1 Si pembuat masalah

"Marlina! Apa kau tidak bosan hidup seperti ini terus?"

"Mami berisik! Aku ini sudah besar sekarang!"

Suara lantang seorang wanita paruh baya, membuat kaget seisi rumah. Para pelayan dan juga penjaga yang ada di sana sampai datang ke sumber suara. Mereka takut jika sampai perang dunia ketiga akan terjadi lagi hari ini.

"Ada keributan apa lagi Nyonya Anna?"

Seorang pelayan wanita menghadap ke wanita bernama Anna  itu, dia merupakan nyonya besar di rumah ini. Namun bukan hanya itu, dia juga ibu kandung dari gadis bernama Marlina, anak yang selalu dia marahi setiap harinya.

"Apa lagi? Gadis tidak berguna itu selalu saja membuat masalah.  Dimana Eko sekarang? Padahal aku sudah meminta dia untuk menjaga anaknya dengan baik," ucap wanita paruh baya itu dengan wajah kesal.

Seorang penjaga menunjuk ke sebuah tempat, "Tuan Eko ada di taman belakang, mungkin beliau sedang bermain dengan anjing kesayangannya."

"Akan aku cincang kepalanya! Bisa-bisanya lelaki pikun itu santai disaat anak kesayangannya itu membuat onar di kantor."

Para pelayan dan juga penjaga menundukkan kepalanya. Mereka paham betul jika nyonya Anna sudah marah, maka seisi rumah akan hancur ditangannya.

Wanita paruh baya itu pun berjalan menuju taman belakang, tak lupa dia juga membawa sapu di tangan kanannya. Anna hanya berharap jika kali ini, Eko sang suami akan memberikan sebuah alasan logis kenapa Marlina membuat masalah.

Dan secara kebetulan sekali, jika saat Anna ke taman, Marlina juga sedang ada di sana. Kedua ayah dan anak itu sedang mengobrol dengan serius, seolah tengah mendiskusikan sesuatu.

"Apa Papi tahu? Mami hampir saja membunuhku tadi di kantor. Dia melempar guci besar yang ada di samping lemari itu sepeti Hulk!" Ucap gadis itu kepada Papinya.

Eko membulatkan matanya ketika mendengar apa yang di ucapkan oleh Putri kesayangannya itu, "Yang benar? Kenapa Mami bisa melakukan hal seperti itu? Papi tahu, kau pasti membuat masalah lagi, kan?"

"Masalah apa? Aku hanya mencoba untuk mengunjungi Mami di kantor. Bukankah nenek sihir itu baru pulang dari Amerika? Jadi aku merindukannya," jawab gadis itu dengan santainya.

Plak!

Sebuah pukulan yang cukup keras mendarat di pantat Marlina, gadis itu meringis kesakitan karena melihat Maminya sudah ada di belakang. Wanita paruh baya itu bahkan memegang sapu dengan erat sembari menatap tajam ke arah sang anak.

"Merindukan katamu? Kau datang hanya membuat Mamimu ini malu saja. Heh Eko apa kau tahu? Marlina ini mencolek kepala klien kita. Dia sangat marah, terlebih karena merasa jika tindakan anak kurang ajar ini tidak sopan!" Ucap Anna dengan nada tinggi.

"Iya mana aku tahu, lagi pula orang berkepala botak itu mirip sekali dengan tukang kebun di rumah ini. Mami ini terlalu serius, aku kan hanya menyentuh kepalanya bukan yang lain."

Marlina berbicara seolah dirinya selalu benar, padahal sejak awal dia memang berniat untuk mengganggu Maminya. Wanita paruh baya itu selalu sibuk dengan pekerjaan, sedangkan keluarga dibiarkan begitu saja. Marlina tahu, bahkan sangat paham jika papinya itu tidak bisa menjalankan bisnis keluarga dengan baik. Jadi mami adalah orang yang bisa di andalkan sekarang ini. Namun dengan tindakan seperti itu, Marlina juga salah. Dia tidak seharusnya mempermalukan maminya seperti tadi dihadapan klien penting.

"Kau itu sudah mulai beranjak dewasa Marlina, jadi cobalah untuk bersikap seperti itu. Jangan pernah menyesal jika pada akhirnya Mami akan memberikan perusahaan Adistia group kepada adikmu si Sarah!" Tegas Anna kepada anak sulungnya itu.

"Sarah lagi Sarah lagi. Apa di dunia ini hanya anak itu yang Mami banggakan? Dia yang setiap hari hobi sekali mencari muka di depan orang banyak? Cih, menyebalkan. Sejak awal Mami memang lebih menyayanginya daripada aku," ucap Marlina dengan wajah kesal.

"Apa yang kau katakan? Semua anak-anakku sama saja, Mami juga memberikan kasih sayang yang sama kepada kalian. Namun bedanya, Sarah lebih bisa membuat bangga, dari pada kau yang senang sekali membuat masalah!"

Hati gadis itu seolah hancur. Apalagi ketika sang ibu mengatakan jika Sarah lebih baik dari pada dia. Padahal selama ini dia sudah berusaha dengan sangat keras agar bisa membuat Papi dan juga Maminya bangga. Namun apa daya? Otak Marlina tidak secerdas Sarah. Dia akan kalah jika soal bisnis dan juga kepintaran.

"Mami cukup! Jangan mengatakan hal seperti itu di depan Marlina. Lagi pula setiap anak terlahir dengan kemampuan mereka masing-masing. Jadi jangan pernah membandingkan Sarah dan juga putri sulung kita," ucap Eko kepada istrinya.

"Alah, itu karena kau menurunkan sifat bodohmu itu kepada Marlina. Ah sudah! Kalian berdua memang sama saja, sama-sama membuatku kesal."

Anna melempar sapu yang tengah dia pegang ke wajah sang suami, kemudian pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Anna kecewa karena dia gagal mendapatkan seorang klien yang penting itu, dan semua ini adalah salah anaknya sendiri.

"Anak itu memang harus diberi pelajaran!" Gumam Anna pada dirinya sendiri.

Eko, dia hanya bisa mengusap punggung putri kesayangannya itu. Sang istri, dia tidak pernah bisa memberikan kasih sayang yang sama kepada dua putri mereka. Anna lebih menyayangi Sarah dari pada Marlina, terlebih karena sang adik memiliki bakat yang lebih baik dari kakaknya.

Mungkin ini adalah salah satu alasan, kenapa Marlina selalu membuat masalah kepada Maminya. Dia tidak pernah bermaksud untuk seperti itu, tapi gadis itu hanya ingin diperhatikan saja. Namun sebagai seorang ibu, Anna tidak pernah peka tentang hal seperti ini.

"Sabar ya sayang, Mami mungkin hanya sedang emosi saja. Di dalam hatinya yang terdalam, dia sangat menyayangi dirimu Marlina."

Gadis itu hanya tertawa kecil, dia benar-benar paham bagaimana sifat maminya itu. Anna adalah seorang wanita yang konsisten terhadap sesuatu, jadi dia akan menerapkan sikap seperti itu pada segala hal. Beberapa tahun sudah Marlina diberikan pendidikan yang begitu ketat, namun gadis itu tidak menunjukkan bakat yang diinginkan oleh maminya. Dia terlalu bodoh dalam dunia bisnis, padahal Marlina adalah penerus perusahaan Adistia group.

"Sudahlah Papi aku tidak apa-apa, lagi pula sejak dulu sifat Mami memang seperti itu. Aku adalah seorang yang gagal di matanya, sedangkan Sarah, sukses dengan kepintarannya."

Marlina pergi meninggalkan Papinya di sana, tidak ada gunanya lagi bagi dia untuk berdiam diri. Terlebih karena sejak awal Marlina merasa di asing kan dalam keluarga ini. Jika boleh bertanya, apa yang harus gadis itu lakukan? Apa yang harus dia perbuat agar bisa membuat kedua orang tuanya bangga? Membuat Mami mau mengakui dirinya.

Brak!

Semua barang di atas meja rias itu berhamburan ke lantai, Marlina tidak bisa mengontrol emosinya sekarang. Dia merasa sangat malu, kesal dan hancur! Harga diri yang dia miliki seolah tak tersisa. Di dalam keluarganya sendiri dia di anggap sebagai pembawa masalah. Padahal sebenarnya Marlina hanya ingin sebuah perhatian dari sang Mami tercinta.

"Apa aku harus mau menerima posisi itu? Iya setidaknya agar Mami senang."

avataravatar