55 Untuk Membuktikan, Apakah Dia Adalah Anakku?

Luna dan Calvin duduk berseberangan cukup jauh dengan meja yang sudah ditempati oleh Ella, mereka dengan serius mengamati Ella dan Nancy yang sedang berbincang. 

"Calvin, kepalamu menutupi penglihatanku! Apa kau bisa sedikit mendundukkan kepalamu!" Ucap Luna seraya menekan kepala Calvin dengan telapak tangan kanannya, agar bisa mendapatkan penglihatan dengan sudut pandang yang bagus.

"Apa yang sedang mereka bicarakan ya?" Tanya Calvin penasaran,

"Kalau aku tahu, mungkin kita tidak perlu seperti ini Calvin. Untung saja kau memiliki wajah tampan, jadi bisa menutupi kekurangan, Calvin," sindir Luna dengan ekspresi wajah yang datar.

"Kenapa kau marah padaku, huh... aneh sekali wanita, terkadang mereka terlihat manis dan terkadang mereka seperti iblis," balas Calvin dengan suara pelan. 

Luna membalasnya dengan tatapan keji, membuat Calvin memalinkan wajahnya kembali. 

"Lihat mereka...!" Tunjuk Calvin dengan suara nyaring. 

"Mereka berjabat tangan, apa yang sudah mereka sepakati?" Tanya Calvin lagi dengan lebih semangat.

"Seharusnya kita meletakkan alat penyadap, kita tidak bisa mendapatkan informasi apapun!" protes Luna. 

"Hah? apa itu mungkin?" Calvin terkekeh, membayangkan jika dirinya menjadi agen khusus bersama dengan Luna. 

Nancy terlihat bangkit dari duduknya, ada perasaan puas yang terlihat pada wajahnya. Wanita paruh baya tersebut pun meninggalkan Ella lalu menghilang dari balik pintu utama Restoran.

Sudah tidak bersabar lagi, ketika Calvin dan Luna dengan segera menghampiri Ella, yang masih duduk santai menikmati minumannya. Ella memandang kedua sahabatnya dengan sebuah senyuman yang aneh dan membingungkan.

"Jadi..? Bagaimana? apa wanita itu mengancanmu, Ella?" Tanya Luna,

"Apa yang sudah dia ceritakan padamu Ella, cepat katakan kepada kami!" perintah Calvin dengan amat penasaran.

"Mmm... Nancy mengatakan bahwa memang benar ibuku pernah bekerja sama sebagai model untuknya, tapi tidak lama ibuku memilih untuk keluar dari agensinya," jawab Ella.

Wajah Calvin dan Luna semakin bingung, mereka masih tidak percaya jika Ella menjelaskan hal tersebut dengan ekspresi wajah yang tenang.

"Tapi dia mengatakan, bahwa dia bisa memberitahu mengenai Sarah kepadaku," Ella melanjutkan penjelasannya.

"Sarah?" Calvin merasa tidak asing dengan nama tersebut, sedangkan Luna mengangguk pelan seperti sudah mengetahui arti dari nama tersebut.

"Pasti kau lupa?!" tebak Luna, dan benar saja raut wajah Calvin semakin menandakan kebingungan.

"Sarah? Apa dia seorang artis terkenal?" tanya Calvin dengan  mimik bingung. 

"Sarah, wanita itu adalah manajer Laras... Dan Laras adalah Ibu Ella..! Hhh Calvin... apa kau perlu meningkatkan kapasitas ingatanmu?!" sindir Luna dengan sengaja. Kembali ia memandangi wajah Ella dengan serius.

"Jadi kau sudah mendapatkan nomor telepon Sarah? Atau kau tahu dimana ia tinggal?" Calvin mulai penasaran kembali.

"Tidak, aku belum mendapatkan apapun. Sebelum aku menandatangani perjanjian kerjasama dengannya, jadwal kami lusa nanti," jawab Ella.

"Ella, kupikir kau terlalu bersusah payah untuk mendapatkan informasi mengenai ibumu." Ucap Luna.

"Apa maksudmu Luna, kau tahu Ella hanya ingin..." Calvin memotong pembicaraan Luna.

"Calvin, aku belum selesai berbicara dan menjelaskan, kenapa kau terus saja menyela. Dan... Apakah aku bisa memberikan penjelasan?" tanya Luna menatap kesal, dan Calvin langsung merapatkan mulutnya.

"Ok," gumam Calvin pelan. 

"Maksudku Ella, bukankah lebih baik jika kau bertanya langsung pada ayahmu. Ya... aku tahu mungkin kau masih memiliki amarah pada ayahmu sendiri. Tapi bukankah ada baiknya, kau mulai menjalin hubungan baik dengan ayahmu, jadi kau tidak perlu berputar-putar seperti ini untuk tahu apa yang terjadi dengan ibumu," Luna memberikan gagasannya yang sebenarnya bagus. 

"Wah... kali ini kau pintar, Luna." Decak Calvin dengan kagum. "Bagaimana Ella?" 

"Entahlah aku tidak yakin, karena itu tidak semudah yang kalian pikirkan. Alan Smith sangat menutup rapat mulutnya, jika aku bertanya mengenai ibuku," jawab Ella dengan ragu. 

Namun penjelasan Luna membuat Ella terdiam dan menjadi berpikir. Apakah dia perlu bertemu dengan ayahnya kembali, apakah ayahnya akan memberitahu apa yang sudah terjadi selama ini?

***

Gedung Huxley Corps. 

Thomas duduk menatap beberapa laporan keuangan yang baru saja ia terima, putranya Edward ikut menatap beberapa salinan laporan yang sedang ia pelajari.

"Bagaimana persiapan pernikahanmu?" Tanya Thomas memecah kesunyian di antara mereka berdua. Edward hanya sedikit mendongak, melihat ayahnya yang juga tidak menatap ke arahnya. Edward kembali berpusat pada laporan yang berada di tangannya.

"Abigail sudah mengatur semuanya," jawab Edward singkat.

"Jadi Ayah sudah mendapatkan perjanjian kerja sama dengan keluarga Smith?" Tanya Edward sambil meletakkan laporan kerja di atas meja. Menatap ayahnya yang masih saja sibuk mengamati angka-angka yang tertera pada laporan kerja tersebut.

"Tepatnya Smith Bank, bukan keluarganya! Kunjungan kemarin cukup berhasil, dan semoga ini bisa memperbaiki kinerja perusahaan kita," jelas Thomas mulai menatap wajah putranya.

"Kalau bukan karena kecurangan pamanmu, perusahaan ini tidak akan goyah dan kita bisa mendapatkan lebih banyak para investor pada dua tahun belakangan ini."

Edward menarik napasnya dengan kesal, "Kenapa? Kalau memang ada permasalahan di anatara kalian, kenapa kalian harus mengorbankan anak-anak kalian dalam bisnis kalian? Huh... sangat gila!" sindir Edward.

"Apa kau merasa terpaksa melakukan hal ini, Edward? Apa karena pernikahanmu dengan Abigail? Hey... bukan aku yang meniduri putri dari Alan Smith, kau yang melakukannya, dan kau harus bertanggung jawab, bukan?" balas Thomas dengan senyuman licik.

Edward menggertakkan giginya, ingin sekali ia membalas ucapan ayahnya saat itu.

"Aku sudah membuat kesepakatan."

"Apa? Kesepakatan? Apa maksudmu, Edward?" Tanya Thomas masih dengan curiga,

"Setelah bayi itu lahir, aku akan melakukan tes DnA. Apa benar bayi itu adalah anakku atau bukan." Ucap Edward.

"Bagaimana kalau ternyata bayi itu adalah anakmu?" Tanya Thomas kembali. 

Edward menatap ayahnya. Hanya diam dan tidak memberikan jawaban, karena dia bahkan belum memikirkan mengenai hal tersebut.

Selama ini Edward sangat yakin kalau dirinya tidak menghamili Abigail, tapi bagaimana kalau ternyata dia salah? Bagaimana kalau Abigail memang mengandung anaknya, bagaimana kalau itu terjadi. Apakah dia harus terus bersama dengan wanita yang tidak ia cintai untuk seumur hidupnya?

***

Di Sebuah Butik Gaun Pernikahan. 

Emma Huxley, bersama dengan Marioline sedang duduk di sebuah ruangan yang penuh dengan gaun berwarna putih. Gaun putih yang sangat di dambakan bagi semua wanita yang akan menikah.

Clarissa baru saja keluar dari ruang gantinya, "Bagaimana penampilanku Mrs. Marioline?" Tanya Clarissa dengan sengaja mengacuhkan Emma yang sedang mengamatinya.

"Kau terlihat...." Ucap Emma.

"Kau terlihat cantik sayang." Marioline memotong ucapan Emma dengan sengaja, mata Clarissa terlihat senang saat Marioline menyanjungnya. Emma mengatupkan bibirnya, seraya memberikan sebuah senyuman yang dipaksakan.

Marioline sedikit melirik ke arah Emma, tapi dari tatapannya terlihat sebuah kepuasan karena bisa menyombong dihadapan besannya tersebut.

Tidak lama Abigail pun keluar dengan gaun putihnya yang sangat indah, gaun yang panjang, menutupi bagian dadanya. Tapi bagian punggungnya terbuka cukup lebar, memperlihatkan tulang punggung Abigail dan lekuk pinggangnya yang masih ramping.

"Abigail... Oh... Lihatlah... kau terlihat cantik... Bahkan sangat cantik," Puji Clarissa. Matanya langsung memperhatikan hiasan payet cantik yang tersusun rapi di bagian bawah gaunnya.

"Terimakasih Clarissa, kau juga terlihat cantik dengan gaunmu," balas Abigail.

"Kalian berdua terlihat cantik. Terutama kau Abigail, karena kaulah mempelai wanitanya. Aku yakin semua orang akan terpana melihatmu," ucap Marioline seraya mengarahkan putrinya melihat cermin yang berada di dekatnya.

Emma hanya bisa terdiam dan memberikan senyuman kecil, semenjak Clarissa mengetahui yang sebenarnya. Emma terus saja dianggap sebagai seorang asing. Dalam diam Emma masih menahan kesabarannya, walau dia sendiri tidak tahu kapan batas kesabarannya akan habis.

Abigail tersenyum menatap dirinya dalam cermin, pikirannya sudah jauh membayangkan hari pernikahannya yang sebentar lagi. Ia pun meraba perutnya tanpa ia sadari, anak inilah yang harus ia pertahankan. 

Karena anak yang ia kandung, pada akhirnya dia bisa menikah dengan Edward, dan berharap bisa memiliki keluarga yang sempurna dan bahagia.

avataravatar
Next chapter