3 Petuah kuntilanak

Sesekali dia melirik ke arah jam tangan, dan kini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana jalan yang sepi, serta minimnya penerangan membuat Fadil sedikit menambah laju kendaraannya.

Dirinya tak ingin menjadi korban kejahatan di jalan. Beruntung sinar bulan, bersinar terang malam ini sehingga ia masih bisa melihat jalan dengan jelas. Satu persatu mobil bus mulai melintas, mobil tersebut membawa karyawan untuk bekerja di waktu malam.

Ada juga beberapa motor dan mobil mulai melintas, sayangnya semua itu tak berlangsung lama. Pada akhirnya dia kembali sebatang kara di jalan. Hari sudah semakin larut, udara dingin mulai berhembus, gumpalan awan mulai menutupi sinar bulan.

Jalanan yang berlikuk, serta minimnya pencahayaan membuat dirinya harus berhati-hati. Beberapa pedagang buah nanas yang berdagang di pinggir jalan, mulai menutup tokonya. Ada juga beberapa warga sekitar, melakukan aktivitas di malam hari seperti berburu.

Sekilas dia teringat akan mimpi buruk yang terjadi hari ini. Dimana Bagas beserta teman kelasnya, mempermalukan dirinya di depan para alumni. Juga Iga yang menatap rendah dirinya.

Tanpa sadar air matanya kembali mengalir. Dia menatap jalan sembari meratapi nasib. Entah mengapa, motornya mulai terasa berat seperti ada orang yang duduk di belakang.

Aroma melati mulai tercium, hawa tidak enak mulai ia rasakan di jok belakang. Dirinya yang sedang bersedih tak sempat memikirkannya. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah kesedihan.

Para pengendara sepedah motor, mulai menatap dirinya dengan raut wajah ketakutan. Mereka sempat memberitahu, bahwa ada sesuatu duduk di belakang. Namun Fadil mengabaikannya dan fokus berkendara.

"Apa yang membuatmu bersedih wahai manusia?" tanya sosok putih duduk di belakang.

"Hari ini aku sedang mengalami hal buruk," jawabnya dengan polos.

"Hal buruk? Hal buruk seperti apa?" sosok tersebut bertanya kembali.

Dia pun penasaran, akan sosok yang mengajaknya berbicara lalu ia memandang kaca spion. Tampak sosok wanita memakai baju daster putih.

Kulitnya berwarna putih seputih pucat, tangan yang putih pucat, kukunya yang panjang, kaki tak nampak, menunduk menyembunyikan wajah di balik rambutnya yang panjang. Bukanya takut, Fadil hanya menghembuskan nafas panjang dengan raut wajahnya yang datar.

"Hari ini adalah hari acara perpisahan, siswa SMK KECUBUNG angkatan 2016. Kupikir hari ini adalah hari terbaikku, yang akan berlangsung sekali seumur hidup. Sayangnya semua itu tak sesuai harapan."

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya sosok itu.

"Ketika aku sedang mengantri makanan, Bagas menepuk kepala belakangku dengan keras. Kami pun berduel satu lawan satu, di aula lantai tiga hotel Forzen. Seluruh angkatan termasuk oknum guru, menonton kami layaknya gladiator."

"Biar aku tebak, pasti kamu menang!"

"Kalah," jawabnya sembari menangis histeris. "Bagas memukulku hingga babak belur, sedangkan mereka angkatan 2016 bajingan hanya menertawakanku."

"Dasar bajingan mereka semua! Hotel berbintang seperti itu pasti ada petugas keamanannya bukan?!"

"Ada, tapi sayangnya para oknum guru melakukan sesuatu terhadap mereka. Sehingga mereka tak berani untuk ikut campur."

"Terus, bagaimana selanjutnya?"

"Bagas merobek kemejaku lalu melemparnya bersama jas milik ayahku. Kemudian, aku berjalan dengan bertelanjang dada, sembari di permalukan."

Mendengar hal itu kuntilanak pun terdiam, dia pun merasa prihatin mendengar kisahnya. Tiba-tiba saja Fadil berhenti, lalu memarkirkan motornya ke samping. Sontak, kuntilanak itu sedikit terkejut lalu Fadil pun turun dari motornya.

Pemuda itu berjalan mendekatinya, dan ia pun memperbaiki poni rambutnya. Sorot matanya yang mempesona, kecantikkannya terpancar jelas di raut wajahnya memerah karena malu. Saking cantiknya, kedua mata Fadil tak sempat berkedip. Dia pun kembali menaiki motornya, dan ia melanjutkan perjalanannya.

"Tak kusangka, kamu cantik juga."

"Apa maksudmu?! Kamu meledekku yah?!" tunduhannya dengan tersipu malu.

"Tidak aku bekata jujur. Jadi, kenapa kamu menyembunyikan wajahmu?"

"Para hantu disini meledekku, katanya wajahku tidak menyeramkan. Mereka menyebutku sebagai hantu yang gagal," jawab Kuntilanak itu lalu Fadil membalas, "Itu tidak benar, mereka hanya iri."

Baru pertama kali, ada manusia memuji kecantikannya. Dia tak tau harus bagaimana untuk membalasnya. Namun ia sampingkan hal itu, ia memutuskan untuk kembali mengajaknya berbincang.

"Bisa kamu lanjutkan ceritanya? Aku masih penasaran."

Pemuda itu kembali melanjutkan ceritanya. Tetes air mata mulai membasahi pipinya, ketika ia kembali melanjutkan ceritanya. Di mulai dari selesainya pertarungan hingga berjalan keluar dengan raut wajahnya babak belum.

Dia merasa bahwa dirinya tak jauh berbeda dengan sampah. Sampah yang tidak berguna yang sering ia temui di pinggir jalan.

"Itu tidak benar, setiap orang memiliki rezekinya masing-masing. Jadi untuk apa memikirkannya? Biarkan anjing menggonggong, siapa tau rezekimu lebih besar."

"Iya sih, setiap makhluk hidup mendapatkan rezekinya masing-masing. Tapi rasanya rezekiku tak kunjung datang."

"Rezeki itu, tidak harus dalam bentuk uang atau pun peluang. Salah satu nikmat pemberian Tuhan, yang kita tidak sadari adalah nikmatnya bernafas. Dengan bernafas kita bisa menikmati, apa itu kehidupan. Seringkali kalian para manusia, lupa akan hal itu. Maaf sepertinya aku banyak bicara."

"Tidak apa, santai saja. Lagi pula semua perkataanmu itu benar."

"Syukurlah kalau begitu," ujarnya sembari menatap langit. "Terus bagaimana kelanjutannya?"

Fadil pun melanjutkan ceritanya. Dia bercerita mengenai sumpahnya, kepada para alumni bahwa suatu saat nanti dia akan menjadi orang sukses. Sehingga membuat para alumni mengemis-ngemis pekerjaan kepadanya, lalu ia juga bersumpah di hadapan semua orang bahwa dirinya akan memiliki dua istri.

Mendengar hal itu kuntilanak pun tersenyum, sesekali dia tertawa mendengar perkataanya. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia percaya bahwa Fadil bisa melakukannya.

Hantu itu membayangkan, momen di saat Fadil berada pada puncak karirnya. Meskipun ia tak yakin bisa terwujud, namun kuntilanak itu percaya kepadanya. Kemudian dia menepuk pundakknya sebanyak tiga kali, lalu ia pun tersenyum dan berkata.

"Kamu harus buktikan pada mereka bahwa kamu bisa melakukannya. Buat mereka menyesal sudah merendahkanmu selama ini."

"Thanks," ujarnya berterimakasih.

Kuntilanak itu menggeser tempat duduknya, lalu dia pun bersender pada punggungnya. Jantung Fadil pun berdegup dengan kencang, raut wajahnya memerah serta tersenyum nyaman di buat olehnya. Padahal dia tau bahwa sosok yang bersender, pada punggungnya adalah kuntilanak.

Namun dia merasa bahwa malam ini terasa seperti kencan. Momen kencan yang di tunggu-tunggu selama 12 tahun. Walau dedemit sekali pun, ia bersyukur bisa merasakan yang namanya kencan.

Apalagi di bawah sinar bulan, serta indahnya bintang yang bersinar di waktu malam. Tentu nuansa romantis, semakin mereka berdua rasakan. Tak terasa lima belas menit telah berlalu, kuntilanak itu meminta Fadil untuk berhenti di sebuah perkebunan karet.

Setelah berhenti, kuntilanak itu turun dari motornya lalu ia menatap Fadil dengan sedih, karena sebentar lagi mereka akan berpisah. Menaiki motor berdua, sembari merasakan nuansa romantis bagi kuntilanak itu adalah sebuah mimpi belaka.

Selain menakut-nakuti, dia hanya duduk di atas dahan pohon sembari melihat perubahan zaman. Tentu itu sangat membosankan. Namun semua itu, berubah ketika ia tak duduk membonceng di motor Fadil.

Awalnya dia berniat untuk menakut-nakuti, tapi hantu itu malah terbawa suasana. Rasa nyaman mulai dia rasakan, namun sayang semua itu harus berakhir. Begitu juga yang sedang di rasakan oleh Fadil, yang terdiam sejak tadi.

"Sudah saatnya kita berpisah," ujar kuntilanak.

"Iya. Thanks sudah mendengarkan curhatanku."

"Sama-sama, sudah semestinya sesama makhluk ciptaan Tuhan saling membantu dan menghibur."

"Jangan lupa bayarannya," canda Fadil lalu Kuntilanak itu membalas, "Hai.hi.hi! Pakai uang gaib, mau?"

"Enggak, makasih. Nanti sampai di rumah, uangnya berubah jadi daun."

"Nah, itu kamu tau!"

"Oh iya ada satu hal yang membuatku penasaran," kata Fadil lalu Kuntilanak itu bertanya, "Apa itu?"

Fadil pun mendekat, secara mengejutkan dia mencium keningnya. Sontak kuntilanak itu terkejut, hantu itu bergerak kesana kemari bagaikan cacing kepanasan.

Dia tak menyangka, manusia sepertinya berani menciumnya. Sedangkan Fadil hanya tersenyum, sembari menunjukkan giginya dengan wajah polosnya.

"Apa yang kamu lakukan?! Dasar mesum!"

"Kudengar kalau di cium hantu, kulit membiru. Aku penasaran, bagaimana jika manusia yang mencium hantu?"

"Pembohong! Pasti itu akal-akalanmu saja untuk berbuat tak senonoh padaku bukan?!"

"Sumpah, aku hanya penasaran. Oh iya, bukannya hantu tidak bisa di sentuh? Tapi kenapa aku bisa menyentuhmu?"

Kuntilanak itu menjelaskan, bahwa untuk menampakkan wujudnya di dunia manusia membutuhkan energi yang sangat besar. Energi bisa di dapatkan dengan dua cara, yaitu energi ketakutan. Namun entah mengapa, energinya selalu terisi penuh di atas jam sembilan malam.

"Sepertinya sudah waktunya bagiku untuk kembali pulang."

Sebelum hantu itu pergi, dia pun berjabat tangan dan berkenalan dengannya. Hantu itu bernama Sulastri. Selesai berkenalan hantu itu tersenyum manis kepadanya.

"Fadil Faturahman, nama yang bagus untuk seorang pangeran sepertimu." Puji Sulastri.

"Thanks, baru pertamakali ada orang yang memuji namaku."

"Namamu sangat indah, hanya saja mereka belum mengetahuinya."

"Thanks."

"Senang berkenalan denganmu, janganlah kamu bersedih kuyakin suatu saat nanti impianmu pasti akan terwujud. Tetaplah semangat dan selalu bersukur, ingatlah selalu pesanku, sampai jumpa." Sembari menghilang diantara butiran cahaya.

Mendengar hal itu air mata Fadil mengalir dengan derasnya, ia tak menyangka pertemuannya dengan Sulastri adalah yang pertama dan juga terakhir. Juga dia tersentuh, akan semangat dan nasehatnya sebelum ia benar-benar pergi.

Butiran cahaya itu telah menghilang, ia pun mengangkat kedua tangannya ke langit lalu mendoakannya. Selesai berdoa, dia mengusap wajah dengan kedua tangannya dan ia pun berjalan sembari tersenyum.

avataravatar
Next chapter