64 Rencana Setiap Orang

Pagi Hari, di suatu tempat. 

Seorang pria duduk dengan santai di kursi tunggu, ia mengenakan mantel abu-abu dan sweater hitam yang menutupi sebagian lehernya. Pria itu menikmati kopi hitamnya yang masih mengeluarkan uap panas, sambil menyilangkan kedua kakinya dan mengamati situasi di sekitarnya.

Beberapa orang terlihat terlalu sibuk dengan urusan mereka, ia juga melihat keluarga kecil yang terdiri dari tiga anggota keluarga berlari tergesa-gesa menuju bagian informasi.

Seorang wanita dewasa dan dua orang anak perempuannya yang masih remaja. Tampaknya mereka sudah sangat terlambat, hingga harus berlari dengan cepat.

!"Sudah kuperingatkan pada kalian!" Ucap sang ibu sambil menunjuk pada salah satu anaknya yang lebih dewasa.

"Mom.. ini salahnya. Kalau saja dia tidak menyembunyikan ponselku."

"Cukup... Rachel!! Apa kau bisa duduk? Ibu sudah tidak ingin melihat kalian berdebat. Atau kita akan melewati masa liburan ini dirumah saja!" Ancam sang Ibu, dan wajah putrinya langsung menahan kesal.

Sedangkan sang adik tertawa terkekeh menyaksikan kakaknya yang sudah ditegur berkali-kali oleh ibunya.

Sang ibu berjalan ke arah bagian informasi, kedua putri mereka berjalan ke arah kursi tunggu. Sang pria tidak bergeming ketika melihat kedua wanita remaja tersebut duduk disampingnya.

"Awas saja kau, Helen!! Akan kubalas nanti..." Ancam Rachel pada adiknya yang masih terus menjulurkan lidahnya dan terus mengejek tanpa suara.

"Ohh... Rachel... berapa umurmu sekarang? Apa kau tidak malu mengancam seorang anak kecil sepertiku?" Jawab Helen dengan memasang wajah polosnya.

Rachel baru saja ingin menghardik adik perempuannya dengan kesal, namun sayang sikunya menyentuh pria yang berada disampingnya yang sedang memegangi kopinya. Seketika langsung saja kopi tersebut tumpah dan mengenai sebagian mantel dan sweaternya.

Kedua kakak adik tersebut langsung menahan napasnya, saling menatap kesal seakan pikiran mereka masing-masing mengatakan

"ini salahmu bodoh!"

Pria itu langsung saja bangkit dari duduknya, dan berharap pakaian yag ia kenakan tidak terlalu kotor.

"Oh... maafkan kami... apa kau tidak apa-apa, sir?" Ucap Rachel merasa bersalah. Mengeluarkan tisu basah dari tas selempangnya yang berwarna merah, memberikan dengan cepat ke arah pria tersebut.

"Astaga... Rachel! Helen! aku hanya meninggalkan kalian untuk sebentar, dan lihat apa yang terjadi sekarang?" Ucap sang ibu yang muncul dengan  bertolak pinggang.

"Apa anda tidak apa-apa, tuan? Maafkan kedua putriku yang sangat nakal." Ibu tersebut menatap pria yang masih mencoba memasang senyum ramahnya.

"Aku tidak apa-apa, Nyonya. Tampaknya kalian tergesa-gesa, aku bisa memakluminya." Jawab pria tersebut. Di saat yang bersamaan terdengar pemberitahuan mengenai penerbangan berikutnya. Sang ibu langsung saja memeriksa kembali tiketnya.

"Maafkan kami sekali lagi, dengan...."

"Alfred, pangging saja aku Alfred. Sepertinya kalian harus segera check in." Jawab Alfred masih ramah.

"Aku Patricia, Kami harus segera check in dan ini liburan pertama kami ke Jepang. Suamiku sedang bertugas disana." Jelas sang ibu dengan semangat. Dan Alfred hanya bisa memberikan sebuah senyuman tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.

"Terimakasih atas pengertianmu, Alfred. Rachel, Helen, Ayo.." Sang ibu dan kedua putrinya segera saja meninggalkan Alfred.

Alfred menghela napasnya, aroma kopi masih tercium kuat terutama pada mantelnya. Langsung saja ia melepas mantelnya, dan kembali duduk. Melirik ke arah jam tangannya, masih menunggu seseorang yang harusnya tiba sekitar sepuluh menit lalu.

"Paman Alfred, boleh aku minta nomor teleponmu." Ucap Helen yang tiba-tiba muncul kembali di hadapannya.

"Berapa usiamu?" Tanya Alfred bingung, karena Helen tampak seperti sedang menggodanya. Helen semakin mendekat, dan berusaha berbisik ke arah telinga Alfred yang masih bingung.

"Paman, kau terlihat sangat tampan. Dan aku tau kau masih singgle, karena kau tidak mengenakan cincin pernikahan dijemarimu. Kakakku baru saja lulus kuliah, dan dia sepertinya membutuhkan seorang pacar, agar otaknya tidak meledak karena terlalu sering kujahili dan sering kali marah padaku."

Alfred tersenyum lebar ke arah Helen, "Dimana ponselmu?" Tanya Alfred kembali, dan langsung saja Helen memberikan ponselnya. Tidak lama Alfred langsung saja mengetikkan beberapa nomor pada ponsel tersebut.

Helen tersenyum puas, saat Alfred mengembalikan ponselnya. "Terimakasih, dan... oh iya aku belum menjawab pertanyaanmu, Umurku empat belas tahun. Dan akan kupastikan kakakku menghubungimu, OK." Ucap Helen dan langsung berlari ke arah ibu dan kakaknya yang melihat dari kejauhan dengan kesal dan bingung.

Alfed pun membalas dengan senyuman dari arah sebaliknya, dia melihat keluarga tersebut sudah menghilang dari gate penerbangan mereka.

Alfred melirik ke arah jari jemarinya, dan memang dia tidak menggunakan cincin pernikahannya.

Kembali ia menegakkan wajahnya, dan mulai mengamati ponselnya. Baru saja ia ingin melakukan panggilan. Seorang pria dengan tubuh kecil berwajah pucat dan kurus menghampirinya dengan tergesa-gesa.

"Mr. Alfred, maafkan saya karena terlambat. Jalanan terlalu padat hari ini." Sapa pria tersebut, Alfred hanya sedikit mendongak dengan angkuh.

"Kau sudah membawa semua yang aku perlukan?"

Pria tersebut langsung saja memberikan sebuah map hitam ke arah Alfred, "Semuanya sudah kusiapkan, tiket, paspor anda, termasuk semua data-data milik Mrs. Lewis."

Alfred membuka map hitam tersebut, setelah mengecek untuk beberapa detik ia kembali menutup map tersebut dengan rapat. Alfred pun bangkit dari duduknya, dan mulai mengambil mantel dan kopernya.

"Terimakasih, Steward."

"Mr. Alfred. Apa anda yakin akan melakukan ini?" Tanya Steward ragu, Alfred pun terdiam untuk sesaat sebelum menjawab pertanyaan pria tersebut.

"Kau tidak perlu bertanya apapun, dan temui dirinya. Katakan yang harus kau katakan, sesuai dengan perintahku." Jawab Alfred dengan tegas, dan mulai membalikkan badannya menjauhi Steward yang masih berdiri dan diam terpaku memandangi Alfred yang sudah menghilang dari balik gate.

***

Ella mencoba menikmati jam makan siangnya, walaupun pria paruh baya dihadapannya seringkali menatapnya dengan simpati. Ella merasa semua makanan mahal tersebut terasa hambar saat bersentuhan di lidahnya.

Alan Smith menghentikan makannya, dengan hati-hati meletakkan pisau dan garpu pada sisi piring. Kembali dia menatap wajah Ella, sulit untuknya hari itu membujuk Ella untuk memberikan kesempatan pada dirinya agar bisa bertemu dengannya pada saat jam makan siang.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu, Ella?" Tanya Alan, dan Ella pun ikut menghentikan makannya. Meletakkan pisau dan garpunya di sisi piring putihnya yang lebar.

"Baik-baik saja." Jawab Ella singkat. Dia menyeka ujung bibirnya dengan napkin yang berada di pangkuannya.

"Aku ingin kau mempertimbangkan tawaranku Ella. Dan... apa kau tidak akan pergi dari kediaman keluarga Lewis. Bukankah aku pernah mengatakan..."

"Mr. Alan. Sudah kubilang aku tidak butuh bantuanmu. Kau tidak perlu bersimpati atas apa yang terjadi sekarang ini pada diriku." Ella memotong perkataan Alan Smith. 

"Ella, apa kau akan terus menjadi orang yang keras kepala? Aku sudah pernah mengatakan bagaimana Alfred Lewis, dan kau masih saja tidak percaya. Lihat sekarang dirimu, dimana Alfred saat ini?" Ucap Alan sudah cukup kesal.

"Mr. Alan kalau kau ingin aku bisa mempercayaimu. Bantu aku." Ucap Ella.

"Apa maksudmu?"

"Bantu aku untuk mengungkap kasus ibuku. Aku ingin membersihkan nama ibuku." Jawab Ella.

"Apa maksudmu Ella, bukankah kau sudah tau kalau pengadilan membuktikan bahwa ibumu tidak bersalah? Dan.. Apa lagi yang ingin kau buktikan!?"

"Kalau memang ibuku tidak bersalah, kenapa harus ibuku yang harus bersembunyi. Secara biologis kau memang ayah kandungku, tapi hanya itu dan tidak lebih. Selama ini aku lahir tanpa seorang ayah, jadi kau tidak perlu merasa tidak bersalah ataupun simpati dengan kondisiku saat ini."

Alan sudah cukup bersabar, dan sedikit menggebrak meja dengan kepalan tangannya. 

"Baiklah, kalau kau masih terus bertahan dengan pendirianmu, tapi kau bisa dengan bebas datang kepadaku ketika kau membutuhkan pertolongan." Jawab Alan dan langsung bangkit dari kursinya.

Ella masih mencoba untuk bersikap normal, tetap membusungkan dadanya ketika Alan sudah menjauh dan meninggalkan restoran tersebut.

Ella langsung saja mengendurkan bahunya dan menghela napas. Karena sudah hampir satu jam ia berdebat dengan ayahnya, hanya karena masalah ia masih berada di kediaman keluarga Lewis.

Ada satu hal yang membuatnya masih terus berada disana, semingu sesudah menghilangnya Alfred. Ada seseorang yang menghubunginya dan mengaku bahwa ia adalah utusan dari Alfred. Dan dalam waktu dekat ini pria tersebut akan datang menjelaskan semuanya pada Ella.

***

Kediaman Keluarga Huxley.

"Kudengar kau sedang sakit?" Tanya Edward, menatap Abigail yang sedang berada di tempat tidurnya. Terkulai dengan lemas, menatap Edward dengan penuh harap.

"Sayang, mungkin karena usia kandunganku semakin membesar. Tapi dokter mengatakan bahwa di bulan berikutnya, keadaanku akan lebih baik." Jawab Abigail, dan berusaha turun dari tempat tidurnya.

"Kau tidak perlu turun dari tempat tidurmu, beristirahatlah Abigail." Ucap Edward dingin dan kembali menutup pintu kamar dengan pelan. 

Abigail merasa sangat kesal, dan mulai meremas selimutnya setelahnya ia pun mulai mengusap perutnya dengan perlahan.

Edward berjalan menuju ruang baca, menghela napasnya dan duduk diantara sofa besar. Memegangi dahinya yang berkerut dan tampak berpikir dengan keras.

"Hei... Kau sudah pulang?" Ucap Clarissa yang tiba-tiba saja muncul. Menatap Edward dengan simpati. "Kau baik-baik saja, Ed?" Tanya Clarissa kembali.

"Pekerjaan kantor yang terlalu banyak sepertinya, membuatku sedikit penat," jawab Edward, Clarissa pun duduk bersebrangan dengan kakaknya.

"Ku dengar jika Abigail sedang kurang sehat, bukankah seharusnya kau harus lebih peduli dengannya. Bagaimanapun dia sedang mengandung." Ucap Clarissa memberikan nasihat.

"Hhh... Kau ini!! Sudah mulai berani memberikan nasihat, kau sendiri bagaimana? Bagaimana dengan perawatanmu? Apa kau masih sering bermimpi buruk?" Tanya Edward menatap pada adiknya.

"Tidak, aku sudah tidak pernah bermimpi buruk lagi, Ed. Karena ingatanku sudah kembali seutuhnya." Jawab Clarissa, 

"Hhh... tidak kusangka selama bertahun-tahun aku menganggapnya sebagai pengganti ibu. Ternyata dia hanyalah seorang wanita penipu yang ulung."

"Tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu Edward." Clarissa memelankan suaranya, berharap Emma Huxley tidak berada di sekitarnya. 

"Apa itu?"

"Apa kau ingat dengan paman Wade, saudara laki-laki ayah?" Tanya Clarissa. Edward langsung saja menegakkan wajahnya. "Aku menguping pembicaraan ayah dan wanita itu, kudengar bulan depan mereka akan datang berkunjung ke kediaman kita."

Edward masih tampak berpikir, dia sangat tahu bagaimana hubungan persaudaraan antara ayah dan pamannya tersebut. Pantas saja belakangan ini ayahnya terus saja memberikan banyak pekerjaan pada dirinya.

Ponsel Edward bergetar pada sakunya, Edward langsung saja mengangkat panggilan masuk tersebut.

"Ya.. Bagaimana?"

Edward terdiam mendengarkan penjelasan seseorang yang berbicara dengannya, sedangkan Clarissa sibuk memperhatikan berharap bisa mendengar percakapan kakaknya dengan seseorang yang tidak ia tahu.

"Menghilang? Jadi semua itu benar?.....Hmm..... Baiklah.. Tetap awasi dan berikan semua informasi terbaru mengenainya."

Edward pun menutup panggilan masuknya, dan sadar dengan Clarissa yang masih saja terus menatapnya.

"Apa ini soal Ella?" Tebak Clarissa. 

Edward tidak menjawab pertanyaan adiknya, dan langsung saja keluar dari ruang baca. 

"Edward.. kau seharusnya berhenti untuk mencari tau soal Ella, itu tidak baik untuk kondisimu saat ini." Teriak Clarissa kesal karena Edward mengacuhkan dirinya.

***

Sebuah Restoran di Kota London. 

Marilone sedang menerima panggilan dari putrinya - Abigail. 

"Ibu aku tidak bisa terus seperti ini..!! Dia benar-benar mengacuhkanku." Ucap Abigail pada ponselnya, ia masih berada di kamarnya duduk dengan kesal di sisi tempat tidurnya.

"Bersabarlah Abigail! Bagaimana dengan dokter yang kukirimkan padamu? Dia bisa diajak kerja sama bukan?" Ucap Marioline.

"Yah... untungnya bu, dan untungnya Edward tidak terlalu banyak bertanya. Bahkan dia terkesan tidak peduli kepadaku. Aku sudah tidak tahan berlama-lama dirumah ini." Jawab Abigail, seraya memutar bola matanya dengan kesal.

"Tetap pada rencana, dan bersabarlah putriku. Aku akan menghubungimu nanti." Ucap Marioline dan langsung memutuskan percakapannya dengan putrinya, karena seseorang yang sudah ia tunggu sudah datang dan tersenyum ramah padanya.

"Halo Mr. Wade. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa." Sapa Marioline dengan ramah, pria itu memang sudah terlihat tua. Tapi masih terlihat gagah dengan setelan jas hitam yang ia kenakan.

"Halo Mrs. Smith. Lama sekali bukan.."

"Maaf aku harus mengoreksi ucapanmu, Aku dan Alan sudah bercerai. Kau tidak perlu memanggilku dengan nama Smith lagi." Marioline semakin menyeringai dengan penuh percaya diri.

avataravatar
Next chapter