4 Cucu dan Sang Kakek

Cinta semalam telah berakhir, sudah saatnya bagi Fadil untuk melanjutkan perjalanannya kembali pulang. Ketika dia berjalan menghampiri motornya, tanpa sengaja dia tersandung oleh sesuatu hingga mencium tanah. Kemudian dia pun bangkit, lalu berjalan menghampiri sesuatu yang membuat dirinya tersandung.

Rupanya itu adalah sebuah botol kaca, berukuran sedang dengan botol yang masih tertutup. Dia seperti melihat sesuatu di dalam botol tersebut, karena penasaran ia arahkan botol tersebut pada sinar bulan.

Sebuah action figure berada di dalam botol. Action figure tersebut, membentuk sosok gadis cantik mengenakan baju dayang. Dia mengenakan selendang merah, mengitari pinggangnya.

Kemudian dia memasukan botol tersebut ke dalam jok motor, lalu ia melanjutkan perjalanannya kembali ke rumah. Sekian lama di perjalanan, akhirnya Fadil pun sampai di rumah lalu ia berjalan menuntun motornya menuju gudang. Selesai memasukan motor, dia pun berjalan secara perlahan memasuki rumah.

Tak disangka ibunya, telah menunggu kepulangannya sejak tadi. Beliau tertidur di atas sopa seorang diri dalam keadaan TV masih menyala. Fadil pun tersenyum, lalu ia mematikan TV dan masuk ke kamar.

Kemudian dia melepas pakaiannya satu persatu, sembari menahan sakit atas luka yang ia terima. Dia kenakan kaos dan celana pendek, dan ia pun tertidur pulas di atas kasur. Tak terasa suara ayam berkokok mulai terdengar, sudah saatnya bagi Fadil untuk bangun.

Namun atas apa yang terjadi pada dirinya, membuat ia enggan untuk bangun. Kedua matanya seketika terbuka lebar, ketika mendengar suara ketukan pintu kamarnya.

"Fadil bangun, giliran kamu membeli sarapan!" ujar Sang Ibu di balik daun pintu kamarnya.

"Iya bu," sahutnya dengan raut wajah masih mengantuk.

Dengan rasa terpaksa dia beranjak dari tempat tidurnya, lalu ia berjalan seorang diri memasuki kamar mandi. Ketika dia berjalan, tak sengaja ibunya melihat raut wajah anaknya yang sudah babak belur.

"Kamu kenapa? Kok, wajahmu babak belur begitu?" tanya Sang Ibu lalu Fadil menjawab, "Sewaktu pulang, Fadil mau dirampok, beruntung ada pengguna jalan yang menolong Fadil jadi gak jadi dirampok. Sudah, bu. Fadil lapar mau beli sarapan."

Mendengar hal itu, ibunya langsung mengungkapkan rasa kekhawatiran yang ia rasakan pada anaknya, lalu memberi sebuah nasehat agar dirinya berhati-hati. Fadil berjalan keluar untuk membeli sarapan pagi. Dia berjalan menelusuri jalan belakang, menuju penjual nasi uduk langganannya.

Selesai membeli sarapan, ia berjalan kembali pulang lalu menyiapkan piring dan sendok, untuk menikmati sarapan pagi. Pemuda itu duduk bersila di ruang keluarga, sembari melihat acara televisi. Sebelum menonton berita, biasanya ia menikmati acara kartun favoritnya. Baginya, menonton kartun dapat merilekskan syaraf otaknya. Apalagi mimpi buruk yang telah ia alami semalam, tentu dirinya membutuhkan relaksasi.Rasa sakit akibat luka memar masih dia rasakan.

Dia pun mengunyah makanan, di dalam mulutnya secara perlahan. Namun rasa sakit pada hatinya semakin terasa, ketika dia mengingat apa yang telah dilakukan oleh satu angkatan pada dirinya. Fadil pun tertunduk lesu, sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya.

Kemudian dia kembali menatap layar televisi untuk menghibur diri. Suara tawa menggema di seluruh ruangan, tingkah konyol para karakter fiksi membuat dirinya terhibur. Tak berlangsung lama, Tina adiknya baru saja keluar dari kamarnya.

Dia berjalan ke dapur dengan raut wajah mengantuk. Beberapa saat kemudian, dia kembali membawa piring berisi sarapan pagi untuk ia nikmati bersama di ruang keluarga. Rambutnya yang sebelumnya acak-acakan, kini sudah tertata rapi begitu juga dengan kaos berkerah merah serta celana pendek bermotif kotak yang ia gunakan.

Dia duduk bersila di samping kakaknya, sembari menikmati acara kartun. Suara tawa mereka berdua semakin menggema.

Adegan lucu, yang dilakukan oleh para karakter fiksi membuat mereka sangat terhibur. Namun ada saja beberapa adegan yang dipotong, membuat sepasang kakak beradik kesal.

"Kenapa adegan itu di potong? Padahal adegan itu yang paling seru," kata adiknya.

"Itu masih mending, yang paling lucu tupai pakai bikini dan juga kepiting telanjang di sensor. Lucu gak?"

"Giliran adegan drama tak senonoh. Ah sudahlah kak," timbal Sang Adik dengan kesal.

"Ya sudah, yang terpenting ada sesuatu yang bisa ditonton. By the way, setelah lulus rencana mau masuk SMA mana dek?"

"Rencananya mau masuk SMA KENANGAN, daerah Patokbeusi dekat Balai Perikanan."

"Bagus dek, kakak sempat khawatir kamu bakal masuk sekolah kakak sebelumnya."

Melihat raut wajah kakaknya yang babak belur, dia pun tau apa maksud dari di balik perkataannya. Dia hanya terdiam bersikap seolah tidak mengetahuinya. Sejak awal, dia tau bahwa kakaknya menjadi korban pembullyan.

Kebetulan masuk SMP tempat kakaknya menimba ilmu sebelumnya. Para senior kelas tiga, ekskul basket menceritakannya secara langsung pada dirinya. Para kakak kelas tiga merasa kasihan, namun karena pengaruh jawara begitu besar membuat mereka tak berani untuk membela.

Tidak ada yang bisa mereka lakukan, selain menonton dan mendoakan kesuksesannya. Secara penampilan, memang kakaknya sangat cupu dan tidak modis. Dia selalu gugup dan kaku, ketika berbincang dengan teman seangkatannya.

Berbeda ketika kakaknya berada di dalam rumah, bicara serta tingkah lakunya sangat ramah dan bijak. Dalam lubuk hatinya, Sang Adik berandai-andai jika satu sekolah dengan kakaknya. Mungkin dia akan maju, sebagai garda terdepan untuk membela kakaknya.

Sebab dia tau bahwa sepayah apapun dirinya, Fadil adalah keluarganya. Sesama anggota keluarga harus saling melindungi, tak peduli apapun yang terjadi. Namun ada kalanya untuk tidak ikut campur dalam masalah pribadi kakaknya.

Begitu juga yang sedang kakaknya alami. Tak ada yang bisa di lakukan, selain berdoa dan memberinya semangat dan juga membantunya melupakan rasa sakit yang sedang ia alami walau hanya sejenak. Kemudian Tina pun bertanya, kemana kakaknya akan melangkah. Dia pun menjawab, bahwa dirinya masih belum tau.

Dirinya masih menimbang-nimbang antara kuliah dan kerja. Mendengar hal itu Tina menanggukkan kepala, lalu ia pun beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke dapur sembari membawa dua piring kotor di kedua tangannya. Dia pun melakukan rutinitasnya di dapur, membiarkan kakaknya duduk seorang diri.

Tak berlangsung lama, Sang Kakek memanggil Fadil dari dalam kamarnya. Fadil pun langsung berjalan ke kamar untuk menemui kakeknya. Dia melihat Sang Kakek terbaring lemah, menatap dirinya sembari tersenyum. Fadil pun berjalan mendekat, lalu duduk tepat di sampingnya.

"Bagaimana acara perpisahannya?" tanya Sang Kakek.

"Tidak berjalan sesuai harapan," jawabnya.

"Coba kamu katakan pada kakek, apa kamu diganggu lagi oleh mereka?" Sang Kakek bertanya kembali, sembari melihat raut wajahnya yang babak belur.

Fadil pun terdiam, ia bingung harus menjawab apa. Dirinya tak ingin menambah beban pikiran kakeknya. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, dia selalu menangis dan mengadu pada kakeknya.

Setiap pulang sekolah dia selalu bercerita, kepada Sang Kakek. Setiap kali cucunya yang sedang terpuruk, beliau selalu memberi nasehat dan menyemangati. Berkat petuah bijaknya, cucunya bisa bertahan hingga sekarang.

Terkadang beliau merasa sedih, dengan apa yang dirasakan oleh cucunya. Padahal cucunya merupakan anak yang baik, dan tak pernah disakiti siapa pun. Siang dan malam, Sang Kakek selalu mendoakan kebahagiaan cucunya.

Namun kebahagiaan itu tak kunjung datang, tapi beliau tak berhenti untuk berharap. Sebab beliau yakin, suatu saat nanti kebahagiaan pasti akan datang. Beliau pun teringat saat cucunya menginjak bangku SMP.

Waktu itu, Fadil pulang dengan raut wajahnya yang babak belur, dia pun tersenyum dan mencium tangannya. Bagaikan seseorang menggunakan topeng, cucunya berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Lalu dia pun bertanya, mengenai impiannya di masa depan.

"Fad apa kamu mempunyai impian?"

"Tentu saja aku punya kek," jawabnya dengan semangat.

"Semangat sekali, jadi apa impianmu?"

"Jadi orang kaya punya istri dua," jawabnya asal ceplos.

Beliau pun tertawa, mendengar impian tak terduga cucunya. Dirinya tak menyangka di usia yang dini, memiliki impian seperti itu. Melihat kesehariannya, serta apa yang ia alami seumur hidupnya, Sang Kakek pun yakin bahwa cucunya bisa melakukannya.

Hanya saja dia butuh bimbingan, serta arahan untuk mewujudkan impiannya. Walau dirinya tak yakin akan terwujud sepenuhnya. Sebagai seorang kakek, dia hanya bisa mempercayai cucunya. Begitulah sekilas ingatan, yang ia ingat ketika menatap cucunya yang sedang terdiam.

"Fad?" panggil Sang Kakek lalu Fadil membalas, "Iya kek?"

"Masih ingat dengan impianmu, sewaktu kamu duduk di bangku SMP?"

"Masih kek, itu hanya impian bodoh. Tapi sial, semalam aku mengatakannya di depan semua orang." Ujarnya sembari menutup wajahnya karena malu.

"Dengar Fadil, tak peduli seberat apapun beban kehidupan yang kamu tanggung. Kamu cukup fokus memperjuangkan impianmu itu. Kakek yakin impianmu akan terwujud," ucap Sang Kakek pada cucunya.

"Rasanya itu sangat mustahil kek. Berbincang dengan seorang gadis tak pernah, teman pun hanya hitungan jari. Bagaimana aku bisa mewujudkannya?" Kata Fadil dengan rasa tidak percaya diri.

"Segala sesuatu yang tidak mungkin, menjadi mungkin jika Sang Pencipta berkehendak. Kamu berkata seperti itu, seperti tidak percaya dengan Tuhan saja."

"Iya kek, maaf sepertinya aku akan hal itu. Tapi aku masih tak yakin bisa mewujudkannya."

Sang Kakek pun tersenyum lalu ia memegang tangan cucunya. Dia pun menggenggam tangannya, sembari meyakinkan cucunya bahwa ia dapat melakukannya.

Memang impian itu terdengar mustahil, namun Sang Kakek terus meyakinkannya bahwa semua itu di dapat dengan berdoa dan kerja keras. Rasa sakit dirasakan oleh Sang Kakek, pada penyakit kanker paru-paru yang ia derita. Mendengar kisah cucunya membuat rasa sakit yang ia derita berkurang.

avataravatar
Next chapter