72 Undangan Pernikahan

Suasana pagi yang cerah sudah tergantikan dengan rasa was-was, dan sebuah kekhawatiran yang besar.

Lorong-lorong rumah sakit sudah mulai dipenuhi dengan para pekerja yang sudah memulai aktifitas rutin mereka.

Ella menatap beberapa perawat yang berjalan cepat melewatinya, membawa beberapa tumpukan clipboard dan berbicara serius dengan teman yang berada disampingnya.

Berbisik-bisik membicarakan sebuah operasi yang sedang dipersiapkan pagi itu.

Tatapan Ella masih menatap lurus pada pintu putih yang hanya berjarak satu meter dari jarak pandangnya. Suara decit pintu terdengar pelan, dan ia langsung saja menegakkan wajahnya.

Sarah sedang duduk dikursi rodanya dan menatap diam Ella yang ikut membalas tatapannya.

Tampaknya Sarah masih terkejut dengan Ella yang masih menunggu dirinya, Ron dengan perlahan memberhentikan dorongan kursi rodanya. Terhenti, tepat dihadapan Ella.

"Jadi.. apakah ada luka serius?" Tanya Ella ragu.

"Untungnya tidak, hanya saja Sarah harus beristirahat selama beberapa hari. Sampai kakinya benar-benar pulih." Jawab Ron.

"Aku baik-baik saja, terimakasih atas perhatianmu." Ucap Sarah menimpali.

"Aku akan mengantar kalian untuk pulang.. kebetulan aku sudah mengosongkan jadwalku..."

"Tidak Ella, terimakasih. Sudah ada seseorang yang menjemputku, untuk mengantarku pulang. Bukan begitu Ron." Sarah melirik ke arah Ron, bagi Ella itu merupakan penolakan secara halus.

"Ahh... sayang sekali..." Ella menunjukkan rasa kecewanya.

Mereka bertiga berjalan menuju lobi utama rumah sakit, dan benar saja sudah ada sebuah sedan putih menunggu mereka.

Seorang pria dengan seragam hitamnya yang rapi keluar dari mobil, dan mulai membantu Sarah untuk masuk kedalam mobil.

"Tunggu.." Ella langsung saja menahan pintu, dari tangan pria berseragam hitam yang siap menutupnya.

Ron memandang bingung. Sedangkan Sarah, sama sekali tidak terkejut dengan rasa penasaran yang ditunjukkan oleh Ella.

"Sarah, walau kau tidak mengenalku. Tapi aku sangat yakin kau mengenal ibuku, Laras." Ella memberikan sorot mata yang tajam, dan berharap Sarah dapat mengerti apa yang ia maksud.

"Sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu, Mmmm.."

"Banyak sekali yang ingin kubicarakan padamu Sarah... Kumohon..." Ella masih saja terus berharap, sedangkan Sarah tampak berpikir. Apakah keputusan yang tepat baginya, untuk berbicara dengan Ella.

***

Clarissa Huxley, dengan celana hitam dan blouse putih bermotifkan bunga dam denda pada bagian pinggir pinggang keluar dari kamar dengan tergesa-gesar. Bahkan ia berlari cepat saat mulai menuruni anak tangga.

Langkahnya mulai ia pelankan saat ia sudah berada diruang utama keluarga Huxley. Dia bisa melihat Emma, dan Abigail yang sedang duduk manis menyambut seseorang yang baru saja tiba.

"Paman Wade..."

Seru Clarissa riang, melewati ibutiri dan kakak iparnya dengan tidak peduli. Clarissa langsung saja duduk bersebelahan dengan pamannya. Sedangkan Wade Huxley, tersenyum ramah pada Clarissa.

"Clarissa.. sudah lama sekali kita tidak bertemu. Dan kau tumbuh menjadi semakin cantik, sepertinya aku sudah banyak melewatkan beberapa tahun tanpa melihatmu." Balas Wade.

"Paman Wade, bukan hanya beberapa tahun. Tapi aku rasa sudah lebih dari lima tahun, paman tidak pernah lagi berkunjung."

Clarissa mulai berkeluh, tapi dengan cepat matanya teralihkan dengan beberapa tas belanja besar dengan aneka warna yang berada diatas meja. Bahkan beberapa tergeletak diatas lantai.

"Apa ini....??"

"Angap saja ini permohonan maaf dariku." Jawab Wade, Clarissa langsung saja memeluk Wade sebagai pengganti ucapan terimakasih.

"Jadi Emma, dimana adikku? Apa dia selalu pulang se-sore ini?" Tanya Wade, Emma tidak langsung menjawab pertanyaannya. Wajahnya tampak kaku sesaat, sebelum akhirnya ia tersenyum kecil.

"Sebentar lagi dia akan pulang bersama Edward, sepertinya kau sudah tidak sabar ingin menemuinya." Jawab Emma, sekaligus menyindir sikap kakak iparnya tersebut.

Wade langsung saja tertawa, Abigail tampak mengernyitkan dahinya.

"Paman.. apa ini untukku semua?" Ucap Clarissa yang sedang sibuk membuka sebuah kotak tas berwarna merah.

"Tentu saja Clarissa, kau boleh memilikinya. Masih ada banyak hadiah yang aku bawa, tentunya kalian berdua (Menunjuk ke arah Emma dan Abigail). Aku juga membawa hadiah untuk kalian."

"Terimakasih.." Jawab Emma dengan singkat.

Alvin sang kepala pelayan tiba-tiba muncul, menunduk dengan hormat dan mendekat ke arah Emma.

"Nyonya.. Belinda bilang anda memanggil saya?" Tanya Alvin dengan amat sopan.

"Wah...wah... Alvin.. Bahkan kau sudah sangat terlihat tua dari terakhir kali kita bertemu. Berapa lama lagi kau akan bekerja pada keluarga ini." Ucap Wade, Alvin hanya menunduk dengan sebuah senyuman.

Tidak ada balasan yang keluar dari mulutnya. Itulah cara dia agar tetap menjaga kesopanan, kepada orang yang ia tidak sukai.

"Alvin, tolong siapkan tambahan satu orang lagi untuk makan malam karena Tuan Wade akan bergabung dengan kita..."

"Wah.. Emma sungguh suatu kehormatan. Tapi maaf sekali aku tidak bisa menunggu lama, aku hanya ingin berkunjung sebentar. Aku memiliki janji temu dengan seseorang, bukan begitu Abigail." Wade yang tiba-tiba langsung saja menatap Abigail yang langsung terkejut.

Emma dan Clarissa langsung saja menatap curiga Abigail, "A—a—apa mak-sudmu?" Tanya Abigail tebata-bata, panik dan bingung menjadi satu.

"Kau belum bercerita apapun, Abigail?" Tanya Wade dengan sengaja.

"Ada apa ini paman? Mm... Abigail apa ada yang sedang kau rahasiakan?" Clarissa sudah mulai teralihkan dengan pernyataan Wade dan respon dari kakak iparnya yang mencurigakan.

Abigail masih tampak bingung, kali ini ia mengelus perutnya sendiri. Dan mulai berdeham kecil. "Maaf aku tidak tau apa maksudmu Mr. Wade?" Abigail mulai berdalih.

"Aku berharap Thomas bisa berada disini, karena aku sendiri yang mengantar undangan ini untuknya." Wade mulai mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya.

Sebuah undangan berwarna hitam, dengan pita emas yang terikat dengan rapi. Undangan itu ia letakkan perlahan di atas meja, semua mata sekarang tertuju pada undangan tersebut.

Emma langsung menerima dengan ragu, "Pernikahan? Pernikahanmu Wade?" Ucap Emma semakin tidak yakin.

Seorang Wade Huxley yang ia kenal, memiliki sikap dan kepribadian yang berbeda dengan adiknya Thomas Huxley.

Pernikahan bagi Wade, hanya sebuah ikatan yang harus ia hindari seumur hidupnya. Tapi hari ini, pria tersebut datang dan membawa undangannya sendiri??

Pupil mata Emma semakin lebar, sebuah nama sudah cukup membuatnya terkejut hingga ia harus terus membacanya berulang-ulang. Berharap apa yang ia lihat adalah sebuah kekeliruan.

"Apa kau sedang bercanda Wade, aku rasa ini bukan bahan candaan yang bagus untuk tipikal orang sepertimu." Ucap Emma masih tidak percaya.

"Coba, kulihat.."

Clarissa yang at penasaran, langsung merebut paksa undangan yang berada ditangan Emma.

Ekspresinya pun tidak jauh berbeda dari Emma, bahkan Clarissa menatap bergantian antara Wade dan udangan yang ia pegang.

"Paman?? Apa kau serius? Kau akan menikah dengan Marioline?? Ibu Abigail?? Mertua dari kakakku??!!" Teriak Clarissa, dan ia mulai melipat kedua tangannya.

"Apakah ada larangan, kalau aku tidak boleh menikahinya?"

***

avataravatar
Next chapter