56 Lamaran

"Perhatian, semuanya!"

Teriakan Nancy langsung membuat semua orang yang berada di ruang rias melihatnya.

"Hari ini Ella sudah resmi bergabung. Dan Ella, selamat datang di timku. Kuharap kalian tidak saling mencakar, OK." Nancy tertawa lebar pada saat mengatakan lelucon yang tidak ada satupun yang ikut tertawa.

Ella telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Nancy, sebagai pemula dia sudah banyak belajar dari para teman barunya. Lucy dan Liu, yang merupakan senior saat itu. Dan ternyata mereka menyambut ramah kedatangan Ella.

Hari demi hari, minggu demi minggu pun berlalu. Dan Ella banyak belajar dengan pekerjaan barunya. 

Nancy masih saja sering meneriaki Ella. Memberitahunya bagaimana dia harus melangkah, berjalan kecil dan cepat. Bagaimana dia harus melihat dan menoleh. Dan masih banyak hal lagi.

Sedangkan Calvin sudah disibukkan kembali dengan kegiatan rutin mengurus bisnis kecilnya. 

Kabar bagus lainnya, Alfred bahkan sudah kembali bertugas di London. Dan intensitas pertemuannya dengan Ella semakin sering dilakukan.

Alfred tentunya memberikan perhatian dan dukungan pada pekerjaan baru Ella. Membuat Ella merasa yakin akan rasa cinta Alfred pada dirinya.

Hingga Minggu siang itu, di hari liburnya setelah satu bulan penuh dengan jadwal pemotretan dan tur dari Agensi Nancy. Ella dapat bersantai meluangkan waktu bersama Alfred, di salah satu restoran Asia yang menyajikan chinese food yang cukup terkenal di kota London.

"Kau terlihat semakin kurus, Ella," ucap Alfred memperhatikan tulang leher Ella yang semakin menonjol.

"Nancy bilang, aku harus menurunkan berat badanku sebanyak tiga kilo lagi. Sebulan kemarin aku melakukan diet ketat, apa aku terlihat jelek?" Jelas Ella dan mulai memakan mienya dengan lahap.

"Tidak, kau tetap terlihat cantik. Uhm.. Ella..?" Alfred memegangi tangan Ella dengan erat, membuat wanita itu harus mendongak menatap wajah Alfred dengan serius. 

"Uhm... ada apa, Alfred?"

"Ella, kau tidak perlu bersusah payah untuk bekerja sebagai model. Kau bisa bekerja di tempat lain, aku bisa membantumu."

"Alfred, kau tidak perlu khawatir padaku. Dan tenang saja, karena aku dalam kondisi yang baik. Apa yang sedang kau bawa?" Ella mencoba mengalihkan perhatian. Dia menunjuk pada tumpukan buku yang diletakkan di sudut meja makan mereka.

Alfred baru saja mau mengambil buku-buku miliknya, tapi Ella sudah lebih dulu mengambil semua tumpukan tersebut. 

Bukan buku yang ditumpuk itu yang sedang dikhawatirkan oleh Alfred, tapi ada hal lain yang ia tidak ingin Ella melihatnya.

"Lihat, siapa yang tidak pernah berhenti bekerja? Bahkan kau masih membaca semua buku kedokteran ini. Dan ini..?" Ella terhenti dari ucapannya, karena ada hal lain yang langsung membuatnya membisu.

Sebuah undangan menjadi perhatiannya, undangan yang berkesan elegan dan mewah dengan sampul beludru merah yang tebal.

Tinta emas tertera di bagian tengah undangan, dan tertera sepasang nama yang Ella sangat kenal. Yaitu nama dari Edward Huxley dan Abigail Smith.

Alfred dengan cepat mengambil undangan pernikahan tersebut dari tangan Ella, suasana menjadi canggung diantara keduanya. 

"Maafkan aku Ella, seharusnya aku buang saja saat aku menerima undangan ini."

"Apa kau akan datang?" Tanya Ella tiba-tiba, Alfred memandanginya dengan tatapan bingung.

"Aku rasa tidak perlu."

"Aku akan datang bersamamu, apa kau akan mengijinkan?" Pernyataan Ella langsung membuat Alfred terdiam dan heran.

"Ella, Apa yang sedang kau pikirkan? Dan kenapa kau ingin datang? Lagi pula ini hanya akan membuatmu..."

"Alfred, kumohon. Aku akan baik-baik saja. Tapi kalau kau tidak mengijinkan, akupun tidak akan memaksamu." Ella menunjukkan wajah sedihnya.

"Baiklah. Tapi jika kau terlihat sedih berada disana, aku ingin kita segera kembali, bagaimana? Kau setuju?"

"Ya, Alfred. Kau tidak perlu terlalu khawatir, karena aku dan Edward sudah tidak memiliki perasaan seperti dulu." Ella berusaha meyakinkan.

Alfred menghela napasnya dan menunjukkan rasa kesalnya. Ella memperhatikan Alfred yang sedang mencari-cari sesuatu dalam saku jasnya. Ella mencoba mengintip apa yang Alfred sedang genggam dalam tangannya.

Alfred bangkit dari duduknya, dan Ella masih terus memperhatikan pria tersebut. Mata Alfred saat ini tampak berbinar-binar menatap wajah Ella.

"Alfred..?" Tanya Ella.

Tidak sampai disitu, Alfred melangkahkan kakinya dan kali ini ia berada di samping Ella yang masih duduk di kursinya. Alfred langsung saja berlutut dihadapan Ella, sebuah senyum manis terhias di wajahnya.

"Alfred, apa yang sedang kau lakukan? Kau membuat kita menjadi pusat perhatian, banyak orang yang melihat ke arah kita berdua." Ella lebih menggarangkan wajahnya dan semakin bingung, karena Alfred masih belum mau berdiri.

Tapi Alfred masih saja terus tersenyum dan berdeham kecil sebelum ia menjawab pertanyaan Ella.

"Ella, Apa kau tahu selama ini aku selalu berusaha untuk terus berada di sampingmu. Aku berharap bisa menjadi seseorang yang berharga di hatimu." Alfred semakin melebarkan senyumnya, dan kali ini ia menyodorkan tangan yang tadi ia genggam dengan erat.

"Apa maksudmu Alfred?" Tanya Ella sambil sedikit menahan napasnya, karena dia melihat sebuah kotak kecil berwarna hitam. 

Alfred pun membuka kota kecil tersebut, dan Ella langsung tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Sebuah cincin tersemat dalam kotak tersebut. Alfred masih saja terus berlutut, dan semakin memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Tangannya yang satu lagi memegangi tangan kanan Ella.

"Ella? Ella amber. Apakah kau mau menerima lamaranku? Apakah kau bersedia menjadi pendamping hidupku, baik suka ataupun sedih?" Tanya Alfred berusaha bersikap romantis dengan sebuah senyuman yang memperlihatkan rasa sayangnya pada Ella.

***

Entah apa yang membuat Ella menerima lamaran Alfred, bahkan hingga saat ini berpikir bahwa ia terlalu muda untuk menikah. 

Tapi mengapa ia merasa yakin Alfred adalah pria yang baik dan dapat menjadi pendampig hidupnya. Ella berharap ia tidak menyesali keputusannya.

Ella masih menatap cincin di jari tengahnya, sebuah permata biru terhias di bagian tengah cincin yang sudah melingkar di jarinya. Ella menghela napasnya, karena terpikir dengan perkataan Alfred. Ia pun kembali tersenyum memandangi cincin yang sudah tersemat di jarinya.

Malam itu Ella tidur dengan nyenyak, sebut saja ia terlalu bodoh ataupun terbuai malam itu. Karena ia merasa seperti seorang putri yang sudah menemukan pangerannya. Walaupun tanpa ia sadari, semua ini hanyalah sebuah permulaan untuk petualangan cintanya.

***

Nancy Agensi. 

"Pagi Lucy.. Hai Liu.." Sapa Ella dengan riang, ia sudah dengan cepat berjalan di ruang ganti. Lucy dan Liu memandang dengan curiga, sapaan Ella yang terlalu ramah.

"Hmmm... Ella ada apa denganmu?" Lucy terhenti dari kegiatan dandannya, sedangkan Liu memicingkan matanya yang kecil dan sekarang ia terlihat seperti sedang tertidur.

"Anak baru ini terlalu banyak tingkah," sindir Liu, melihat pada cermin sambil merapikan alisnya yang terlalu tebal.

"Dimana Nancy?" Tanya Ella. 

Pertanyaan Ella, membuat kedua temanya saling menatap dengan penuh makna. Tidak lama Liu pun menggelengkan kepalanya dengan perlahan. 

"Ada apa dengan kalian?" Tanya Ella lagi.

Seelum pertanyaan Ella terjawab, pintu ruang ganti mereka terbuka dengan lebar dengan hentakan yang kasar. 

Seorang wanita yang Ella kenal, menatap sinis dan keji ke arahnya. Telunjuk wanita itu sudah mengarah pada wajah Ella, sebelum mulut wanita itu bersuara dan akan meneriaki Ella.

"Jadi, KAU!!!" Ucap Miranda dengan kesal.

Lucy langsung saja berdiri tegak dan bertolak pinggang, Dan tidak lama Nancy sudah muncul dari balik punggung Miranda.

"Miranda kau sudah tidak ada urusan lagi disini!" Lucy dengan berani meneriaki Miranda.

"Miranda, kuperingatkan kau sekali lagi!! Atau aku akan segera memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar!" Nancy mulai mengancam.

"Nancy! Kau memecatku hanya karena, DIA!!" Tujuk Miranda ke arah Ella. Dan Ella masih saja bersabar dengan tunjukkan tersebut.

"MIRANDA!! Aku memecatmu karena sudah banyak kerugian yang kau timbulkan, dan semua itu akibat ulahmu sendiri!Ella tidak ada hubungan apapun dengan kondisimu saat ini!" jawab Nancy kesal.

"Kau sendiri yang menempatkan dirimu dalam masalah, kalau saja kau tidak banyak membuat masalah di agensi ini. Aku akan terus mempertahankanmu, Miranda." Nancy mengucapkan lebih nyaring lagi.

Miranda berjalan menubruk Lucy dengan keras yang memandanginya dengan amat kesal. Mata Miranda bertatapan langsung dengan Ella. Kedua mata itu saling menatap tanpa berkedip.

"Aku kenal kau! Ya... kau adalah gadis di toko buku tersebut, bukan? Ella..! Itu namamu, bukan? Ron selalu saja menyebutmu. Dan apa sekarang kau puas, Ella? Setelah mengambil Ron, bahkan kau mengambil pekerjaanku," ucap Miranda.

"Haa? Apa kau sudah sinting! Aku tidak mengambil Ron ataupun pekerjaanmu!" Jawab Ella dengan tegas. 

Seorang petugas keamanan sudah muncul, dan langsung saja memegangi lengan Miranda. Mencoba memaksa Miranda untuk ikut dengannya.

"LEPASKAN TANGANKU, DAN JANGAN BERANI MENYENTUHKU!!!"

"Aku bisa beralan untuk keluar sendiri!"

"Dan Kau Nancy!! Aku akan menuntutmu. Lihat saja nanti!" ancam Miranda, dengan kesal akhirnya ia pun keluar dari ruang ganti tersebut.

Mereka semua pun bisa bernapas dengan lega, melihat Miranda sudah pergi dan tidak berada dalam ruangan tersebut. 

"Ella..?" panggil Nancy, "Ya..?"

"Temui aku diruanganku, dan kalian (Nancy menunjuk ke arah semua modelnya) berganti pakaianlah. Terus latihan, INGAT! Pagelaranku harus terlihat sempurna, jangan sampai gaun mahal milikku terinjak oleh hak kalian," perintah Nancy.

Ella mengikuti Nancy yang sudah berjalan cepat didepannya, ruang kerja milik Nancy tidak seperti ruang kerja pada umumnya.

Ruangan itu sangan luas dengan dua meja panjang berukurang sedang, ditambah sebuah kursi kerja. Sebuah sofa panjang berwarna hitam yang berbentuk L diletakkan pada sudut ruangan.

Ruangan kerja yang luas tersebut, dipenuhi dengan rancangan baju yang menempel dibanyak patung manekin. Rancangan baju yang masih terlihat mentah dan belum disempurnakan oleh Nancy.

Nancy juga meletakkan rak buku besar, yang berada bersebelahan dengan sofa L tersebut.

"Duduklah Ella," perintah Nancy dengan sopan.

"Kau tahu apa yang membuatku menendang Miranda untuk keluar dari agensiku?" Tanya Nancy sambil mengambil gelas yang berisikan cairan berwarna kuning cerah. 

Ella menggeleng menjawab pertanyaan Nancy.

"Anak itu memiliki bakat yang bagus, tapi tidak dengan tingkah lakunya. Terlalu dominan dan egois, pemabuk, dan selalu berkelahi dengan teman-teman modelnya. Ditambah lagi pada saat ia putus dengan kekasihnya Ronald Mateo, anak itu semakin liar dan susah untuk aku atur." Nancy menunjukkan ekspresi jijik bercampur kesal.

"Ohh.. maaf Ella, kau menjadi mendengar keluhanku. Sudah hampir dua jam aku berdebat dengannya di ruangan ini. Entah mengapa, aku seperti merasakan kehadirannya masih ada disini." Nancy bergidik seraya bangkit dari duduknya.

Ella memperhatikan Nancy yang mengarah ke meja kerjanya. Dia sedang mencari-cari sesuatu. "Ahh ini dia." Ucap Nancy memegangi sebuah kartu nama.

"Ini janjiku padamu, Ella." Nancy memberikan kartu nama tersebut pada Ella. 

Ella memperhatikan sebuah nama, tertera nama Sarah Jhonson. Tapi anehnya tidak ada no telpon yang tertera, hanya sebuah nama dan alamat email.

Ella bahkan membalikkan kartu nama yang ia pegang, berharap ia bisa menemukan nomor Sarah. 

"Tidak ada nomor telpon?" Ucap Ella bingung.

"Kau hanya bisa menghubunginya lewat email," jawab Nancy.

"Apa kau yakin, alamat email ini masih aktif?" Tanya Ella, dan Nancy mengangguk cepat, 

"Kapan kau terakhir kali menghubunginya?" Tanya Ella lagi.

"Mmm.. sepertinya tujuh bulan lalu. Aku mengiriminya email, mencoba mengajaknya bekerja sama. Tapi dia menolak," ucap Nancy dengan yakin dan pasti. 

Ella pun kembali mengamati kartu nama tersebut, masih berpikir apakah cara ini akan berhasil? 

avataravatar
Next chapter