webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · History
Not enough ratings
240 Chs

16. Putra Perwira

Siang itu, salah seorang prajurit utusan dari pusat kerajaan menghentikan laju kuda yang ditungganginya tepat di depan gerbang sebuah rumah yang megah nan elok. Rumah dengan jenis Julang Ngapak ini adalah salah satu bentuk rumah adat paling mewah diantara seluruh jenis lain di wilayah Galuh. Memiliki arti seekor burung yang sedang mengepakkan sayapnya. Hal ini dikarenakan rumah adat julang ngapak memiliki desain atap yang melebar ke samping kanan dan kiri. Desain atapnya dilengkapi dengan cagak gunting pada bubungannya agar lebih kuat dan tidak mudah bocor. Dengan halaman luas dan dipagari tanaman rambat serta bunga-bunga yang menambah kesan istimewa. Rumah ini adalah milik salah seorang pejabat Kerajaan Galuh. Di bagian depan gerbang selalu dijaga oleh dua orang prajurit siaga.

"Sampurasun!" sapa seorang utusan itu secara formal kepada kedua prajurit penjaga setelah turun dari kudanya.

"Rampes!" jawab kedua prajurit penjaga.

"Saya Hanggi, utusan dari Kutaraja Saunggalah, dalam hal ini adalah Istana Induk Singgahsana Maharaja Gusti Prabu Dharmasiksa. datang dengan maksud untuk menyampaikan surat penting dari Rakryan Mahamantri Empu Dadrah kepada Gusti Tumenggung Aria Laksam. Mohon izin untuk memasuki kediaman beliau." Secara formal, utusan itu menyampaikan maksud dan tujuannya. Kemudian menyerahkan sebuah tanda sandi berupa lencana perunggu dengan simbol khusus yang menandakan keabsahan statusnya sebagai utusan kerajaan.

"Izin diberikan, dimohon untuk menunggu. Kami akan memanggil pelayan untuk mengantar ke dalam," jawab seorang prajurit penjaga. Ia pun membunyikan sebuah lonceng yang berada di sisi kanan gerbang. Tak berapa lama gerbang dibuka, datanglah seorang perempuan cantik berkebaya dan selendang warna emas sambil membawa payung daun lontar.

"Silakan masuk, Tuan. Saya akan mengantar Tuan menuju ruangan Gusti Tumenggung Aria Laksam," ujar seorang abdi itu sambil kemudian berjalan memayungi seorang utusan itu dengan payung daun lontar.

Sesampainya di dalam, utusan tersebut langsung menghampiri Tumenggung Aria Laksam yang sedang duduk di ruang kerjanya dan menyerahkan surat yang dibawanya. Di situ juga ada seorang putra Tumenggung yang mendampinginya. Setelah membaca surat tersebut, Tumenggung Aria Laksam langsung mengatakan sesuatu pada si prajurit utusan, "silakan istirahat di bilik tamu yang sudah disediakan. Nanti sore baru kamu boleh kembali ke Kutaraja dengan membawa surat balasan dariku."

"Siap dipahami, Gusti Tumenggung," jawabnya.

"Cicih, antarkan utusan ini ke bilik tamu. Layani dengan sebaik-baiknya," perintah Tumenggung kepada seorang pelayan perempuan yang tadi juga mengantarkan utusan tersebut dari pintu gerbang.

"Ada apa Ayah?" tanya putra Tumenggung.

"Ada berita duka dari Perguruan Wanawira. Dua lusin murid perguruan tersebut tewas dibabad habis oleh tiga orang peneror. Sekarang peneror itu sudah ditangkap oleh Mahaguru Sutaredja," kata Tumenggung.

"Syukurlah jika pelakunya tertangkap, sehingga bisa langsung diadili. Tetapi, atas tujuan apa, Ayah? Apakah Perguruan Wanawira pernah memiliki permusuhan di masa lalu?" tanya anaknya.

"Setahu Ayah tidak ada. Tetapi yang kita tahu, sudah puluhan tahun Perguruan itu menjadi pembentuk benih-benih generasi penerus untuk mengisi jajaran pemerintahan Kerajaan Galuh. Sebagian besar Tentara Kerajaan adalah jebolan dari perguruan tersebut. Bahkan beberapa pejabat menitipkan anak-anaknya untuk belajar ilmu tata negara di sana. Termasuk Ayah yang dulu ingin mengirimmu dan kakakmu untuk belajar di sana, tetapi kamu menolaknya," ujar Tumenggung.

Mendengar itu, anaknya menampakkan ekspresi kikuk dan malu. Tetapi kemudian melanjutkan pembahasannya.

"Artinya apa, Ayah?"

"Itu artinya, siapapun yang berurusan dengan perguruan itu, maka langsung berurusan dengan kerajaan. Siapapun yang mencederai orang-orang di perguruan itu, artinya sudah mencederai seluruh pemerintahan, termasuk dianggap meremehkan Gusti Prabu sendiri. Dan bagi pelaku akan ditimpa hukuman yang sangat berat. Ayah yakin, mereka hanyalah sebagian kecil dari rencana besar yang disusun oleh pihak tertentu untuk merongrong kewibawaan Kerajaan Galuh." Dengan serius Tumenggung menjelaskan kepada anaknya.

"Lantas, apa yang akan Ayah lakukan?" tanya anaknya.

"Sebagai seorang Tumenggung, keamanan di seluruh wilayah kerajaan adalah menjadi tanggung jawab Ayah. Akan diperketat patroli dan penjagaan ke setiap seluruh wilayah Negeri Bawahan, Kutaraja, Kadipaten, bahkan sampai ke Perkampungan hingga Kabuyutan. Ini juga menjadi kesempatanmu untuk tampil, Asmaraga," ujar Tumenggung.

Di depan gerbang, seorang penunggang kuda menghentikan laju kudanya. Tanpa menuruni kuda tersebut, pemuda itu langsung bertanya kepada prajurit penjaga, "Kuda siapa yang terikat di depan?"

"Itu milik seorang utusan dari Kutaraja," jawab salah seorang prajurit penjaga.

"Apakah ada kabar penting dari Kutaraja?" tanya orang itu.

"Kami tidak berhak untuk mengetahuinya, Raden Mas" jawab prajurit penjaga.

"Cepat, buka gerbangnya," perintah pemuda yang merupakan anak sulung dari Tumenggung Aria Laksam. Dia pun langsung melajukan kudanya pelan memasuki gerbang.

"Sepertinya Kangmas Sukmaraga sudah pulang, Ayah," ujar Asmaraga yang sedang berbincang dengan Ayahnya ketika mendengar suara langkah telapak kuda milik saudaranya.

Mereka berdua pun keluar dari ruangan dan menemui Sukmaraga yang baru turun Dari kudanya.

Seorang Abdi Dalem pun langsung menghampirinya dan menuntun kuda milik Sukmaraga untuk dibawa ke kandangnya.

"Sampurasun, Ayahanda dan Adik Mas Asmaraga," sapa Sukmaraga memberi salam.

"Rampes...,"jawab mereka berdua.

"Satu sasi pergi baru pulang, dari mana saja kamu, Sukma?" tanya Ayahnya dengan muka kecut.

"Hanya mengembara saja, Ayah"

"Mengembara seperti kaum gelandangan," ketus Ayahnya.

"Bukan begitu, Ayah. Ini hanya salah satu cara supaya aku bisa lebih memahami dunia luar, aku ingin menjadi manusia bebas, Ayah," ujar Sukmaraga.

"Apa? Bebas?"

"Iya, Bebas."

"Bebas, Katamu?"

"Iya, Bebas, tidak terkurung sehingga hanya bisa menuruti apa yang Ayah mau."

"Kamu ini punya rumah. Kenapa kamu tidak pernah betah di rumah? Ayah sudah fasilitasi segala kemewahan di rumah ini, apakah masih belum cukup? Apa yang kamu butuhkan? Perempuan? Tinggal bilang saja, Ayah bisa carikan kamu gadis perawan yang cantik untuk menemani rasa kesepianmu di Rumah. Tidak perlu harus keluyuran di luar sana berbulan-bulan," tegas Ayahnya dengan sedikit memarahi.

"Semua fasilitas yang Ayah berikan semata hanya karena Ayah ingin aku untuk menjadi penerus Ayah. Iya, Kan? Sudah kubilang, aku tidak pernah mau menjadi pejabat pemerintahan. Aku bahkan sangat menentang Kerajaan. Kita keluarga Para pejabat bisa enak-enakan merasakan kemewahan sementara banyak orang-orang kecil, rakyat miskin yang menderita. Padahal pajak selalu mereka bayarkan. Ketika mereka terlambat sedikit saja, Pihak kerajaan akan menuntut menagihnya. Sementara kerja kita hanya duduk-duduk berbicara soal perluasan kekuasaan, memperebutkan singgahsana, merundingkan pangkat. Apa aku salah ketika aku menuruti nurani ku sendiri, Ayahanda Tumenggung?" tegas Sukmaraga dengan mengutarakan pandangannya.

"Hei... Kamu pikir siapa bisa menilai seperti itu? Kamu hanya anak kemarin sore yang tidak tahu apa-apa soal pemerintahan," murka Tumenggung kepada anaknya yang pandai membantah itu.

"Iya, aku tidak tahu apa-apa soal pemerintahan, itulah kenapa aku tidak mau menjadi seperti Ayah," ujar Sukmaraga.

"Sukmaraga!!!" Tumenggung kini sudah sangat marah mendengar anaknya berbicara seperti itu.

"Sudahlah, Ayah. Aku sedang tidak ingin berdebat. Aku letih mau istirahat." Sukmaraga langsung berjalan menuju kamarnya untuk istirahat.

"Sukma... Sukma..., Ayah belum selesai bicara. Begitu caramu menghormati Ayahmu? Anak kurang ajar!" bentak Tumenggung Aria Laksam dengan penuh amarah. Tetapi Sukmaraga terus berjalan seakan tak mengindahkan apapun yang Ayahnya katakan.

"Sudahlah Ayah, mungkin Kangmas Sukmaraga sedang letih dan perlu istirahat. Biar nanti kalau Ayah perlu bicara padanya, biar aku yang sampaikan." Asmaraga membujuk Ayahnya untuk lebih sabar dan meredakan emosinya.

"Kenapa kakak mu itu tidak bisa seperti kamu, Nak? Kenapa dia tidak bisa menjadi anak yang patuh, Kenapa dia sangat berbeda denganmu? Apakah aku salah mendidiknya?" ujar Ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

"Bukan salah Ayah, bukan salah Ayah, bukan salah Ayah. Tenanglah Ayah. Mari aku antarkan Ayah ke bilik untuk beristirahat." Dengan lembut Asmaraga membujuk ayahnya untuk meredamkan emosinya dan kemudian mengantarkannya untuk beristirahat.

***