3 Sekat

Maylea melirik seseorang yang tengah duduk di kursi sebelah, menikmati makanan di piringnya, makan dengan lahap. Raut wajah yang begitu menyejukkan, enak dilihat, penuh kharismatik, Revano.

"Makanannya cepet dihabisin Lea. Jangan ngelamun aja," tegur Anne yang baru saja muncul dari dapur, membawa semangkuk sup yang baru matang.

"Nak Revano, makannya yang banyak," wanita paruh baya itu tersenyum dapati Revano lahap dengan makanannya.

"Sipp tante," jawab Revano cepat. "Masakan tante emang paling enak deh."

Mendengar pujian itu, jelas membuat Anne, ibunda Maylea tersenyum senang, kemudian kembali memperingati anaknya untuk selesaikan makan dengan baik, tidak berhenti-henti seperti jalanan macet ibukota.

Revano tampak tersenyum melihat Lea yang malah balas teguran ibunya dengan dengkusan kasar, tapi tetap turuti perintah dan selesaikan makannya dengan segera.

Acara makan malam ini selesai tepat ketika jam menunjukkan pukul 21:00. Anne yang sudah bereskan sisa makanan dan piring kotor itu kemudian meminta putrinya mengantar Revano keluar. Mereka bertetangga, hanya berbeda gang saja, masih satu komplek.

Maylea berjalan bersebelahan dengan Revano, membuat degup jantungnya mulai berdetak melewati ritme, melawan arah. Berada di sebelah Revano seperti ini sudah amat jarang, terlebih ketika Maylea telah menyadari perasaannya pada Revano, gadis itu seakan malah beri jarak.

"Makasih udah mau dateng kerumah," ucap Maylea senang.

Pernyataan itu langsung disambut senyumnya oleh Revano, laki-laki itu juga tampak senang.

"Aku seneng kok, apalagi karna dirumah cuma ada aku sama ayah. Nggak ada yang masak," celetuk Revano seraya tampakkan deretan giginya yang tersusun rapi, menatap raut Maylea yang bersemu.

"Enak ya punya Ayah," balas Maylea. Gadis itu tatap langit yang menghitam tanpa bintang itu seakan tengah menerawang jauh, melewati batas pandangnya.

Revano tersenyum dan rangkul bahu Maylea, menggoyangkannya perlahan. "Ada enak dan nggak enaknya. Sama kaya kamu punya bunda Anne, dan aku nggak punya."

Maylea tampak tundukkan kepalanya,  ia tak bisa menemukan bayangan laki-laki yang harusnya ia panggil 'ayah' diatas sana.

"Bahkan wajahnya pun aku nggak kenal, gimana bisa kangen coba." Maylea menyerah untuk mengingat, ia tak bisa jangkau bayangan yang telah pergi meninggalkannya ketika gadis itu masih berada di dalam kandungan.

Keduanya telah sampai di pagar rumah Revano, mereka berhenti.

Revano usap pucuk kepala Maylea dengan senyum masih menemaninya. Pemandangan yang paling Maylea sukai, Senyuman Revano tentunya.

"Semangat terus, Lea." Gadis yang tengah atur degup jantungnya itu tundukkan kepala, mencoba menghindari kontak mata dengan Revano, agar tak terlalu jatuh pula.

"Lea, jangan nyerah sama apa yang jadi impian kamu ya. Aku masuk dulu." Revano melangkah masuk setelah kembali usap pucuk kepala Maylea dengn lembut. Gadis itu mengangguk seraya tatap punggung yang perlahan menjauh itu, seperti ingin di raih, namun terlalu sulit.

Kalo impian gue ngemilikin lo gimana? Apa gue juga nggak boleh nyerah?

***

Danial pijit keningnya yang terasa nyeri. Laki-laki itu menatap lembaran berkas yang begitu menyebalkan menyambut paginya hari ini, menjadi manager marketing ternyata tidak semudah itu. Danial jatuhkan pantatnya pada kursi dengan keras, lagi-lagi ia merasa terbebani dengan jabatannya.

Suara dering telfon kemudian membuat seketika fokus Danial teralihkan. Ia raih ponselnya di saku jas berwarna abu-abu itu dan dapati nama 'Bos Besar' di layar ponselnya. Danial segera angkat telfon tersebut, lalu berdiri mendekati jendela. Ia akan membicarakan sesuatu sembari nikmati cahaya matahari pagi ini.

"Papa denger marketing lagi jatuh? Ada apa Nak?"

Bos besar itu adalah Nuraga Aditya Makaila, Ayah Danial. Pemilik perusahaan besar Nuraga Synthetics Viber, perusahaan tekstil besar di jakarta. Laki-laki itu nikmati masa tuanya setelah jabatan ia serahkan pada Revano sebagai CEO, dan Danial hanya sebagai Manager marketing. Danial sengaja menghindari jabatan CEO karna merasa masih sangat awam untuk menjalankan semua bagian perusahaan, maka Nuraga alihkan pada Revano. Danial tidak keberatan, selagi pemegang jabatan tertinggi itu tidak licik dan culas, maka Danial tidak akan ambil pusing.

"Papa nggak usah kawatir, aku bakal urus semuanya," jelas Danial meyakinkan. Danial kembali memutar otak seraya tatap keluar jendela, mencoba mencari jalan keluar.

"Revano tadi pagi lapor kalo pemasaran jatuh, kamu malah nggak kasih tau papa." Nuraga kembali mengomel.

"Itukan tugas dia pa, ya kenapa harus Danial?" elak Danial mencoba membela diri.

Laki-laki yang umurnya sudah lewat setengah abad itu terdengar mendengkus kasar, Danial tak peduli dengan kekesalan orang tua itu, ia memilih diam.

"Pokoknya papa nggak mau tau, kamu harus lebih teliti lagi dalam bekerja, jangan malas-malasan."

Danial mengangguk saja, lalu meminta izin akhiri telfon dengan Nuraga setelah dapati sosok Maylea berjalan turun dari mobil, gadis itu baru datang.

Danial langsung keluar dari ruangannnya dan berjalan menuju liftm tepat seperti dugaannya, ia bertemu dengan Maylea yang akan masuk lift yang sama.

Keduanya berdiri saling berjauhan, hanya ada mereka berdua didalam sana, ditemani kebekuan.

Hampir 6 bulan dari awal perkenalan mereka, sekarang keduanya tampak lebih dekat. Danial kini sudah lebih mengenal jauh Maylea, keduanya bisa saling menguatkan satu sama lain, atau saling melampiaskan.

Danial mendekat, memangkas jaraknya dengan Maylea. Gadis itu melirik, merasa jika Danial mungkin sebentar lagi akan menganggunya.

"Mau kemana lo?" suara Maylea hentikan gerakan Danial, jika hanya berdua mereka tidak menggunakan bahasa formal agar lebih nyaman.

"Keruangan Revano, mau minta jatah." Danial menggoda Maylea yang sontak mendapat cubitan pedih di bahunya. "Astaga, sakit sayang."

"Lebay!" sewot Maylea.

Danial kembali mendekati Maylea dan letakkan dagunya di pundak gadis itu, "cuma kita berdua loh," bisik Danial seraya endus leher Maylea lembut.

Sial, gadis itu merinding seketika.

Untungnya lift menuju lantai 25 tidak diberi cctv, dikarenakan atas permintaan Revano pada saat itu, entah apa alasannya Revano tidak memperbolehkan cctv di lift tersebut.

Tapi untungnya, itu malah memberi mereka kebebasan berdua. Jika saja ada cctv, mungkin Danial tidak akan sebebas ini mendekati Maylea.

"Danial, masih pagi!" Maylea membalik tubuhnya menghindari perlakuan Danial yang terus mengendus lehernya, ia tak tahan diperlakukan seperti itu.

Maylea tertegun ketika tubuhnya yang memutar ingin menghentikan ulah Danial malah mendapatkan ciuman tepat di bibirnya, singkat. Danial segera menjauhkan tubuhnya ketika Maylea tampak melotot terkejut.

"Ucapan selamat pagi," jelas Danial yang kemudian tampak meringis tunjukkan deretan giginya yang putih.

Maylea tak menjawab karna pintu lift tampak terbuka untuk keduanya. Danial dan Maylea kembali berjalan beriringan, lalu berpisah di lorong kedua, karna Maylea akan bertemu dengan manager keuangan disana, dan Danial beda cerita.

Maylea usap lehernya yang sebelumnya sempat di endus mesra oleh Danial, benar-benar membuat tubuhnya sempat menegang tadi. Gadis itu usir fikiran jahat yang menyapa dan kembali berjalan menuju ruangan yang ia maksud.

avataravatar