30 Kumohon, Ijinkan Aku

"Bagaimana dengan makanannya, enak bukan? Atau kalian masih merasa lapar? Pesan saja, apapun yang kalian mau, tenang saja aku yang membayarnya." Calvin terlihat bersemangat.

Sedangkan  Ella dan Alfred yang sudah menghabiskan makan malam mereka,  tidak sanggup untuk mengisi perut mereka yang sudah terasa penuh.

"Terimakasih Calvin, aku sangat kenyang," Tolak Alfred dengan sopan. 

Ella berdeham dengan keras sebelum membuka mulutnya untuk berbicara, seketika kedua pria yang ada di meja tersebut memandanginya.

"Jadi... Calvin? Apa tujuanmu sebenarnya?" Tanya Ella dengan kecurigaan maksimal.

"Ayolah... Ella, kau selalu begitu. Selalu saja curiga padaku." Calvin memasang wajah tidak berdosanya, sedangkan Ella semakin tidak percaya dengannya. Alfred hanya bisa tersenyum dan menyimak mereka yang sudah mulai berdebat.

"Sudah kubilang, jawabannya tidak." Ucap Ella dengan amat ketus,

"Ha..? Aku bahkan belum meminta apapun darimu. Dan kau sudah memberikanku sebuah jawaban?" Calvin sedikit mencondongkan tubuhnya, rasanya ingin sekali dia mengetuk kepala Ella yang keras kepala.

"Uhmm... Ada apa sebenarnya? Apakah aku mengganggu pembicaraan kalian berdua?" Alfred masih bingung dengan pembahasan antara Ella dan Calvin.

"Alfred, apa kau bisa membantuku?" tanya Calvin dengan tatapan yang berbinar.

"Membantu dalam hal apa?" tanya Alfred heran. 

"Aku mohon, apa kau bisa membujuk Ella. Aku ingin sekali dia menjadi model untuk pakaian dari brand milikku. Sepertinya... jika kau yang meminta akan menjadi mudah?" Calvin kembali menyeringai ke arah Alfred.

"Model? Eee... aku tidak yakin aku bisa membujuknya Calvin."

"Calvin, sudahlah! Kau bisa mencari orang lain. Kau harus sedikit berusaha dan berhentilah merengek seperti itu. Karena kedua kakiku ini sudah gatal ingin menendangmu," ancam Ella.

"Ella..!! apa kau tidak tahu aku sudah banyak mencari model. Dan asal kau tahu saja, mereka bahkan meminta bayaran yang sangat mahal, hanya untuk satu kali foto. Gila... kan?! Bisa kau bayangkan berapa banyak uang yang harus aku keluarkan?"

Ella menyilangkan kedua tangannya, dan semakin memperlihatkan wajah kesalnya. "Kau yang gila, Calvin! Jawabanku tetap tidak!"

"Baiklah, jika seperti itu aku akan menghantui seumur hidupmu Ella," ancam Calvin.

"Ella... Ella... maukah kau menjadi modelku... atau aku akan seperti hantu mengikuti kemanapun kau pergi." Calvin mulai membuat suara yang seram, tapi justru terdengar aneh pada telinga Ella dan Alfred. 

"Ella, aku rasa tidak ada salahnya jika kau membantu Calvin. Lagi pula, ini hanya sebuah pekerjaan paruh waktu, bukan? Maksudku... kau tidak benar akan menjadi seorang model, aku rasa tidak ada salahnya untuk mencoba." Alfred mencoba memberi saran dan mencoba menengahi pertengkaran mereka berdua.

Ella menghela napasnya dengan berat, perlahan dan kesal. Ia menatap Calvin dan Alfred bergantian. "Baiklah Calvin, tapi dengan satu syarat," ucap Ella dengan tatapan setajam mungking ke arah temannya.

***

Mereka sudah selesai dengan makan malam yang penuh dengan perdebatan, Calvin sangat girang dan senang akhirnya Ella mau membantu untuk menjadi modelnya.

Berkali-kali Calvin mengatakan "I love u Ella," dan Ella berkali-kali menjawab "I heat You Calvin.. go to the hell"

Alfred tentunya seperti biasa mengantar Ella hingga ia sampai rumahnya, malam itu salju tidak turun, tapi suhu di malam hari semakin dingin.

Sepanjang perjalanan pulang mereka cukup berbincang seru, Ella berkali-kali mengatakan bahwa usaha milik temannya tidak akan bertahan hingga satu tahun ke depan. Dan ia yakin, temannya akan kembali ke jalan yang benar – menurutnya.

"Ah... Sial aku lupa," ucap Ella dan melirik ke arah jam tangannya.

"Ada apa? Apa yang kau lupakan, apa ada barangmu yang tertinggal?'' Tanya Alfred bingung, dan kini mobil Alfred sudah berada di depan rumah Ella.

"Aku lupa pemanas ku rusak, Hhh... ini sudah terlalu malam. Mungkin besok pagi saja, aku harus memanggil..."

"Aku bisa membantumu, kalau kau tidak keberatan." Alfred menawarkan dirinya.

"Uhmm..? kau bisa melakukannya? Apa kau yakin?"

"Lebih baik aku memeriksanya terlebih dahulu, siapa tahu aku bisa membantu memperbaiki alat pemanas itu. Lagi pula... malam semakin dingin, kau akan kena flu jika pemanasmu tidak benar."

Alfred akhirnya berhasil meyakinkan Ella, waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam. Belum terlalu larut, jika Alfred berkunjung dan mengecek alat pemanasnya.

"Ini hanya kabelnya yang putus, aku rasa aku bisa memperbaikinya," Ucap Alfred melihat alat pemanas milik Ella.

"Ahh... terimakasih Alfred. Entah apa jadinya malam ini, jika kau tidak menolongku." jawab Ella senang.

Hanya membutuhkan waktu sekitar tigapuluh menit untuk Alfred memperbaikinya, Ella pun membuatkan segelas cokelat panas untuk dirinya dan Alfred, sebagai rasa terimakasihnya karena telah membantu memperbaiki mesin pemanas ruangan miliknya.

"Aku tidak tahu kau suka atau tidak, tapi aku harap kau suka dengan cokelat panas buatanku." Ella menyodorkan gelas ke arah Alfred.

Mereka berdua sedang berada di ruang keluarga yang mungil, di lengkapi dengan sebuah sofa panjang berwarna merah marun lengkap dengan mejanya, dengan sebuah televisi tua yang menyiarkan siara ulang pertandingan bisbol.

Alfred melirik ke arah belakangnya, ia ingin duduk akan tetapi tas Ella tepat berada di sofa tersebut.

"Ups... Maafkan, ini tasku yang mengganggu." Ucap Ella mengambil tas selempangnya. 

Tas selempang Ella memang berukuran besar, dan tidak memiliki resleting sebagai penutupnya. Hanya terdapat sebuah perekat sebagai pengunci, dan pada saat Ella mengambil tasnya, ia memegangi tasnya dengan posisi yang salah.

Seketika semua isi tas Ella langsung berhamburan keluar.

Terjadi kepanikan saat semua isi tas Ella terlihat, dan yang lebih mengagetkan ketika Alfred melihat majalah yang Ella beli dari tempat kerjanya sendiri.

Alfred langsung mengambil majalah tersebut, dan jelas pastinya dia melihat wajah Edward dan Abigail yang berpose di sampul halaman depan.

Menampilkan berita utama tentang pertunangan mereka. Ella bingung harus mengatakan apa kepada Alfred, yang masih memandang sampul majalah tersebut.

"Ella, kau masih mengharapkan dia? Apa yang sebenarnya kau harapkan dari pria yang bahkan tidak memikirkanmu saat ini?" Pertanyaan Alfred membuat Ella tidak nyaman, sorot mata pria itu berubah menjadi tidak ramah.

"Ahh... itu...." Ella tampak berpikir untuk mencari alasan. 

"Ini tidak seperti yang kau bayangkan Alfred. Aku hanya sekadar membacanya saja." Ella berusaha mengambil majalah dari tangan Alfred, tapi Alfred malah menyingkirkan majalah tersebut dengan kesal ke arah meja dekatnya.

Alfred memegangi tangan Ella dengan erat, matanya masih menatap lurus ke arah Ella.

"Kenapa Ella? Setelah sekian lama, dan kau masih mengharapkannya?"

Ella memalingkan wajahnya, dia tidak berani menatap sorot mata Alfred yang terlihat marah.

"Katakan Ella, apa kau masih mencintainya? Apa yang kau rasakan setelah kau mengetahui Edward bertunangan dengan Abigail? Katakan Ella." Alfred mulai mendesak.

Alfred memegangi wajah Ella dengan kedua tangannya, mata Ella mulai berkaca-kaca. Wanita itu sudah tidak kuat menahan rasa sedih, emosi atau apapun yang membuatnya tersiksa secara batin.

"Kenapa kau menangis untuknya?" Ucap Alfred seraya mengusap air mata dari pipi Ella,

"Fuuhh..." Ella menarik napasnya, mencoba mengumpulkan tenaganya untuk menjawab pertanyaan Alfred, "A..aku.. aku tidak tahu Alfred, kumohon. Aku tidak tau kenapa aku harus bersedih untuknya."

"Ella, apa kau akan terus berpura-pura?" Tanya Alfred dan masing memegangi kedua pipi Ella.

"Apa maksudmu Alfred?"

"Ella, aku mencintaimu. Apa kau tidak bisa mengijinkan dan memberikan kesempatan padaku untuk mengisi hatimu. Apakah kau tetap akan berpura-pura bahwa kau bahagia dengan keadaan saat ini?"

Alfred semakin mendekatkan wajahnya, ia sudah menahan lama memendam perasaannya kepada ella. Ia sudah bersabar untuk menunggu, agar bisa mengisi hati Ella yang selama ini kosong.

Tiba-tiba saja Alfred memberikan Ella sebuah kecupan perlahan di bibir Ella yang sudah membuatnya tergoda. Ella tampak terkejut, dengan Alfred yang mengecup bibirnya begitu mesra.

Ella ingin menghindari cumbuan mesra itu, tapi Alfred telah memegangi tengkuk lehernya. Dan tangan lainnya sudah memegangi pinggang Ella, membuat pergerakan Ella menjadi terbatas.

Ella belum membalas kecupan tersebut, sedangkan Alfred tetap menjaga irama kecupannya agar terkesan lembut dan perlahan.

"Alfred?" Ucap Ella pelan,

"Ella, kumohon ijinkan aku sebentar saja. Aku tidak akan melukaimu, aku ingin membuatmu bahagia." Ucap Alfred dan melanjutkan kecupan bibirnya pada wanita yang ia sayangi.

Ella sadar sudah lama sekali, tidak ada orang selain Alfred yang sangat perhatian dan peduli padanya. Perasaanya seperti tersetrum dengan aliran listrik yang sudah menjalar pada setiap pembuluh darahnya, ketika Alfred mulai mengecupnya lagi dengan irama yang lebih lembut.

Ella mencoba untuk membalasnya, walaupun ia hanya ingin mengetahui. Apakah dia bisa melakukannya? Apakah mungkin Ella bisa membiarkan orang lain untuk mengisi hatinya yang kosong saat ini?

Malam yang dingin itu sepertinya tidak mereka berdua rasakan. Salju mulai turun walaupun perlahan, seperti mendukung irama perasaan mereka yang ingin memulai suatu hubungan yang baru.

Apakah itu perasaan cinta? Atau hanya sebuah perasaan sesaat, yang nantinya mungkin akan menimbulkan rasa sakit diantara mereka berdua.

avataravatar
Next chapter