kegiatan yang pernah Zen ikuti, data keluarga juga tertera di sana.

Zen Ogawa 25 tahun, berasal dari keluarga sederhana, lulusan universitas kelas C, pernah menganggur selama tiga tahun, pernah bekerja di sebuah warnet sebelum akhirnya ditarik bekerja di lab. Riset dan Teknologi.

"Di bagian ini benar-benar tidak masuk akal." Adiwangsa menunjuk aktivitas kosong selama tiga tahun, tanda menganggur tanpa kegiatan apa pun. "Bagaimana bisa seseorang yang memiliki kemampuan menganggur selama tiga tahun."

Adiwangsa masih terus membaca dan menemukan sesuatu yang menarik, alasan mengenai ditariknya Zen untuk bekerja di lab. justru karena Zen pernah berusaha membobol keamanan komputer lab. untuk mencuri datanya.

"Aku suka semangat mudanya."

Kalau tidak salah tahun itu adalah tahun-tahun di mana masyarakat menuntut transparansi anggaran yang dikelola lab. Riset dan Teknologi. Pemerintah cukup terbuka mengenai pembagian anggaran di setiap kementerian dan beberapa sektor lain. Dana yang dianggarkan untuk Kementerian Riset dan Teknologi adalah yang paling besar dengan jumlah yang terus naik. Hal itu membuat masyarakat curiga. Jangan-jangan ada penggelapan, jangan-jangan ada proyek rahasia.

Adiwangsa sangat menyukai kekacauan yang terjadi pada tahun itu. Ia juga ikut andil memprovokasi melalui media sosial. Misinya adalah menghentikan proyek, jadi ia mencoba dari berbagai arah.

Jam menunjukkan pukul 12.10, Adiwangsa meletakkan kertas yang ada di tangannya ke dalam laci, menumpuknya dengan informasi lain mengenai proyek Rekayasa Emosi Manusia. Ia merasa sangat lapar. Sebagai orang Asia, hanya memakan roti tidak bisa memuaskannya. Apa lagi sudah tengah hari. Ia butuh nasi dalam porsi besar.

Sebelum keluar, Adiwangsa mandi, kemudian memotong poninya yang sudah terlalu panjang. Ia sudah harus sepenuhnya mengubah penampilan dengan yang akhir-akhir ini melekat padanya.

Berponi, kacamata, dan selalu mengenakan kemeja, bagi Adiwangsa penampilannya yang itu terlalu polos dan agak kuper. Benar-benar bukan dirinya.

Begitu selesai menjabrikkan bagian depan rambutnya, Adiwangsa menghapus sesuatu di bawah mata kirinya. Ia menggunakan kapas dan pembersih khusus. Begitu selesai, tahi lalat yang menjadi tanda lahirnya muncul. Tidak lupa ia memasang anting bulat kecil di telinga kirinya.

Setelah penampilannya sempurna sebagai Adiwangsa yang memang dirinya, ia menyambar jaket dalam lemari dan meninggalkan ruangannya.

Jelas-jelas Adiwangsa tinggal di ruang 303, tapi ketika meninggalkan ruangan ia justru keluar dari ruang 304 atas nama Zac.

"Pak Tua!" Adiwangsa menyapa seorang penjual buah yang membuka lapak di dekat apartemen tempatnya tinggal.

"Zac! Kapan kamu kembali? Kenapa aku baru melihatmu?"

"Semalam," jawab Adiwangsa kemudian mengambil sebuah apel, mengelap dengan baju dan menggigitnya.

"Bagaimana keadaan ibumu? Kupikir kamu tidak akan pernah kembali, karena sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihatmu."

Penjual buah yang Adiwangsa panggil Pak Tua adalah seorang pria berusia lebih dari tengah abad. Pak Tua seorang duda, dan tinggal sendiri. Anaknya bekerja di Pulau Alpa. Seorang pria tua yang kesepian dan ramah.

"Sudah baik-baik saja, makanya aku bisa kembali." Adiwangsa berdusta. Membawa-bawa orang tua saat harus berbohong kadang kala membuatnya merasa bersalah. "Sudah, ya, aku lapar. Jangan lupa tagih apel yang kuambil setiap akhir bulan!" Adiwangsa mengakhiri percakapan. Ia telah beranjak sebelum Pak Tua menjawab.

"Tidak perlu diingatkan!" sahut Pak Tua meninggikan suaranya.

Lima menit kemudian Adiwangsa telah berdiri di halte. Ia membaca rute bus selanjutnya dan waktu keberangkatan yang tertempel di papan pengumuman. Sebelum memutuskan memanggil taksi Online, Adiwangsa menempelkan titik hijau di sudut bawah papan pengumuman.

Lima menit setelah Adiwangsa pergi, seseorang datang mengambil titik hijau yang tertempel.

###

avataravatar
Next chapter