webnovel

Objek 011

Seorang pemuda dijadikan objek penelitian oleh negaranya. Selama 7 tahun. Dalam tidurnya hal-hal menyakitkan, menyedihkan, mengerikan, berkali-kali diulang. Perasaan putus asa dan frustrasi telah menguasai akal dan pikirannya. Ingin berhenti, tidak bisa berhenti. Ingin mati, tidak diizinkan mati. Sampai akhirnya seseorang datang dan menyelamatkannya … Berhasil melarikan diri tidak berarti semua baik-baik saja. Kehidupan normal pun tidak bisa ia dapatkan. Efek samping penelitian mulai mengambil alih akal sehatnya.

NurNur · Action
Not enough ratings
47 Chs

#Abraham_Eleven #028

Suara srot-srot pertanda isi dalam kotak minuman telah habis benar-benar berisik. Adiwangsa baru saja meletakkan bau-bauan di bagian bawah hidung Haidee dan sedang menunggu pria itu sadar.

"Sudah bangun?" kata Adiwangsa begitu melihat Haidee mengerutkan keningnya.

Adiwangsa melemparkan kotak yang telah kosong ke tempat sampah kemudian mengambil satu lagi dari kulkas. Ia juga menarik satu kursi dan duduk di depan Haidee.

"Dari mana kamu mengumpulkan orang-orang itu? Sama sekali tidak terlihat profesional." Adiwangsa menjadi besar kepala karena berhasil menjatuhkan semua sekaligus dalam waktu singkat.

Haidee yang telah sepenuhnya sadar berusaha memberontak, mungkin sedang mengukur kekuatan ikatan Adiwangsa. Setelah mencoba beberapa kali, tidak ada perubahan dan ikatan tidak juga mengendur akhirnya Haidee berhenti dan memilih duduk dengan tenang.

"Bukan tidak profesional. Kami hanya kalah licik dari-mu," balas Haidee.

"Hohoho." Adiwangsa mengeluarkan suara tawa ala Sinterklas, penuh kebanggaan. "Biar aku beri tahu, tingkat kelicikan seseorang menandakan betapa profesional dirinya dan sudah selama apa berkecimpung dalam lingkungan ini. Kamu masih bau kencur, jadi perlu banyak belajar dari kakak. Ah, bukan," Adiwangsa meralat ucapannya dengan cepat "Pada guru."

Haidee berdecih, merasa tidak sudi. Sifatnya benar-benar angkuh.

"Penawaranku masih sama. Bergabunglah denganku!" Haidee meminta dengan menggunakan nada memerintah.

Adiwangsa berpura-pura berpikir. Ia beranjak dari kursinya dan kembali membuka kulkas. Kali ini ia mengambil apel. Dengan ekspresi telah berubah menjadi lebih santai, ia menggigiti apelnya dan kembali ke kursi.

"Apa kamu pikir masih memiliki pilihan untuk bernegosiasi?" Adiwangsa meniru cara bicara Haidee sebelum ini.

"Seharusnya kamu menanyakan keuntungan apa yang akan kamu dapat jika bergabung. Bukankah harusnya urutannya seperti itu." Di luar dugaan, Haidee masih memiliki senjata terakhir untuk melakukan negosiasi.

"Oh iya, ada imbalan? Kalau begitu biar aku dengar sebelum membuat keputusan."

Haidee menyeringai. Ia kemudian berdeham beberapa kali. "Bisa ambilkan aku minum? Tiba-tiba tenggorokanku terasa kering."

Adiwangsa menghela napas. Ia melirik kotak susu UHT yang belum ia minum. Dengan berat hati ia menancapkan sedotan dan menyodorkannya di depan bibir Haidee. Haidee berpikir, menatap kotak susu dan Adiwangsa bergantian, ragu.

"Jangan bersikap menyebalkan! Minum saja apa yang diberikan di depanmu," Adiwangsa mengingatkan.

Haidee berdeham lagi, "Aku punya sesuatu yang kamu cari," katanya mengabaikan kotak susu yang ada di depan mulutnya.

Adiwangsa menaikkan alisnya, kemudian mengarahkan sedotan ke bibirnya. "Dari mana aku bisa yakin kalau kamu benar-benar punya sesuatu yang aku cari?"

Haidee mengangkat kedua bahunya bersamaan. Adiwangsa menatap lekat, berusa mencari jawaban, berusaha menemukan jejak-jejak kebohongan dan tipu muslihat.

"Saat aku terlibat sebagai tentara bayaran di antara negara-negara berperang, aku bertemu dengan seseorang yang kabur dari negaranya karena muak terlibat dalam politik tidak sehat. Dia bilang mengenal ayahmu–" Haidee memberi jeda untuk meralat "Dia mengenal seorang mata-mata yang menggunakan nama Abraham Eleven."

Kening Adiwangsa berkedut. Ia tidak begitu tahu mengenai Abraham Eleven. Selama bertahun-tahun ia sudah berusaha menemukan informasi mengenai nama itu tapi sama sekali tidak ada hasil yang bisa ia dapatkan. Tidak ada informasi apa pun seperti sosok itu tidak pernah ada sebelumnya.

Hanya sekali, satu kali Adiwangsa menemukan nama itu dalam sebuah data yang dirahasiakan oleh Badan Inteligen Negaranya. Nama yang disandingkan dengan foto ayahnya. Hari itu adalah pertama dan terakhir kalinya ia mengetahui mengenai Abraham Eleven. Adiwangsa tidak akan pernah melupakan nama itu.

Di negaranya, informasi mengenai Abraham Eleven hanya tersimpan di Badan Inteligen Nasional. Yang bisa mengakses informasinya pun terbatas, hanya beberapa petinggi di tempat itu. Ibu memblokir semua informasi sehingga tidak ada pilihan bagi Adiwangsa selain menjadi profesional. Saat itulah ia memutuskan untuk menjadi mata-mata.

Adiwangsa melewati masa-masa sulitnya, pelatihan-pelatihan berat. Semua demi jawaban, demi keingintahuannya, demi mengungkap kebenaran yang ibu sembunyikan.

Setelah menjadi profesional pun masih ibu yang memegang kendali. Sebelum berakhir di N Island, beberapa kali ibu memberinya misi yang jauh dari negaranya, yang jauh dari jejak-jejak yang pernah dilewati ayahnya.

Saat misi selanjutnya datang dan ia harus berpindah ke N Island, Adiwangsa menerima misi itu dengan cepat. Ia tahu bahwa dari N Island-lah ayahnya berasal.

Meski telah berada di N Island, ibunya masih tetap memegang kendali, membuatnya sibuk. Adiwangsa harus ke luar-masuk lab. Riset dan Teknologi, menyamar sebagai salah satu pekerja di sana. Ia juga diberi tugas ini dan itu, membuatnya tidak memiliki waktu untuk menyelidiki masalah ayahnya.

Abraham Eleven, tidak banyak informasi yang bisa Adiwangsa dapatkan.

Abraham Eleven memiliki nama asli Hanan Kenzo. Informasi mengenai keluarga, orang-orang yang mengenalnya, sekolah, pekerjaan, dan asal-usulnya kebanyakan telah dihapus. Dalam informasi pribadi yang pernah Adiwangsa temukan, hanya ada kata 'hilang'. Selebihnya tidak dicantumkan keterangan lebih lanjut.

"Bagaimana, tertarik untuk bekerja sama?" Haidee terlihat semakin angkuh karena merasa telah memegang kendali.

"Beri waktu aku untuk berpikir," kata Adiwangsa kemudian meninggalkan Haidee, meninggalkan ruangan, dan meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia perlu udara segar untuk berpikir, untuk menentukan pilihannya.

Selama ini Adiwangsa memang tidak pernah berhenti mencari informasi mengenai ayahnya. Ibunya tidak pernah bercerita, adiknya menganggap tidak ada yang pernah terjadi. Adiwangsa merasa kesal karena hanya ia sendiri yang merasa kehilangan, yang terus bertanya-tanya.

Adiwangsa mengingat kembali alasannya memilih jalannya kini. Ia benar-benar ingin mengerti pilihan ayahnya, ingin tahu situasi yang dihadapi ibunya. Sayangnya semakin Adiwangsa menjalani, semakin ia tidak mengerti, tidak bisa menemukan jawaban.

Ketika Adiwangsa mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin menjadi seperti orang tuanya, ibu menyetujui dengan cepat seolah telah menunggu-nunggu kalimat itu begitu lama.

Selama satu setengah tahu, sembari menjalani hari-harinya yang normal Adiwangsa juga mempelajari banyak hal mengenai mata-mata. Adiwangsa memperluas pengetahuannya, mempertajam keahliannya.

Ibu Adiwangsa bahkan mengatur sebuah kecelakaan sebagai sandiwara, untuk menciptakan alibi. Agar saat ada yang bertanya mengenai anak lelaki tertuanya, ia bisa menyiapkan alasan dengan menunjuk rumah sakit tempat anaknya dirawat, yang keadaannya sedang koma.

Lihat! Tidakkah ibu cukup kejam dengan melakukan hal itu. Seorang ibu memang mampu melakukan apa pun untuk anaknya, tapi yang ibunya lakukan bukan seperti tidak ada pilihan lain.

Tapi sekali lagi, menjadi mata-mata adalah pilihan Adiwangsa sendiri.

Adiwangsa mengagumi akting ibunya yang menangis terisak dan tidak berhenti meratap. Padahal dalam naskah anaknya hanya koma, bukannya meninggal. Media meliput berita nahas hari itu, tapi tidak berlarut-larut. Informasi dibatasi.

Kekuasaan ibu, kelicikan, cara berpikir, Adiwangsa benar-benar mengaguminya. Sosoknya sebagai ibu dan istri yang Adiwangsa kenal saat masih kecil dengan sosok ibu sebagai salah satu petinggi Badan Inteligen benar-benar berbeda. Seolah ada dua kepribadian dominan di dalam tubuhnya.

Adiwangsa merasa kagum, di saat yang bersamaan ia juga merasa ngeri. Pantas saja ibunya berhasil menjadi salah satu petinggi di Badan Inteligen. Kekuasaan benar-benar mengerikan. Bahkan untuk hal yang seharusnya menyakitkan pun bisa dijadikan sebuah pertunjukan.

Adiwangsa semakin bertanya-tanya, hal apa lagi yang tidak ia ketahui dari ibunya. Berapa banyak topeng yang belum ia lihat.

Suatu kali Adiwangsa bahkan pernah mempertanyakan keberadaannya. Jangan-jangan sejak awal ibunya telah memprediksi pilihannya untuk menjadi mata-mata. Jangan-jangan ibunya yang memancing keingintahuannya. Jangan-jangan dirinya juga bidak.

Adiwangsa sungguh ingin tahu isi hati ibunya, ingin tahu isi pikirannya. Selama ini yang ibu lakukan apakah demi anak-anaknya atau demi dirinya sendiri. Selama ini apakah ibu berdiri sebagai abdi Negara atau sebagai seorang ibu. Saat ibu menyetujui jalan yang Adiwangsa pilih, saat ibunya memberi misi, apa yang ibunya pikirkan, ada di sisi mana ibu berdiri.

Kadang kala, di suatu hari yang panjang Adiwangsa akan merasa kesepian, sendirian. Ia tidak memiliki tempat, tidak memiliki siapa-siapa, dan tidak mengenal siapa pun di dunianya yang palsu.

"Sial! Kenapa sekarang aku yang terkesan menyesal memilih jalanku?"

Adiwangsa kembali ke ruangannya. Semua orang telah melepaskan ikatan mereka. Haidee menatap ke arahnya, sedang menunggu. Hongli menyentak-entakkan kakinya ke lantai, berusaha membongkar teknik rahasia Adiwangsa. Mark duduk dengan bosan. Terakhir Carl, sedang mengelus-elus pistolnya.

"Bagaimana, sudah membuat keputusan?" tanya Haidee dengan senyum penuh kemenangan.

"Beri aku satu nama agar aku bisa mengalkulasi apa imbalannya sesuai untuk aku ambil." Adiwangsa menatap Haidee dingin.

Haidee berpikir saat, mempertimbangkan.

"Moissani Sekai."

Moissani Sekai adalah orang pertama yang memproklamirkan dirinya untuk kembali berlaga dalam pemilihan presiden tahun ini. Sosoknya telah dikenal seluruh kalangan dan sangat disegani. Adiwangsa tidak mungkin tidak mengenal nama itu.

###