65 Dimana Alfred? Katakan Padaku!

Ella sudah mulai merasakan hawa panas pada wajahnya, pencahayaan yang langsung menyorot pada dirinya ditambah pakaian yang terlalu tebal.

Sungguh membuat ia tidak nyaman, berkali-kali ia menarik napas dengan panjang. Berharap sesi pemotretannya selesai pada saat itu.

Sudah dua jam Ella berkutat dan bergaya di depan kamera, hinga akhirnya dia bisa duduk dengan merentangkan kedua kakinya yang sudah terasa pegal.

Liu memberikan minuman kaleng dingin ke arahnya, dengan cepat Ella pun menyambar dan menempelkan pada pipinya.

"Jadi kau tidak ingin mengambil cuti kembali?"

Nancy, atasannya tiba-tiba saja muncul dari arah berlawanan, menatap Ella dengan pandangan yang aneh. Gosip mengenai Alfred yang menghilang, sudah tersebar. Bagaimana tidak, di hari ketiga pernikahannya Ella sudah muncul di tempat kerjanya. Membuat semua teman kerjanya bertanya-tanya dengan misterius.

"Ahh... saat ini aku tidak butuh liburan. Aku hargai tawaranmu, tapi tidak dan terimakasih," Jawab Ella, seraya membuka minuman kaleng sodanya.

Ella mulai meneguk minumannya dengan perlahan, sedangkan Nancy masih saja memberikantatapan simpati dan iba untuk Ella. 

"Nancy, kalau kau melihatku seperti itu, aku akan berpikir kalau kau mulai menyukaiku," Ledek Ella terkekeh.

"Hmm... aku hanya peduli kepadamu, Ella. Oh ya, hampir saja aku lupa. Ada yang ingin bertemu denganmu, seorang pria dengan setelan jas yang terlalu rapi."

Ella langsung saja menegakkan tubuhnya, memandang Nancy dengan penasaran.

"Pria?" Ella berusaha meyakinkan pendengarannya.

"Ya... Pria... Setidaknya dia sudah menunggu dengan sabar selama satu jam di ruang tunggu. Dia bilang jika dia sudah ada janji untuk bertemu denganmu, Ella." Jawab Nancy.

"Janji? Dengannya? Seorang pria?" Ella mulai tidak yakin sambil ia mengingat.

"Kau ingin aku mengusirnya?"

"Ah tidak perlu Nancy, terimakasih." Ella mulai berdiri dan meletakkan minuman kalengnya pada meja bundar kecil di samping kursinya.

"Aku akan menemuinya."

Ella berjalan pelan ke arah ruang tunggu, walaupun dalam hatinya ia masih bertanya-tanya. Siapa gerangan yang akan ia temui? Ia tidak pernah mengingat pernah membuat janji dengan siapapun.

Ruang tunggu milik Nancy cukup luas, dengan dinding kaca yang mengelilingi ruangan tersebut. 

Benar kata Nancy seorang pria bertubuh kurus, tidak terlalu tinggi sedang menunggu di salah satu kursi tunggu. Sibuk melihat ponselnya, dan tidak sadar jika Ella sedang menatap dari kejauhan. 

Ella membuka pintu tingkap kaca, wajah pria itu langsung mendongak dan dengan segera memasukkan ponselnya. Kulitnya terlalu putih dan tampak pucat, sangat kontras dengan setelan jas hitam yang rapi.

Pria itu langsung saja berdiri, dan sebuah garis melengkung terlihat di bibirnya yang kecil. Sebuah senyuman, yang tampak tidak ramah.

"Mrs. Lewis. Perkenalkan namaku Steward," tangan pucat itu sudah di julurkan ke arah Ella. 

"Steward? Kau..." seru Ella mengingat pria yang akan menjadi penghubung antara dia dan Alfred. 

***

Restoran Ibu Kota London. 

Wade Huxley memandangi wanita yang terus tersenyum ke arahnya, sebuah pertemuan yang tidak pernah direncanakan bisa bertemu dengan Marioline.

Wade yakin, watak Marioline masih belum berubah. Seorang wanita yang memiliki ambisius yang terlalu tinggi, sama halnya dengan dirinya.

"Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku sudah kembali? Apa kau mulai merindukanku, Marioline?" Sindir Wade, dan meletakkan gelas anggurnya yang tinggi besar perlahan ke atas meja.

"Bukankah kita pernah sepakat, untuk mulai tidak saling mengenal. Setelah kejadian beberapa tahun yang lalu." Wade masih berbicara dengan nada santai, matanya masih terus menatap Marioline. Harus ia akui, di usianya saat ini Marioline masih terlihat cantik.

"Ohh... kejadian beberapa tahun lalu." Marioline mulai berdeham, pikirannya sedang memutar ulang kejadian yang dimaksud oleh Wade.

"Soal bagaimana kau melumpuhkan pesaing bisnismu?" Sudut bibir Marioline tersungging dengan tegas.

"Kau memang sangat cerdas Mr. Wade." Ucap Marioline dengan sengaja. 

"Sayangnya, aku dengar jika perusahaan tersebut masih bertahan hingga saat ini. Itu pun karena mantan suamiku membantu untuk menyokong dana yang cukup besar, bukan?"

Wade sedikit mengangkat dagunya yang runcing, semakin tertarik dengan topik pembicaraan mereka. Matanya semakin tajam menatap ke arah wanita yang masih tersenyum licik di depannya.

"Melumpuhkan?"Wade sedikit terkekeh saat mengucapkan kalimat tersebut. Kembali ia meneguk segelas minumannya.

"Bukankah kau sendiri juga mendapatkan keuntungan dari kejadian beberapa tahun yang lalu. Tapi kalau kau memang pada akhirnya bercerai, mengapa tidak kau lakukan saja saat itu." Ucap Wade kembali.

Marioline memberikan seutas senyuman kecil, sebelum menjawab pertanyaan Wade. "Aku bukanlah tipe penyerah, aku akan berjuang hingga aku bisa mendapatkan banyak keuntungan."

"Jadi sekarang... selepas kau bercerai dengan Alan. Apa kau sudah banyak mendapatkan banyak keuntungan, Mrs. Mortenson? Dan sepertinya kau sedang ingin membuat penawaran menarik denganku, benar bukan?" Tanya Wade dengan pasti.

"Baiklah, Mr. Wade. Sepertinya kau sudah tidak sabar mendengar tawaranku saat ini." Marioline merapatkan jari jemarinya, matanya mendelik dengan senang ke arah pria di depannya.

"Mungkin kau sudah tau kalau putriku Abigail sudah menikah dengan putra dari Thomas Huxley, adikmu yang palingkau sayangi. Sayang sekali kau tidak hadir di acara pernikahan keponakanmu."

Sindir Marioline pedas dan semakin menegakkan tubuhnya seraya mengambil gelas anggurnya,

"Sayang sekali, aku tidak pernah menerima undangan apapun. Mungkin aku bisa memberikan hadiah yang tidak mungkin dilupakan untuk keponakanku." Balas Wade.

"Dan kudengar kau masih memiliki beberapa saham dari kepemilikan perusahaan retail Huxley."

"Mmm..? Aku masih menyimak dan mencoba memahami maksudmu," ucap Wade. 

Marioline meneguk minumannya dengan satu kali tegukan. Kembali menyeringai puas, karena Wade terlihat sangat penasaran.

"Aku dengar akan ada rapat dengan berbagai dewan direksi. Karena ada beberapa masalah yang sedang dialami oleh perusahaan Huxley." Marioline melanjutkan penjelasannya.

"Wah... bahkan kau bisa tau hingga serinci ini," puji Wade.

"Tentu saja aku tau, pada saat permintaan aset untuk persetujuan ceraiku. Aku tahu kalau Thomas sedang mengajukan pinjaman dana yang cukup besar." Ucap Marioline dengan bangga.

"Aku ingin sebuah posisi! Posisi penting pada perusahaan Huxley," lanjut Marioline dengan matanya yang berkilat. 

"Sebuah posisi penting? Apa kau yakin dengan keinginanmu, Marioline? Dan apa kau tahu bagaimana cara untuk mendapatkannya?" Tanya Wade semakin penasaran.

"Kau dan Aku, bersama... ( Wade masih tampak berpikir). Secara hukum dan sah, aku adalah seorang wanita tanpa ikatan saat ini," jelas Marioline.

"Apa maksudmu kau ingin menjadi kekasihku?" Tebak Wade tertawa. Tapi Marioline semakin mendekatkan wajahnya, menunjukkan mimik yang sangat serius. 

"Kau salah Mr. Wade, aku ingin menjadi Mrs. Huxley. Dengan kau sebagai suamiku."

Wade langsung saja tertawa terbahak-bahak dengan keras dan lantang, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Saat ini yang ia pikirkan adalah wanita yang dihadapannya, sedang berusaha merayu sekaligus menantangnya.

Beberapa pengunjung restoran melirik ke arah meja mereka, saat Wade masih saja tertawa. Tapi pria itu tampak tidak peduli. 

Setelah beberapa saat dan mengatur napasnya, Wade sudah bisa mengontrol emosinya. Kembali ia menatap ke arah Marioline yang jelas tidak ikut tertawa bersamanya.

"Maafkan aku, tapi kau benar-benar gila Marioline. Apa kau tidak tahu dengan latar belakang percintaanku?" Ucap Wade kembali ia menjadi ragu dengan keinginan aneh wanita itu.

"Aku tau. Sangat tahu..." Jawab Marioline dengan percaya diri.

"Kau tidak pernah suka dengan ikatan pernikahan, terlalu banyak wanita yang pernah disampingmu. Itulah sebabnya kau masih suka dengan status lajangmu di usia senjamu. Bahkan aku juga tau kalau kau pernah menjalin hubungan dengan istri adikmu sendiri."

"Apa kau tidak takut jika kau menjadi istriku, dan aku akan bermain dibelakangmu, Mariolone?" tanya Wade kembali.  Kali ini intonasi suara Wade terdengar lebih berat dan ditekankan.

"Aku tidak terlalu mempedulikan hal tersebut. Sudah kubilang aku menginginkan sebuah posisi, lagi pula aku tahu kau pasti akan menerima tawaranku. Anggap saja pernikahan ini sebuah kerja sama bisnis. Kau dan aku saling diuntungkan. Bagaimana menurutmu?" Marioline masih tetap dengan pendiriannya saat itu. 

Wade menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, membuatnya duduk dengan posisi tegak. Jari jemarinya ia ketukkan secara perlahan di atas meja. Pikirannya masih mencerna semua tawaran Marioline, tidak lama Wade pun memberikan sebuah senyuman lebar pada wanita yang ada dihadapannya.

***

Kembali Pada Kantor Agensi Nancy

"Apa kau sedang bercanda Steward?"

Suara Ella yang cukup lantang, tidak membuat pria dihadapannya gentar. Steward masih memasang wajah datarnya, dan menjaga sikap sopan santunnya.

"Mrs. Ella, aku sedang tidak dalam keadaan bercanda. Semua yang ku jelaskan adalah benar, dan seperti yang kau lihat. Bahwa Mr. Alfred merupakan salah satu petinggi di beberapa Rumah sakit Swasta besar di Britania."

"Alfred? Tidak mungkin, dia hanyalah seorang dokter. Hhhh.... Apa maksudmu memberikan semua penjelasan ini padaku?" Tanya Ella dengan kesal, ia masih memegangi beberapa kertas yang baru saja ia baca.

Otaknya masih belum bisa mencerna informasi yang baru saja ia terima. Keluarga Lewis, merupakan pebisnis yang bergerak dibidang kesehatan. Dan memiliki setidaknya sepuluh cabang rumah sakit swasta terbaik yang ada di Inggris.

Dan yang lebih anehnya, Alfred ternyata selama ini bukan hanya seorang dokter biasa. Ia juga merupakan salah satu petinggi yang memiliki peran penting.

"Aku hanya menjalankan apa yang diinstruksikan oleh Mr. Alfred. Selama ini Mr. Alfred bekerja dengan caranya sendiri. Dengan terjun langsung, ia bisa mengetahui masalah apa saja yang ada dan harus segera ia tangani."

"Mr. Alfred berpesan bahwa dia akan kembali. Dan dia ingin kau - sebagai istrinya bisa membatasi pekerjaanmu saat ini." Kali ini Steward tersenyum dengan ramah. Walau Ella hanya mendengus kesal, dan merasa dirinya sedang dipermainkan.

"Dimana Alfred  berada sekarang saat ini, katakan padaku?" Tanya Ella.

"Maaf, tapi aku tidak bisa memberitahu anda, Mrs. Lewis." Jawab Steward dengan percaya diri. 

"Apa..?! Hhh..?! APA KAU TAU SIAPA AKU STEWARD??"

"Ya, aku tahu siapa kau. Karena kau adalah istri dari Mr. Alfred." Steward masih menjaga keramahtamahannya.

Tapi Ella semakin memicingkan matanya, semakin kesal dengan jawaban pria tersebut.

"Lalu? Apakah sebagai istrinya, aku tidak boleh mengetahui dimana dia saat ini?"

"Maafkan saya Mrs. Ella. Saya tidak bisa memberitahumu. Bersabarlah, Mr. Alfred pastinya akan kembali menemuimu, dan memberikan semua jawaban dari pertanyaanmu selama ini."

Merasa kesal dan dipermainkan, membuat Ella memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraannya dengan Steward.  Ella beranjak dari duduknya, melempar kesal kertas yang baru saja ia pegang, mendarat persis di atas meja walaupun dengan kondisi bertantakan. Setelahya, meninggalkan Steward yang hanya bisa memandanginya.

Ella kembali keruang studio dengan wajah memerah. Menahan perasaan kesal, merasa dirinya sedang dalam permainan dari seorang Alfred Lewis. 

Pria yang menjadi suaminya, penuh dengan misteri. Saat ini yang ada di benaknya adalah penyesalan yang terlambat.

"Ella, berhenti."

Ucapan Nancy yang tegas, membuat Ella tersadar dari lamunannya. Ella langsung saja berdiri tegak dan merapikan kemeja garis putih yang ia kenakan.

"Ada apa, Nancy?" Tanya Ella bingung, menatap bergantian antara sang fotografer dan Nancy yang sedang berdiri disampingnya. 

"Kau sangat kacau sekali hari ini, EL!! Lebih baik kau pulang dan berisitirahatlah!" Perintah Nancy, telunjuk kanannya menunjuk kepada model lain untuk menggantikan Ella.

"Tapi Nancy... kau tidak bisa..."

"Ella! Aku tidak ingin mendengar bantahan apapun!"

***

Ella sudah pulang dan berada di kediaman keluarga Alfred, rumah besar itu tampak sunyi dan sepi. Para pelayan rumah tangga, sudah mulai menyiapkan makan malam.

Walaupun Ella jarang menyentuh, dan lebih memilih makan di restoran cepat saji terdekat.

Tapi tidak dengan malam ini, ia masih mencerna semua informasi yang diberikan oleh Steward.

Isi kepalanya terlalu banyak dipenuhi oleh banyak pertanyaan, rasanya ia ingin berteriak, memaki sekuat mungkin. Alih-alih melakukan itu, Ella lagi-lagi terbenam dalam selimutnya.

Sekuat apapun ia mencoba, airmatanya tetap mengalir sederas mungkin.

Belakangan ini Ia sangat merindukan ibunya, berpikir ingin sekali ia pergi menemui Ibunya. Disisi lain, ia harus kuat menghadapi masa sulit.

Ella menggenggam erat ponselnya, terlihat daftar panggilan tidak terjawab dari Calvin. Setidaknya ada sepuluh panggilan yang sengaja tidak ia jawab. 

Sebuah pesan tiba-tiba masuk, di saat Ella sudah memejamkan matanya lelah dengan air matanya yang terus berurai.

*New message from Calvin:

Hi El? Kau tidak apa-apa? Aku hanya ingin memberitahumu kalau aku sudah kembali bekerja dengan ayahku. Dan hei.. kalau kau butuh teman untuk bicara. Jangan lupa masih ada aku yang akan mendengarkan.

avataravatar
Next chapter