14 Chapter 13

Vian terlihat tampan dengan setelan kemeja berwarna biru gelap, melekat pas di tubuh tegapnya, rambut sedikit acak-acakkan karena sering disentuh, juga jam tangan Rolex mengikat sempurna tangan kokohnya. Sangat berwibawa memimpin jalannya meeting di pagi hari ini.

"Terimakasih semuanya. Rapat hari ini kita akhiri," ujar Vian kepada seluruh bawahannya.

Satu persatu orang-orang yang mengikuti rapat itu keluar aula meeting untuk kembali melanjutkan tugasnya masing-masing. Vian masih duduk di singgasananya dan Jojo duduk di sebelah kirinya, dia pria itu tengah fokus pada layar LED yang muncul di atas meja, salah satu hal canggih yang diciptakan Vian saat dia masih menempuh gelar sarjananya.

"Jo, kau sudah mengecek kedatangan Presiden Peru? Apa Beliau sudah sampai di Indonesia?" tanya Vian tanpa menoleh ke arah Asistennya. Pria itu fokus pada deretan angka di laporan trading forex pagi ini.

"Sudah, Pak. Beliau tiba di Jakarta pukul 07.00 pagi tadi. Sekarang Beliau sedang istirahat di hotel yang sudah dipersiapkan oleh utusan Presiden. Tadi sekretarisnya menelfon saya untuk membicarakan pertemuan Bapak dengan Beliau," jelas Jo.

"Lalu bagaimana?" tanya Vian, mengklik tombol panah ke atas, memutuskan untuk membeli beberapa saham dari Samsung Corp. Kapan saya bisa bertemu dengan Beliau? imbuhnya kemudian seraya menoleh ke arah Jo.

"Katanya setelah urusan kenegaraannya selesai, Pak. Saya sudah menjadwalkan pertemuan saat makan malam nanti, pukul 20.00 WIB di restaurant hotel tempat beliau menginap."

"Hotel Virend Group?"

"Iya, Pak."

"Ya sudah, kalau begitu sekarang siapkan jadwalku selanjutnya. Kita ada meeting dengan Divisi KLOOK, 'kan?" perintah Vian lalu beranjak dari kursi kebangsaannya.

"Ehm, Pak Vian!" panggil Jo menghentikan langkah Vian yang sudah mencapai pintu keluar aula meeting.

"Ada apa?" tanya Vian menoleh pada Asistennya itu.

"Sebenarnya... Saat makan malam nanti, Anda harus datang bersama dengan Nona Virendra," ujar Jo akhirnya. Ucapannya barusan sontak membuat mata elang milik Vian melotot tajam.

"Maksudmu Briena?"

"Iya, Pak."

"Kau bisa memberiku alasan, kenapa aku harus membawa perempuan itu," ujar Vian menatap tajam asistennya, tidak mengerti dengan kalimat yang dilontarkan oleh Jo. Apa hubungannya Briena dengan rencana bisnis antara dirinya dan Presiden Peru.

"Pak Presiden yang memintanya langsung, Pak Vian. Beliau sudah mengetahui tentang rencana pernikahan Anda dengan Nyonya Virendra. Beliau ingin mengucapkan selamat untuk kalian berdua."

"Tunggu! Darimana Beliau tahu tentang rencana pernikahanku?" tanya Vian heran.

Jojo berkutat sebentar dengan tablet di tangannya sebelum kemudian menyerahkan benda persegi itu kepada Vian. Pria itu dengan cepat meraih tablet tersebut, matanya bergerak ke kanan dan kiri membaca sebuah artikel pada layar tablet milik Jojo.

Headline News!

Dua pewaris kerajaan raksasa di Indonesia memutuskan untuk menjalin hubungan yang serius bernama pernikahan. Vian dan Briena dikabarkan akan bertunangan pada bulan Mei mendatang dan menikah 6 bulan setelahnya. Rencana ini tentu saja akan membuat para kaum Adam dan Hawa di luaran sana patah hati karena bla... bla... bla...

Vian mengembalikan tablet tersebut kepada JoJo, tidak ingin membacanya lebih lanjut lagi, kepalanya tiba-tiba saja berdenyut nyeri. "Siapa? Mamaku atau calon mertuaku?" tanyanya kemudian dengan suara rendah.

"Saya rasa... dua-duanya," jawab Jo tersenyum tipis.

"Oh, astaga!" gumam Vian pelan. Pria itu menghela nafasnya lelah. "Menurutmu aku harus membawa perempuan itu?" ujarnya kemudian menanyakan hal yang bahkan dia sendiri tahu apa jawabannya. Tentu saja dia harus membawa 'calon istrinya' pada makan malam kali ini, karena hal pertama yang perlu dilakukan sebelum membuat sebuah kesepakatan adalah mengambil hati dari partner kita.

Pria itu lalu melanjutkan langkahnya dengan penuh wibawanya, menikmati keangkuhannya sejenak karena sebentar lagi dia harus meminta atau bahkan memohon pada perempuan angkuh itu untuk menemaninya makan malam dengan pemimpin Peru. Langkah pria itu membawanya menuju ruangan pribadinya, lalu berjalan ke arah jendela kokoh di balik kursi kerjanya. Memandang danau buatan di bawah sana sebentar kemudian menghela nafas sejenak, menyiapkan mentalnya sebelum meraih ponsel di sakunya untuk menghubungkannya dengan Briena.

Oh, sejak kapan Vian dibuat kacau oleh suatu hal. Bukankah dia selalu tenang dalam menghadapi masalah apapun. Kalau bukan karena proyek besar ini, dia tentu tidak akan sudi meminta bantuan perempuan angkuh itu.

"Halo," sapa suara diseberang.

"Kau dimana?" tanya Vian tanpa basa-basi, bahkan tanpa membalas sapaan Briena.

"Bali. Aku sedang sibuk sekar―"

"Aku tahu. Kalau kau tidak sibuk, kau pasti sudah mengomeliku saat melihat ID-ku di layar ponselmu. Tapi tadi kau bahkan mengucapkan 'Halo' dengan intonasi yang tidak dingin, jadi sudah dipastikan kalau kau terlalu sibuk bahkan untuk sekedar melihat ID si penelpon," potong Vian membuat perempuan diujung telepon memutar bola matanya jengah.

"Kau menyindir dirimu sendiri yang tidak pernah mengucapkan kata 'Halo', Tuan Adhyasta. Aku selalu mengucapkan kata itu pada siapapun."

Aku juga selalu mengucapkannya, protes Vian.

"Oh, ya, lantas kau kemanakan kata Halomu untukku.

Aku terburu-buru, jadi melupakannya.

"Cih, bilang saja kalau kau kurang mengerti etika bertelefon.

"Sudahlah! Kenapa kita jadi bertengkar karena kata itu?" kesal Vian demi menutupi kekalahannya berargumen.

"Kau yang memulainya.

"Lalu kenapa kau menanggapinya?"

"Itu karena... haish, hentikan perdebatan konyol ini." Kali ini giliran Briena yang kalah dalam berargumen.

Vian tersenyum penuh kemenangan karena skor mereka sama.

"Sekarang cepat katakan apa alasanmu menelfonku. Aku tidak punya waktu banyak," balas Briena kemudian.

"Aku sudah menjadwalkan makan malam dengan Presiden Peru hari ini. Nanti malam pukul 20.00 wib di Hotel milikmu. Itu artinya kau sudah harus ada di Jakarta sebelum jam 8 malam," ujar Vian membuat Briena melongo shock.

Apa yang barusan pria sombong itu katakan?

Makan malam?

Dengan Presiden Peru?

Malam Ini?

"Kau sudah gila? tanya Briena datar.

Aku serius. Kau harus kembali ke Jakarta sekarang juga!

"Apa kau baru saja memerintahku? Kau fikir aku akan menurutimu? Berhenti bicara omong kosong karena aku akan tetap di sini sampai besok. Jangan ganggu aku lagi, kau mengerti!" bentak Briena marah.

Vian harus memutar otak pintarnya agar perempuan angkuh itu mau menemaninya makan malam. Dia harus bisa membawa calon istrinya yang keras kepala kembali ke Jakarta sebelum acara makan malam nanti. "Baiklah. Dengarkan ini baik-baik. Aku... seorang Kalvian Sakya Adhyasta, memintamu untuk menemaniku makan malam dengan Presiden Peru malam ini. Jangan bertanya alasannya apa karena kau tahu sendiri kalau aku sampai menurunkan harga diriku dengan memohon bantuanmu, itu artinya ini adalah opsi terakhir yang bisa aku terima. Terlebih lagi karena aku yakin kalau opsi ini kemungkinan berhasilnya mencapai 100%, jadi bisakah kau berkompromi denganku kali ini saja," jelas Vian panjang lebar, berusaha menjelaskan secara detail mengenai alasannya keukeh mengajak Briena untuk makan malam.

"Kau sudah selesai bicarakan? Aku tutup seka―"

"Aku akan meminta Jo untuk membawakan surat perjanjian tanah di Kalimantan Timur. Bukankah kemarin kita sempat berdebat tentang tanah itu," sela Vian sebelum sambungan telfonya ditutup

"Aku tidak tertarik."

"Beserta perkebunan, vila, pekerja dan juga peternakan yang ada disana. Setuju? ujar Vian masih belum menyerah.

"Sudah aku bilang, aku tidak tertarik! Apa kau sebegitu desperate-nya sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Kau baru saja menawari harta pada perempuan kaya sepertiku. Apa kau lupa kalau kekayaanmu dan kekayaanku itu hanya beda tipis. Berhenti menawarkan property brengsek milikmu, aku sudah punya semuanya. Lagipula setelah kita menikah nanti, semua propertimu akan jatuh ke tanganku, jadi aku tidak punya alasan untuk menerima kesepakatan konyol yang kau tawarkan barusan," sahut Briena sekenanya, tidak peduli dengan makhluk Adonis diujung telepon yang siap meledak karena ulahnya barusan.

"Yak! Ini semua juga karena Mamamu. Kalau saja artikel tentang rencana pernikahan kita tidak rilis hari ini, Presiden Peru tidak akan memintaku mengajak calon istriku pada pertemuan nanti malam dan itu artinya aku juga tidak akan memohon padamu seperti ini. Aku sudah merendahkan harga diriku untuk membuatmu datang ke unda―"

"Sudah cukup," potong Briena. "Mendengar suaramu yang begitu menderita seperti ini, membuatku cukup puas dan sedikit terhibur. Baiklah, aku mau menemanimu makan malam. Setidaknya aku juga harus bertanggungjawab pada kehebohan yang telah diciptakan oleh Mamaku," imbuhnya membuat darah Vian semakin mendidih.

"sialan! Jadi kau mempermainkanku!" teriak Vian marah, namun makian itu belum sempat didengar Briena karena sambungan itu sudah terputus bahkan sebelum Vian membuka mulutnya untuk memaki Briena. "Dasar brengsek! teriak Vian menjatuhkan tubuhnya di kursi kerjanya dengan kesal. Mengusap wajahnya lalu mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan sejak tadi.

avataravatar
Next chapter