23 Kesedihan 1

Kota Briston - Satu Minggu Semenjak Perpindahan Ella

"Apa anda pernah bekerja di toko buku sebelumnya?" Tanya pria tersebut, Ella pun mengeleng dengan cepat.

"Tapi tenang saja, saya bisa belajar dengan cepat." Ella memberikan senyuman terlebarnya dan mencoba meyakinkan si pemilik toko.

"Mmmm...." Pria tersebut tampak berpikir dan kembali memperhatikan Ella yang masih menatapnya dengan penuh harap.

"Baiklah Miss. Ella, kau diterima bekerja disini. Tapi ingat karena anda masuk pada pertengahan bulan, maka kau belum bisa menerima gaji anda secara utuh."

"Terimakasih Mr. Barnard."  Ella menyeringai dengan sangat senang.

Ella segera pulang kerumahnya, hatinya sedang sangat senang. Sudah dua minggu ini dia mencari pekerjaan, dan akhirnya setelah bersusah payah ia mendapatkan pekerjaan paruh waktu di sebuah toko buku yang kecil.

Ella mengendarai sepeda yang belum lama ia beli dengan harga yang tidak mahal, dan tentunya tidak menghabiskan uang tabungannya. Ia terus mengayuh dengan cepat, sambil membawa beberapa roti yang ia beli saat perjalanan pulang.

Ella memakirkan sepedanya disamping pintu masuk. Ia mulai mencari sosok ibunya dan tidak sabar untuk memberitahukan sebuah kabar baik.

"Ibu... kau ada dimana?"

Ella masuk kedalam ruang dapur, dan mencium aroma sup yang masih berada di atas kompor. Sup tersebut sudah mendidih, dan Ella dengan segera mematikan apinya.

Ia masih terus mencari ibunya, dan merasa aneh karena ibunya tidak seceroboh itu membiarkan kompor yang masih menyala.

"Ibu..?"

Ella mulai bergerak ke halaman belakangnya, dan ia hanya bisa melihat beberapa kain dan pakaian yang berada di jemuran. Ella terus mencari di halaman belakangnya yang kecil, dan benar saja ia telah menemukan ibunya terkapar dan tak sadarkan diri.

"Ibu..!!!!" Terik Ella dengan panik.

Ella dengan cepat telah membawa Laras ke rumah Sakit Briston, Laras tentunya masih belum sadarkan diri. Ella masih panik, dan masih menunggu hasil pemeriksaan.

Pikirannya sedang berkecamuk, ia tiba-tiba merasakan rasa takut akan kehilangan ibunya.

Setelah mendapatkan perawatan lebih lanjut, kondiri Laras sudah stabil walaupun dirinya masih belum sadarkan diri.

Ella lebih terkejut lagi ketika mengetahui hasil pemeriksaan dari dokter yang memeriksanya, bahwa ibunya mengidap kanker paru-paru satadium akhir.

Selama ini ibunya menutupi masalah seberat ini dari dirinya, Ella merasa menjadi anak yang tidak berbakti.

Ella menyentuh tangan ibunya, wajah Laras terlihat sangat pucat. Ella pun menyentuh wajah ibunya, dan meraba pipinya. Air mata Ella sudah berlinang, ia tidak tega melihat ibunya yang selama ini menahan rasa sakit. Selama ini ibunya terlihat sangat tegar dan kuat.

"Ibu.." Ucap Ella dengan lirih dan pelan, Kenapa? kenapa kau merahasiakan selama ini? Kenapa kau tidak memberitahukan kalau selama ini..."

Laras tiba-tiba membuka matanya perlahan, sepertinya ia sadar dengan Ella yang berada di sampingnya. Ella langsung menyeka air matanya, "ibu, kau sudah sadar?"

"Dimana ibu?" Tanya Laras bingung,

"Ibu ada dirumah sakit, dan ibu tadi jatuh pingsan." Jelas Ella.

"Heh... apa kau habis menangis? mmm....akhirnya kau sudah mengetahuinya ya? " Ucap Laras sedikit menengok ke arah putrinya. Ella tidak menjawab, dia hanya bisa terdiam dan justru matanya sudah mulai berkaca-kaca lagi.

"Maafkan ibu Ella, ibu tidak memberitahumu. Ibu hanya ingin kau tidak menjadi khawatir."

"Seharusnya ibu memberitahuku. Jadi penyakit ibu tidak akan separah ini." Ella semakin menggenggam tangan ibunya, dan mencium dengan rasa sedih.

"Ella, maafkan ibu. Ibu hanya ingin kita bisa mewujudkan impian kita. Memiliki rumah kita sendiri dan keluarga kecil kita bisa menjadi bahagia. Biaya pengobatan ini terlalu mahal, dan bisa menghabiskan semua tabungan kita."

"Maafkan aku, Ella... "

"Ibu....kenapa kau berkorban seperti ini. Aku tidak mengapa jika harus menggelandang seumur hidupku, asalkan kau tetap berada disampingku." Ella memeluk ibunya, dan mulai berlinang air mata.

"Anak bodoh, kau tidak boleh menjadi gelandangan. Kau harus meneruskan sekolahmu. Jangan buat pengorbanan ibu menjadi sia-sia." Ucap Laras, membelai rambut Ella dan putrinya masih saja terus menangis dalam dekapannya.

Ella baru saja keluar dari ruang adminsitrasi, ia meminta rincian dan gambaran mengenai biaya pengobatan ibunya. Karena dokter menganjurkan untuk melakukan perawatan khusus, dan kondisi ibunya yang juga semakin parah.

Selembar kertas sudah ia terima, Ella menutup ruang admisitrasi dan masih berdiri memandang selembar kertas ditangannya.

Ella menghela napasnya, sebuah nominal yang fantastis. Bahkan jika ia merelakan uang masuk kuliahnya, hal itu tidak akan banyak membantu.

Ella berjalan sambil terus menatap selembaran kertas tersebut, otaknya sedang bekerja keras untuk mencari jalan keluarnya.

Tiba-tiba saja ia menubruk seseorang dengan cukup keras, "Maafkan saya." Ucap Ella.

"Ella.. ?" Ternyata Alfredlah yang berdiri di hadapannya, "Alfred...?" Balas Ella.

***

Alfred mengajak Ella menikmati segelas kopi di cafetaria rumah sakit, yang terletak di lantai dasar. Alfred dan Ella sama-sama terkejut dengan kehadiran masing-masing.

Setelah mendapatkan penjelasan Ella, Alfred pun tampak mengerti dengan situasi dan kondisi Ella saat ini.

"Tapi Alfred, kenapa kau bisa ada disini? Bukankah kau sedang betugas di London?" Tanya Ella yang sebenarnya bingung.

"Suatu kebetulan Ella, sekarang aku sekarang sedang bertugas di Briston." Alfred memberikan senyuman manisnya.

"Jadi... apa sekarang kondisi ibumu sudah lebih baik?" Tanya Alfred.

"Hanya untuk sementara, saat ini dia tetap harus menjalankan beberapa prosedur. Pasti kau jauh lebih paham dariku, Alfred." Jawab Ella lemah.

"Maafkan aku Ella, sebenarnya aku telah mengetahui ini pada saat kau dirawat di rumah sakit. Aku secara diam-diam mengetahui ibumu sedang memeriksakan kondisi kesehatannya."

"Apa?? Tapi kenapa kau tidak memberitahuku Alfred?"

"Sekali lagi aku minta maaf Ella, aku pikir Edward akan memberitahukannya kepadamu. Ahh bodohnya aku.." Ucap Alfred kesal pada dirinya sendiri.

"Edward? Kau bisa memberitahunya, tapi kau tidak memberitahuku Dokter Alfred?" Ella sudah sangat kesal.

"Ella... aku tidak bermaksud jahat. Kau tahu biaya pengobatan ibumu tidaklah murah. Tujuanku memberitahu Edward, supaya dia bisa membantumu saat itu." Alfred mencoba memberikan penjelasan, tapi Ella sudah bangkit, dan menatap dengan kesal.

"Maafkan saya doter Alfred atas ketidak sopanan saya, terimakasih untuk kopinya. Saya harus pulang dan mengambil beberapa barang untuk ibu saya."

Alfred tidak bisa memaksa Ella untuk tetap menemaninya, ia sudah melihat Ella yang berjalan semakin menjauh dan menghilang.

***

Percakapan Video Call

"Ella kau yakin tidak apa-apa. Apa kau ingin aku dan Calvin kesana?" Ucap Kristy pada video call, dan Ella masih sibuk merapikan pakaian milik ibunya.

"Tidak perlu Kristy, kau sendiri sedang sibuk dengan persiapan masuk kuliahmu bukan. Bukankah besok kau harus berangkat ke Amerika?" Ucap Ella.

Ia pun sedang duduk bersila di kamar ibunya, meletakkan pakaian ibunya dan mengambil ponselnya. Wajah Kristy tampak cemas,

"Aku baik-baik saja. Tidak mungkin aku terus merepotkan kalian."

"Fuhh...." Kristy menghela napasnya.

"Ada apa, kenapa kau menangis?" Tanya Ella bingung, melihat perubahan wajah temannya.

"Kau ingat cerita terakhirku, mengenai hubunganku dengan Calvin. Mereka akhirnya bertengkar. Ayahku dan Calvin, mereka bertengkar hebat." Krsity sudah mulai menyeka airmatanya.

"Bertengkar? Tapi bagaimana mungkin Calvin bertengkar dengan ayahmu." Ella masih bingung dan sudah sangat serius menatap wajah Krsity.

"Setelah dia mengantarku pulang, ayahku sudah menunggu kami berdua di depan pintu. Ia memaki Calvin dengan semua kata kasar yang sepertinya sudah ia siapkan." Wajah Kristy semakin memerah saat bercerita.

"Kau tahu sendiri, bukan? Jika Calvin, seorang yang sangat mudah dipancing emosinya. Dan mereka hampir saja berkelahi. Tapi ayahku, memang benar-benar keterlaluan. Ia sangat menghina Calvin saat itu."

"Dan kau tahu Ell, Ayahku sengaja mengirimku untuk sekolah sangat jauh. Aku tidak tahu bagaimana hubungan kami ke depannya." Kristy sudah menyeka ingusnya dengan tisu.

"Aku sungguh sedih mendengarnya, Apa yang bisa kubantu Kristy?" Ucap Ella simpati,

"Tidak ada Ella, kau saja masih sibuk dengan semua masalahmu. Masalahku tidak seberapa jika dibandingkan dengan masalahmu saat ini." Ucap Kristy dan mulai menjaga emosinya agar bisa terkontrol kembali.

Percakapan mereka tidak lama, Ella harus bergegas kembali ke rumah sakit. Dan ia juga menyiapkan beberapa pakaian untuk dirinya sendiri, ia juga harus memulai hari pertamanya untuk bekerja.

Suara bel pintu terdengar dari jauh, Ella bahkan belum akrab dengan tetangganya. Tapi apakah ia benar-benar kehadiran tamu.

Alan Smith, sudah berdiri di depan pintu memandangi Ella yang tercengang dan tidak percaya.

"Mr. Smith, apa yang sedang anda lakukan disini? Dan bagaimana anda bisa ada disini?"

***

Pria itu sudah duduk diruang tamu kecil milik Ella, wajahnya masih memandangi Ella yang masih terlihat canggung.

"Ella... itu namamu, bukan?" Alan mulai membuka pembicaraan,

"Ya, kau benar Mr.Smith." Jawab Ella, "Apa yang membuat kau datang ke tempat tinggalku?" Tanya Ella dengan sinis.

Mr. Smith terlihat ragu untuk membuka mulutnya.

"Ella, maafkan aku karena sudah mengganggumu. Aku tahu Laras berada di rumah sakit, dan maaf kalau selama ini aku menyuruh seseorang untuk mengintai kalian berdua," ucap Alan, dan Ella semakin mengerutkan dahinya.

"Apa maksud anda Mr.Smith? Apa anda kesini hanya untuk menceritakan kisah lama, mengenai anda dan ibu saya?" Ella sudah kesal melihat wajah Alan, ia pun mengepal kedua tangannya dengan erat.

"Jadi? Ternyata ... kau sudah mengetahuinya? Kau tahu kalau aku adalah..."

"Ayahku? Apa itu maksudmu, Mr. Smith? Yang aku tahu jika ayahku sudah lama meninggal, itu yang ibu saya sudah katakan. Bagiku, anda adalah sebuah masa lalu yang telah membuat aku dan ibuku menjadi menderita selama ini." Jawab Ella dengan kasar.

Alan tidak terkejut dengan perlakuan Ella terhadapnya, sepertinya ia sudah menduga bahwa putrinya akan bersikap kasar padanya.

Alan tersenyum dan memandangi Ella yang duduk berseberangan dengan dirinya,

"Hmmm... Memang semua ini salahku. Dan aku ingin kau tahu Ella, bahwa sampai detik ini aku masih mencitai ibumu. Kau boleh percaya atau tidak, tapi selama ini aku mencari tahu keberadaan Laras dan kau Ella. Kau adalah putriku, kau adalah darah dagingku."

"Mr. Smith, anda tiba-tiba muncul di hadapanku. Dan anda mengatakan bahwa anda adalah ayahku, apa yang anda harapkan dari aku? Sebuah pelukan? Anda tahu ... hal itu tidak mungkin terjadi." Ella menatap dingin ke arah Alan.

Alan hanya tersenyum kecil, "Aku tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Kau benar Ella, aku terlalu egois. Ada hal lain yang harus kita pikirkan, yaitu kesehatan ibumu."

Ella semakin menegakkan wajahnya, "Aku lihat kau sudah mengepak rapi semua barangmu." Alan menatap semua koper dan barang bawaan milik Ella.

"Aku akan mengantarmu menuju rumah sakit, karena aku ingin bertemu dengan Laras," ucap Alan Smith. 

Ella secara terpaksa, ikut masuk ke dalam mobil Alan Smith. Pria itu berniat mengantarkan Ella ke rumah sakit, bahkan ia mengatakan akan menemui Laras. Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, karena Ella lebih memilih diam seribu bahasa.

Alan pun tampak canggung dengan Ella yang masih tidak mempedulikan kehadirannya saat itu.

***

Rumah Sakit.

Alan Smith sudah berada didalam kamar Laras, memandang Laras dengan tatapan sedih.

Alan langsung memeluk Laras, dan Ella tidak menyangka ibunya membalas pelukan Alan begitu erat.

Ella berjalan keluar dan meninggalkan mereka berdua, hati Ella pun ikut teriris pilu. Melihat pemandangan ibu dan ayahnya untuk pertama kalinya.

Ella pun ikut menangis, saat ini perasaannya juga sedang bercampur aduk, antara bahagia karena ia tahu ayahnya masih hidup. Dan bersedih, dengan semua penderitaan yang sudah mereka alami.

Ella sedang mendinginkan kepalanya di sebuah cafetaria, matanya sudah sangat berat. Karena hari ini ia sudah cukup berlinang air mata. Ia meletakkan kepalanya di atas tangannya sendiri yang bersilang di atas meja,

sepertinya dia ingin sekali matanya terpejam untuk beristirahat walau sebentar.

***

Alfred baru saja menemui Alan Smith di ruangannya sendiri. Pria tersebut memijat tengkuk lehernya sendiri, dan merasa apa yang baru saja ia dengar dari Alan Smith, layaknya sebuah cerita drama.

Alan Smith meminta agar Laras mendapatkan perawatan lebih lanjut, dan lebih anehnya tidak boleh ada yang mengetahui tentang keterlibatannya membantu Laras.

Alfred berjalan menuju cafetaria, dan lagi-lagi dia membutuhkan segelas kopi untuk menyegarkan pikirannya. Baru saja ia tiba, ia melihat sosok wanita yang ia kenal sedang duduk tertidur.

Ella memang sedang tertidur di atas meja, terlihat sangat lelah. Setelah mengambil pesanan kopinya, Alfred berjalan mendekat ke arah meja Ella.

Ia melepaskan jas putihnya lalu ia rentangkan untuk menutupi tubuh Ella.

Alfred duduk sambil menatap wajah Ella, wajah Ella yang terlihat tidur tampak berbeda.

Terlihat wajah Ella sangat tenang, tanpa Alfred sadari tangannya sudah merapikan beberapa helai rambut Ella yang menutupi wajahnya.

Ella merasa ada yang menyentuh rambutnya, matanya terbuka pelan. Dan ia kaget karena Alfred sudah berada di depannya, duduk memandangi dirinya yang sedang tertidur lelap.

"Alfred..?!" Ucap Ella yang sadar tubuhnya tertutupi oleh jas putih milik Alfred.

"Ahh.. Ella maafkan aku. Aku tidak mau membangunkanmu yang sedang tidur. Kau tampak nyenyak dan lelah." Ucap Alfred yang menerima pemberian jas miliknya dari tangan Ella.

"Ah... tidak apa-apa, dok. Justru aku yang harusnya merasa malu, karena tidak sengaja tertidur." Ucap Ella dan mulai bangkit.

"Kau sudah mau pergi?" Tanya Alfred yang sadar bahwa Ella sedang menghindarinya,

"Aku harus menemani ibuku." Jawab Ella cepat mencari alasan.

avataravatar
Next chapter