14 14. Menunggu

Night King : Kebangkitan Sang Kucing Hitam

Chapter 14 : Menunggu

Lin Tian pun perlahan-lahan mulai tenang, Dokter pun menyarankan agar tidak ada yang bertanya setelah ini. Jika diamati kembali, Lin Tian sepertinya mengalami trauma berat yang membuatnya merasa takut dan terancam.

Lima menit berikutnya, akhirnya Lin Tian kembali terlelap setelah obat penenangnya itu benar-benar bekerja. Lin Pan pun mengelah napasnya dengan berat. Lin Hua pun terpaku pada sosok pria yang saat ini terbaring lemas tidak berdaya di tempat tidur.

Jika diingat-ingat kembali, Lin Hua sempat dibuat takjub dengan kehebatan Lin Tian saat dia melawan semua orang-orang yang ada di gedung itu beberapa saat lalu.

Lin Hua masih ingat betul bagaimana mahirnya Lin Tian menggunakan senjata, walau sempat terjadi drama di dalamnya. Namun, pada akhirnya Lin Tian berhasil melumpuhkan mereka dengan tangan kosong.

Ketika Lin Hua dibawa kembali pada angannya yang terjadi beberapa jam lalu, maka lain dengan Lin Pan. Seketika kenangan masa lalu bersama Lin Tian mengusik kalbunya.

Lin Pan memejamkan matanya seraya mengelah napas dari waktu ke waktu. Angannya yang lalu kini mulai mengusik pikirannya. Bagaimana dirinya dipertemukan dengan Lin Tian kala itu.

Lin Pan tidak menyangka sebelumnya, saat dirinya sedang berjalan-jalan di taman guna melepas lelah karena sibuk bekerja, di sanalah Lin Pan dipertemukan dengan Lin Tian.

Kala itu Lin Tian masih berusia lima tahun. Bocah itu sedang berjalan saraya memungut botol-botol bekas minum dan menaruhnya dalam sebuah karung yang berukuran cukup besar dari tubuhnya.

Lin Tian kecil terseok-seok ketika karungnya itu sudah terisi penuh. Lin Pan pun dibuat tidak tega melihat, hatinya pun tergerak untuk membantu Lin Tian.

"Biarkan Paman yang membawanya," kata Lin Pan seraya meraih karung yang berisikan botol-botol bekas itu.

Bocah itu pun menatap manik Lin Pan, ada ketenangan yang didapatnya. "Paman siapa?" tanya Lin Tian kecil dengan polosnya. Matanya seolah menyatakan sesuatu. Lin Pan pun tersenyum lembut, sambil mengusap pucuk rambut bocah kecil tersebut.

"Namaku Lin Pan. Kau bisa memanggilku dengan sebutan Paman Lin," pintanya seraya menekuk lututnya dan memposisikan diri sejajar dengan bocah tersebut.

"Namaku Tian. Aku tidak mengikuti marga Ibu atau Ayah," akunya dengan polos.

Lin Pan pun tersentak, hatinya terhanyut ketika mendengar pengakuan dari bocah kecil di hadapannya itu.

"Lalu di mana rumahmu?"

"Aku tidak memiliki rumah. Aku tinggal di sana, di panti Asuhan yang ada di ujung jalan ini," tunjuk bocah kecil tersebut. "Aku tidak tinggal dengan banyak anak-anak yang seperti diriku. Orang-orang dewasa di sana, mereka memperlakukan kami dengan baik. Aku sangat menyayangi mereka. Apakah Paman ingin ke rumah kami?"

Bocah kecil itu bertanya di akhir kalimatnya. Perkataannya semakin membuat Lin Pan tertarik. "Boleh kau tunjukkan rumahmu pada, Paman? Paman, juga ingin bertemu dengan yang lainnya."

Lin Pan mencoba untuk menyusun kalimat yang tepat agar bocah kecil itu dapat memahami perkataannya.

"Tentu saja Paman boleh bertemu dengan teman-temanku yang lain. Paman pasti akan sangat senang saat bertemu dengan mereka," ucap Lin Tian kecil penuh percaya diri.

Lin Pan bisa merasakan bahwa bocah kecil dihadapannya sekarang adalah anak yang pintar. Di usianya yang saat ini, dia sudah bisa mengerti banyak hal. Kosa katanya juga sudah banyak dan dia berbicara dengan fasih pula.

"Ayo, Paman!"

Belum sempat Lin Pan menjawab, bocah itu sudah lebih dulu menarik tangannya. Lin Pan pun tidak bisa menolak ajakan tersebut, dia mengikuti bocah kecil itu seraya membawa karung besar berisikan botol-botol bekas.

Hari itu menjadi awal pertama Lin Pan bertemu dengan Lin Tian. Lamunan Lin Pan terpecah saat Lin Hua menyentuh bahunya. Gadis itu mendatangi Lin Pan dengan membawa makanan. Lin Hua mengetahui bahwa Lin Pan belum memakan apa-apa sejak tadi.

"Makanlah ini, Ayah. Sejak tadi kau belum memakan apa pun. Aku takut ayah sakit nanti."

Terdengar suara lirih dari gadis ayu bermanik hitam tersebut. Lin Pan menatapnya dalam diam, ada getaran perih dalam hatinya tatkala melihat Lin Tian yang masih belum sadarkan diri.

"Sekarang Ayah belum merasa lapar, Sayang. Ayah, akan makan nanti, Sayang," balas Lin Pan seraya mengulas senyuman kecil di bibirnya.

Lin Hua pun duduk di sisi seberang Lin Pan, di sana tidak ada Lin Xiao. Beberapa saat lalu Lin Pan meminta Lin Xiao untuk pergi karena ada hal yang harus dia selesaikan.

Lin Pan lah yang seharusnya pergi, tetapi karena kondisi Lin Tian yang belum menunjukkan kata baik, Lin Pan pun merasa berat hati untuk meninggalkan rumah sakit. Jadi, Lin Xiao lah yang harus mengurus pekerjaan tersebut.

Lin Hua masih setia menemani di sana. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi Lin Tian belum menunjukkan tanda-tanda akan terbangun.

Menurut prediksi Dokter, Lin Tian akan sadar setelah dua jam. Namun, ini sudah lewat dari dua jam yang ditentukan. Hal tersebut membuat Lin Hua dan Lin Pan menjadi tidak tenang.

Perasaan dibuat melalang buana tanpa adanya kepastian, akankah dia terbangun dengan perasaan baik-baik saja atau tidak lagi mengingat apa-apa. Hal ini yang terus mengusik pikiran Lin Hua.

Lin Hua beringsut dari tempatnya, ketika hendak mengayunkan kakinya tiba-tiba dia merintih kesakitan, yang akhirnya membuat Lin Hua terjatuh kembali ke sofa.

"Ada apa?" Lin Pan pun segera bereaksi, dia melihat sesuatu yang terjadi pada Lin Hua. Namun, gadis itu mencoba untuk menutupinya.

"Tidak apa-apa, Ayah. Aku baik-baik saja," tutur Lin Hua, sambil menutupi bagian kaki bawahnya dengan tangan kanan.

Lin Pan tentunya tidak mudah percaya begitu saja, biarpun Lin Hua terus mengatakan baik-baik saja, tetapi Lin Pan yakin saat ini ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Lin Hua.

"Sini, biarkan Ayah melihatnya," pinta Lin Pan memaksa. Akhirnya Lin Hua pun pasrah dan menunjukkan bagian kakinya yang diperban. Dia sebenarnya tidak ingin memberitahukan hal tersebut pada siapa pun, tetapi dia terpaksa melakukannya karena tidak ingin membuat Lin Pan semakin cemas.

"Kau terluka, Sayang," kata Lin Pan yang sedikit terkejut.

Gadis yang dipanggilnya dengan sebutan 'Sayang' itu kembali menutup bagian kakinya tersebut. "Ini hanya luka kecil saja, Ayah. Paling juga beberapa hari akan sembuh," balas Lin Hua mencoba untuk tetap tenang, biarpun di bawah tekanan.

"Sembuh apanya? Lukamu sepertinya dalam, kamu harus diperiksa oleh Dokter. Ayo, kita ke Dokter untuk memeriksa kondisi lukamu itu," ajak Lin Pan yang sedikit memaksa.

"Tidak Ayah. Aku baik-baik saja. Lukanya sama sekali tidak serius, aku sudah mengobatinya, Ayah. Jadi, Ayah tidak usah mencemaskan lukaku ini," bujuk Lin Hua seraya menarik tangan Lin Pan agar kembali duduk dengannya.

Lin Pan mengelah napas panjang, sesungguhnya dia tidak tega melihat Lin Hua menahan rasa sakit seperti itu. Namun, karena permintaannya itulah yang membuat Lin Pan akhirnya mengurungkan niatnya untuk membawa Lin Hua ke dokter.

avataravatar
Next chapter