webnovel

Janji

Sinar Mata Rinaya semakin tajam. Melihat sosok yang selalu mengganggunya. Sementara Morang hanya tersenyum sambil memainkan pisau kecilnya. "Aku tidak punya waktu bermain denganmu" Ujar Rinaya.

"Tidak akan ku biarkan kau pergi dari desa ini." Ujar Morang.

Rinaya menarik pegasnya. Membidik Morang yang hanya berjarak beberapa meter. Tidak ada lagi ketakutan yang Rinaya tampakan. Tapi begitu juga dengan Morang. Lalu dengan cepat morang mengubah pisau kecil itu menjadi sebilah pedang hitam. Berlari ke arah Rinaya. Rinaya pun melepaskan anak panahnya.

Morang dengan cepat menghindar dan mengayunkan pedangnya. Morang berusaha mempersempit jarak. Dia tau, seorang pemanah tidak dapat menggunakan busurnya di jarak dekat.

Morang terus menyerang, Rinaya hanya bisa menghindar dan menahan serangan. 'Ini tidak akan berhasil' ujarnya dalam hati. Seketika itu juga Rinaya mengubah Busurnya menjadi sebilah pedang. Pedang dengan bilah meliuk beraura ungu.

Morang tidak tau bahwa Rinaya bisa melakukan itu. Hal itu membuatnya terkesan. "Aku tidak tau kau bisa melakukan itu. Itu mengesankan."

Rinaya tidak membalas perkataannya. Karena sebenarnya dia juga tidak menduga bisa melakukan itu. Lagipula Itu percuma saja. Dia orang gila. Untuk apa terus berdebat. Pertarungan akan lebih efektif untuknya.

Langit sudah gelap seutuhnya. Senyuman masih terukir di wajah Morang. Meski mendapat luka di beberapa bagian. Dia masih tetap tersenyum.

Morang meniup jari jari tangannya. Siulan terdengar sejalan dengan itu. Perlahan sesuatu muncul di hadapannya. Anjing besar ciptaan Morang. Menggeram. Menyeringai. Menyeramkan. Tapi tidak membuat Rinaya gentar. Dia berusaha menirukan seseorang. Dia menirukan Bayu.

Tidak lama gadis berambut hitam yang merasuki Rinaya perlahan keluar menampakan diri. Membentuk wujud serigala yang lebih besar. Bahkan lebih menyeramkan. Lalu mereka saling menerkam satu sama lain. Melolong sepanjang pertarungan. Mengejar lalu menggigit satu sama lain. Pertarungan antar hewan ghaib.

Rinaya masih menggenggam pedangnya. Lalu berlari menyerang Morang. Dia benar benar sangat mengganggu. Tapi semakin lama raut wajah Morang semakin berbeda. Entah apa yang dia pikirkan. Perlahan Lalu dia mundur dan lenyap di tengah kegelapan.

Andini muncul lagi di hadapannya, dengan sedikit luka di beberapa bagian. Dia hanya menatapnya. Tidak berkata apapun. Lalu lenyap menjadi asap.

Tok tok tok tok. Suara bambu kayu di pukul pukul. Perlahan semakin jelas. Rinaya berbalik melihat siapa itu. Wangsa. Dengan pakaian serba putih dengan sehelai kain penutup mata. Selangkah demi selangkah berjalan mendekatinya. Rinaya menyadari sesuatu. Cara dia memukul tanah. Tidak seperti orang buta. Dia hanya membawa bambu itu bersamanya. Orang itu mengingatkannya pada Jaka.

"Sepertinya Tuan tidak buta." Ujar Rinaya beberapa meter di depannya. Lalu dia berhenti ketika mendengar suaranya.

"Benarkah? Apa sangat jelas terlihat?" Tanya Wangsa

"Aku hanya menebak. Kukira Tuan sengaja menutup mata agar tidak ada yang tau dibalik itu."

Wangsa Tersenyum. "apa kau menemukan Asta?" ujarnya, Dipertemuan lalu Nurmala berkata jika bertemu dengan sahabatnya Asta, dia akan segera memberitahukannya.

"Tidak. Tapi aku mendapat dugaan lain."

"Benarkah? Apa itu?"

"Mungkin dia sudah mati sejak kau meninggalkan desa itu."

"Mungkin. Aku juga tidak tau. Tapi kau akan segera tau."

"...."

"Cari aku jika kau sudah menemukan jawabannya."

***

Di sebuah bangunan berdinding batu. Tama tergeletak di lantai dengan berbagai luka di tubuhnya. Hendra melotot marah padanya. Dengan sebuah batang kayu di tangannya. Sementara dua anak buahnya menyaksikan di sekelilingnya.

"Bukankah sudah kukatakan untuk membawanya padaku? Kau berniat menghianatiku?" Teriak Hendra sangat marah.

Tama tidak menjawab apapun. Hanya meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya.

"Jawab aku dasar sampah." Sambil memukul Tama dengan kayu itu. Hendra benar benar marah.

"Mau bagaimana lagi. Aku berhutang nyawa padanya." Dengan senyum Tama membalas. Mulutnya bahkan sudah penuh dengan darah.

"Hutang??? Rupanya kau mengenal dia?"

"Dia menyelamatkan aku dari sebuah pembantaian. Mana mungkin aku menyerahkannya padamu."

Hendra semakin marah. Dengan sekuat tenaga dia mengayunkan balok kayu itu.

Brakk!! Sebuah pintu terbuka lebar sebelum Balok kayu itu menghantam Tama. Seseorang berdiri di depannya. Basah kuyup terkena air hujan. Semua orang terkejut melihatnya. Bukan hanya itu. Untuk melewati ruangan Hendra. Ada sebuah ruangan besar terdapat banyak anak buah Hendra di dalamnya dan dia kini berada di pintu itu berdiri tegak.

"Putri?? Kenapa kau datang kesini?" Lirih Tama. Terkejut dengan seorang yang ada di hadapananya.

"Oh, kau orangnya?? Menyerahkan diri? Atau menyelamatkannya??" Ujar Hendra

"Tama, aku datang menjemputmu." Ujar Rinaya singkat. Satu kalimat itu menyadari satu hal. Rinaya mencoba menepati janjinya pada Tama. Air mata Tama mengalir karenanya.

Hendra memberi isyarat. Kedua anak buahnya pun menyerang. Tapi dengan mudah dia lumpuhkan dengan cepat.

Hendra pun bergerak. Dengan batang kayunya. Rinaya hanya memegang pisau kecil entah milik siapa. Bertarung dengan Hendra. Hendra tidak ahli dalam pertarungan. Dia hanya orang yang kejam. Tentu Rinaya akan mudah menang darinya. Lagipula semua anak buahnya sudah di lumpuhkan. Lebih sulit menghadapi Boris daripada Hendra. Hendra hanya selalu melakukannya berkelompok. Mengeroyok atau semacamnya.

Hendra mengayunkan kayunya. Rinaya menghindarinya lalu mematahkan lengannya dan merebut itu darinya. Lalu memukul kepala Hendra dengan itu hingga Hendra tersungkur tak sadarkan diri.

"Ayo pulang" ujar Rinaya menatap Tama yang masih terbaring penuh luka.

***

Seminggu berlalu. Tidak ada yang tau kemana Rinaya pergi. Tapi semua seloah bisa menebaknya.

Sebuah Patung Dewi berdiri tegak. Tidak sebagus dulu tapi masih terlihat cantik. Rinaya dengan tenang memandanginya. Di sertai cahaya matahari pagi yang berhasil menembus kabut. Wajahnya menegadah ke arah wajah dewi itu. Merasakan hangatnya cahaya mentari.

"Aku suka kehangatan ini"

Burung burung sudah bersahutan, tak terhalangi tingginya pepohonan. "Aku juga suka suara burung burung itu"

Semilir angin berhembus membelai rambutnya yang tergerai rapi. "Aku juga suka wangi angin ini."

"Putri!"

"Aku juga suka panggilan itu."

Tama berjalan mendekatinya. "Tidak ada bosannya melakukan itu setiap hari. Apa tidak ada yang ingin kau lakukan selain itu?"

"Tama, hari tenang seperti ini jarang terjadi. Jadi aku mencoba untuk menikmatinya."

"Iya iya terserah saja. Kita harus ke kota. Membeli beberapa bahan makanan dan pakaian. Tentu jika kau ingin selamanya tinggal disini."

"Apa sudah tidak ada makanan di hutan ini?"

"Bukankah kau yang selalu merengek ingin makan nasi? Apa di hutan ini ada beras?"

"Tidak perlu marah. Kau juga makan itu."

"Aku tidak mengerti. Setelah lima belas tahun berlalu kau masih saja tidak berubah."

"Kau ingin aku berubah menjadi apa? Nenek nenek?"

"Hey lihat dirimu, dulu kau seorang yang diandalkan disini. Tapi sekarang seperti aku yang harus mengurusmu."

"Itu benar. Kau harus mengurusku. Memenuhi kebutuhanku. Semuanya."

"Enak saja." Tama berbalik pergi dengan menggulirkan bola matanya.

"Eh eh, Tama tunggu, aku ikut." Rinaya berlari mengejarnya.

***

Setelah beberapa kejadian. Status Mandalika keluarga Wilis di cabut. Tidak ada yang menyangkal itu. Tidak juga dengan Boris. Tidak ada yang dia inginkan dengan status itu. Tapi pengaruhnya masih tetap sama. Apalagi Dyah memiliki suami seorang petugas di pemerintahan ibu kota. Memiliki Jabatan tinggi. Tidak  ada yang berubah sama sekali. 

Gelar Mandalika kini berpindah ke Keluarga Wiriya. Tuan Baskara yang ditunjuk mewakili. Tidak ada juga yang menyangkal. Apalagi dia memiliki keponakan seorang Balapati. Status keluarga Wiriya menjadi semakin kuat.

Terlihat Bayu sedang berada di tepi sungai tidak jauh dari kediaman keluarga Wiriya. Tio dan Danu sedang mengendap endap entah apa yang mereka cari di tengah sungai. Tidak terlalu dalam. Bahkan ikan ikan masih terlihat berenang kesana kemari.

"Bukan begitu caranya. Kalian terlalu ceroboh. Mereka bisa lari itu." Ujar Bayu meneriaki mereka.

"Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang turun , malah menyuruh kami." Ujar Tio kesal

"Hey, aku adalah tamu disini. Sudah sepantasnya kalian melayaniku." Balas Bayu.

Tio "Kau menyebalkan. Heran. Kenapa Balapati bisa tahan denganmu."

"Tentu saja karena dia mengerti aku." Balas Bayu.

Tio "mm. Ngomong ngomong. Bagaimana dengan Nona Nurmala? Apa ada kabar?"

"Eh, Tio, sstt" Danu berbisik.

"Kenapa? apa ada yang salah?" Tanya Tio heran

"Tidak apa apa Danu. Aku baik baik saja." Jelas Bayu lalu menghela nafas."Kuharap dia baik baik saja."

Danu "Apa terjadi perselisihan diantara kalian bertiga?"

Bayu "Ceritanya panjang. Dulu kami memang sering berselisih. Ah. Tidak perlu di bahas. Kalian akan mati bosan nanti."

Danu "Tapi Rumor beredar sangat buruk. Aku khawatir kalau...."

Bayu "Rumor? Rumor apa? Ceritakan padaku."

Tio "Kau tidak tau ada rumor beredar? Bahkan ini lebih meluas ke berbagai daerah."

"Tidak tau. Katakan saja rumor apa itu?" Balas Bayu.

Ibukota terlihat Ramai. Adrian Dylan berlari di sepanjang jalan. Tergesa sambil membawa setumpuk berkas. Dengan segera dia menaruh berkas itu di atas mejanya. Lalu memeriksa satu per satu dari berkas itu. Raut wajahnya kian lama kian padam. "Gila. Pasti ada yang salah dengan ini." Ujarnya marah. Melototi tumpukan kertas itu

Tok tok. Seseorang mengetuk pintu. Seorang pengantar pesan dari pemerintahan. Memberikannya secarik kertas amplop berwarna keemasan. Berstempel resmi dari kerajaan. Sedikit enggan untuk membuka itu. Tapi dia penasaran dengan isi dibaliknya. Dua kasus sebelumnya tidak dapat dia selesaikan. Bertanya tanya apakah ini ada hubungannya atau tidak. Bertanya tanya apakah dia akan dapat hukuman atau dapat tugas baru.

Dia membuka amplopnya, dan membaca isinya. Lalu menghela nafas lega. Lalu sedikit tersenyum dan mencium kertas itu tanda berterimakasih. "Baiklah. Saatnya berpetualang"

Riuh ramai suasana pasar kota Parigi tidak membuat Rinaya berhenti tersenyum. "Disini semakin ramai" Ujarnya. Ditemani Tama berjalan di sampingnya. Lalu dia terdiam di sebuah lapak pedagang buku.

"Lupakan itu, kita tidak punya waktu untuk melakukan hal lain." Ujar Tama sedikit kesal. Sedari tadi Rinaya terus berhenti di setiap lapak pedagang yang menarik perhatiannya.

"Sebentar saja..." Belum selesai kalimat yang dia ucapkan. Tama menggandeng tangan Rinaya segera menjauhkan pandangannya dari benda benda itu.

"Aahh. Kenapa kau seperti itu. Menyebalkan sekali." Kesal Rinaya.

"Kita tidak punya waktu. Kita tidak bisa berlama disini dan bernostalgia dengan seluruh penjuru kota ini." Jelas Tama.

"Oh. Kau pikir aku akan melakukan itu?? Kenapa?" Tak lama Rinaya mencium sesuatu yang sangat enak. Wangi itu menjalar kedalam pikirannya. Membuat satu rangsangan luar biasa di tubuhnya. "Eh, Tama. Ini wangi apa? Sepertinya enak. Bisa kita makan itu?" Rinaya melepaskan genggaman Tama. Dan mencari sumber dari wangi yang enak itu.

Tama merungut "Lain kali tidak akan lagi kuajak kau ke tempat seperti ini. Benar benar merepotkan."

Matanya berbinar melihat sebuah kedai ramai dengan pengunjung. Sesekali dia mencium lagi wangi wangian itu.

"Jangan pikirkan apapun. Aku tidak punya uang untuk makan di tempat seperti ini." Ujar Tama menghampiri.

"Kau tidak dengar? perutku minta diisi dengan makanan enak. Aku lapar. tidak bisakah kau membelikanku sedikit saja?" Rayu Rinaya.

"Ish, apa kau selalu manja seperti itu? Aku tidak punya uang. Kau harus bekerja jika ingin makan enak." Balas Tama

Rinaya menghela nafas "hei perut. Kau tahan lah itu. Kita akan makan setelah pulang."

Tama mengerutkan dahinya melihat Rinaya berbicara pada perutnya sendiri. Benar benar gila, Pikirnya.

Tak lama seseorang datang dari dalam kedai. Dengan senyum ramah dia menyapa "selamat datang akang teteh. Mari masuk dan duduk di dalam."

"Ah, tidak paman, saya mau langsung pergi. Hanya lihat lihat saja." Balas Rinaya. Dia terkesan, dengan penampilan mereka yang sederhana bahkan terlihat seperti pengembara miskin tapi pelayan ini memperlakukannya dengan baik. Mungkin standar pelayanan ramah memang sudah ada sejak jaman dulu.

"Akang teteh, hari ini hari istimewa kedai kami. Jadi bagi yang datang mendapat makan gratis sepuasnya." Masih dengan senyum dia menjelaskan.

"Wah?? Benarkah??" Seketika senyum Rinaya merekah senang.

'Rejeki anak soleh,' bisiknya dalam hati.

"Aku tidak percaya" Ujar Tama dingin.

Rinaya dan Tama duduk di meja yang sudah di sediakan. Pesanan apapun disediakan secara gratis. Betapa senangnya Rinaya mendapatkan hadiah seperti ini.

Seorang Pelayan tadi menemui seorang pria di depan kedai. Lalu pria itu memberinya sekantung uang. Pelayan itu terkejut dengan jumlah sebanyak itu. Tapi pria itu hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu pergi begitu saja. Pradhika Wiriya. Kebetulan dia sedang berada di kedai itu. Menikmati makanannya. Lalu mendengar suara yang tidak asing. Mejanya tidak terlihat dari pintu masuk. Tapi sangat dekat dan terdengar jelas Rinaya merajuk ingin makan. Dhika selalu teringat dengan masa lalunya. Rinaya dan Bayu selalu ingin makan enak. Dan Dhika selalu membelikannya. Melihat beberapa makanan enak dihidangkan di mejanya. Rasanya dia tidak tega mendengar Rinaya tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Hingga akhirnya dia meminta bantuan pelayan itu tanpa diketahui Rinaya dan Tama.