webnovel

Siapa kau?

Setelah berjalan ckup jauh akhirnya sampai juga di kampung kulon, dia mendengar sesuatu dari perutnya, bernyanyi sejak sepuluh menit lalu. Sejak kemarin siang dia hanya makan sepotong kue di tokonya, dan belum makan apapun lagi. Ini kota yang ramai, banyak yang berjualan, seperti sebuah pusat kota atau alun alun. Dia cukup terkesan. Mengingatkannya dengan masa lalunya. Dia merasa pergi ke tempat yang tepat, "Lapar", gumamnya.

Dia berjalan melirik sana sini mencari sesuatu yang bisa dia makan, tentu saja, kalau tidak memintanya, mungkin bisa mencurinya juga, namun dia berhenti di sebuah lapak penjual cermin, dia melihat pantulan dirinya pada sebuah cermin besar seukuran tinggi tubuhnya, bukankah aku terlihat seperti anak laki laki, gumamnya dalam hati,

"Silahkan Jang kasep dilihat lihat, cerminnya yang besar, yang kecil juga ada, harga mah mirah mirah semua, manga Jang"

Dia hanya mengangguk tersenyum saja, dalam hati dia merasa sangat puas, semua yang di temuinya menyebutnya dengan "Jang/Ujang" berarti dia bisa berhasil mengelabui semua orang kalau dia adalah laki laki,

Secara tiba tiba dia di tabrak dari belakang, oleh seorang laki laki. Namun dia terburu buru dan kembali berlari. Dia menjatuhkan barangnya, sebuah gelang emas bermata biru tua, mengkilat dengan sangat indahnya. Dia lalu ikut berlari mengejar laki laki itu, "hei, abang, tunggu, barangnya terjatuh."

Hanya beberapa langkah saja berlari, seseorang, mencengkram lengannya dengan kuat, "kena kau" seorang laki laki dewasa tinggi nan gagah membawa serta kelompoknya ramai ramai menghadangnya, menendang salah satu kakinya hingga dia terjatuh dan berlutut. Seseorang menekan punggungnya ke tanah, dia benar benar tidak bisa bergerak. Seluruh warga di sana mengerumuni, membuatnya jadi tontonan, "ah, aduh, sakit, tanganku, kenapa tiba tiba menyerangku, "

"Dasar pencuri licin, masih saja membuat omong kosong meski sudah tertangkap,"

'Pencuri? apa aku ketahuan mencuri pakaian,' Pikirnya

"eh, eh, tunggu , kalian salah paham"

Salah satu dari mereka mengambil gelang itu dan menodongkannya di depan muka,

"Ini adalah buktinya, kau mencuri benda warisan turun temurun keluarga, tidak ada gunanya kau mengelak"

Ah, ternyata itu pikirnya tenang "eh, tunggu, aku tidak mencuri itu, pasti dia yang tadi menabrakku, kalian seharusnya mengejar Dia, "

"Bawa paksa Dia ", seru salah seorang itu.

Seberapa pun usahanya untuk melepaskan diri, gadis mungil lemah sepertinya tidak mungkin bisa melawan beberapa pria kuat saat ini. Dia di seret paksa menuju sebuah tempat. Seperti tempat orang berkuasa, atau semacam balai pemerintahan, kalau di dunianya mungkin ke tempat polisi.

Rinaya tersungkur dengan tangan terikat di belakang, di lihatnya di dihadapannya seorang pria paruh baya mengenakan pakaian yang terlihat elegan, sepertinya dia adalah pemimpinnya, pimpinan petugas keamanan.

Orang itu membaca sebuah kertas, layaknya hakim membaca tuntutannya

"Tertangkap basah mencuri perhiasan milik keluarga terpandang, dapat dijatuhi hukuman pukulan sebanyak 100x dan di kurung selama tiga tahun. Jika kamu mengakuinya, hukuman bisa lebih ringan"

Rinaya menganga tidak percaya, "Tunggu, aku tidak mencuri itu, kalian salah menangkap orang,"

Hakim itu memotong "Mengelak dan beralasan akan membuat hukumanmu lebih berat"

"Sudah jelas kalian salah menangkap orang"

"Kalau begitu kita dengar kesaksian dari korban"

Seseorang perempuan remaja datang dari balik pintu, matanya berkaca kaca, sembab seperti seharian menangis.

"Neng Rahayu silahkan bicara bagaimana ciri ciri si pen curi" cara bicaranya seperti sangat menghormati orang itu, sedangkan kepada Rinaya dia sangat angkuh dan menyebalkan

"Dia laki laki berpakaian serba hitam memakai ikat kepala hijau, dan rambutnya diikat seluruhnya di belakang. Percis seperti itu" dia menunjuk ke arah Rinaya

"Haah,, teteh pasti salah lihat, bukan aku sungguh"

"Sudah ada bukti dan saksi, kesalahan kamu tidak bisa lagi di bantah"

Rinaya tertawa pahit, "Hukum macam apa ini, dengar ya, jika hukum disini sangat lembek seperti ini, aku yakin beberapa tahun kedepan bakal banyak penghianat berkeliaran, kalian terlalu gampang menjatuhkan vonis"

Hakim itu memerah merasa di rendahkan. Lagipula nada bicara Rinaya yang di nilai terlalu sombong itu tidak pantas untuk seorang rendahan sepertinya.

"Pengawal, lakukan hukuman pukulan sekarang juga"

Rinaya semakin berwajah panik. Bagaimana bisa dia menerima hukuman yang tidak dia lakukan. Seratus pukulan, dengan badan mungilnya, mungkin belum selesai bakal mati duluan, sial sial, dia terus berpikir bagaimana cara melarikan diri.

Dag, satu pukulan menghujam punggungnya hingga tersungkur. "Aaahh,," Rinaya mengerut memejamkan matanya, menahan sakit di punggungnya,

"Tahan" seseorang berseru dari balik gerbang masuk hampir saja pukulan kedua menyentuh tubuh Rinaya. Tak lama kemudian beberapa orang memasuki gerbang, membawa seseorang di tangannya dan melemparnya hingga tersungkur. Semua orang merasa terheran, orang itu, berpakaian serba hitam, rambutnya terikat dan memakai ikat kepala berwarna hijau, kebetulan yang tidak disangka.

Seseorang diantaranya terlihat berbeda, lebih gagah, meski raut wajahnya sangat terlihat datar, dingin dan tenang.

"Bocah itu mengaku tidak mencuri, maka cari lah pencuri sebenarnya, bukan dengan memaksanya mengakui hal yang tidak dilakukannya."

"b-b-Balapati, kenapa tiba tiba anda datang kemari" Hakim itu meski paruh baya dan terlihat berwibawa, langsung menurunkan pandangannya begitu orang ini muncul. Tidak disangka nasib baik masih memihak pada Rinaya, dia pun tersenyum lega.

"Sudah ku bilang kau salah orang,, ah, punggungku sakit, hei kau cepat buka ikatanku" Rinaya berseru kepada salah satu pengawal yang menyeretnya kemari.

"Lepaskan saja dia, kau berhutang satu pukulan kepadanya, menghukum orang yang tidak bersalah adalah kesalahan fatal bagi seorang hakim"

Balapati adalah sebutan untuk seorang pemimpin pasukan pada peperangan, dia terlihat sangat gagah, wajahnya yang datar, alisnya yang tajam, membuat semua orang merasa segan dan takut hanya dengan melihatnya, dijinjingnya sebuah pedang bersarung warna putih, berhias ukiran berwarna emas kecoklatan sangat indah dan gagah seperti pemiliknya.

Rinaya berdiri dan sesekali menyentuh punggungnya yang sakit, "Aku sedang terburu buru kali ini, lain kali aku tidak akan memaafkan mu" dia menunjuk hakim itu, hakim itu merasa marah tapi dia tidak bisa melakukan apapun, dia memang salah.

Rinaya melangkahkan kakinya, mendekati sang balapati itu. Rinaya tidak berani menatapnya. Bagaimanapun juga seorang Balapati pastilah orang yang terpandang, sedangkan dia hanya orang asing, haruslah menjaga sikap. Rinaya menundukan kepalanya "Terimakasih banyak", dan kembali melangkahkan kakinya.

Langkahnya terhenti, Balapati itu menghalanginya dengan tangan yang menggengam pedang.

Rinaya melihat lekat lekat pedang itu dihadapannya, seakan pernah melihatnya di suatu tempat.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Balapati itu bertanya namun Rinaya masih tidak meninggalkan pandangannya dari pedang itu. Tangannya terangkat ingin menyentuh pedang itu. Tapi Balapati itu langsung menurunkannya seakan tidak ingin di sentuh. Rinaya berbalik dan menatap wajah balapati itu. Dengan wajah cemberut dia menjawab "Tidak pernah, aku baru tiba hari ini" Rinaya pun melangkah pergi.

Rinaya Bertanya tanya, mengapa Balapati itu membuat padangan aneh kepadanya, seakan dia pernah melihatnya atau mengenalnya di suatu tempat.

Balapati Pradhika Wiriya, meskipun dia mendapat gelar Balapati, namun dia sudah tidak ingin menggunakan nama itu, dia hanya ikut berpartisipasi pada beberapa kali peperangan sebelumnya, dia punya tujuannya sendiri, dan bukan untuk mengejar sebuah gelar, namun kemampuan dan kredibilitasnya sangat diakui semua orang, bisa di lihat dari reaksi seorang hakim dan para bawahannya terhadapnya, mereka seakan segan dan takut berurusan dengan nya.

Dalam pikirannya Dhika, ia melihat sesuatu yang tidak asing pada Rinaya, cara bicaranya, postur tubuhnya, suaranya, meski sedikit dibuat buat namun Dhika merasa sangat kenal dengan Rinaya. Karena itu lah dia bertanya padanya.

Rinaya berjalan menyusuri kampung itu, terlewatinya sebuah toko buku, dalam pikirannya, teringat beberapa orang yang mungkin dapat membantunya, saatnya mencari informasi, pikirnya, dia pun berhenti di lapak toko buku itu, dilihatnya ada sebuah peta, dan dia ambil. Seorang pria tua keluar dari dalam toko.

"Abah, kalau mau ke kota Parigi lewat mana ya ?" Rinaya tidak mengerti Bahasa yang di pakai, peta ini masih menggunakan huruf kawi kuno.

Pria tua itu mendekat dan memberikan informasi, "oh, kesebelah sini saja nak, lebih dekat dan terang, kalau jalur lain takut ada apa apa, belum aman"

Rinaya sedikit mengerti dan mengangguk anggukan kepalanya. "Cuman mungkin harus dari sekarang, jalannya cukup memutar, supaya tidak kesorean"

"Hoo" sepertinya perjalanannya ckup jauh.

"Dek, katanya dua hari lagi akan ada acara sukuran yang ke limabelas tahun. jadi mungkin bakal ada rame ramean daerah sana."

"Acara apa Pak"

"Sukuran, selametan perang dan doa doa untuk yang sudah meninggal. "

"Perang apa pak?"

"Katanya dulu ada perang besar, banyak yang meninggal, melibatkan Bandit Gunung juga Siluman"

Isi kepala Rinaya seakan terhenti mendengar beberapa patah kata itu. Bandit Gunung?... Siluman? Rinaya tau betul apa yang dia maksudkan, hingga dia tidak bisa berkata kata apapun lagi

"oh, iya, Terimakasih saya akan lanjut jalan"

Dalam pikiran Rinaya bergemuruh pertanyaan pertanyaan. Gila, apa perang yang di maksud yang itu? Jika benar, sejak kejadian itu sudah lima belas tahun berlalu, dan pemerintah kota itu mengadakan pesta, kedengarannya seperti pesta selametan, tapi aku berpikir pesta karena aku mati,,,,,,,siluman , bukankah itu, piaraannya dia,... bukan bukan, pasti bukan seperti itu. Aku benar benar harus mencari tahu informasi lain. Aku bahkan hampir lupa seluruh kejadiannya. Tapi dipaksa mengingat semuanya disini.

Rinaya mempercepat langkahnya, entah sudah berapa ribu langkah dia hari ini, sesuai dengan petunjuk dari penjual buku itu. Memang jalurnya tidak terlalu sepi. Bahkan masih terbilang cukup ramai mengingat dia berjalan sudah cukup jauh meninggalkan kota itu.

Dia masih merasa lapar, dan lelah. Ada sebuah pondok di tengah perjalanan, sebuah rumah persinggahan, menjual makanan, dan minuman, sepertinya memang di bangun untuk orang orang dalam perjalanan. Rinaya pun duduk di salah satu bangku paling luar.

"Mau beli sesuatu den?" seorang pemilik warung itu bertanya, namun mau bagaimana lagi dia tidak punya uang sedikitpun. "Tidak pak, Cuma mau ikut duduk saja, hehe"

Rinaya hanya bisa duduk, sesekali badannya terkulai di atas meja, lelah rasanya, sesekali dia memejamkan matanya.

Pemilik Kedai datang dan menyimpan semangkuk bubur kacang Hijau "Den, ini makan saja buburnya"

"Saya kan tidak pesan pak"

"Tidak apa apa, Aden nya sepertinya perlu makan, di makan saja,"

Rinaya sumringah mendengarnya, makanan gratis, bisik dalam hatinya.

*Den/Aden/Raden = panggilan untuk orang terpandang /kalangan bangsawan

Beberapa orang datang dan duduk memenuhi kursi kosong, dari seragam yang mereka pakai, sepertinya mereka seorang prajurit, atau semacamnya. Mereka memesan makanan dan sibuk bergosip. Rinaya yang berada disana seakan tidak tahan mendengarkannya. Rinaya bukan orang yang senang dengan gossip, di dunia ini, maupun di dunianya, gossip membuat citra orang lain menjadi buruk. Tapi gossip kali ini Rinaya seperti mengerti.

"Kalian tau, Patih Karna baru saja kembali dari Bintu, di sebuah bangunan dia menyelidiki sebuah kasus dan banyak mayat bergelimpangan di ruangan ritual, katanya mereka mati karena memanggil siluman jahat, namun tidak berhasil,"

-Siluman?

"Ya, pemanggilan yang sempurna memerlukan bayaran yang mahal"

"Memangnya siapa yang mereka panggil"

"Putri Nurmala, Si Bandit Gunung"

-Uhuk,, Rinaya langsung tersedak mendengarnya,

"Kenapa ada yang ingin memanggil orang seperti dia. Apa mereka tidak takut bencana yang pernah terjadi."

-(Bencana?)

"Katanya mereka juga memanggil Bayu, si pemilik Siluman"

-(Bayu.) Rinaya ingat dengan nama itu, nama yang selalu dia sebut di masalalunya,

"Itu lebih parah lagi, padahal situasi tanah kita sedang kacau karena perang, bisa bisanya mereka memanggil arwah orang orang itu"

- (Perang?)

"Orang yang sudah mati memangnya bisa di panggil?"

- (Apa bayu sudah mati?)

"Mereka kan bukan orang"

"Benar juga, yang satu dewi perang, yang satu lagi pemimpin siluman, lagipula, sejak saat itu tidak ada yang tau apakah mereka benar benar mati atau tidak,"

"Tidak ada yang melihat jasadnya hingga saat ini"

"Mungkinkah mereka belum mati? "

- (Seharusnya Bayu selamat saat itu)

" Tapi selama lima belas tahun ini banyak yang ingin memanggil arwah mereka tidak ada yang berhasil satu pun. Malah mereka mati mengenaskan, sama seperti kejadian di Bintu"

- (Lalu kenapa aku sekarang ada di sini? )

"Aku khawatir jika mereka benar benar bisa kembali, kejadian lima belas tahun lalu akan terulang lagi"

- (Aku juga tidak ingin itu terulang lagi. aku kira semua mimpi) Rinaya memasang wajah sedih mengingat kejadian itu

"Atau mungkin mereka bisa membantu perang, haha"

"Lelucon mu sungguh tidak lucu"

"Jika mereka benar benar kembali ku rasa biro keamanan istana seharusnya bertindak untuk menangkapnya."

- (Ha?)

"Benar, kita tidak ingin bencana itu terjadi lagi"

- (Kau pikir itu salah kami?)

"Mungkin sebaiknya langsung di jatuhi hukuman mati saja, biar kita semua yakin kalau mereka memang sudah mati"

- (Sialan!)

"Juga segel jiwanya supaya tidak ada lagi yang bisa memanggil mereka"

- (Tunggu. Kenapa seakan semua salah kami?)

"Ya, gara gara mereka perang itu terjadi"

-(ha?)

"Banyak yang membenci mereka, bahkan sampai saat ini. Bahkan banyak yang bersumpah, jika mereka ditemukan, mereka tidak akan membuat kematiannya tenang"

-(Ya tuhan.. pasti ada yang salah ini.)

"Kau tau katanya Balapati Dhika dulunya adalah kawan baik mereka"

-(Dhika? Dhika temanku? Balapati?)

"Untungnya dia tidak mengikuti jejak teman temannya."

"Tapi katanya dia selalu berkelana ke banyak tempat, bahkan dia menolak gelar Balapatinya,"

- (Apa Dhika baik baik saja?)

"Kurasa dia juga mencari mereka, mungkin sama seperti warga, bersumpah untuk membunuh mereka"

- (Aku tidak percaya)

Rinaya dengan Cepat menghabiskan makanannya, dia terlalu asik mendengarkan penggosip itu, dia bahkan tidak menyadari sejak awal dia sedang di perhatikan oleh seseorang. Seseorang yang duduk di paling pojok.

"Pak, ini benar saya gak perlu bayar?"

"Tidak apa apa Den"

Rinaya Terenyum sumringah, "Terimakasih ya Pak, Asalamualaikum" Rinaya pun pergi meninggalkan kedai itu.