37 Sebuah Luka

Flashback

"Mommy..?"

Ucap anak laki-lak kecil berusia enam tahun dengan rambut hitam legamnya, suaranya terdengar gagap dan ada rasa ketakutan menatap wajah ibunya yang sudah melotot ke arahnya. Pandangan ibunya seperti tidak mengenali wajah anaknya sendiri.

Wanita itu semakin berteriak dengan histeris, bahkan sudah mulai melempar barang yang ada di sekitarnya. Lantai sudah penuh dengan pecahan keramik yang berserakan, yang telah ia banting dengan kesal.

Anak kecil itu tampak mengigil, karena ia tidak mengenakan pakaiannya. Hanya sebuah celana tidur panjang yang sedang dikenakan.

Punggungnya sudah mulai memerah akibat goresan-goresan kasar dan halus yang telah diberikan oleh ibunya sendiri.

Wanita itu melempar kesal tali pinggang ke arah anak laki-laki tersebut, dan beruntung anak laki-laki tersebut bisa dengan tepat menghindari serangan ibunya.

Tampaknya sang ibu belum puas, ia berjalan mendekat ke arah putranya yang sudah ketakutan, memegangi kedua pipi putranyanya dengan kasar. Wajahnya masih dipenuhi dengan amarah yang siap meledak-ledak.

"Mommy..?"

Ucap anak laki-laki tersebut dengan suara parau, kali ini ia sudah tidak bisa membendung air matanya. Karena air mata sudah dengan cepat, berlinang begitu saja melewati pipinya. 

"WAJAHMU SANGAT MIRIP AYAHMU, APA KAU TAHU ITU?!"

Teriak wanita itu dengan histeris, dan melepaskan kasar pegangan pipi anaknya sendiri.

Anak laki-laki itu salah mengira, kalau ibunya tidak akan melampiaskan amarahnya lagi.

Ketika berjalan cepat melewatinya, mengira hukuman sudah tidak lagi diterima. 

Namun... Ternyata wanita itu mengambil kembali tali pinggang yang ia lempar tadi. Dan kembali menghujam ke arah punggung anaknya sendiri.

Anak laki-laki itu terus menahan rasa sakit, di kejauhan ia bisa mendengar suara tangisan bayi.

"Mommy... aku mohon hentikan..." ucapnya masih terus bertekuk lutut di lantai.

Wanita itu kembali berhenti, dan melepas tali pinggangnya. Ia sepertinya baru sadar dengan perlakuannya terhadap anaknya sendiri.

Kembali ia berteriak histeris, dan mulai melempar barang-barang di sekitarnya.

Wanita itu terperosok dalam kemarahannya, mulai menangis kembali dan tangannya mulai mengambil beberapa serpihan kaca yang berserakan di lantai.

Wanita itu menatap anaknya yang masih duduk berlutut, wajah anak itu masih terus berurai air mata.

"Maafkan aku...." Ucap wanita itu lirih dan sedih, dan dengan sengaja ia mengiris pergelangan tangannya sendiri.

"Mommy..... TIDAKKK!!!"

*** Flashback end

"Dokter Alfred?"

Alfred Lewis terbuyar oleh lamunannya sendiri, ketika seorang wanita dengan pakaian perawat sudah berada tepat di depannya.

"Ya.. Jadi apa saya sudah bisa menemuinya?" Tanya Alfred tersenyum ramah.

"Tentu saja, dan kami sudah memberikan obat penenang kepadanya hari in," jawab perawat tersebut membalas dengan ramah. Alfred mengikuti langkah perawat tersebut, berjalan melewati beberapa koridor rumah sakit.

"Jadi apa dia... masih sering dalam keadaan tidak stabil?" Tanya Alfred, sambil terus mengikuti langkah wanita tersebut.

"Sebenarnya, dalam satu bulan ini kami melihat ada beberapa kemajuan. Itu pun setelah dia tidak melihat anda, Dokter Alfred." Ucap wanita tersebut, dan mengeluarkan kunci dari sakunya kemudian membuka pintu yang ada di depan mereka.

"Tapi karena anda menghubungi kami, dan mengatakan akan berkunjung hari ini. Kami hanya mengantisipasi, berjaga-jaga kalau dia kembali mengamuk." Lanjut wanita tersebut, kemudian mata dan tangannya sudah menunjuk ke arah sebuah taman kecil.

"Anda tetap harus berhati-hati. Silahkan."

Alfred belum berani melangkahkan kakinya, ia masih mengamati dari jauh. Wanita itu sedang duduk sendiri, ya hanya duduk terdiam dan tidak melakukan kegiatan apapun.

Alfred menarik napasnya dengan dalam, ia perlahan mendekat ke arah wanita tersebut. Rambut wanita itu dikuncir dengan rapi, rambut putih mulai mendominasi pada rambut hitamnya yang sudah tidak lagi legam.

Alfred sudah berada di depan wanita tersebut, memberikan sebuah senyuman. Meraba kulit wajah wanita tersebut yang sudah penuh dengan keriput, Alfred berlutut di hadapan wanita tersebut dan meraih tangannya.

Genggamannya sangat erat, sehingga wanita itu bergeming dari lamunannya yang kosong. Mata wanita itu semakin melebar, ia mulai sadar dengan Alfred yang berada di hadapannya.

Tangannya ikut meraba wajah Alfred, seakan-akan sedang mengingat siapa pria yang ada di depannya.

"Kau sudah lebih baik?" Tanya Alfred.

Tangan wanita itu berhenti di pipi kanan Alfred, Alfred semakin membenamkan wajahnya dalam tangan wanita tersebut. Tapi tiba-tiba saja, wanita itu melotot dan sudah ada raut wajah kesal yang terpancar.

"Plaaakkk....."

Wanita itu memberikan tamparan yang keras ke arah pipi kanan Alfred, 

"KAU!!!!????" 

Teriak wanita tersebut. Alfred langsung bangkit dari sikap berlututnya, dan mulai memegangi tangan wanita tersebut.

Wanita tersebut semakin menggila, ia masih ingin menampar Alfred. Walaupun kedua tangannya sudah dipegang erat oleh Alfred, tapi kaki wanita itu masih mencoba menendangi Alfred. Tendangannya tidak begitu kuat, karena wanita itu juga sudah tidak semuda dulu.

Dua petugas laki-laki dengan seragam biru menghampiri mereka, salah satu dari mereka membawa alat suntik. Dua pria tersebut membantu Alfred, untuk menggantikan memegangi wanita tersebut. Setelah berhasil mengunci wanita tersebut, salah satu petugas dengan sigap menyuntikkan ke arah lengan wanita tersebut.

Tidak perlu menunggu waktu lama, wanita tersebut sudah kembali tenang. Bahkan hampir kehilangan kesadarannya.

"Tolong hati-hati," ucap Alfred khawatir.

Alfred sudah melihat wanita tersebut kembali ke selnya, sebuah lorong yang panjang dengan setiap sisinya berisikan kamar-kamar sel yang sudah penuh dengan berbagai orang.

Ada rasa sedih, bercampur benci, dendam, kesal yang kini ia rasakan. Tapi ia tetap harus bisa mengontrol semua emosinya saat ini. Alfred berjalan meninggalkan lorong yang sesak dengan penuh orang tersebut.

"Dokter Alfred?"

Perawat wanita yang tadi memanggilnya baru saja muncul, "Maafkan jika kondisinya masih sama seperti sebelumnya. Tapi kami sudah berusaha memberikan pengobatan yang terbaik," Ucap perawat tersebut.

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku juga seorang dokter, aku tau yang dia butuhkan kali ini bukan hanya sebuah obat." Jawab Alfred. Perawat wanita itu masih bingung dengan penjelasan Alfred, dan melihat Alfred yang sudah berjalan pergi dan menjauh.

avataravatar
Next chapter