7 Bajingan!!

Ella baru saja selesai memandikan para kuda dan membersihkan kandang. Keluarga Huxley memiliki tujuh kuda, membuat dia harus bekerja ekstra dalam waktu dua jam.

Ella tidak pernah takut dengan bau-bau kandang, ataupun kulitnya yang semakin mengcokelat karena sengatan matahari setiap harinya.

Dengan pekerjaan rutin yang ia lakukan, menjadikannya wanita yang kuat dan tidak manja. Siang itu ia mengenakan jumpsuit panjang berbahan jeans, dengan kaos lengan pendek berwarna kuning cerah.

rambutnya yang sudah ia kepang dengan rapi, dan sebuah topi rajut berada di atas kepalanya.

Ella melepaskan sarung tangan kulitnya, dan menyeka keringatnya dengan punggung tangannya, ia pun memandang Hercules yang menatap ke arahnya.

"Tidak Hercules, aku sudah sangat lelah hari ini." Ucap Ella memandang Hercules yang melihatnya, seolah mengatakan "Ajak aku main dan keluar Ella"

"Kau tau, hari ini aku ada kencan dengan seseorang. Hahh bagaimana bisa aku menyebutnya kencan, kami cuman menonton." Ella mulai memeluk leher Hercules.

"Hhh.. setidaknya aku benar-benar senang. Tidak pernah ada satu orang pria pun yang dekat denganku." Ella mulai berbicara lagi.

Hercules meringkik, seakan dia tidak setuju dengan pernyataan Ella. "Apa maksudmu?? Edward?" Ella tertawa besar.

"Aku ini pelayannya, dan kami tidak sedekat yang kau pikirkan. Kau tau? Christy tadi di sekolah bilang, kalau dia mendengar rumor kalau George tidak semanis dan sebaik yang dibayangkan." Hercules kembali meringkik.

"Tidak, aku rasa itu tidak benar." Ella masih melamun dengan angan-angannya.

"Ella!!! Tuan Edward memanggil mu." Ucap Jason dari kejauhan. Ella langsung melompati pagar kayu, yang membatasi Hercules untuk keluar kandang.

Ia sedikit terkejut dengan kehadiran Edward yang suka tiba-tiba, dan datang diluar dari schedule biasanya.

"Selamat sore tuan Edward." Sapa Ella sopan, seorang pria yang ia kenali berdiri di samping Edward. Pria tinggi dengan rambut hitamnya. Edward sedang berdiri di samping mobilnya.

"Ella, tolong bawakan semua peralatan pancing ini!" Perintah Edward.

"Hei Ed, kau benar-benar akan menyuruh gadis ini untuk membawa semua perjalanan yang baru kita beli? ke seorang wanita?" Ucap pria yang berdiri disamping Edward.

"Biarkan saja Alfred, dia sedang menerima hukuman." Jawab Edward.

Ella melongo dengan kesal, "Apa salahku kali ini Tuan Edward, kita saja baru bertemu hari ini."

"Salahmu, karena Lisa semalam tidak datang." Edward menjelaskan.

"Apa, salahku??"

"Kau terlalu lama memberikan kartu namanya kepada Alvin. Gadis itu sudah pergi ke Scotland." Ucap Edward.

"Ayo Alfred, bukankah ada hal lain yang harus kita urus." Edward mulai melirik tajam ke arah temannya.

"Kau akan membiarkannya membawa semua itu?" Tanya Alfred lagi. "Tidak perlu khawatir tuan Alfred, saya bisa melakukannya sendiri." Ucap Ella dengan menyeringai kesal.

Alfred duduk santai di ruang keluarga, memandangi beberapa koleksi buku sastra milik Edward. "Tak kusangka, ada sisi seperti ini dari seorang Edward Huxley."

"Apa maksudmu? Jangan mulai meracau, kau membuat konsentrasi ku buyar." Edward menatap layar laptopnya.

"Kau ini, belum saja lulus. Tapi sudah mulai menjalankan perusahaan ayahmu. Tidak heran kau menjadi orang aneh." Ejek Alfred, dan Edward tidak terpancing emosinya untuk mulai berargumen dengan temannya.

"Hei, gadis tadi. apa benar dia pelayanmu?" Tanya Alfred penasaran, Edward langsung melirik ke arah Alfred menatap curiga. "Ya, ada apa? Jangan bilang kau..?"

"Wanita yang cantik, sepertinya dia blesteran ya?" Alfred kembali berucap, Edward mulai menatap layar laptopnya.

"Sayang sekali dia menjadi pelayanmu, padahal bisa saja dia menjadi model dengan tubuhnya yang semampai dan tinggi. Atau bisa saja dia menjadi simpanan pria kaya, dan tidak hidup sebagai seorang pelayan." Ucap Alfred.

Edward langsung menutup layar laptopnya dengan kesal, "Cukup dengan pendapatmu! Kau benar-benar membuatku tidak bisa berkonsentrasi."

"Kau pernah tidur dengannya?" Alfred menyeringai lebar, sedangkan Edward semakin tidak suka arah pembicaraan temannya.

"Ayolah.. Edward, kau sudah di cap sebagai laki-laki playboy. Dan dia memang cantik bukan? Aku hanya penasaran saja, apakah kau memiliki batas filter dalam memilih teman tidurmu?"

"Apa kau sudah gila, mana mungkin aku dan seorang anak pelayan..... Ahh sudahlahh!! Kau sudah terlalu lama di Amerika sehingga otakmu menjadi sangat mesum? Baru saja satu bulan kau disini, dan kau seperti ingin mencari mangsa baru??" Ucap Edward kesal.

"Wahh.. berarti gadis itu masih seorang virgin, Adikku sedang bertaruh dengan temannya yang bernama George, aku sedikit menguping obrolan mereka." Alfred semakin menyeringai lebar.

"Ku dengar, George akan mengajaknya kencan malam ini." Lanjut Alfred, dan Edward langsung memahami perkataan temannya dengan rasa tidak suka.

***

Setelah satu jam memilah baju bekas milik Clarissa, Ella terus menatap puas dirinya dalam cermin

Sebuah rok panjang berwarna copper dengan kemeja putih tanpa lengan, Ia padu padankan dengan mengenakan blazer putih panjang bermotif kotak-kotak.

Jarang sekali Laras melihat putrinya, berbunga-bunga. Laras sangat menduga kalau ini adalah sebuah kencan, walaupun berkali-kali Ella menjelaskan bahwa ini hanya sebuah acara menonton.

"Apa dia tampan?" Tanya Laras sambil masih terus mengatur rambut Ella dengan sebuah catokan. Wajah Ella, langsung tersipu malu.

"Ahh dia pasti tampan kan." Tebak Laras.

"Ibu... kau membuatku semakin malu." Ucap Ella.

"Tak kusangka catokan tua ini sangat berguna, Sayang sekali nona Clarissa membuangnya." Ucap Laras yang sudah selesai mengatur rambut Ella, "Lihat, ibu sedikit membuat gelombang di rambutmu. Kau sangat cantik sekali."

Ella takjub dengan dirinya sendiri, tidak pernah ia merasa serapi dan secantik ini. Ibunya benar-benar sangat membantunya, make-up nya tidak terlalu tebal, tapi cukup membuat Ella pangling dengan wajahnya sendiri.

"Malam ini sangat dingin, pakai ini." Ucap Laras memberikan sarung tangan dan penutup telinga.

"Ibu, terimakasih. Entah apa jadinya aku tanpa ibu." Ucap Ella memberikan pelukan kepada ibunya.

"Ingat, jangan pulang terlalu malam." Ucap Laras dan memberikan sebuah ciuman di kening Ella dengan penuh sayang.

Laras sudah menatap Ella yang sudah pergi dengan Jason. Kebetulan sekali, Jason bersedia mengantar Ella karena searah dengan jalan pulangnya.

Ella dan George sepakat untuk bertemu di gedung bioskop yang sudah mereka sepakati. Ella sedikit terlambat, karena mobil tua Jason yang berjalan terlalu lama.

Ella masuk kedalam gedung bioskop dengan terburu-buru, ia khawatir George akan kecewa dengan dirinya.

Ella bisa melihat George yang sudah menunggunya di area makanan dan minuman. "Ahhh gila ganteng banget dia." Ucap Ella pelan, terkesima melihat George. George mengenakan sweater panjang berwarna cokelat tua, ia juga mengenakan blazer hitam yang semakin membuatnya tampan.

"Hai George, maafkan aku telat." Sapa Ella tersenyum manis.

George pun memandang Ella dengan takjub, Ella kelihatan berbeda dengan penampilannya sekarang. "George...?" Tanya Ella bingung, karena George hanya diam menatapnya.

"Ah maafkan aku Ella, kau terlihat berbeda... kau cantik." Ucap George jujur. Ella pun menjadi salah tingkah mendengar pujian dari laki-laki yang ia taksir.

"Ell, kupikir kau tidak akan datang. Jadi tadi aku tidak membeli tiketnya, apa kau akan marah?" Tanya George.

"Marah, tentu tidak George. Yahh. lagipula ini memang salahku yang datang terlambat. Mungkin kita bisa melakukan hal lain, bagaimana kalau sebuah makan malam?" Ella memberikan idenya.

"Aku ada ide yang lebih baik, ayahku memiliki rumah singgah di tepi danau. Disana banyak koleksi film milik ayahku, filmnya sangat bagus. Itu pun kalau kau tidak keberatan, letaknya tidak jauh dari sini." Ucap George.

Ella benar-benar sedang dimabuk cinta, ia menurut saja George mengajaknya ke rumah singgah milik ayahnya.

George yang membawa kendaraan miliknya sendiri - sebuah mobil Lancia merah. Membawa mereka melaju ke danau yang tidak jauh dari tempat mereka sebelumnya.

"Ella anggap saja rumah sendiri." Ucap George sambil menghidupkan semua lampu di rumah mungil tersebut.

"Orangtuamu jarang datang kesini?" Tanya Ella masih menatap ke arah sekelilingnya. "Belakangan ini sangat jarang, terakhir tiga bulan yang lalu, saat kami ingin memancing." Ucap George yang sudah mendekati Ella yang terus menggosokkan tangannya, karena udara semakin dingin.

"Kau kedinginan? aku akan nyalakan perapiannya. kau mau ikut?" Tanya George dan mengajaknya ke arah dalam rumah.

"Apa yang akan kita tonton George." Ella bertanya sambil membawa dua cangkir cokelat panas yang baru saja ia buat , dan beberapa cemilan kecil yang ia temukan di dalam lemari dapur.

"Bagaimana dengan ini, Romeo and Juliet." Ucap George, Ella pun mengangguk setuju.

Mereka berdua sudah duduk di sebuah sofa panjang berwarna merah tua. Ella duduk dengan selimut yang menempel di pundaknya. Mereka masih menikmati film klasik romantis tersebut.

George sering kali melirik ke arah Ella yang tampak tidak sadar.

"Ella?" Panggil George,

"Mmmm??"

George semakin mendekatkan wajahnya, dan terus mendekat. Ella merasa jantungnya berdegup dengan amat kencang.

Ella semakin jelas melihat bintik-bintik di sekitar wajah George, ia juga menyadari warna mata George yang cokelat sangatlah indah.

George menyeka sisa minuman cokelat yang berada di ujung bibir Ella. Ella pun masih terdiam membisu. Dia benar-benar sudah tidak bisa berkutik, George memegang tengkuk leher Ella dengan erat.

Ella tidak menolak, ia seperti mengikuti alur yang dibuat Oleh George. Bibir George sudah mendarat di bibirnya, melumatnya dengan perlahan.

Ella merasakan sensasi yang aneh, ini adalah ciuman pertamanya. Ia pun membalas lumatan bibir George.

Tangan George sudah dengan cepat memegang bahu Ella, kemudian menarik selimut yang Ella kenakan. Tidak hanya itu, George juga sedikit menarik blazer yang Ella kenakan, membuat bahu Ella terlihat dengan jelas.

"Cekrekkk.... cekrekkk... Flash..."

Ella mendengar suara jepretan kamera, dan sepintas ada cahaya silau. Ada seseorang yang sedang bersembunyi di balik pintu dan berbisik-bisik.

"Sialll... aku lupa mengaktifkan mode sunyi."

George masih saja menciumi bibir Ella, walaupun Ella sudah tidak membalasnya.

"Sialan kau George!!!" Ella langsung mendorong keras George, dengan cepat ia bangkit dan melompati sofa. berjalan cepat ke pintu yang ia curigai.

"Ella, kenapa kau?" Teriak George yang kaget dengan Ella yang langsung berubah layaknya koboi.

Benar saja Ella sudah menemukan dua orang pria yang sedang bersembunyi, sebuah ponsel berada di tangan salah satu pria yang ia kenal. Pria yang menyapa George, saat ia pulang sekolah dengan sepedanya.

"Berikan ponsel itu!!" Perintah Ella kesal.

"Cihhh.. ya sudahlah kalau sudah ketahuan. Sayang sekali, tidak ada adegan 17+." Cibir pria itu.

"Hai George, kau tetap kalah taruhan ok. Dan kau harus membayar 100 poundsterling kepadaku." Ucap pria tersebut tanpa merasa bersalah.

Ella melirik ke arah George yang sudah berdiri di dekatnya.

"Kau benar-benar BAJINGAN GEORGE!!" Ucap Ella dengan amat kesal.

"Ella, sudahlah. Bukankah kau menikmatinya tadi? Kalau kau mau kita bisa melanjutkannya." George berucap sambil menyentuh bibirnya.

"Berikan PONSEL ITU!!" Perintah Ella kembali. "Siapa kau, berani-beraninya memerintah?? Kenapa? Sepertinya kau takut sekali kalau ini tersebar ya?" Pria itu menyeringai jahat.

"Fred, mana sopan santunmu dihadapan wanita." George sudah berdiri tepat di belakang Ella. dan kali ini tiga pria sudah mengelilingi Ella.

"Jangan salahkan aku, karena kalian yang meminta." Ucap Ella semakin kesal.

***

Ella duduk di sofa dengan santai sambil memegang ponsel yang sudah ia genggam. Ia melihat foto dirinya dan George yang sedang berciuman, yang mereka ambil diam-diam.

Tidak hanya itu, ia juga menemukan banyak foto wanita dengan adegan yang tidak pantas, yang sepertinya diambil juga secara diam-diam.

Ella memandang kesal dan jijik ke arah tiga pria yang duduk berlutut didepannya.

Mereka bertiga salah memilih lawan, Ella memang bukan seorang atlit, tapi dengan kemampuan anggar, sedikit beladiri yang diajarkan oleh majikannya dan hukuman fisik yang terus menerus diterimanya. Membuat ia tidak mudah untuk dikalahkan.

tiga pria didepannya, sudah babak belur, dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Mereka hanya menatap kesal ke arah Ella, belum lagi Ella menyematkan lakban yang ia temukan di alat perkakas di masing-masing mulut pria-pria tersebut.

George mulai bergumam kesal dengan tidak jelas. "Apa?? kau bilang apa?" Ejek Ella.

"kalian benar-benar laki-laki bajingan!! Aku akan ambil ponsel kalian, setelah aku memeriksanya satu persatu dan memastikan tidak ada satupun yang tersisa. Baru aku akan mengembalikan lagi."

"Taksiku sudah datang." Ella mendengar suara mobil yang baru saja tiba. Dengan cepat, ia memasukkan tiga ponsel ke dalam tasnya.

"Oh ya, teruslah berusaha membuka, ikatan itu akan mengendur kalau kalian terus mencoba menarik-nariknha. (Ia melirik jam tangannya) . Hhhhh.... Dengan kekuatan kalian seperti tadi, aku pikir sekitar 3 jam kalian baru bisa lepas."

(Mereka bertiga saling memandang, dan langsung berusaha sekuat tenaga mengendurkan ikatan mereka)

Ella tiba di mansion lebih cepat dari perkiraannya. Pikirannya masih saja kesal, ia membuka kunci gerbang, dan masuk dengan perlahan sekali.

Sepertinya ia sedang tidak ingin bertemu dengan ibunya, yang pastinya akan kaget melihat dirinya yang sudah pulang lebih cepat.

Ella pun melangkahkan kakinya ke halaman belakang kediaman keluarga Huxley. ia sudah menenteng sepatunya dan masih terus berjalan ke arah kandang kuda.

Para kuda sudah tertidur, Ella sendiri bingung kenapa ia memutuskan untuk pergi ke kandang. Ia memandang Hercules yang tampak tertidur.

"Hei... kau sudah tidur?" Panggil Ella.

Hercules membuka matanya, berkedip dan melirik ke arah Ella. Kemudian meringkik pelan seperti mengatakan "Ella apa yang kau lakukan disini? dan jangan ganggu aku"

"Hei jangan seperti itu. aku sedang tidak ingin berdebat." Ucap Ella dan Hercules kembali meringkik.

"Kau tau, Christy benar. Dia memang bukan pria baik." Ucap Ella sedih.

Ella pun merosot dari berdirinya, dan duduk di sisi pintu kayu. Matanya mulai berkaca-kaca, "Akunya saja yang terlalu bodoh, menganggap dia seorang pangeran." Air matanya sudah mulai menetes.

"Bahkan dia mengambil ciuman pertamaku...Hk....Hk.. pria bajingan. ..Hk..Hk.." Ella mulai nangis terisak-isak. Hercules tampak tidak peduli, dia hanya meringkik pelan, dan kembali merebahkan dirinya dalam kandangnya.

"Tapi aku puas, sudah memberikan mereka sedikit pelajaran." Ucap Ella, tapi masih sambil menangis.

Tiba-tiba saja pintu kandang kuda terbuka lebar. Edward Huxley sudah berdiri tegap dengan piyamanya.

"Tuan Edward? Apa yang anda lakukan disini?" Tanya Ella kaget, dan dengan cepat menyeka semua air matanya.

"Harusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan disini Ella, kupikir ada seorang penyusup yang masuk." Edward mulai berjalan mendekatinya.

Edward memperhatikan Ella dengan teliti, ia melihatnya dari ujung kaki hingga kepala Ella. "Kenapa dengan penampilanmu?? Kau sedang berkencan?"

Ella tidak menjawab, dan hanya menunduk diam. Edward semakin dekat melihat wajahnya, "Kau menangis?" Tanya Edward kembali.

"Apa kau sekarang menjadi cengeng, hanya karena seorang pria bajingan?"

"Apa? anda tau Tuan Edward? " Tanya Ella tidak percaya, "Apa kau tidak sadar dengan suaramu sendiri yang merengek dengan kencang? aku saja di luar bisa mendengarnya dengan jelas." Jelas Edward.

"Kembali ke kamarmu sekarang!! Dan singkirkan pria bajingan itu dari pikiranmu!" Perintah Edward yang tidak peduli dengan kesedihan Ella, dan dengan cepat ia sudah membalikkan badannya.

"Kalau dia BAJINGAN?? apa anda pikir, anda tidak lebih dari BAJINGAN?!!" Ella sudah terlalu lama menahan emosinya, sudah lelah dengan majikannya yang selalu menguji kesabarannya.

Edward menghentikan langkahnya, ia membalikkan badannya dan berjalan dengan cepat ke arah Ella yang masih terlihat sembab.

"Sekarang kau sudah pandai melawan ya?" Ucap Edward yang sudah sangat dekat Ella. Ella berjalan mundur, untuk menjaga jarak aman dari pria di depannya.

"Jadi menurutmu aku ini seorang pria bajingan Ella?" Edward semakin cepat mendekati Ella. Ella menelan ludahnya sendiri, seperti menyesali umpatannya terhadap tuannya.

"Apa yang dilakukan oleh pria bajingan itu padamu? Apa dia juga melakukan apa yang kulakukan terhadap wanita-wanita penggoda?' Edward terus mendekat, dan kali ini Ella tersangkut dengan kakinya sendiri.

Ia terjatuh tapi kedua tangannya berhasil menahan tubuhnya, sehingga ia tidak jatuh dengan keadaan terlentang.

Sorot mata Edward sudah semakin liar menatap Ella, "Kenapa kau tidak menjawab Ella? Apa yang sudah kalian lakukan hingga kau merengek dan menjadi cengeng seperti ini."

Edward mulai merangkak di atas tubuh Ella, raut wajahnya tidak menunjukkan belas kasih. "Apa kau tau apa yang dilakukan oleh seorang pria bajingan? Aku ini seorang pria bajingan bukan?" Ucap Edward yang, tangannya sudah mulai bergerak diatas tubuh Ella.

Ella benar-benar tidak nyaman, dan ia justru merasakan takut dengan Edward yang terlihat sangat berbeda.

Ella menutup matanya, tidak berani melihat tatapan Edward. Kali ini tangan Edward sudah berada di pinggangnya. "Kenapa kau Ella, tadi kau niat sekali dengan semua amarahmu?? Dan sekarang kau justru takut menghadapi seorang pria bajingan sepertiku?"

"Tuan Edward hentikan!! Kumohon." Setelah sekian lama akhirnya Ella mulai memohon kembali, "Hentikan Kumohon, tidak ada apapun yang terjadi. Kami hanya berciuman, dan tolong jangan bersikap seperti ini pada saya." Ucap Ella masih memejamkan matanya, dan mulai berlinang air matanya.

Tapi Ella yang masih menutup matanya, tiba-tiba merasakan ada yang menyentuh bibirnya dengan kasar. Ella membuka matanya, dia sangat kaget dengan apa yang ia lihat.

Edward Huxley, pria didepannya tiba-tiba saja menciumnya. Tapi ciuman dia sangat tidak terarah, kasar dan memaksa.

"Tuan Edward?? Apa yang anda la..."

Edward tampak tidak peduli dengan Ella yang masih syok. Ia terus melumat bibir Ella dengan sesuka hatinya.

Edward bahkan menyeka air mata Ella yang membasahi pipinya. Ella yang terbawa suasana, ikut membalas ciuman Edward yang perlahan sudah berubah menjadi lembut. Tangannya pun ikut memegang wajah Edward yang sudah mengendur dari ketegangan.

Mereka layaknya seorang pasangan yang kasmaran, Edward tampak tidak malu menunjukkan keinginan besarnya selama ini.

Tapi ada hal yang aneh dirasakan oleh Ella, pikirannya mengingatkan dia, bahwa pira yang menciumnya adalah Edward Huxley

Ella pun kembali terisak. Edward yang sadar pun berhenti menciumi Ella, memandang aneh dan khawatir ke arah wajah Ella.

"Kenapa? kenapa kau menangis?"

Ella perlahan bangkit, sedangkan Edward menatap bingung.

"Maaf tuan Edward, saya ingin beristirahat. Maafkan saya sekali lagi." Ucap Ella berjalan meninggalkan Edward yang masih menatapnya.

Ella sudah berada di dalam kamarnya, Laras tentunya sudah tidur pada saat ia mengendap-ngendap masuk ke dalam kamar.

Ella merebahkan dirinya dan tidur memunggungi ibunya, ia menatap jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi matanya masih belum mau diajak untuk tidur.

Ia menyentuh bibirnya sendiri, pikirannya kembali menerawang kejadian yang baru saja ia alammi. kembali ia bersedih dalam perasaannya.

Setelah semua perlakuan Edward pada dirinya selama ini, kenapa? kenapa kali ini ia seperti dia memberikan sebuah harapan kosong.

Ella terus berpikir bahwa Edward Huxley, pria angkuh, sombong, egois itu tidak mungkin jatuh cinta dengan dirinya yang bukanlah siapa-siapa. Ella tidak ingin perasaannya dipermainkan.

Edward masih duduk di sisi tempat tidurnya, masih memikirkan hal bodoh yang sudah ia lakukan.

Sudah dari sore tadi ia tiba-tiba menjadi cemas setelah mendengar perkataan temannya.

Kenapa juga dia harus cemas? Ella kan hanya pelayannya saja. Tapi kalimat itu terus mendengung di telinganya. Ia bahkan tau Ella yang keluar dengan Jason dan kembali lebih cepat menuju ke arah kandang kuda.

Ada sedikit rasa lega, ketika dia mengetahui kekecewaan Ella terhadap teman kencannya.

Harus dia akui, sepertinya dia sudah lama memendam rasa ini. Hanya saja ia masih egois untuk mengakuinya, kalau dia memiliki rasa terhadap Ella selama ini.

avataravatar
Next chapter