24 Kesedihan 2

Keesokan Harinya.

"Mr. Barnard, dimana aku harus meletakkan majalah-majalah ini?" Tanya Ella memandang setumpuk majalah baru yang baru saja tiba. Ella melihat tulisan DeParis, pada sampul majalah fashion tersebut.

"Apa kau bisa meletakkan di bagian depan saja Ella? Hari ini Luna sedang ijin, untung saja kau datang lebih awal," ucap Barnard yang juga sedang sibuk di area kasir.

Ella pun mengangguk dan dengan semangat menata setumpuk majalah tersebut.

Toko buku milik Barnard bukanlah sebuah toko buku besar, tapi toko buku tersebut sudah beridiri sangat lama. Toko buku yang cukup lengkap, dari peralatan buku tulis, buku pelajaran, beberapa novel dan buku bacaan anak-anak. Serta banyak majalah yang cukup terkenal di Britania raya.

"Kau semangat sekali Ella hari ini, maafkan aku tidak memberimu ijin pada hari pertamamu. Aku dengar ibumu berada di rumah sakit." Ucap Barnard yang sudah berada di samping Ella. Pria bertumbuh pendek dengan tubuhnya yang bulat, harus menengadah ketika berbicara dengan Ella yang tinggi.

Pintu masuk terbuka, seorang wanita dengan rambut hitam yang sangat lurus. Ditambah dandanannya yang bergaya heavy metal, masuk dengan santai dan melirik ke arah Barnard dan Ella.

"Luna!! Kupikir kau akan mengundurkan diri," sindir Barnard. Wanita itu hanya memberikan jari tengahnya ke arah Barnard.

"Sudah kubilang, hari ini aku ijin terlambat Barnard." Luna tampak tidak peduli dan mulai pergi ke area belakang toko.

Tidak lama Luna keluar, dan ia sudah mengganti pakaiannya dengan seragam toko.

"Halo, namaku Ella." Ella berusaha memperkenalkan dirinya dan meyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Luna. Ella seketika menjadi mengingat Calvin, dandanan Luna mengingatkannya akan Calvin temannya.

"Luna..." Jawabnya tanpa membalas jabat tangan Ella.

"Kau tidak perlu bersedih Ella, justru kau akan senang tidak berjabat tangan dengan wanita seram itu," sindir Barnard dan kembali ke area kasirnya.

"Hei... anak baru.. Kau salah meletakkan ini... Kemari dan pelajari ini." Luna mulai memerintah, dan Ella pun hanya menurut saja.

Luna- seniornya, banyak memberitahu Ella tentang bagaimana menyusun buku yang benar.

Dan bagaimana cara membaca kode pada setiap rak buku. Ini akan memudahkan proses pencarian buku yang dicari oleh pelanggan.

Tidak lama ponsel Ella berdering, "Luna.. maaf boleh aku..."

"Yah... silahkan."

"Halo. Ya benar, aku Ella. Apa? Ibuku?" Wajah Ella sudah sangat panik. Ia mendekati Barnard dan menceritakan bahwa pihak rumah sakit menghubunginya.

"Hati-hati Ella, semoga tidak terjadi apapun dengan ibumu." Ucap Barnard dan melihat Ella sudah keluar dan menghilang dari balik pintu.

"Ada apa dengan si anak baru?" Tanya Luna yang juga ikut melihat Ella yang sudah pergi.

"Kasian anak itu, ibunya sedang berada dirumah sakit. Sepertinya sakitnya sangat serius." Jawab Barnard.

***

Alfred sedang berada dalam kamar Laras, ia baru saja memerika kondisi Laras. Ella yang baru saja tiba, langsung menatap wajah ibunya. Wajah ibunya terlihat semakin pucat, bahkan Ella bisa melihat napas ibunya yang tersengal-sengal.

"Ella.. kau sudah tiba. " Alfred berjalan mendekati Ella, sebelum Ella mendekati tempat tidur Laras.

"Ada apa dengan ibuku, Dokter Alfred?" tanya Ella bingung.

"Kondisi ibumu sedang kritis, sangat riskan untuk melakukan operasi saat ini." Ucap Alfred memegangi kedua bahu Ella.

"Tapi... kau bisa mengobati ibuku, bukan? aku mohon..." Tanya Ella yang hampir menangis.

"Ella... ternyata kau sudah tiba?" Suara Laras begitu pelan dan sangat lirih karena menahan rasa sakit, dengan selang oksigen yang sudah terpasang pada hidungnya. Ella pun sudah dengan cepat menghampiri ibunya.

"Hh... hhh... hhh... Ella..?" Ucap Laras dengan napas yang sulit, membuat Ella menggenggam tangan ibunya.

"Ibu..?"

"Ella, ibu pikir... ibu sudah tidak kuat lagi, ini terlalu sakit," ucap laras putus asa,

"Apa yang ibu katakan barusan? Ibu tidak boleh menyerah! Aku yakin jika kau akan segera sembuh," ucap Ella kesal, tapi satu tetes air matanya sudah mengalir melewati pipi Ella.

"Ella kau sangat cantik, sayang sekali ibu tidak bisa melihatmu lebih lama," ucap Laras dan kembali napasnya terengah-engah.

"Ibu... Kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau harus sehat dan sembuh." Ella kembali berlinang airmata, ia tidak mau membayangkan apapun mengenai hal buruk yang akan menimpa ibunya sendiri.

"Hhh... hhh... hhh... hhh...."

Napas Laras kembali terengah-engah, Tidak hanya itu kedua matanya mendelik ke arah atas. Dan tidak lama tubuh Laras berkejang tidak wajar.

***

Alfred langsung datang menghampiri Laras, saat itu wajahnya tidak lebih baik dari wajah Ella. Segera Alfred menekan tombol darurat yang berada di sisi tempat tidur Laras.

Tidak lama para perawat sudah berada di dalam kamar, dan mereka lebih banyak membawa peralatan agar bisa menolong Laras.

Ella hanya diam dengan wajah yangbingung, tidak tahu peralatan apa saja yang mulai ditempelkan pada tubuh ibunya.

"Ella, lebih baik kau menunggu diluar. SEKARANG!!" Perintah Alfred dengan ketegangan yang memuncak di wajahnya.

Ella menurut dan menunggu dengan cemas, dalam hatinya ia terus berdoa dan berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya.

Tidak lama Alfred pun sudah keluar dari ruangan Laras, wajahnya hanya tertunduk sedih.

"Alfred, bagaimana dengan ibuku?" Tanya Ella dengan panik.

"Maafkan aku Ella. Aku sudah berusaha sebisa mungkin, untuk menyelamatkan nyawa ibumu," ucap Alfred yang masih terus menunduk.

Ella mendorong kesal Alfred, lalu ia masuk dengan segera kedalam kamar Laras.

Laras tampak sedang tertidur dengan matanya yang terpejam, membuat Ella segera memeluk ibunya dengan erat. Ditambah dengan airmatanya yang mulai berlinang dengan deras.

"Ibu kau tidak bisa melakukan ini padaku... aku mohon..." Ucap Ella masih terus memeluk ibunya.

"Kumohon... Jangan tinggalkan aku... kumohon... bu..!"

"Aku sangat menyayangimu Bu, kau harus terus menemaniku Bu..."

"Kumohon Bu... berjuanglah... jangan pergi dan meninggalkan aku."

***

Sekuat apapun Ella menolak takdir yang sudah ditentukan, tetap saja ibunya tidak akan pernah kembali. Karena Laras sudah tenang dengan kehidupan abadinya. 

Pemakaman baru saja usai, diiringi dengan isak tangis Ella yang hampir tiada henti saat itu. Bahkan Alan Smith berusaha untuk kuat dan tegar, meski perasaannya ikut berkecamuk dan hancur.

Ella sedang duduk termenung di ruang tamu dengan tatapan kosongnya. Ia ditemani oleh Alan Smith yang berada di sampingnya, Alan Smith terus merangkul Ella dengan erat.

Ella tidak menolak rangkulan ayahnya, bukan karena dia sudah menerima Alan sebagai ayahnya. Tapi karena hari itu ia sudah sangat lelah, dan sedang tidak ingin berdebat.

Ibunya sudah meninggalkan Ella untuk selama-lamanya. Semua kenangan itu seakan-akan timbul kembali di pikirannya, dan ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami.

Usai pemakaman, rumah mungil tersebut didatangi dengan para pelayat yang datang.

Tidak banyak yang datang, tapi semua assisten keluarga Huxley datang, termasuk dengan Mrs. Huxley.

Mrs. Huxley lebih tidak percaya lagi dengan kabar yang menimpa Laras, berkali-kali ia memeluk Ella berusaha menujukkan rasa simpatinya.

"Ella, aku benar-benar sedih dengan kepergian Laras. Apa kau sekarang membutuhkan bantuanku?" Tanya Mrs. Huxley dengan rasa iba.

"Tidak apa-apa Mrs. Huxley. Aku baik-baik saja," jawab Ella masih tampak sedih.

Alan terlihat berbisik-bisik pada Mrs. Huxley, dan Ella memperhatikan wajah Mrs. Huxley yang mulai menegang dan sudah mulai kesal.

Satu persatu para tamu berpamitan, Alvin berkali-kali memberikan pelukannya pada ella.

"Hubungi aku, jika kau butuh sesuatu.OK?" ucap Alvin.

"Terimakasih Alvin."

"Tuan Edward sedang berada di luarkota, Sepertinya Mr. & Mrs Huxley mencoba menutupi berita ini. Tapi tenang saja aku sudah mengirim pesan kepada Tuan Edward sebelum aku pergi kesini."

"Hah.. Tuan Edward?" Ella sepertinya baru sadar, kalau Edward belum datang mengunjunginya.

Suara pintu rumah terdengar terbuka kasar, Semua mata memandang Marioline Smith yang sudah beridiri degan wajahnya yang tegang.

"Marioline?? Apa yang sedang kau lakukan disini?" Tanya Alan yang kaget melihat istrinya sudah menyusul dengan nekad.

"Harusnya aku yang menanyakan, apa yang sedang kau lakukan disini, Alan? Berhari-hari kau tidak ada kabar, ternyata kau sudah berada di rumah wanita jalang ini?"

Ella sudah tidak bisa menahan kesabarannya, dengan cepat ia melewati Alvin dan berjalan mendekat ke arah Marioline. Dengan cepat ia sudah melayangkan tamparannya ke arah wanita tersebut.

PLAK!!! (Ella baru saja memberikan tamparan keras pada pipi Marioline)

"KAU!! BERANI-BERANINYA KAU!" Marioline yang kesal tidak menyangka dengan sikap Ella.

"Kau sama seperti ibumu. Sama-sama WANITA JALANG!" Ucapnya kesal.

Ella tidak membalas ucapan Marioline, dengan cepat ia sudah menjambak wanita tersebut. Pikirannya mengingatkan bahwa wanita tersebut juga memiliki peran dalam penderitaan ibunya selama ini.

Ella tidak melepaskan genggaman rambut Marioline, wanita itu masih berteriak dengan histeris dan kesakitan karena Ella semakin kuat menarik rambutnya.

"Ella... lepaskan..!" Alan mencoba memisahkan.

"Kau... kau yang harusnya mati, kaulah wanita jalang yang sebenarnya." Teriak ella dengan kesal dan masih terus menarik rambut Marioline.

Edward Huxley baru saja tiba, dan ia sudah melihat kekacauan di rumah tersebut. Ia sudah melihat Ella yang sedang bergerumul dengan Mrs. Smith. Edward melihat ibu tirinya yang sedang bersusah payah memisahkan kedua wanita yang masih asik bertikai.

Edward langsung saja memegangi tangan Ella, walaupun wanita itu masih dalam keadaan meronta-ronta. Ella tidak patah semangat, karena dia terus mencoba meraih rambut Mrs. Smith.

"Ella hentikan!!!" Teriak Edward.

Dan ... akhirnya Ella baru sadar kalau pria yang memegangi tangannya adalah Edward Huxley, Ella langsung menatap wajah Edward dengan kedua bola matanya yang melebar.

Seketika emosi Ella langsung hilang, dan ia  mengendurkan urat-urat ketegangan pada wajahnya seraya berdeham pelan.

"Edward? Apa yang sedang kau lakukan disini?" tanya Ella sambil ia merapikan rambutnya yang berantakan.

***

Alan Smith sudah membawa istrinya pulang secara paksa, Mrs. Huxley bersama para asisten rumah tangga juga sudah pamit untuk pulang. Tinggallah Ella dan Edward di dalam rumah tersebut.

Ella masih duduk di depan perapian kecilnya, ia masih terus menyeka air matanya yang masih sering keluar. Edward menghampirinya, dan menyelimuti tubuh Ella karena malam yang sudah mulai larut.

Edward memeluk Ella dan mengecup bagian dahi Ella,

"Menangislah Ella, aku ada disini. Kau bisa menangis sepuasmu." Ucap Edward, semakin mendekap Ella yang sudah mulai menangis kembali. Tangisan itu sangat menyedihkan, Ella tampaknya belum bisa menerima kenyataan mengenai kepergian ibunya.

Ella tertidur pulas dalam dekapan Edward Huxley, setidaknya ia merasakan sedikit lega dan tenang. Edward secara hati-hati memindahkan Ella ke kamarnya. Ia menatap wajah Ella yang tertidur pulas, ia pun mengecup mata Ella yang sudah terlihat sembab dan bengkak.

Pagi harinya Ella terbangun, karena mencium aroma gosong yang amat pekat. Ella keluar dari dalam kamarnya, dan langsung menuju ke ruang dapur.

Dan benar saja Edward sedang berusaha membakar dapurnya. Ella langsung mengambil sebuah apar yang berada di sudut ruangan. Dengan cepat ia mengarahkan ke arah api yang mulai membesar di atas kompor.

"Maafkan aku Ella." Ucap Edward, tampak bersalah. "Aku janji akan mengganti kompormu."

"Edward?! Apa yang sedang kau lakukan?" Tanya Ella kesal, dan meletakkan kembali apar pada tempatnya.

"Aku ingin membuat sarapan untukmu Ella." Jawab Edward.

"Ha..??"

"Aku serius, Ella! Aku ingin membuatkan sarapan untukmu, tadinya...." Edward menyeringai bersalah,  menatap Ella yang berjalan ke arah kulkas.

"Terimakasih, tapi aku rasa ini sudah cukup untuk sarapan kita." Ucap Ella menyodorkan sekotak sereal.

Edward pun menyetejui ide Ella, sarapan pagi mereka diawali dengan semangkuk cereal.

Mata Edward terus saja memandangi ella, "Matamu masih terlihat sangat sembab."

"Hmmm... Kau kan tidak tau sudah berapa banyak air mata yang sudah aku keluarkan," jawab Ella dan terus menyendoki mulutnya dengan sereal.

"Jangan bersedih lagi, dan maafkan karena aku datang terlambat. Kalau bukan Alvin yang memberitahuku, aku masih terkurung dengan ayahku." Ucap Edward, dan menyentuh mata Ella degan perasaan sayang.

Ella pun hanya bisa membalas dengan senyuman lemah untuk Edward.

"Selesai sarapan ini, kau harus bersiap-siap, Ella." Ucapan Edward langsung membuat Ella menghentikan sarapan pagi yang baru saja dimulai.

"Bersiap-siap untuk apa?"

"Kau tidak bisa tinggal disini sendiri. Ella! Kau harus ikut denganku, karena aku akan kmencarikan tempat yang lebih baik di London." Edward terlihat percaya diri saat menjelaskan. 

"Bahkan  kau tidak perlu khawatir mengenai masalah biaya kehidupanmu nanti, aku akan menjamin semuanya, kau akan mendapatkan yang terbaik, Ella." Kata Edward, tapi Ella terlihat tidak menyukai keputusan Edward yang sebelah pihak tanpa menanyakan pendapat dirinya terlebih dahulu.

"Kau mulai lagim Edward Huxley! Apa sekarang kau mulai mengatur hidupku?" Ella menatap Edward kesal, bahkan ia mulai menggeser piring makannya.

"Ella, ayolah... kenapa kau begitu keras kepala. Aku mencintaimu, dan kau tahu itu!! Aku hanya ingin membantumu! Sekarang aku bertanya padamu, apa yang bisa kau lakukan saat ini? Bahkan aku yakin kondisi keuanganmu juga tidak dalam keadaan baik, bukan?" Edward mulai menaikan intonasi suaranya, muncul sikap angkuh dan semena-mena yang memang menjadi ciri khas dirinya.

"Aku bukan bonekamu, Edward Huxley! Dan soal uang... aku masih bisa bekerja. Aku tidak membutuhkan bantuanmu sama sekali, kalau caranya seperti ini jelas aku tidak akan menerima uangnmu." Ella lebih keras lagi saat mengatakannya.

"Ella, mengapa kau membuat keadaan ini menjadi sulit. Kumohon... menurut dan ikut bersamaku ke London." Edward berjalan mendekat, dan membelai rambut dan wajah Ella.

"Kau tidak perlu menderita lagi, aku jamin kau akan bahagia bersamaku, Ella."

"Bahagia? Huh..! Apakah kau lupa Edward, bagaimana ayahmu sudah menghinaku dan juga ibuku? Dengan aku menuruti kemauanmu, maka ayahmu akan lebih mudah menjatuhkan harga diriku. Dan kau juga akan semakin terlihat tidak bisa apa-apa di hadapan ayahmu." Ella mencoba menjelaskan dengan nalarnya.

"Apa maksudmu Ella? Apa kau pikir aku tidak bisa hidup tanpa nama belakang Huxley?" Tanya Edward tersinggung.

****

Terlihat jelas jika Edward sangat kecewa dengan perkataan Ella barusan, dia mengerutkan keningnya dengan segera. 

"Sepertinya kau salah menyangka, Edward. Lihat kondisi kita saat ini, bagaikan langit dan bumi. Aku tidak bisa menuruti semua perintahmu Edward. Apa kau benar-benar akan menggerakkanku seperti boneka, dan aku tidak bisa bergerak dengan bebas?" Ella masih tetap dengan pendiriannya.

"Selama ini kau hidup dengan memberikan perintah, sampai kau tidak bisa membedakan apakah orang yang kau cintai pantas kau perlakukan sama? Edward Huxley aku sangat mengenal semua sifatmu. Aku ingin kau berubah dan...." Ucap Ella dan menggenggam tangan Edward.

Terlihat Edward tidak setuju dengan pendapat Ella, "Aku pikir, kau akan senang dengan kedatanganku.."

"Aku senang, sungguh. Tapi aku tidak senang kau masih bersikap seperti ini, boleh aku menanyakan sesuatu?" Tanya Ella, dan Edward hanya terdiam kesal.

"Kenapa kau tidak memberitahuku mengenai kondisi ibuku?"

"Itu... itu karena..."

"Lihat kan... betapa egoisnya dirimu. Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan saat itu, Edward? Mengapa kau tidak memberitahukan kondisi ibuku yang sakit, namun saat ini aku pun tidak ingin tahu alasanmu, karena itu hanyalah sebuah contoh kecil." Ucap Ella sedih.

"Ella, jangan berpikiran aneh. Aku tidak melakukannya, karena aku tau kesempatan ibumu untuk bertahan hidup terlalu kecil. Aku sudah mengecek sendiri riwayat kesehatan ibumu, aku menyelidikinya Ella tanpa kau ketahui. Tapi Aku lebih memilih untuk menjaga dirimu, karena aku tau kau akan kehilagan ibumu cepat atau lambat." Edward mencoba memberikan penjelasan.

Ella menatap dengan tatapan sedih, "Apa?? Jadi karena itu?? Anda egois sekali Tuan Edward? Jika anda mencintai saya hanya karena rasa simpati ataupun iba. Maaf saya tidak membutuhkannya."

"Apa maksudmu Ella? Kau mulai salah mengartikan niat baikku."

"Niat baik anda bilang? Kalaupun pada akhirnya ibuku akan meninggal, aku tetap berhak tahu kondisi ibuku! Bukan Kau! bukan juga Alfred!" Ella sudah kesal dan mendorong paksa Edward yang berusaha mendekatinya.

"Tuan Edward, kurasa hubungan kita tidak akan pernah berhasil." Ucap Ella,

"Haa?? Maksudmu... Ella?"

"Maksudku adalah, lebih baik kita jalani hidup kita masing-masing," jawab Ella.

Edward pun langsung menurunkan kedua tangannya, dan tidak percaya dengan apa yang ia baru dengar.

"Apa kau serius Ella? Setelah apa yang kita lalui... dan kau lebih memilih berpisah seperti ini?"

"Apa yang sudah kita lalui Tuan edward? Aku hanya lebih sering merasakan kalau kau terlali terobsesi padaku, bukan karena kau mencintai aku." Ucap Ella sudah sangat sedih.

"Saat ini aku butuh waktu untuk sendiri, aku harap kau mengerti Tuan Edward." Ucap Ella tapi wajahnya menunduk dan tidak berani menatap Edward.

"Ingat Ella, kau yang memutuskan hal ini... Aku sudah berusaha... Ahhh....." Edward sudah dengan cepat membalikkan badannya, dan berlalu meninggalkan Ella dengan perasaan kesal.

Ella pun duduk dengan sedih, "Tapi anda yang membuat saya memutuskan hal ini Tuan Edward."

Ella masih tenggelam dalam kesedihannya, Edward Huxley dimatanya adalah pria yang sama. Pria yang memiliki egois besar dan ambisi yang tinggi.

Sedangkan Ella menyukai dengan kebebasan, ia tidak bisa terus mengikuti perintah pria tersebut.

Sudah dua belas tahun, ia menjadi pelayannya. Dan ia tidak ingin menjadi budak cintanya, dan tidak memberikan kebebasan yang selama ini ia nantikan.

Walaupun ada rasa sakit di hatinya, yang ia tau ini adalah rasa cintanya pada Edward Huxley.

avataravatar
Next chapter