8 Teringat kembali

Dia pun mengusap pipinya, yang terasa sakit lalu ia pun tersenyum sembari menatap langit-langit kamarnya. Mimpi itu terasa seperti nyata, namun dia menganggap bahwa tamparan itu adalah luka yang di terima dari tindak kejahatan. Pemuda itu memeluk bantal di sampingnya, dengan erat sembari menyebut nama Sarah.

Kemudian ia pun kembali memejamkan mata, sembari berharap bisa bertemu dengan gadis itu kembali. Namun ekspentasi tak sesuai kenyataan, ia tak bertemu kembali dengan gadis itu. Yang ia lihat hanyalah kegelapan, hingga suara ketukan pintu membangunkannya.

Daya tarik gravitasi pada kasur, membuat dirinya enggan beranjak dari kasur.

Mengingat ujian hari ini, mau tidak mau ia pun harus bangun. Kemudian dia beranjak dari tempat tidurnya, lalu pergi masuk ke kamar mandi memenuhi panggilan alam.

Setelah itu dia berjalan ke luar untuk melakukan rutinitasnya bermeditasi. Baru saja ia membuka pintu, ibunya baru saja tiba di rumah. Tangan kanannya, memegang sebuah kantong plastik besar berisi empat bungkus nasi uduk.

Fadil pun berjalan ke dapur, dan kembali sambil membawa empat piring dan sendok di kedua tangannya.

Sambil menunggu ayah dan adiknya terbangun, mereka berdua duduk bersila sembari menikmati sarapan pagi dan menikmati acara televisi.

Ibunya teringat akan impian anaknya, yang di ceritakan oleh Sang Kakek. Mengingat hal itu membuat ibunya tertawa kecil, sembari menatap anaknya.

"Hei, Fadil. Fadil ibu sudah dengar tentang impianmu dari kakek. Katanya, kamu ingin menjadi orang kaya dan punya istri dua?" tanya Sang Ibu membuat wajah Fadil merah karena malu.

"Sudahlah Bu, itu cuman impian konyol," timbalnya sambil menatap layar televisi.

"Ibu yakin, kamu bisa mewujudkan impianmu itu. Namun untuk mendapatkannya kamu harus bekerja keras."

"Iya, bu. Tapi soal istri dua, sungguh Fadil cuman bergurau."

"Tidak masalah, jika itu benar. Ibu tidak akan marah, Itu hal yang wajar. Lagi pula, jodoh tidak ada yang tau," balasnya sembari tertawa.

"Entalah ibu, lihat saja nanti."

Sang Ibu pun tersenyum ketika mendengarnya, lalu ia kembali menatap televisi. Dalam lubuk hatinya Sang Ibu yakin, bahwa ia bisa mewujudkannya. Mungkin ada beberapa hal yang harus dia bina ketika dirinya hampir berhasil mewujudkan impiannya.

Setelah sarapan Fadil pun kembali memasuki kamar, lalu ia berlatih soal SBMPTN untuk terakhir kalinya. Setidaknya dengan mengerjakan soal, rasa percaya dirinya bisa kembali. Tiga puluh telah berlalu, ia pun bersiap-siap untuk pergi ke tempat ujian.

Setelah bersiap dia pun berjalan keluar, sembari membawa helm di tangan kanannya. Dia mencium tangan ibunya dan ia pun pamit, lalu ia melaju kendaraannya menuju tempat ujian. Fadil pun melintasi jalan raya yang membentang luas.

Jalanan yang berlubang, serta mobil kontener yang melintas membuat dirinya harus berhati-hati. Apalagi oknum supir bus dan truck, melaju ugal-ugalan di jalan. Juga oknum pengendara motor, yang melaju seenaknya di jalan.

Fadil menatap ke depan, sembari berkonsentrasi mengendarai motornya. Di depan ia di kejutkan dengan sebuah lubang yang cukup dalam di jalan. Spontan dia langsung menghindarinya, lalu ia mengelus dadanya sembari mengatur nafas.

"Dasar lubang sial! Sudah satu bulan belum di tambal, nunggu tumbal dulu baru di tambal!?" bentaknya memaki jalam lubang tersebut.

Kemudian dia mengelus dadanya, dan kembali fokus ke jalan. Di tengah perjalanan, dia melihat ada rajia kendaraan bermotor lalu instingnya menuntun dirinya untuk memasuki gang. Surat-surat beserta kendaraan sangatlah lengkap, sayangnya lampu belakang motornya mati.

Dia menelusuri setiap gang, mencari jalur alternatif menuju jalan raya. Beruntung warga sekitar menuntunya menuju jalan raya, dan akhirnya kini bisa melanjutkan perjalanan. Sekian lama di perjalanan, akhirnya dia sampai di lokasi ujian.

Dia memarkirkan motor, pada tempat yang sudah di sediakan lalu ia berjalan menelusuri lorong seorang diri.

Seseorang tak asing memanggilnya, lalu Fadil pun menoleh ke belakang. Pemuda berkulit sawo matang, memakai kacamata kotak, serta kaos bermotif naga di balik jaket merah berbahan jas.

"Woi Mas Fadil!"

"Eh Dimas, ayo bareng cari ruangan." Timbalnya dengan semangat.

Mereka berdua pun berjalan bersama menelusuri sekolah. Pandangan mereka melirik kesana kemari mencari ruangan. Di sela waktu, mereka duduk di sebuah bangku lorong sembari melirik para peserta yang baru saja datang.

Mata mereka tak berkedip, setiap gadis cantik melintas di hadapan mereka. Secara diam-diam, mereka berdua memberi skor sebagai perbandingan. Puas beristirahat mereka melanjutkan, penelusuran hingga berhasil menemukan ruang ujian.

Dimas berada di ruang lima satu lantai dua, sedangkan Fadil berada di ruang dua belas lantai dasar. Setelah menemukan ruangan, mereka berjalan mengunjungi kantin.

Suasana kantin yang ramai, hampir mereka berdua tidak mendapatkan tempat duduk.Di sana mereka membuka membaca, serta membahas beberapa soal sebelum ujian di mulai.

"Apa kamu sudah mengerti?" tanya Dimas selesai mengajari matematika.

"Iya sepertinya," jawabnya dengan ragu.

"Hah! Pokonya kamu ingat jalannya pasti kamu bisa menjawab. Tapi jika seandainya elu lupa, mending gak usah di isi. Kudengar sistem penilaiannya, menggunakan sistem minus. Tapi jika itu tidak benar, hitung-hitung cari aman bro."

"Siap."

Melihat Fadil membuat dirinya teringat, saat acara perpisahan dimana Bagas mantan jawara di kelas mempermalukannya. Wajahnya yang babak belur, menangis di depan banyak orang. Dia pun menatap semua orang termasuk dirinya dengan tatapan kebencian.

Dalam lubuk hatinya, dia sangat bersalah karena tak bisa membela temannya. Rasanya ia tak jauh berbeda dengan para bajingan alumni angkatan 2016.

"Fad, elu masih ingat acara perpisahan?"

"Masih. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Gue mau minta maaf. Waktu itu, gue hanya diam melihat elu direndahkan . Sumpah, gue terus kepikiran sampai sekarang"

"Sudahlah, jangan di bahas lagi. Gue mengerti kok."

"Bagaimana dengan dua teman sekelasmu?"

"Maksudmu Rizki dan Ari? Ah, biarkan saja. Paling satu atau dua bulan ke depan mereka lupa."

"Jangan berkata seperti itu, gue yakin mereka berdua merasakan hal yang sama kayak gue."

"Kita lihat saja nanti."

Dimas pun terdiam lalu ia menundukkan pandangan, sembari mengingat apa yang terjadi pada temannya. Penderitaannya selama tiga tahun, akibat pembullyan membuatnya semakin kasihan. Andaikan dulu dia sekelas, mungkin dia akan membelanya walau akan berakhir seperti dirinya. Keterampilan yang harus ia dapatkan, selama tiga tahun tidak membuahkan hasil. Semua itu berawal dari minimnya alat praktek, serta ulah Bagas beserta komplotannya.

Fadil selalu mengeluh akan hal itu hingga membuat ia bosan.

Berbeda dengan jurusannya, yang serba lengkap serta anak kelas yang solid. Dia merasa kehidupannya dengan Fadil bagaikan dua sisi mata uang. Berjalan pada dua jalur yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama.

"Pokoknya, kalau elu butuh sesuatu bilang saja sama gue. Pasti gue bantu."

"Thanks," jawabnya dengan singkat.

Suara lonceng mulai terdengar, mereka berdua berjalan memasuki ruangan masing-masing lalu duduk sesuai dengan tempat yang sudah di tentukan. Kebetulan Fadil berada di kursi sisi kanan paling depan, sehingga ia tak perlu repot untuk mencari. Satu persatu peserta mulai memasuki ruangan, mereka semua meletakkan kartu ujian beserta alat tulis.

Tidak berlangsung lama, pengawas pun memasuki ruangan. Kedua pengawas membagikan lembar jawaban, lalu para peserta mulai mengisi identitas.

Selanjutnya kedua pengawas memberikan lembar jawaban.

Sebelum mulai, seluruh peserta berdoa terlebih dahulu. Selesai berdoa seluruh peserta mulai mengisi lembar jawaban. Fadil pun menatap lembar soal dengan serius, lalu ia mengisi jawaban satu persatu dengan teliti.

Lambat laun, kepalanya terasa pening dan panas dan ia pun terus mengerjakannya hingga selesai. Waktu telah berlalu begitu cepat, akhirnya ujian telah berakhir. Dia berjalan keluar bagaikan orang linglung.

Seketika dia lupa dimana motornya berada. Dia mencoba untuk mengingat dimana motornya terparkir. Fadil duduk di sebuah kursi panjang lorong sekolah, lalu ia mengingat dimana motornya berada. Sekian lama berpikir akhirnya ia ingat dimana motornya berada.

Pemuda itu berjalan menuju tempat dimana motornya berada. Sebuah notifikasi pesan telah berbunyi, Fadil pun meraih ponsel di dalam saku celananya. Dimas mengajak dirinya untuk mengunjungi beberapa tempat menarik di kota Lumbung Padi mumpung ia belum pulang.

Fadil memilih untuk pulang, dan ia menolak ajakannya secara halus. Dia berjalan menuju tempat motornya berada lalu ia naik dan melaju kendaraan kembali pulang. Sepanjang perjalanan, dia memikirkan soal ujian yang telah dia kerjakan sebelumnya.

Banyaknya kesalahan dalam menjawab, membuat dirinya tidak percaya diri. Namun dia meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dirinya sudah melakukan yang terbaik dan yakin ia pasti lulus.

avataravatar
Next chapter