1 Bab 1. Me Vs Mertua

Selamat Membaca

"Ibu nggak mau tau ya Manda, pokoknya kalau kamu nggak juga hamil dua bulan lagi. Rela tak rela, Ibu akan tetap mengenalkan Martin dengan anak teman Ibu!"

Kalimat ultimatum dari ibu mertuaku membuat gemuruh di dada. Sekuat tenaga aku berusaha menutupi kekurangan suami karena rasa cinta pada lelaki itu. Namun begini balasannya.

Semua orang menyudutkanku. Seakan akulah sumber masalah tak juga hadirnya sang penerus bagi trah Hartono.

Ingin rasanya aku berteriak mengungkapkan kebenarannya, hingga mulut semua orang terkunci. Namun, rasa cinta menghalangiku. Aku tak sampai hati menguak kekurangan suami yang kini hanya bisa diam mematung di samping kedua orang tuanya yang memandangku penuh ejekan.

Apa yang akan mereka katakan kala tahu kalau putranyalah sumber masalah, kenapa hingga sampai detik ini tak kunjung hamil?

Ingin rasanya aku sedikit bersikap jahat. Namun hati kecilku selalu menghalangi. Telalu baikkah diriku? Atau terlalu bodoh, karena diam saja saat semua orang menganggapku cacat?

Seberapa besar cintaku pada suami, hingga aku rela menanggung cemoohan dan kalimat tak pantas dari ibu mertuaku? Entahlah ... aku sendiri tak tahu.

"Terserah Ibu saja, kalau menurut Ibu itu yang terbaik ... Manda bisa apa?" Akhirnya ada juga kata yang bisa kukeluarkan. Meski seperti ada yang tersangkut di tenggorokanku. Bisa kulihat suamiku bergerak gelisah. Ada apa?

"Bu, sudahlah! Ini semua bukan salah Manda bu." Akhirnya suamiku bersuara juga. Apa karena dia takut akan segera dinikahkan dengan wanita lain karena masih mencintaiku? Atau karena dia tidak mau akhirnya ada satu wanita lagi yang akan mengetahui kekurangannya? Aku tak tau mana alasan suamiku akhirnya memilih untuk berucap setelah beberapa saat hanya diam menjadi penonton kala sang ibu memborbardil istrinya tentang keturunan. Entahlah, hanya Martin dan Tuhan saja yang tau.

Ya, Martin Hartono. Suamiku—satu-satunya keturunan Hartono. Mungkin itu jugalah yang merisaukan kedua orangtuanya, karena setelah empat tahun kami menikah tak juga dikaruniai satu orangpun anak. Tanda-tandanya saja tidak ada.

Setiap orang pasti akan menganggap itu kesalahan istri. Dan di sini, akulah pelakunya. Terdakwanya.

"Sudah bagaimana to le, mau sampai kapan Ibu menunggu istrimu ini hamil? La wong ora ono tadhane nek bojomo metheng to le*," jawab ibu mertuaku dengan emosi yang kian membara karena putranya terlihat membelaku—istrinya.

"Iya, Nak. Mau sampai kapan Bapak menunggu istrimu melahirkan keturunan Hartono?" Kali ini ayah mertuaku yang angkat bicara ikut menyudutkan aku. Aku hanya diam saja, tak mau banyak bicara. Biar saja suamiku yang menangani masalah yang memang bermula darinya. Jemariku bergerak gelisah saling bertaut. Apa aku rela membiarkan Martin—suamiku menikah lagi? Meski aku tau kekurangannya, aku tak berniat meninggalkannya. Namun, jika memang akhirnya dia menikah lagi ... maka aku yang akan meninggalkannya. Itu tekadku.

Tak ada dalam rencanaku untuk berbagi suami. Tidak dulu—sekarang—nanti.

"Kami baik-baik saja tanpa kehadiran anak. Biarlah waktu yang akan menjawab pertanyaan Bapak. Martin percaya, anak adalah amanah. Dia akan datang di waktu yang tepat. Mungkin sekarang Tuhan belum mempercayakan anak kepada kami karena masih memberi kami waktu untuk berdua dulu," ujar Martin dengan lembut.

"Tapi Nak, semua orang sudah mulai gelisah. Yang kita bicarakan ini keluarga Hartono. Banyak yang sudah bersiap melengser kedudukanmu jika kamu tidak juga mempunyai keturunan. Kerja keras Bapak dan juga Eyang kamu akan sia-sia kalau begini. Semua bisa jatuh ke tangan keluarga kita yang lain. Ada Johan yang akan dengan senang hati menggantikanmu," bentak Bapak tak bisa lagi menahan emosi. Wajah Martin menjadi sepucat kapas.

Aku tahu, dia sangat membenci Johan. Sepupu yang juga menjadi musuh besar Martin. Entah karena apa membuat keduanya bermusuhan.

"Jangan biarkan Johan mengalahkanmu lagi! Mosok setelah dia berhasil mencuri wanitamu, dia juga mencuri harta keluarga kita juga," kata ibu mertuaku dengan tatapan mengejek ke arahku.

Jadi begitu? Sekarang aku tahu kenapa Martin sangat membenci Johan. Ternyata wanita Martin pernah dicuri Johan. Apa wanita itu mbak Kinan? Sesuatu menohok jantungku.

Pantas saja, aku sering melihat suamiku mencuri pandang ke arah pasangan Johan dan Kinan. Dulu aku berpikir, suamiku menatap ke arah Johan. Ternyata, ke arah cinta tak sampainya.

Kinan memang anggun dan rupawan, aku akui itu. Namun, aku tak kalah cantik. Di kampus, aku dulu termasuk primadona. Itulah yang membuat seorang Martin melirikku, selain karena kecerdasanku.

Apa selama ini, di hatinya masih ada nama Kinan?

Apa selama ini, aku hanya pelariannya saja?

Kenapa memikirkannya saja membuatku sesak?

Kepalaku tiba-tiba saja berputar hingga kegelapan menyerbuku.

🌸🌸🌸

Aroma minyak kayu putih yang pertama dapat kuhirup. Kepalaku masih terasa berputar.

Kubuka perlahan mataku. Tak ada siapapun di sini. Ternyata aku berada di kamar tidur kami. Kemana Martin dan kedua orang tuanya? Di saat aku membutuhkannya, dia selalu tidak ada. Apa memang aku hanya pelariannya? Lantas apa arti kata-kata manisnya dulu.

Kulihat ada sebutir aspirin dan segelas air putih sudah disediakan di atas nakas. Dengan susah payah aku mengambil dan meminumnya.

Tak lama rasa pusingnya mulai menghilang. Setelah kondisiku lebih baik, kuputuskan untuk mencari keberadaan suamiku.

Kulangkahkan kakiku menyusuri ruang demi ruang. Sampai akhirnya aku mendengar sayup-sayup suara Martin berbicara dengan seseorang.

"Iya sayang ... aku tau... Baiklah... Miss you too..."

Dia bicara dengan siapa? Benarkah dia tadi memanggil sayang???

Miss you???

Siapa?

Berbagai macam pikiran buruk menguasaiku. Apa dia punya selingkuhan? Dengan kondisinya?

Tanpa suara aku memandangi punggung suamiku yang sudah selesai berbicara di telepon. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Hingga dia berbalik dan mendapatiku. Senyuman yang tadinya tersungging di bibirnya mendadak menghilang.

Apa aku harus bertanya dengan siapa dia memanggil sayang dan mengungkapkan rindu?

Ataukah aku harus berpura-pura tak mendengar apapun?

"Mar," panggilku lirih, suaraku seakan tercekat tak bisa keluar.

Apa dia punya selingkuhan?? Pikirku lagi.

"Ayah, Ibu kemana?" Akhirnya pertanyaan bodoh itu yang keluar. Aku terlalu takut dengan jawabannya kalau aku bertanya dengan siapa dia bertelepon?

Aku takut dia mengatakan kebenarannya—kalau dia punya selingkuhan.

Wajahnya menguarkan kelegaan yang begitu kentara. Mungkin kini dia berpikir kalau aku tak mendengar apa pun.

"Sudah pulang, kemarilah ... kau masih kurang sehat. Harus banyak istirahat. Di kantormu pasti kebanyakan lembur ya," ujarnya sambil membimbingku ke arah sofa.

Dengan lembut dia mendudukkanku. Matanya menilaiku. Entah apa yang dia pikirkan?

Haruskah aku perduli? Setelah perselingkuhannya? Apa benar suamiku berselingkuh? Siapa wanita itu? Karinkah? Ataukah wanita lain?

Berbagai pertanyaan muncul di pikiranku, hingga aku tak tau apa yang dibicarakannya padaku. Aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong dan pikiran penuh.

Hingga dia menepuk lenganku, membuatku kembali ke akal sehatku. Aku mengerjap guna menghalau pemikiranku sendiri.

"Apa?"

"Aku punya solusinya," katanya dengan binar di matanya. Apa dia akan memintaku mengijinkannya menikahi selingkuhannya?

Langkahi dulu PA**!!!

*kan tidak ada tanda-tanda kalau istrimu hamil, Nak

**PA = Pengadilan Agama

Bersambung

Ayooo, yang suka wajib kasih bintang. Karena aku bakal lanjut kalau yang likenya banyak.

Makasiiih

avataravatar
Next chapter