2 Rasa sakit

Para alumni hanya terdiam, mereka secara diam-diam membicarakannya. Dimas beserta dua teman sekelasnya, tak kuasa melihat ini semua.

Mereka bertiga hanya bisa memalingkan wajah, dan berdoa semoga penderitaan yang dialami oleh temannya cepat berakhir. Fadil pun berdiri dengan bertelanjang dada, lalu berjalan mengambil bajunya yang tergeletak dengan berlinang air mata.

"Dasar cengeng, baru di pukul segitu saja sudah nangis."

"Najis, kenapa pecundang sepertimu masuk ke sekolah ini?!"

"Sok deketin Iga, padahal dia juga ilfeel sama elu."

Begitulah ujar para oknum alumni pada dirinya. Kemudian dia menatap seorang gadis berambut pendek, berparas cantik mengenakan gaun berwarna putih. Gadis itu adalah Iga, dia adalah cinta pertama Fadil ketika semasa sekolah.

Dia jatuh cinta pada gadis itu, ketika Iga menjadi pelatih pramuka di kelasnya. Waktu itu mereka tidak saling mengenal, hubungan mereka hanya sebatas pelatih dan murid. Tak ada yang bisa dilakukan Fadil, selain mengaguminya dalam diam.

Suatu hari Fahrul, teman sekelasnya sadar akan lirikkan Fadil terhadap gadis itu. Lalu dengan suara lantang, dia berkata bahwa Fadil ingin berbincang dengannya. Ketika gadis itu berjalan mendekat, raut wajahnya seketika memerah serta salah tingkah.

Melihat hal itu Bagas beserta komplotannya, memanfaatkan hal tersebut untuk berbuat iseng. Setiap kali Iga melintas di kelasnya, Bagas beserta teman sekelas meneriaki nama Fadil pada dirinya. Mendengar hal itu Fadil semakin malu, serta salah tingkah karena ulah Bagas.

Ketika Fadil melintas di kelasnya, teman-teman sekelasnya malah menyoraki dirinya. Lama kelamaan Iga merasa risih, karena kehadirannya. Apalagi beberapa orang teman, memberitahu bahwa Fadil berusaha meminta nomornya serta memberi salam. Satu minggu telah berlalu, selesai upacara Iga pun mendatangi kelas Fadil. Melihat kedatangannya, seluruh kelas TKR bersorak pada Fadil. Dia pun memanggil Fadil, agar menemuinya di sebuah bangku taman tak jauh dari kelasnya.

Fadil pun berjalan, dengan rasa gelisah serta raut wajah merah merona. Dirinya tak menyangka, bahwa gadis yang ia sukai datang untuk menemuinya. Juga mengajaknya untuk duduk berdua di sebuah bangku taman. Sebelum sampai di bangku taman, Fadil berinisiatif membeli dua susu kotak lalu memberikannya pada Iga. Gadis itu pun tersenyum kepadanya, walau dipaksakan. Kemudian mereka berdua, duduk di sebuah bangku taman terbuat dari semen dan keramik, di bawah sebuah pohon beringin yang rindang.

Angin pagi mulai berhembus, membuat keringat yang membasahi bajunya menjadi kering. Para siswa berlalu-lalang, menikmati jajanan serta berbincang-bincang dengan temannya sebelum pelajaran dimulai. Mereka berdua duduk bersebelahan, sembari menatap ke depan. Gadis itu melirik ke arah Fadil, dan dia pun berkata.

"Maaf Fadil, aku hargai usahamu untuk memikat hatiku. Tapi sayangnya, aku sudah memiliki pacar dan kamu bukanlah tipeku. Tidak mungkin aku berpacaran dengan orang sepertimu. Memukul seseorang saja kamu tidak berani, apalagi melindungi diri sendiri. Jadi tolong jangan dekati aku, dan menjauhlah dari kehidupanku." Ujarnya pada Fadil, terdiam menatapnya tanpa berkedip.

Bagaikan seribu pedang, menancap pada jantungnya. Itulah yang sedang ia rasakan, pada saat itu. Tak disangka orang yang ia sukai berkata demikian. Padahal selain urusan pramuka, dia sama sekali belum berbincang dengannya. Tubuhnya seketika menjadi lemas, dia tak tau apa yang harus dia lakukan sekarang. Dirinya sudah ditolak, sebelum dia mengungkapkannya. Seketika dunia menjadi gelap gulita, dia berjalan di dalam kegelapan dengan rasa hampa.

Apalagi teman sekelas mengetahuinya, membuat dirinya merasa tidak berarti. Bukannya menghibur, Bagas beserta teman malah mengolok-olok hingga mulut mereka berbusa. Telinganya semakin menebal, setiap kali mendengar perkataan pedas dari teman sekelasnya. Beruntung Rizki dan Ari selalu ada untuk menyemangati, walau tak sepenuhnya bisa menutup luka di hatinya. Lukanya semakin bertambah, ketika Iga bermesraan dengan seorang siswa berbadan kekar tepat di hadapannya.

Mereka berdua secara diam-diam membicarakannya. Kekasihnya pun bertanya mengenai, Fadil yang berusaha untuk mendekatinya. Iga pun berkata bahwa rumor tersebut benar adanya, dan dia pun berkata bahwa dirinya tak sudi didekati oleh lelaki pecundang seperti dirinya. Lebih baik dia berpacaran dengan anak punk dibandingkan dengan Fadil. Mendengar hal itu, hatinya semakin sakit lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua begitu saja.

Begitulah sekilas ingatan, ketika menatap gadis itu. Dia pun berjalan mengambil kemeja serta jas milik ayahnya, lalu menatap semua orang dengan berlinang air mata. Darah terus menetes, air mata membasahi pipi sembari menahan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Fadil menatap semua orang, dengan penuh rasa kebencian. Dan dia pun menunjuk semua orang dengan jari tengah, lalu dia pun bertepuk tangan.

"Selamat atas kelulusan kalian, dan selamat kalian semua telah dinobatkan menjadi pengangguran. Serta sampah yang harus diurus oleh negeri ini!"

"Ha.ha.ha apa yang kamu katakan pecundang?! Justru kau yang jadi sampah di negeri ini, sedangkan aku sebentar lagi akan pergi ke Jepang dua bulan lagi gue akan berangkat." Kata Bagas dengan sombongnya.

"Aku sudah di terima, perusahaan bonafit di kota Lumbung Padi. Sedangkan kau?" kata salah satu alumni.

"Pengangguran. Ha.ha.ha." Jawab para anak buah Bagas.

Hatinya terasa perih, mendengar perkataan mereka semua. Air matanya semakin mengalir, sembari menatap orang-orang yang menertawakannya. Para oknum guru pun ikut tertawa, sedangkan ketiga temannya beserta pengurus hotel menatap prihatin. Mereka tak menyangka, sekolah yang seharusnya tempat menuntut ilmu serta berbagi cinta dan kasih, memperlihatkan sisi gelapnya. Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain berdoa dan memberi semangat dalam lubuk hati mereka.

"Kejam elu semua!" teriak Fadil sambil menangis.

"Bacot! Elu aja yang baperan!" ujar salah satu oknum angkatan 2016, SMK KECUBUNG.

"Bacot elu semua! Ingat, suatu hari nanti gue bakal nikahin dua gadis sekaligus! Biar elu semua, terutama para siswi yang sok jual mahal, malu sama gue! Dan elu semua bakal ngemis-ngemis pekerjaan sama gue!" sumpah Fadil sambil menangis histeris kepada seluruh angkatan yang menertawakannya.

Mereka semua pun tertawa, lalu Fadil berjalan tertatih-tatih meninggalkan lantai tiga sambil menangis. Dirinya tak menyangka, momen sekali seumur hidup berakhir menjadi mimpi buruk. Dia pun sangat menyesal, telah datang pada acara perpisahan tersebut. Jika seandainya ia tau lebih awal, mungkin dia tidak akan datang atau bahkan melupakannya. Setelah menuruni lantai dua, tiga orang berlari memanggilnya lalu Fadil pun menoleh ke belakang. Rupanya tiga orang itu adalah temannya, dan ia pun menghentikan langkahnya.

"Ada apa? Apa kalian tidak cukup mempermalukanku?!"

"Jangan berkata seperti itu, kami ini temanmu!" kata Dimas.

"Teman yang baik, tidak akan meninggalkan temannya yang sedang kesusahan." Sambung Rizki.

"Jika kalian teman yang baik, mengapa kalian hanya diam?!"

Mendengar hal itu mereka bertiga saling berpandangan. Mereka pun menyesal, membiarkan temannya di permalukan, juga malu atas rasa pengecut yang menggebu dalam diri mereka. Fadil pun menatap ketiga temannya dengan rasa kecewa. Dirinya merasa telah di bohongi oleh mereka bertiga. Air mata terus mengalir lalu dia memalingkan wajahnya.

"Sudah berhentilah berkata omong kosong, kalian tidak jauh berbeda dengan bajingan yang di dalam sana. Sekarang lupakan tentang pertemanan kita, selamat tinggal." Ujarnya dengan rasa kecewa, lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga.

"Tunggu," kata Ari sembari memegang tangannya. "Kau boleh membenci angkatan kita, tapi tidak semua angkatan kita adalah bajingan."

"Beritahu kami, apa yang harus kami lakukan agar kamu percaya?" tanya Rizki.

"Baiklah, yang pertama kamu lepaskan tanganmu. Dan biarkan aku sendiri," ucapnya pada mereka berdua dengan raut wajahnya yang sedih.

Ari pun melepaskan tangannya, lalu Fadil berjalan berlinang air mata tanpa sepatah kata pun. Sesampainya di parkiran dia menaiki motornya, dan melaju kembali pulang.

avataravatar
Next chapter