15 Tak ingin tapi ingin

Selesai melakukan pekerjaannya di dapur, Fadil berjalan kembali ke kamar. Dia memandang gadis itu yang sedang membaca buku. Raut wajah kebingungan terukir jelas di wajahnya, ketika membuka selembaran buku. Pemuda itu bertanya di balik raut wajahnya yang bingung. Sarah berkata bahwa dirinya tak bisa membaca, lalu ia mengungkapkan rasa penasaran isi dari buku pengetahuan umum di kedua tangannya.

"Mau aku ajari cara membaca?" Menawarkan jasa pada gadis itu.

"Mau. Tolong ajari aku membaca!" Seru gadis itu meluapkan rasa senangnya, ketika Fadil menawarkan jasa mengajar kepada dirinya.

Fadil mengambil sebuah buku paket cara membaca, diantara tumpukkan buku di bawah kasur. Buku tersebut adalah buku peninggalan sewaktu dirinya menginjak bangku sekolah dasar. Suara ketukkan pintu mengejutkan mereka berdua. Sang Ibu menyuruh anaknya agar tidak berlama-lama di dalam kamar. Dan dia diminta untuk menjaga warung, seperti rutinitasnya. Mereka berdua berjalan keluar dari kamar, di tangan Fadil ia membawa buku cara menulis huruf alfabet dan juga buku latihan membaca.

Sarah pun tersenyum, memandanginya berjalan dengan membawa buku. Dirinya tak sabar untuk diajari cara membaca, sebab banyak hal yang harus dia tau untuk tinggal di bumi. Sesampainya di warung, Fadil mulai membersihkan bagian dalam warung sedangkan gadis itu duduk pada sebuah bangku dekat meja kasir. Gadis itu ingin sekali membantu, namun kehadiran ibunya tak bisa berbuat banyak. Lantai sudah di sapu, barang-barang telah selesai di tata dan akhirnya pekerjaannya telah usai.

Sarah berjalan keluar lalu mencari tempat yang sepi, setelah itu dia merubah penampilannya sebelum berjalan di permukaan. Kaos abu berlengan panjang, dengan rok pink semata kaki, sepasang sepatu dan kaos putih, menambah paras cantiknya. Dia berjalan menghampiri ibu dan anak, yang sedang membersihkan halaman depan sembari membawa selendang kecil berwarna putih.

"Selamat pagi Fadil selamat pagi tante," sapa Sarah pada mereka berdua.

"Pagi jawab mereka berdua."

"Perkenalkan tante, nama saya Sarah Kartika teman Fadil satu sekolah." Ujarnya memperkenalkan diri, lalu mencium tangannya hingga membuat Sang Ibu tersenyum manis kepadanya.

"Ayo Sarah silahkan masuk," ujarnya mempersilahkan Sarah untuk masuk kembali ke dalam.

Fadil terdiam menatap paras anggunnya, lalu Sang Ibu meminta Fadil untuk kembali ke rumah untuk membuatkan teh manis dingin. Reaksi yang lambat membuat Ibunya merasa kesal terhadap anaknya. Padahal ada seorang gadis canti datang berkunjung, seharusnya dia bersemangat untuk menjamunya. Mereka berdua duduk saling berhadapan di atas matras. Sang Ibu terpesona oleh kecantikkan gadis di hadapannya. Dia tak menyangka bahwa seorang Fadil bisa membawa seorang gadis secantik dirinya ke hadapannya.

Melihat tingkahnya yang kaku, ketika berinteraksi dengan lawan jenis membuat ia berhenti berharap. Kini melihat gadis cantik di hadapannya, harapan Sang Ibu datang kembali. Rasanya dia ingin melompati waktu, melihat anaknya menikah dengan calon pengantin. Namun Sang Ibu, orang yang sudah lama menjalani kehidupan hanya tersenyum dan sadar, bahwa hidup ini selalu berbanding terbalik dengan keinginan. Dia tak ingin berharap banyak pada gadis itu.

Tetapi menjadi seorang teman, itu sudah cukup memenuhi ekspentasinya. Sang Ibu pun bercerita, mengenai kehidupan semasa Fadil yang selalu di bully. Malangnya kehidupan Fadil selama dua belas tahun, membuat Sarah menjadi prihatin. Kemudian dia pun bertanya tentang apa yang terjadi ketika acara perpisahan.

"Waktu itu, anakku pulang dalam keadaan babak belur. Apa jangan-jangan anakku di bully?"

"Hmm..." Gadis itu terdiam sembari menundukkan pandangan, tak tau harus apa yang harus dia katakan karena dia sendiri tidak tau.

"Ternyata benar. Kamu tau, sebenarnya ibu ingin menangis saat melihat raut wajahnya yang babak belur. Namun ibu mencoba menahanya agar pikiran anak itu tidak bertambah. Menurutmu kenapa anakku menjadi seperti itu? Apakah dia melakukan kesalahan?"

"Tidak Fadil itu adalah anak yang baik, hanya saja lingkungan tidak menerima kebaikannya. Sebagai teman dekatnya aku tau itu." Ujarnya lalu mengaku teman dekatnya di sekolah.

"Kamu benar-benar anak yang baik, ibu berharap kamu terus berteman dengannya."

"Pasti, aku akan selalu berada di sisinya baik suka mau pun dekat. Dan juga menjadi pendengar yang baik, selayaknya teman dekat." Ucapnya bertekat pada Sang Ibu.

Fadil mendengar semua perkataan gadis itu, ia pun tersipu malu sembari meletakkan tiga gelas teh manis dingin sudah terisi penuh di atas lantai. Kemudian Sang Ibu pergi meninggalkan mereka berdua sembari membawa teh manis dingin di tangannya. Sarah pun tersenyum kepadanya, lalu ia berkata bahwa Ibunya merupakan sosok yang baik maka jangan kecewakan beliau apapun yang terjadi. Mendengar hal itu ia semakin bertekat untuk mewujudkan impiannya.

Pelajaran pun dimulai, Fadil memberikan sebuah buku tulis kosong pada Sarah. Pemuda itu menyuruh Sarah untuk menulis empat huruf alpabet hingga selembar penuh. Sarah mengikuti apa yang di perintahkannya, lalu ia menulis secara perlahan hingga selembar penuh. Sembari menulis gadis itu menghafal setiap huruf yang ia tulis. Sedangka Fadil melayani pembeli.

Waktu berlalu begitu cepat, akhirnya senja pun telah tiba. Tangan kanannya serta punggungnya terasa pegal, namun gadis itu terus menulis hingga tiga lembar penuh. Sebelum tutup, Fadil menulis beberapa kata dari empat huruf tersebut lalu menyuruhnya untuk membaca pada kata yang ia tunjuk. Awalnya gadis itu mengalami kesulitan, namun secara perlahan ia bisa membaca apa yang di tunjuk olehnya, meskipun pada akhirnya ia lupa.

Sebelum tidur gadis itu terus berlatih menulis, serta membaca beberapa kata seputar huruf yang ia pelajari. Fadil terus membantunya dalam mengajarinya membaca. Dia ingin gadis itu bisa membantunya dalam berbagai hal. Selesai membaca dia pun tertidur, di atas ranjang yang sama. Mereka berdua di selimuti rasa gelisah dan malu tak tertahankan. Namun mereka berdua berusaha untuk tidur demi menjaga kenyamanan bersama.

Suara ayam berkokok mulai terdengar, kedua mata Fadil mulai terbuka. Tubuhnya tidak bisa bergerak karena ada sesuatu yang menahan tubuhnya. Rasanya tubuhnya serperti terlilit oleh batang pohon besar, hanya saja sensasinya hangat dan lembut. Raut wajahnya memerah saat, gadis itu memeluknya dengan sangat erat. Jantungnya berdebar begitu kencang, raut wajahnya semakin memerah. Rasanya dia tak tega untuk membangunkannya, yang masih tertidur lelap.

Namun dia tak bisa larut dalam kenikmatan, masih banyak pekerjaan yang harus dia lakukan hari ini. Sebelum membangunkannya ia pun mendekat, lalu dia memejamkan mata dan bersandiwara bahwa dirinya belum tersadar. Fadil memang seorang lelaki yang jujur akan dirinya sendiri. Dia melumat bibirnya hingga kedua mata gadis itu terbuka. Wajah Sarah memerah, ketika pemuda itu mempererat pelukkannya lalu kembali menciumnya. Sarah pun memencet hidungnya, hingga Fadil tak bisa bernafas. Sandiwara pun berakhir mereka saling berpandangan.

"Dasar lelaki genit, sudah tiga kali kamu menciumku." Ucapnya dengan raut wajah merah merona.

"Maaf kupikir kamu adalah bantal," timbalnya sembari mendongak ke langit.

"Kamu melakukannya secara sadar bukan?" Tanya gadis itu sembari mendekati wajahnya.

"Mana ada! Aku ini pria baik-baik kok."

"Pembohong. Sebenarnya aku pura-pura tertidur, kamu terbangun lalu bersandiwara seolah-olah tidak sadar."

Fadil pun terdiam dengan raut wajahnya semakin memerah. Dia menyesal atas perbuatan mesumnya di pagi hari. Kemudian pemuda itu meminta maaf atas apa yang ia lakukan terhadapnya. Sarah pun memaafkannya, lalu pemuda itu berjanji untuk tidak melakukannya. Dia meminta kepada Sarah, jika ia melakukannya secara tidak sadar agar segera membangunkannya. Gadis itu menyetujui permintaannya, ia pun mulai mulai waspada detik ini juga.

Satu bulan telah berlalu, siang dan malam Sarah terus berlatih menulis dan membaca. Kini dia menerima hasilnya. Ukiran pensil membentuk sebuah huruf, dengan diameter dan panjang yang stabil, juga tersusun rapih dalam membuat sebuah kalimat. Kerapihannya dalam menulis hampir mendekati tulisan komputer. Awalnya dia membaca sebuah teks dengan terbata-bata, kini ia dapat membacanya dengan sangat lancar. Melihat prestasinya membuat Fadil merasa terpukau.

Selain belajar Sarah selalu membantu Fadil setiap ada kesulitan. Pemuda itu merasa memiliki seorang asisten pribadi. Setiap menjelang pagi, mereka berdua menikmati sarapan pagi sepiring berdua. Jantung mereka berdegup kencang, raut wajah mereka memerah serta salah tingkah ketika saling bertatapan sambil menikmati sarapan. Namun pada akhirnya, tanpa sadar mereka menemukan apa itu kenyamanan. Kini mereka menikmati sarapan sepiring berdua, tanpa rasa canggung apalagi malu.

Hari sudah menjelang pagi, suara ayam berkokok telah membangunkan Fadil. Dia meraih ponsel di balik bantal, lalu membuka situs seputar hasil seleksi masuk kampus. Sementara Sarah tidur menghadap kiri dengan baju yang sama. Dia teringat minggu pertama, saat tidur seranjang dengannya. Rasa gelisah, malu, serta canggung seolah bercampur aduk dalam dirinya. Setiap kali bibir dan tangannya bergerak sendiri, Sarah langsung memencet hidungnya hingga ia terbangun.

Sejujurnya dia tak suka di perlakukan seperti itu, namun tidak ada pilihan lain. Namun jika Sarah tidak melakukan hal tersebut, mahkotanya akan di rebut tanpa sadar. Di sisi lain dia sangat merindukan pelukan hangat dari wanita di sampingnya. Begitu juga dengan gadis itu rasakan. Belum sempat ia melihat hasilnya, tiba-tiba Sarah memeluknya dengan sangat erat. Matanya terpejam, wajahnya semakin mendekat. Secara mengejutkan gadis itu mencium pipinya, sehingga raut wajahnya merah padam.

"Fadil aku sangat rindu bengan pelukkanmu, rasanya nyaman sekai. Tapi kenapa kamu tidak memelukku?" Tanya Sarah, diantara sadar dan tidak sadar.

"Apa kamu sudah lupa? Kita sudah membuat perjanjian, agar aku tidak menyentuhmu saat tidur."

"Lupakan soal janji kumohon peluklah aku sehari saja." Ujar keinginannya, dalam keadaan mata terpejam.

Fadil tersenyum lalu ia berbalik dan memeluknya dengan cukup erat. Mereka saling berpelukkan, kehangatan serta kenyamanan mulai mereka berdua rasakan. Bagaikan amplop dan perangko menempel erat satu sama lain. Pemuda itu mengecup keningnya, serta memeluknya begitu erat. Sementara itu Sarah sadar sejak tadi, ia hanya ingin melepas rasa rindu atas kenyamanan yang ingin kembali dia rasakan. Tak ingin kenyamanan yang sedang mereka rasakan berakhir.

avataravatar
Next chapter