11 Bebasnya Sarah

Tubuhnya ringan seperti kapas, melintasi lorong alam mimpi. Dia berbaring, di sebuah padang rumput yang luas lalu kedua matanya terbuka secara perlahan. Kemudian dia berdiri secara perlahan, lalu ia kembali bertemu dengan Sarah Si Gadis Berselendang Merah. Dia merilik ke sisi kiri dengan pipi kemerah-merahan, sesekali ia menatap Fadil dengan malu-malu.

"Apa kamu lihat-lihat dasar mesum!" ucap gadis itu, menatap Fadil dengan malu-malu.

"Mesum apa maksudmu?"

"Jangan berlagak tidak tau, kamu sudah merampas ciuman pertamaku. Bagaimana kamu akan bertanggung jawab?!"

"Apa yang kamu bicarakan, ini adalah alam mimpi. Jadi aku bebas melakukan apapun sesuai keinginanku."

Raut wajahnya semankin memerah, lalu ia berjalan mendekatinya. Dia menarik kedua pipinya dengan cukup keras, sembari berteriak menyebut namanya. Juga dia berkata lelaki mesum secara berulang-ulang hingga Fadil pun menyerah. Pemuda itu meminta maaf atas perlakuan yang sudah ia lakukan pada dirinya. Walau pun merasa heran, kenapa ia meminta maaf pada seorang gadis di alam mimpi.

Selain di mimpi, bertemu saja tidak dan kenapa harus meminta maaf? Ujar batinya secara berulang-ulang. Namun gadis itu tetap memalingkan wajah. Fadil pun merasa tidak enak.

"Rupanya kamu masih marah ya? Jadi apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkanku? Jika tanggung jawab adalah solusinya, aku akan lakukan."

"Kalau begitu, bebaskan aku dari kurungan botol. Dan aku ingin kau menikahiku," ucapnya dengan malu-malu.

"Hah?!" seketika wajahnya merah padam.

"Ada apa dengan reaksimu itu? Kau melakukan hal itu dengan sadar, setidaknya bertanggung jawab! Tapi jangan salah paham, bukan aku suka dan semacamnya. Hanya ingin mengetahui, orang seperti apa yang sudah membebaskanku. Ingat yah, hanya setahun!" Kata gadis itu dengan wajah merah merona, serta malu-malu.

"Baiklah akan aku lakukan," jawabnya sembari memalingkan wajah karena malu.

Mendengar hal itu Sarah tersenyum, lalu ia berjalan mendekat begitu juga dengan Fadil. Ketika dia hendak memeluknya, suara ketukan pintu kamar telah membangunkan tidurnya. Kedua kelopak mata terasa lengket ketika membukanya, lalu dia memeluk bantal di sampingnya sembari menyebut nama gadis itu. Mimpi indah yang telah ia alami, membuat dirinya berjalan dan meraih mendekati botol berisi action figur di atas lemari pakaiannya. Dia menciumnya hingga botol itu di penuhi air liur.

"Mulai sekarang kamu adalah waifuku." Ucapnya sembari memeluk botol itu dengan erat.

Mimpi itu membuat tingkahnya seperti orang gila. Dia memandangi action figur, di dalam botol dengan penuh pesona, lalu memuji kecantikkannya secara berulang-ulang. Puas memandangi action figur, ia meletakkan kemali ke atas lemari. Kemudian dia berjalan keluar kamar, untuk melaukan rutinitasnya. Selesai sarapan dia pergi ke teras depan, lalu ia duduk bersila di sebuah bangku terbuat dari kayu. Lalu ia melirik kesana kemari, khawatir jika anggota keluarga melintas.

Dirinya tak ingin ada siapapun mengganggu meditasi, serta berpikiran aneh tentangnya. Kedua matanya terpejam, lalu ia menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Dia pun berkonsentrasi, merasakan energi yang mengalir pada tubuhnya. Aliran darah panas mulai ia rasakan, partikel energi alam mulai masuk ke dalam tubuhnya dalam sekali tarikkan nafas. Bagaikan radar, ia dapat merasakan langkah kaki serta aktivitas lainnya ia rasakan sejauh 300 m.

Kemudian dia mencoba mengalirkan, energi supranatural pada satu tangan. Sedikit demi sedikit energi mulai berkumpul, rasanya seperti aliran darah panas yang mengalir ke tangannya. Tangannya mulai mengeluarkan sinar, layaknya bara api. Sedikit kobaran api mulai muncuk di tangannya. Hawa panas mulai ia rasakan, namun tidak pada tangannya. Tiba-tiba pintu rumah terbuka, dalam sekali hempasan tangan kanannya kembali seperti semula.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Sang Ibu.

"Menghirup udara segar," ujarnya sembari tersenyum.

"Ayah sedang tidak enak badan, jadi hari ini kamu jaga warung. Sekarang kamu mandi," perintah Sang Ibu.

"Iya bu."

Fadil masuk ke dalam rumah, lalu ia masuk ke dalam kamar dan kembali keluar dengan selembar handuk. Kemudian dia membersihkan diri di dalam kamar mandi. Selesai mandi dia bersiap-siap untuk pergi ke warung. Kaos merah berkerah dan celana pendek hitam telah ia kenakan. Rambutnya yang sempat acak-acakan sudah tertata rapih. Kini dia sudah siap untuk pergi ke warung. Entah mengapa pandangannya tertuju pada action figur, yang terkurung di dalam botol.

Seketika dia teringat akan sosok gadis, berselendang merah mengenai kurungan botol. Instingnya berkata, bahwa dirinya harus membuka tutup botol tersebut. Dia pun berjalan mendekati botol tersebut, lalu tiba-tiba suara ketukkan pintu mulai terdengar. Fadil pun bergegas pergi ke warung, yang berlokasi tak jauh dari rumah. Sesampainya di warung ia membawa botol itu masuk ke dalam, lalu meletakkannya pada sebuah meja kasir.

Seharusnya ibunya datang membantu, namun karena hari ini ada acara bersama teman-temannya, ia pun mengerjakannya seorang diri. Fadil membuka warung, lalu satu persatu pembeli mulai berdatangan. Dia meladangi para pembeli satu persatu dengan sabar dan teliti. Berkali-kali dia harus bolak-balik ke rumahnya untuk menukar recehan. Satu persatu pelanggan telah pergi, namun pekerjaannya belum usai. Persediaan barang serta kebersihan warung harus dia urus seorang diri.

Satu jam telah berlalu seluruh pekerjaannya telah selesai. Dia pun berbaring di atas matras, yang sudah di sediakan khusus untuk dirinya beristirahat. Lalu ia memandangi botol berisi action figur, berada di atas meja kasir. Rasanya seperti ada sesuatu, yang membuatnya tertarik untuk mendekatinya. Sekilas ia teringat kembali, seputar pertemuan dengan gadis berselendang merah. Jika di perhatikan, sosok itu sangat mirip dengan action figure di dalam botol tersebut.

Suara pembeli mulai terdengar, tak sengaja dia menenggor botor tersebut hingga terkena lantai. Namun botol itu tidak pecah, lalu Fadil pun mengelus dada dengan rasa syukur. Selesai melayani pembeli, Fadil berjalan mendekati botol tersebut lalu memandanginya sejenak. Semakin lama ia menatapnya, ia semakin penasaran dengan apa yang di katakan oleh gadis berselendang merah. Kemudian Fadil pun membuka tutup botol tersebut.

Tiba-tiba keluarlah butiran cahaya berwarna hijau dari dalam botol. Butiran cahaya tersebut menyentuh tanah, lalu membentuk sosok gadis yang tak asing baginya. Sepasang mata hijau, memakai baju layaknya seorang dayang warna coklat, rok batik semata kaki dan selendang merah. Kulitnya yang mulus serta tubuhnya yang aduhai, menatap Fadil dengan raut wajah kemerah-merahan.

Kedua mata Fadil tak berkedip, raut wajahnya mulai pucat serta jantungnya berdegup kencang. Dia menyentuh kepala, sembari berpikir tentang halusinasi yang sedang ia alami. Dia pun ketakutan ketika melihat sosok asing di hadapanya.

"Hantu!" teriak Pemuda itu sembari menunjuk dengan ketakutan.

"Aku bukan hantu, aku hidup! Kedua kakiku menyentuh tanah, dasar bodoh. Kita sudah bertemu tiga kali, jangan bilang kamu lupa," ujar gadis itu dengan raut wajah cemberut.

Raut wajahnya yang pucat, seketika berubah menjadi merah padam. Ketika mengingat, apa yang ia lakukan kepadanya saat berada di alam mimpi. Juga pertanggung jawaban, yang sudah dia sepakati. Melihat reaksi pemuda itu membuat Sarah salah tingkah. Mereka berdua memalingkan wajah dengan malu-malu. Sesekali mereka saling menatap, sehingga raut wajah mereka semakin memerah.

"Maaf soal waktu itu, sungguh aku kehilangan kendali. Maklum sudah terlalu lama aku hidup menjomblo."

"Tidak masalah, lagi pula sekarang kamu sudah bertanggung jawab."

"Bertanggung jawab?"

"Jangan bilang kalau kamu lupa," ujarnya sembari menatap dengan raut wajah cemberut.

Fadil pun terdiam, ia menunduk dengan raut wajah merah merona. Hatinya berbunga-bunga ketika mendengarnya. Tak disangka apa yang alami, selama ini dengannya di alam mimpi adalah sungguhan. Pertanggung jawaban, serta janji yang di buat oleh mereka berdua teringat jelas pada benaknya. Namun dia bingung harus berkata apa, lalu ia paksakan diri untuk mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Tentu saja aku mengingatnya, kau meminta aku untuk menikahimu bukan?"

Kini giliran gadis itu terdiam, raut wajahnya seketika merah padam. Jantungnya berdegup begitu kencang, menatap Fadil pun ia tak sanggup. Kemudian dia menatap lelaki itu, lalu ia berkata bahwa apa yang dirinya katakan ketika di alam mimpi hanya gurauan. Mendengar hal itu Fadil pun tersenyum walau di paksakan. Dalam lubuk hatinya, dia kecewa karena status jomblonya belum berakhir. Dari situ dia pun juga sadar, bahwa hati tak bisa di berubah dalam sekejap mata. Butuh perjuangan untuk mengubahnya. Itulah fakta yang harus dia terima.

"Sudahlah lupakan, berada di sisimu bagiku sudah cukup. Lagi pula, aku ingin mengenal lelaki seperti apa yang sudah membebaskanku." Ujarnya lalu tersenyum manis kepada Fadil.

Fadil pun ikut tersenyum, layaknya melihat sebuah harapan. Meskipun status jomblonya belum berakhir, selama ada kehadirannya bagi Fadil itu sudah cukup. Seiring berjalannya waktu, siapa tau hubungannya dengan Sarah semakin dekat. Itulah yang ia pikirkan ketika menatap gadis itu. Tak berlangsung lama sebuah mobil pick up hitam datang. Mobil itu membawa berbagai jenis barang sembako. Lalu seorang pemuda berkulit sawo matang, mengenakan kaos bermotif kucing turun dari mobil, sembari membawa buku catatan.

"Bang ini pesanan Pak Yudi, semuanya jadi lima ratus ribu."

"Ok barangnya letakkan disana, saya mau ambil uang dulu." Katanya, sembari menunjuk pada tumpukkan kardus berisi minuman dan sembako.

Satu persatu barang telah di turunkan, Fadil pun mengarahkan Sang Supir beserta rekannya untuk meletakkan barang pesana pada tempat yang seharusnya. Sementara itu Sarah berdiri sembari memperhatikan apa yang sedang mereka bertiga kerjakan. Siapa tau ada yang bisa ia bantu. Selesai meletakkan barang, Sang Supir beserta rekannya pamit lalu melanjutkan perjalanan mengantarkan pesanan juga menjajakan dagangan. Fadil membuka salah satu kardus, lalu memasukkan minuman satu persatu ke dalam kulkas.

avataravatar
Next chapter