1 Kehilangan

Seperti sebuah mimpi, semua terjadi begitu saja menyisahkan luka yang menyayat hati. Kenangan indah itu sudah hancur berkeping-keping tak ada lagi yang dapat memulihkan kembali. Tangisan mengema di seluruh penjuru ruangan.

Nero menatap sekelilingnya dengan perasaan amarah tapi dia tak mengerti bagaimana ia harus melampiaskan itu semua. Lelaki itu melihat ketiga adek perempuannya yang menangis tersedu-sedu di samping mayat ibunya. Kemana sosok ayah yang sempat ia banggakan itu? Bukan, ternyata dia tidak layak menjadi sosok ayah yang harus dibanggakan. Nero menahan rasa sesak dalam dadanya, dia tak boleh terlihat lemah dihadapan ketiga adeknya. Dia melihat semua keluarga dari ibunya turut hadir disana menangisi kepergian ibunya. Sementara, keluarga ayahnya hanya nenek nya saja yang hadir disini.

Nero mengepalkan tangannya, rasanya dia ingin membunuh lelaki itu. Teganya lelaki itu berbuat zina dengan orang lain. Sangat sulit bangi Nero menghadapi ini semua. Dia tak bisa mengerti apa yang dipikirkan oleh lelaki paruh baya itu sampai rela meninggalkan ibunya yang sangat baik dan cinta pada lelaki itu. Brengsek! Lidahnya kelu tak berani mengeluarkan kata itu untuk ayahnya yang entah dimana sekarang berada.

Bayangan ibunya kembali menyeruak didalam pikirannya bagaimana tulusnya senyuman ibunya untuk dia dan tegarnya wanita itu mendidik dia dan ketiga adiknya.

"Nero, bagaimana sekolahmu? Apakah kamu bisa mengikuti dengan baik?" tanya wanita itu ketika dia masih hidup.

"Baik ma, Nero akan berusaha untuk menjadi juara pertama lagi," Lusi tersenyum bahagia dengan ketekunan putra sulungnya itu. Dia bangga pada putra satu-satunya itu.

"Ma, dimana papa? Sudah beberapa hari ini tak kembali ke rumah."

Lusi terdiam sejenak bagaimana ia harus menjelaskan kepada putranya itu, dia tak bisa mengatakan kalo papa Nero saat ini dia sendiri pun tidak tau ada dimana. Dia hanya tahu kalau lelaki yang dia cintai itu pergi dengan wanita lain. Rasanya hati Lusi tersayat begitu dalam, bagaimana ini? Bagaimana harus menjelaskan pada Nero, jika itu adik Nero yang bertanya mungkin Lusi masih bisa berbohong, tapi ini Nero dia sudah beranjak remaja akan sulit jika dia harus menutupi semuanya.

"Mama, belum dapat kabar. Kita tunggu saja, mungkin papa kamu akan kembali sebentar lagi,"

"Papa ngak lagi ninggalin kita kan mah?" kenapa begitu nyeri pertanyaan yang dilontarkan oleh Nero.

"Papa sayang kita, gak mungkin ninggalin kita. Sekarang Nero bantu adik mu dulu belajar, setelah itu lekaslah tidur,"

"Iya mah, mama juga ya. Jangan begadang. Jangan terlalu memikirkan papa, dia akan baik-baik saja dengan dirinya sendiri," kata Nero seraya mencium singkat pipi Lusi

"Al, kamu dimana? Anak mu terus bertanya tentangmu. Bagaimana aku harus menjawabnya? Aku tidak punya kata-kata lagi untuk berbohong," isak tangis Lusi membuat perasaan Nero terluka, anak remaja itu tidak langsung pergi menemui adik-adiknya. Dia bersembunyi dibalik tembok kamar dan mendengar semua perkataan ibunya. Dia tahu saat ini ayahnya pergi dengan wanita lain, hanya saja dia memilih pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Dia tak ingin menambah luka bagi mamanya.

"Mama harus kuat, mama harus bahagia. Aku akan berjuang keras membahagiakan mu. Tidak lelaki itu tapi aku yang akan membahagiakanmu," gumam Nero sebelum dia beranjak pergi.

Setiap harinya, sepulang sekolah Nero akan membantu Lusi bertani. Sebenarnya Kakek dan Nenek Nero dari ayahnya salah satu orang kaya di desa itu. Memiliki tanah dimana-mana dan bahkan nenek dan kakeknya sering memberi upah kepada para pekerjanya dengan sebidang tanah, sungguh kaya bukan. Namun, itu semua tak membuat Lusi dan anak-anaknya menikmati kekayaan mertuanya itu. Karena bagaimanapun, saat ini suaminya sedang tidak bersama dengan dia. Jadi bagaimana bisa ia menikmati harta itu. Lusi bukan wanita gila harta. Maka dari itu, wanita itu memilih untuk tinggal di desa di mana dia di lahirkan.

Nero mengangkat kayu bakar dari puncak pegunungan menuju rumahnya yang terpaut sangat jauh. Dia harus melakukan itu setiap dia akan selesai bertani. Sesampainya dirumah matahari sudah tidak menampakkan diri, sudah digantikan oleh bulan dan bintang. Hari-hari ia lalui dengan keras, namun itu tak membuatnya berontak justru itu memotivasinya untuk bergerak kedepan untuk membahagiakan ibu dan adik-adiknya.

Setiap liburan sekolah, Nero akan selalu berangkat ke kota untuk menemui pamannya yang merupakan adik kandung ibunya. Pamannya akan dengan sangat senang hati menerima kedatangan keponakannya itu.

"Nero, kamu sudah makin besar saja ya,"

"Iya paman. Mama merawatku dan adik-adikku dengan sangat baik."

"Yah, dia memang sosok ibu yang baik. Paman saja sangat bangga memiliki kakak seperti dia. Kamu tahu Nero, mama kamu itu rela tidak melanjutkan sekolah supaya paman dapat sekolah dan mendukung paman. Dia kakak kesayanganku, paman aja tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan mamamu. Paman bisa seperti sekarang ini semua karna dia, paman sudah berulang kali meminta mamamu untuk tinggal di kota dan paman akan membelikan rumah namun dia selalu menolak. Apa kamu bisa membujuknya?"

"Tidak paman. Kami lebih senang hidup di desa. Aku yang akan membelikannya rumah suatu saat nanti." Jawab Nero tegas

David tersenyum dengan semangat yang dimiliki keponakannya itu. Nero benar-benar lelaki yang kuat walaupun ayahnya memiliki banyak harta dan wanita dia hanya bisa berdoa kelak Nero tidak seperti ayahnya. Dia sangat membenci Alres, lelaki itu tega membohongi keluarga besarnya hanya untuk menikahi Lusi. Sementara laki-laki itu telah memiliki istri, mengecewakan sekali. Pengecekan yang dilakukan keluarga mereka kurang ketat.

"Uang ini berikan kepada mamamu dan ini uang jajanmu dan beri adik-adikmu juga. Pakaian ini untuk kalian," kata David seraya memberi satu tas besar berisi pakaian-pakaian yang baru saja dia ambil dari tokonya.

"Terimakasih banyak paman. Aku akan memberikannya pada mama,"

"Sama-sama sayang. Bergiatlah belajar, bahagiakan mamamu kelak,"

"Pasti. Terimakasih paman, aku pulang."

"Baiklah, hati-hati. Sampaikan salam ku kepada mamamu,"

Nero melambaikan tangannya pada David dan segera memasuki bus tujuan desanya. Dia harus menempuh perjalanan selama tujuh jam agar sampai di desa. Dia melihat rumahnya yang gelap, sepertinya orang rumah sudah tertidur. Dia mengetuk pintu dan melihat wanita paruh baya membukakan pintu untuknya dengan mata menahan kantuk.

"Nero kamu pulang?"

"Ya, ma. Mama terbangun karenaku,"

"Tidak masalah sayang. Bagaimana liburanmu di tempat paman?"

"Sangat menyenangkan. Mah, ini paman memberiku uang untuk diberi kepada mama. Dan uang yang ini untuk jajan ku dan adik-adik. Tapi sebaiknya mama simpan juga demi kepentingan sekolahku."

Lusi mengelus kepala Nero lembut, "Kamu jagoan kesayangan mama,"

"Oh iya, ini beberapa pakaian yang Paman beri. Besok saja di bukanya mah, sebaiknya kita tidur."

Siapa sangka itu menjadi percakapan panjang terakhirnya dengan Lusi. Sebelum Lusi akhirnya meninggal dunia, wanita itu sempat mendapat kabar dari mertuanya memintanya untuk segera kembali karna kondisi mertuanya itu sedang sakit. Mau tak mau Lusi dan anak-anaknya pergi ke desa seberang ketempat mertuanya. Memang benar adanya mertuanya itu sakit, tapi siapa sangka kedatangannya tak disambut baik oleh kakak ipar dan adik iparnya. Bahkan mereka menyalahkan Lusi, mereka mengatakan bahwa sakitnya mertua lelakinya karna suami Lusi (Alres) tidak kembali-kembali. Mereka menyalahkan itu semua pada Lusi karna wanita itu tidak becus jadi seorang istri maka dari itu saudara mereka laki-laki itu pergi meninggalkan mereka.

Rasa sesak kian mengerogoti jantung Lusi, dia tak tahu dosa apa yang dia lakukan di kehidupan sebelumnya sampai dia harus menanggung penderitaan ini. Tak kuat memikirkannya. Lusi terjatuh dan tersungkur didepan pintu kamarnya, Nero segera membantu ibunya itu menuju tempat tidur.

"Ma, Mam kenapa?" tanya Nero menangis

Lusi hanya menangis, lidahnya kelu seperti tak bisa berbicara. Tenggorokannya tercekat dia tak mampu untuk menghibur putranya itu. Anita, Rose dan Yana menangis melihat Nero menangis disamping ibu mereka.

"Ma, mama kenapa?" isak tangis Anita.

Rose yang masih berusia tujuh tahun tak banyak bertanya, dia hanya menangis memanggil ibunya yang menahan rasa sakit. Sementara Yana yang baru berusia tiga tahun mengikuti kakak-kakaknya menangis.

Kakak ipar dan adik ipar Lusi datang menghampiri mereka, "Kenapa kalian menangisi wanita kejam ini? Karena wanita ini kalian kehilangan sosok ayah dalam hidup kalian,"ujar adik iparnya.

"Benar. Biar saja dia mati, bahkan kakek kalian sakit semua karena dia." Tambah kakak ipar Lusi. Lusi tak mampu membalas ucapan adik dan kakak iparnya bahkan untuk berbicara pada anak-anaknya saja dia sudah tak mampu.

"Pergi!" bentak Nero mengusir kedua wanita itu.

"Nero dia wanita jahat sayang,"

"Kalian yang wanita jahat, pergi!" teriakan Nero semakin kuat.

Mendengar itu kedua wanita itu pergi, sementara Lusi hanya bisa mengeluarkan airmatanya melihat putranya menjadi pemarah. Dia menatap Nero, seluruh tubuh Lusi kaku seperti tidak dapat dia gerakkan, dari tatapan matanya dia seperti meminta pad Nero untuk menjaga ketiga adiknya.

Dikeheningan malam menjadi saksi duka dan tangis untuk mereka berempat, Nero yang masih berusia 14 tahun harus menangung beban seberat ini. Sementara Anita masih berusia 10 tahun tak mengerti langkah apa yang harus ia tempuh selanjutnya. Nero merangkul ketiga adiknya yang menangisi Lusi, siapa sangka mereka menangis dan Lusi pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.

🌴

avataravatar
Next chapter