35 Membuka Hati Untuk Dia

Toko Buku Barnard. 

"Apa, Ella?! Jadi... Kau ingin mengundurkan diri?"

Barnard berteriak histeris, sebuah surat pengunduran diri sudah berada di tangannya. Luna pun ikut tertarik dan ingin tahu, ada apa dengan teriakan Barnard saat itu. 

Luna dengan cepat menyambar surat pengunduran diri milik Ella lalu membaca dalam hatinya.

"Barnard, aku mohon agar kau bisa mengerti kondisiku sekarang. Jadwal kuliahku semakin padat menjelang kelulusanku nanti." Ucap Ella berbohong untuk mencari alasan yang bagus.

"Kita harus mencari orang baru Barnard, dan aku ingin seorang karyawan pria," Luna menimpali dengan serius, ia tampak tidak sedih akan pengunduran diri Luna. Mengambil surat yang berada di tangan Barnard. 

Luna mengembalikan surat pengunduran diri Ella ke tangan Barnard, ia pun mulai disibukkan kembali dengan pekerjaannya.

Ella berjalan mendekat ke arah Luna, dan merangkul ramah wanita dengan tubuhnya yang mungil.

"Bagaimana kalau kita makan malam bersama malam ini," ajak Ella.

"Tidak tertarik," jawab Luna tanpa berpikir lama.

"Mmm... sayang sekali. Padahal aku sudah mengajak Calvin untuk ikut." Luna langsung menengok dan memandang Ella yang menyerigai lebar, Dan Ella sudah melepaskan rangkulannya. Dengan sengaja menjauhi Luna, ia berjalan ke arah rak buku yang lain.

"Baiklah, kalau kau memaksa Ella," seru Luna dari kejauhan.

***

Beberapa bulan sebelumnya, saat Edward dan Abigail belum memutuskan pertunangan mereka berdua. 

Edward sedang berada dalam ruang kerja ayahnya, Thomas sama sekali tidak menunjukkan rasa senang ataupun bangga melihat putranya yang telah menunjukkan keberhasilan dalan satu tahun belakangan. 

Menjalankan peran penting dan menunjukkan bakat dan kemampuan dihadapan para dewan direksi. Bahwa seorang Edward Huxley, bisa diberikan kepercayaan dan tanggung jawab dalam mengelola Perusahaan Huxley Corp. 

Edward memandangi logo The Huxley Corp yang terukir dari bahan kayu, ia sedang duduk tegak di depan meja kerja ayahnya.

The Huxley Corporation salah satu perusahaan swasta terbesar di Britania. Bergerak dibidang Ritel Supermarket. Bahkan The Huxley Corporation mampu bertengger di ranking tigapuluh besar dari daftar 100 perusahaan terbaik versi Majalah Fortune.

Thomas merekatkan jari jemarinya, sambil berpikir kalimat apa yang akan ia ucapkan pada putranya? Apakah sebuah pujian atau hinaan? 

Karena ia baru saja bertemu dengan Mr. Smith dan Abigail, yang tiba-tiba datang ke kantornya dengan marah, begitu juga dengan keadaan Abigail yang berlinang air mata.

"Apa kau hanya akan terus mendiamkan aku, ayah?" Tanya Edward dan masih memasang wajah kaku dihadapan ayahnya. 

Thomas sedikit mengeryit mendengar ucapan Edward, ia pun mendengus kesal dan bangkit dari kursi nyamannya yang besar.

"Edward, aku sudah memperingatimu berkali-kali. Bahwa kau harus menghilangkan kebiasaanmu, terutama kebiasaan burukmu itu!" ucap Thomas dengan suara yang berat.

"Apa maksud ayah? Apa mengenai kebiasaanku yang sering menjadi sampul majalah, dan menjadikan nama keluarga kita semakin terkenal," jawab Edward dengan nada mengejek kearah Thomas yang masih menahan emosinya.

Thomas tidak ingin membuat keributan di kantornya sendiri, terlebih lagi mereka baru saja selesai rapat dengan para petinggi. Dan Edward mendapatkan banyak pujian atas hasil kerja kerasnya selama satu tahun ini.

"Aku tahu kau tidak suka dengan Abigail, tapi aku tidak tahu kau menjadi begitu bodoh dengan tidur dengannya. Entah apa yang kau pikirkan, nak." Thomas berjalan mendekat kearah Edward, dan berdiri di sampingnya.

Thomas memegangi kursi Edward, dan mengetuk-ngetuknya dengan berirama.

Edward sedikit menunjukkan ekspresi terkejut, karena ayahnya mengetahui hal tersebut.

Tapi apa masalahnya? Itu yang ia pikirkan saat ini. Kejadian tersebut sudah berlangsung hampir dua minggu yang lalu, apa gunanya dia membahas masalah ini. Tidak penting menurutnya.

"Aku meminta kau bertunangan dengan putri pertama keluarga Huxley, bukan untuk kau menidurinya dan membuat putri mereka menjadi hamil. Itu benar-benar tindakan bodoh Edward Huxley." Thomas melanjutkan penjelasannya, dan Edward tentunya tidak mengetahui bagian tersebut. Bagian mengenai Abigail yang tengah hamil, akibat kecerobohannya pada malam tersebut.

"Kau harus segera bertunangan dan menikah dengannya, atau keluarga Smith akan melayangkan tuduhan pemerkosaan atas perbuatanmu kepada Abigail."

Edward otomatis langsung berdiri tegak, tangannya tanpa sengaja meninju pinggiran meja kerja ayahnya. Dia sudah pernah menolak pertunangan ini, dan kali ini dia masih terus berurusan dengan sesuatu yang ia tidak suka.

***

Emma Huxley tengah duduk di ruang tamu milik keluarga Smith. Menatap beberapa koleksi keramik milik Mrs. Smith, tidak hanya itu sebuah permadani dengan bahan sutra menjadi sebuah alas, tempat dimana Mrs. Smith menata sofanya dengan apik yang terbuat dari beludru berwarna cokelat emas.

Seorang pelayan wanita membawakan sebuah nampan yang berisikan cemilan biskuit jahe dan secangkir teh hangat.

"Silahkan Mrs. Huxley, aku harap tehnya tidak terlalu panas untukmu," ucap Pelayan tersebut dengan sopan, kemudian menunduk dan berjalan mundur sebelum ia membalikkan badannya dan meninggalkan Emma sendiri dalam ruangan tersebut.

TIdak lama Marioline muncul dengan dressnya yang berwarna abu-abu, riasannya saat itu terlalu tipis dan tidak begitu tebal seperti biasanya.

Marioline duduk dengan hati-hati, sedikit menyilangkan kedua kakinya. Dan meletakkan kedua tanggannya diatas lututnya, tidak lupa ia menegakkan tubuhnya sehingga membuat dadanya menjadi sedikit membusung.

"Aku harap kau menyukai tehnya, itu adalah teh hitam khusus yang biasanya di nikmati oleh para bangsawan," ucap Marioline dengan sombong.

"Terimakasih Mrs. Smith, atas kebaikan kau. Ahh... aku juga membawakan sedikit oleh-oleh untukmu dan Abigail," ucap Emma, dan menunjuk ke arah dua paper bag hitam yang sangat besar.

"Terimakasih," jawab Marioline, dan memberikan senyuman tanpa giginya. 

Sejujurnya Emma juga tidak menyukai calon besannya tersebut. Marioline jelas sekali lahir dan besar sebagai seorang bangsawan, berbeda dengan dirinya.

Kalau bukan Thomas yang menyuruhnya untuk menemui keluarga tersebut, dan meminta pertunangan antara Edward dan Abigail. Emma pun sangat malas berkunjung, dan berbasa-basi. Emma meletakkan cangkir tehnya dengan sopan. Ia mencoba mengikuti tingkah laku dari Marioline.

"Maafkan aku, karena aku datang sendiri. Suamiku sedang bersama dengan Edward, banyak hal yang harus mereka bicarakan." Lanjut Emma, dan Marioline langsung memunculkan wajah sinisnya.

"Hhhh... Jadi apa kalian sudah memutuskan? Apa kalian tahu betapa hal ini sangat memalukan bagi kami keluarga Smith." Marioline hanya sedikit menggerakkan bahunya, seperti ada beban berat di bahunya yang membuatnya pegal.

Emma memberikan senyuman terbaiknya, berharap kesabarannya masih berada di pihaknya. "Maafkan sekali lagi Mrs. Huxley, ini juga hal yang memalukan untuk keluarga Huxley…"

"Oohh... aku tidak tahu bagaimana nanti jadinya, kalau berita kehamilan Abigail tersebar luas." Marioline memotong pembicaraan Emma, dan kali ini dia meletakkan tangan kanan di dahinya sendiri. 

Sedang memperagakan bagaimana pusingnya dia, jika berita kehamilan Abigail benar-benar tersebar.

"Oleh karena itu Mrs. Smith. Aku datang kesini untuk membahas pertunangan kedua anak kita. Kami tentunya akan mengurus mengenai media. Dan kau tidak perlu khawatir, putraku akan bertanggung jawab." Ucap Emma dengan memberikan senyuman paksanya ke arah Marioline yang masih terus mendramatisir cerita.

**Flashback end

Sebuah Restoran di Briston. 

"Ella, apa kau yakin kita meninggalkan mereka berdua?" Tanya Alfred, karena bingung Ella sudah meraih tangannya dan menariknya ke arah luar restoran. Suasana malam itu sangat dingin, napas Ella mengepul dengan amat pekat.

Alfred langsung saja memeluknya, "Kau kedinginan, tidak baik kalau kita terlalu lama di luar." Ucap Alfred, tangannya masih ia kaitkan di pinggang Ella. 

Ella melirik ke arah dalam melihat Luna dan Calvin yang sedang duduk canggung berdua saat itu.

"Bagaimana kalau kita cari tempat lain?" Ella memberikan ide, agar mereka juga tidak menganggu Luna dan Calvin yang memulai untuk pendekatan. "Tenang saja, aku akan mengirimkan pesan kepada Calvin."

"Ok, kau yang pilih tempatnya." Alfred mengecup kening Ella.

Ella sudah memilih tempat favoritnya, The Old Duke. Tempat yang bagus untuk mereka menghabiskan malam mereka untuk sekedar minum dan mendengarkan musik Jazz yang sangat luar biasa.

Alfred dan Ella sudah memilih tempat di sudut ruangan, mereka sedang memperhatikan seorang pria berumur tigapuluhan, sedang memainkan saxsophone. Dan terdengar lantunan suara musik yang sangat romantis.

"Ella.." Panggil Alfred, melihat wanita di depannya masih menikmati irama musik permainan saxsophone.

"Ella..." Panggil Alfred kemabali.

"Ya..? Maafkan aku Alfred, aku terlalu menghayati dengan permainan musiknya."

Alfred langsung saja memegangi pipi Ella, dan matanya menatap mata Ella yang membulat karena bingung. Alfred mendekatkan wajahnya, memiringkan wajahnya untuk menyesuaikan posisi wajahnya dan wajah Ella.

Alfred mengecup bibir Ella, dan itu hanya sepersekian detik. Ella masih terdiam dengan perilaku Alfred, yang kadang-kadang membuatnya bingung.

"Terimakasih," ucap Alfred, kali ini dia menggenggam tangan Ella dan mencium punggung tangan Ella. 

"Terimakasih untuk apa?" Ella semakin bingung atas ucapan terimakasih Alfred.

"Terimakasih, karena kau sudah mau membuka hatimu untukku."

Ella langsung membuka mulutnya walau kecil, seakan ingin mengatakan "aaahh... mengenai itu." Tapi Ella melemparkan sebuah senyuman, dan membalas genggaman tangan Alfred.

"Semoga aku tidak membuatmu terlalu kecewa, Alfred. Aku ingin kita memulainya dengan pelan-pelan." Ucap Ella,

"Ella, aku mengerti dengan perasaanmu saat ini. Aku juga tidak akan terlalu memaksamu." Jawab Alfred, Ella pun kembali tersenyum tersipu. Senang mengetahui Alfred tidak terlalu memaksanya, dengan semua perasaan cintanya yang masih bimbang.

"Aku sudah mendengar dari Calvin, kau akan bekerja di Fogue?" Tanya Alfred yang baru tersadar, bahwa harusnya malam ini adalah makan malam perpisahan dengan teman-temannya.

"Yaapp... kau benar. Aku sudah mengirim email ke mereka. Dan minggu depan aku akan memulai interview pertamaku." Ella terlihat semangat saat mengatakannya, "Kau terlihat sekali bersemangat, bagaimana dengan kuliahmu?" Tanya Alfred kembali.

"Aku akan mengubah jam kuliahku tentunya, Hhh... kita lihat saja nanti dari hasil interview. Doakan aku berhasil, ok." Ella mencoba meyakinkan Alfred, yang sepertinya ragu dengan keputusan Ella yang akan mengundurkan diri dari toko buku Barnard.

"Tentu saja aku akan mendukungmu." Alfred kembali memegangi pipi Ella yang memerah karena suasana malam yang semakin dingin.

Ella menatap wajah Alfred, terlihat jelas pria itu sangat mencintai dan menyayanginya. Dalam hati kecil, Ella berharap ia bisa membalas semua perasaan Alfred.

avataravatar
Next chapter