59 Flashback - Pria Yang Mati Pada Malam Itu

Flashback. 

Kediaman keluarga Prime tampak sepi di pagi hari yang masih terlalu gelap, tapi suara telepon yang berdering memecahkan kesunyian.

Seorang pelayan wanita yang kebetulan sudah terbangun dan sedang menyiapkan sarapan pagi, dibuat terkejut dengan suara telepon yang berdering dengan nyaring.

Untungnya seorang kepala pelayan pria dengan sigap mengangkat telepon tersebut, sebelum seisi rumah terbangun karena suaranya yang begitu nyaring.

"Selamat pagi, dengan kediaman Keluarga Prime. Ada yang bisa saya bantu?" sapa kepala pelayan tersebut dengan suara berat tapi tetap terdengar ramah.

Setelah menerima panggilan di pagi hari. Kepala pelayan tersebut berlari dengan cepat, derap langkahnya bahkan terdengar di penjuru ruangan. 

Pelayan wanita yang berada di dapur mengintip, dan penasaran apa yang membuatnya begitu tergesa-gesa. Bahkan ia bisa melihat gagang telepon yang masih tergeletak, apakah sang penelpon masih tersambung?

Suara ketukan pintu terdengar dari kamar Aaron Prime dan istrinya Caroline Prime, Aaron hanya bergumam dan tidak suka ada yang membangunkannya terlalu pagi. Tapi tidak dengan Caroline, yang langsung membuka matanya dan melirik ke arah jam dinding.

Suara ketukan tersebut masih terdengar, samar-samar Caroline juga mendengar kepala pelayannya yang memanggil dari balik pintu.

Akhirnya dengan langkah berat Caroline yang masih mengenakan baju tidurnya, membuka pintu kamarnya dan melihat raut wajah panik dari kepala pelayannya.

"Ada apa, Willy? Sungguh tidak sopan kau bertingkah seperti ini," ucap Caroline mencoba memperingatkan, tapi tetap dengan suara lembutnya. 

Aaron, walaupun matanya tertutup tapi telinganya masih bisa mendengar suara istrinya yang sedang menegur kepala pelayan.

"Aku harap ini sesuatu yang penting," lanjut Caroline berucap, seraya melipat kedua tangannya.

"Maafkan atas kelancangan saya Mrs. Prime. Tapi Mrs. Vivian menelpon dan mengatakan sesuatu mengenai suaminya. Mrs. Vivian bersikeras untuk berbicara dengan Mr. Aaron," jelas kepala pelayan tersebut.

***

"Apa itu, benar?" tanya Caroline memandangi suaminya yang sudah disibukkan pagi itu. 

Usai menerima telpon dari Vivian, Aaron belum memberikan penjelasan apapun pada istrinya yang masih bertanya-tanya.

"Aku harap itu tidak benar, tapi Vivian mengatakan bahwa suaminya ditemukan meninggal di sebuah kamar hotel bersama dengan seorang wanita." Jelas Aaron dan Caroline langsung memasangkan mantel cokelat yang tebal pada suaminya.

"Selebihnya, aku masih belum paham. Vivian lebih banyak menjerit histeris dan menangis. Aku harus segera kesana dan membantunya," ucap Aaron, tapi ia tahu pandangan mata istrinya mengatakan hal yang berbeda. Seakan-akan tidak suka dengan Aaron yang terlalu ikut campur.

"Hei... sayang, lihat aku." Aaron mengangkat dagu istrinya, dan mengecup bibir dan dahi istrinya.

"Aku dan Vivian tidak ada hubungan apapun, kau kan tau kalau Vivian lebih mencintai Carlton ketimbang diriku, dan itu kisah lalu yang tidak perlu kau khawatirkan,"

"Tapi apa kau masih mencintainya? melihat begitu besarnya kekhawatiranmu. Jujur, hal ini membuatku cemburu. Maafkan aku Aaron, aku tahu ini bukan waktu yang cepat untuk bersikap cemburu," ucap Caroline dengan wajah tidak enaknya.

"Sayang, kepedulianku saat ini hanyalah sebatas hubungan pertemanan yang sudah layaknya saudara. Dan tentunya kau dan Calvin-lah yang menjadi prioritasku saat ini. Ingat kau harus fokus pada pengobatanmu. Dan aku sangat mencintaimu, Caroline." Ucap Aaron dan kembali mengecup istrinya dengan rasa sayang.

Caroline mengantar kepergian suaminya, ada perasaan tidak nyaman melihat suaminya kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Meskipun adalah kisah cinta pada masa mudanya dulu.

Caroline sadar, memang itu sudah sangat lama sekali. Tapi ia yakin suaminya masih memiliki perasaan pada Vivian Lewis.

Vivian lewis - wanita yang ia cintai, jauh sebelum Aaron Prime mengenal Caroline.

Tapi sayangnya, itu hanya sebuah cinta bertepuk sebelah tangan. Dan Vivian lebih mencintai Carlton, dimana Carlton merupakan sahabat baik dari Aaron.

***

Aaron sudah tiba di kantor polisi, di kota London. Dengan segera ia masuk dan mulai mencari Vivian. Setelah bertanya pada petugas yang berada di bagian depan, petugas tersebut mengarahkan dia pada sebuah ruangan.

Di depan ruangan tersebut, ada seorang anak kecil berusia enam tahun. Dia sedang duduk menunduk, Aaron langsung bisa menebak anak laki-laki tersebut.

"Alfred, apa kau baik-baik saja? Kenapa kau ikut  datang kesini, harusnya kau bersama adikmu berada di rumah?" Ucap Aaron seraya membungkuk dan memegangi bahu Alfred.

"Jhon, adikku bersama dengan pengasuhnya, dan aku harus menemani ibuku." Ucap Alfred dengan sigap, wajah anak kecil itu terlalu datar, tapi Aaron bisa melihat area mata Alfred yang membengkak. Aaron sudah menduga bahwa Alfred pastilah habis menangis.

Petugas yang mengantar Alfred, kemudian mengarahkannya untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.

"Kau harus menunggu disini Alfred. Ingat, kau tidak boleh kemanapun. Tunggu sampai aku dan ibumu keluar dari ruangan ini, ok?"

Alfred pun mengangguk dengan cepat, dan melihat Aaron sudah menghilang dari balik pintu.

"Aaron..!" teriak Vivian. 

Wajah Vivian lebih kacau dari dugaan Aaron. Bajunya terlihat kusut, mungkin karena Vivian terus meremas-remas bajunya sendiri. Rambutnya yang dikuncir satu, matanya yang sembab dengan wajah yang pucat.

Vivian langsung memeluk Aaron yang baru saja tiba, "Apa kau baik-baik saja, Vivian?" tanya Aaron khawatir.

Seorang petugas yang berada dalam ruangan tersebut akhirnya menhela nafasnya dengan lega.

"Anda pasti Mr. Aaron Prime." Ucap petugas tersebut. 

"Mrs. Vivian saat ini sangat sulit untuk saya minta keterangan. Dan ia terus menyebut nama anda, dan meminta anda untuk datang kesini. Maafkan kami, karena mengganggu waktu anda di pagi ini Mr. Aaron." Jelas petugas tersebut.

"Aaron, kau harus membantuku. Wanita itu, DIA!!! Dia telah membunuh Carlton!!! Bagaimana bisa Carlton ada bersamanya!! Carlton tidak mungkin mengkhianatiku!!! TIDAK... TIDAK MUNGKIN"

Vivian mulai histeris kembali, bahkan ia mulai memukuli dada Aaron, pria itu sontak saja memegangi bahu Vivian dan mulai memanggil namanya dengan lantang.

"VIVIAN!! SADARLAH!!!"

Vivian terhenti dan terdiam, tapi air matanya mulai berlinang. 

"Vivian..?" Panggil Aaron kembali dengan nada yang lebih lembut, mata wanita itu mulai kembali fokus pada pria di hadapannya.

"Saat ini Alfred dan Jhon membutuhkanmu. Apa kau sadar kalau Alfred ikut bersamamu?" Tanya Aaron, dan Vivian pun mengeleng dengan perlahan.

"Alfred..? Dimana dia?" Tanya Vivian kembali bingung.

"Apakah anda bisa mengantar Vivian untuk menemui putranya, dan bisakah anda menemaninya sebentar." Ucap Aaron pada salah satu petugas yang mengantarnya, dan petugas itu pun membantu Vivian keluar dari ruangan.

Aaron duduk dan meletakkan tangan kanannya di atas meja, sibuk memijati dahinya dengan perlahan seraya menarik napasnya.

"Jadi dimana dia? Dimana Carlton?" Tanya Aaron pada detektif yang ada dihadapannya. 

"Mr. Aaron, untuk anda ketahui Mr. Carlton telah ditemukan tewas pagi ini di sebuah hotel."

Aaron menegakkan wajahnya, dan langsung saja menggebrak meja dengan kesal.

"Sial....!!! Maafkan aku. Carlton adalah sahabat baikku, dan aku masih belum percaya dengan semua ini." Aaron mulai mengatur emosinya kembali, walau napasnya masih terdengar memburu diruangan kedap suara tersebut.

"Ahh... bahkan aku belum berkenalan denganmu." Ucap Aaron yang sadar, dia tidak tau dengan siapa dia berhadapan.

"Richard, panggil saja Richard. Dan saya yang mengurus kasus ini." Ucap Richard.

"Jadi Richard, apakah anda bisa menjelaskan kepada saya?" Tanya Aaron, mata hitam Richard langsung bergerak ke arah sebuah file, dan ia pegang dengan erat.

"Jadi Mr. Aaron, apa anda akan terus bersedia bekerja sama dengan pihak kepolisian. Seperti yang anda tau. Mr. Carlton tidak memiliki sanak keluarga. Dan Kondisi Mrs. Vivian saat ini masih dalam tertekan. Apakah anda yakin?"

Aaron menutup mulutnya, tapi tatapannya masih terarah lurus pada Richard. "Jelaskan padaku." Ucap Aaron dengan suara beratnya.

"Pagi ini Mr. Carlton ditemukan tewas di kamar hotelnya. Kebetulan malam itu, Mr. Carlton bersama dengan seorang wanita. Yang kami tahu, wanita itu adalah seorang model yang cukup terkenal." Jelas Richard dan menunjukkan beberapa foto ke arah Aaron.

Aaron tampak terkejut, karena ia sangat mengenal wanita yang berada di foto tersebut. "Laras?" Ucap Aaron sedikit tergagap.

"Anda mengenalnya Mr. Aaron?"

"Dia adalalh salah satu model yang pernah bekerja di Fogue. Sudah lama kami tidak bekerja sama. Sampai akhirnya salah satu kolega kami merekrutnya dan akhirnya ia keluar dari Fogue," jawab Aaron, masih terus memandangi foto-foto yang ia pegang.

Aaron menutup mulutnya, ketika melihat foto Carlton yang terbaring di tempat tidur. Matanya mulai berkaca-kaca, karena melihat Carlton sahabatnya yang sudah terbujur kaku pada foto tersebut.

"Anda benar, namanya wanita tersebut adalah Laras. Wanita itu terbangun pagi sekali, dan lari ke arah receptionis. Berteriak histeris, karena ada seorang pria yang meninggal di kamar yang ia tempati." Jelas Richard kembali.

"Jadi BENAR!! Laras membunuh Carlton?" Aaron sudah dengan kesal menahan emosinya.

"Dia membantahnya, dan mengatakan bahwa dia tidak tahu kenapa dia bisa berada disana. Padahal jelas sekali dalam rekaman CCTV, Laras dan Carlton muncul di lobi utama dan melakukan check in pada pukul sepuluh malam." Richard melanjutkan penjelasannya.

"Mrs. Vivian hanya sedikit memberikan informasi. Dia mengatakan bahwa suaminya malam itu seharusnya sedang menghadiri sebuah acara penting. Hanya itu saja yang bisa dia jelaskan, selebihnya Mrs. Vivian selalu histeris dan tidak tidak percaya jika suaminya berselingkuh dengan wanita lain."

Richard mengeluarkan sekotak roko dan pematik dari sakunya.

"Anda ingin merokok? tenang saja ini elektrik, dan aku memiliki dua" Richard menawarkan, dan Aaron pun menolak tawaran Richard. Richard mulai menghisap rokok elektriknya,

"Jadi apa yang membuat Carlton tewas? Apakah kalian sudah tau?" Tanya Aaron seraya mengeluarkan kepulan asap dari mulutnya.

"Kami masih menunggu hasil dari autopsi. Dugaan kuat kami karena overdosis. Tapi semua bukti banyak mengarah pada wanita tersebut." Ucap Richard dengan yakin.

Siang itu mereka berdua, banyak menghabiskan waktu dengan membahas apapun yang bisa dijadikan alasan kuat untuk membuktikan bahwa Laras – lah yang menjadi tersangka utama.

Vivian yang masih syok, tentunya tidak banyak membantu. Dan Aaron lah yang lebih sering membantu pihak kepolisian dalam mengumpulkan semua bukti.

avataravatar
Next chapter