1 Nice To Meet You

"Pada kemana sih?"

Setelah keluar dari kamarnya, Senja turun ke lantai bawah. Mencari keberadaan sang Ibu, Ayah, dan juga kakaknya. Kakinya menyusuri seluruh ruangan. Kamar mandi, dapur, dan juga kamar ibunya. Tapi matanya tidak mendapati satupun anggota keluarga. Ini hari libur, seharusnya mereka berada di rumah. Apa jangan-jangan mereka meninggalkan Senja untuk pergi makan malam karena dia tidur sejak siang tadi? Tapi bukannya ini masih jam lima sore?

Senja mendesah pelan. Tubuhnya yang masih lesu itu berhenti di ruang tengah. Sesekali masih mengucek matanya yang belum terbuka sempurna.

"Mama," panggil Senja. Meskipun berkali-kali tetap tidak ada jawaban. Perutnya berbunyi meminta untuk diisi. Dia tidak menemukan apapun di meja makan. Senja hampir menyerah mencari ibunya. Ketika dia hendak merebahkan tubuhnya pada sofa panjang yang berada di depan televisi, samar-samar dia mendengar suara ibunya berseru dengan seseorang di luar rumah.

Senja mengurungkan niatnya untuk merebahkan tubuhnya pada sofa. Dia melangkah keluar dari rumah. Dari ambang pintu keluar Senja melihat ibu, dan ayahnya sedang berdiri di depan pagar. Disana terdapat sebuah truk berukuran tanggung memuat banyak barang, berhenti di depan rumah tetangga sebelah. "Ada apa sebenarnya? Kenapa mereka berdiri disana?"

Senja menutup pintu, melangkah mendekat pada ibu dan ayahnya. Melihat dari dekat apa yang sedang terjadi disana. "Ada apa ma?"

Suara senja membuat ibunya menoleh. "Sayang kamu sudah bangun?" balasnya kembali bertanya. Bukan malah menjawab pertanyaan Senja.

Senja hanya mengangguk. Sambil menunggu jawaban ibunya.

"Itu. cucunya Mbah Sani mulai hari ini tinggal disini. Dia pindahan dari Jakarta. Katanya dia seusia kamu," kata ibunya kemudian.

Senja mengangguk-angguk. Dia tak bertanya lagi. Mbah Sani itu tetangga sebelahnya. Mereka tinggal di komplek perumahan Nirwana. Salah satu komplek yang cukup terkenal di kota Malang.

Wanita berusia tujuh puluh lima tahun yang hidup sendirian bersama dengan kedua asisten rumah tangganya. Mbah Sani salah satu wanita tua yang kaya raya. Pemilik beberapa gedung yang sangat terkenal. Diantaranya adalah Hotel Paris, Hotel Grand Permata, dan beberapa gedung kos-kosan bertingkat yang berada di daerah kampus-kampus besar di kota Malang.

Selama bertetangga dengannya, Mbah Sani adalah orang yang baik. Meskipun kaya, Mbah Sani tergolong pribadi yang low profile. Mbah Sani juga sering menghadiri kegiatan sosial berskala kecil yang dilakukan di rukun tetangga tempat mereka berada. Meskipun rumahnya dua kali lebih besar dari rumah Senja, tapi sikapnya bahkan lebih baik dari ibu-ibu yang sering bergosip di tukang sayur yang setiap pagi berkeliling komplek.

Senja sering mendengar Mbah Sani menceritakan cucunya, katanya dia seumuran dengan Senja, dan Mbah Sani selalu ingat dia saat melihat Senja. Terkadang Senja penasaran, seperti apa rupa cucu laki-lakinya itu? Mbah Sani terdengar begitu menyayanginya saat bercerita.

"Senja, dari mana saja kamu Nduk? Mbah baru lihat kamu hari ini," sapa Mbah Sani pada Senja. Logat Jawa Timur yang khas dari mulut wanita berusia tiga per empat abad tersebut terasa sangat ramah di dalam pendengaran setiap orang. Mbah Sani baru saja keluar dari dalam rumah, sepertinya habis mengecek kuli angkut yang menurunkan banyak barang di dalam rumah. Ayah Senja juga cekatan membantu menurunkan beberapa barang dan mengikuti langkah para kuli angkut itu ke dalam rumah Mbah Sani. Meskipun Mbah Sani sudah melarangnya, tapi ayah Senja bersikeras membantu.

"Senja tidur terus Mbah, katanya liburan tinggal dua hari lagi, jadi harus dimanfaatkan dengan baik untuk tidur." Ibunya yang menjawab. Sambil tertawa pelan.

Senja tertunduk malu. Itu memang benar, Senja tidak akan menyia-nyiakan waktu tidur siang yang hanya bisa dinikmati selama liburan. Liburan akhir semester kurang dua hari lagi. Setelah itu Senja akan kembali sibuk dengan sekolahnya pada semester baru. Dia naik kelas sebelas. Dan Senja bertekad semester ini harus lebih baik dari sebelumnya. Maka dari itulah waktu istirahat harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Mbah Sani ikut tertawa. "Oh ya Senja, cucu Mbah akan satu sekolah sama kamu. Tolong bantu dia ya, kamu kan selalu juara kelas, Jadi setidaknya kamu bisa ajari dia beberapa pelajaran yang tertinggal," ujar Mbah Sani.

Senja meringis, lalu mengangguk. Dia bersedia menuruti Mbah Sani, karena nenek itu selalu baik pada Senja dan juga keluarganya. Sudah pasti harus dibalas dengan kebaikan bukan?

Di tengah percakapan mereka, yang sedang dibicarakan muncul. Seorang anak laki-laki keluar dari rumah Mbah Sani. Dia juga mengangkut beberapa barangnya sendiri ke dalam rumah. Wajahnya familiar. Senja seperti pernah bertemu dengannya, tapi dimana? Entahlah dia tidak ingat.

"Eh Damai, sini sayang," panggil Mbah Sani.

Anak laki-laki itu berhenti berjalan. Dia berdiri di samping Mbah Sani. "Iya Mbah," jawabnya.

Tangan Mbah Sani menadah ke arah Senja dan ibunya bergantian. "Ini kenalin, Ibu Wulan tetangga sebelah kita, dan ini Senja putrinya. Dia nanti yang akan satu sekolah sama kamu," jelas Mbah Sani.

Anak laki-laki yang baru saja dikenalkan dengan nama Damai itu menunduk sopan ke arah ibu Wulan, lalu tersenyum pada Senja. "Damai tante," ucapnya memperkenalkan diri.

Senja balas tersenyum. Mereka beradu pandang beberapa saat sebelum kembali memperhatikan percakapan para orang dewasa.

"Kalau dilihat langsung ganteng ya Mbah." Ibu Wulan berseru dalam bahasa jawa. Memuji Damai pada Mbahnya. Mbah Sani memang pernah menunjukkan foto Damai pada Ibu Wulan saat bercerita tentangnya. Mereka berdua tertawa. Berbeda dengan Damai, alisnya terangkat sebelah. Senja bisa mengartikan dia tidak mengerti apa yang sedang dikatakan ibunya.

Senja suka dengan nama tetangga barunya. Damai, senyumnya memang sedikit dingin. Mungkin karena belum saling mengenal, dan dia tidak banyak bicara di pertemuan pertama mereka. Mungkin berteman dengannya akan menyenangkan, semoga saja dia setenang namanya. Tidak banyak membuat keributan di sekolah seperti anak laki-laki kebanyakan seusianya.

Setelah truk pengangkut barang pergi, dan semua yang dilakukan di rumah Mbah Sani sudah beres, keluarga Senja kembali ke rumah. Mereka menjalankan aktifitas kembali di dalam rumah. Seperti biasa menunggu hingga jam malam tiba. Biasanya pukul tujuh malam. Sekarang masih pukul enam. Masih ada satu jam lagi.

Dan seperti biasa, tempat favorit Senja sembari menunggu jam makan malam adalah balkon kamarnya. Tempat yang tenang dari berbagai macam gangguan. Senja bersenandung riang menuju balkon. Rencananya dia akan menghabiskan waktu sambil duduk pada beanbag dan membaca novel favoritnya. Satu jam menuju makan malam bisa digunakan untuk membaca beberapa bab.

Langkahnya terhenti begitu sampai di balkon. Matanya melihat ke balkon rumah sebelah. Balkon yang persis lurus dari tempatnya. Balkon lantai dua rumah Mbah Sani. Biasanya disana gelap, sekarang dia melihat seorang anak laki-laki berdiri di sana sambil memegang minuman kaleng. Ya, dia adalah Damai, tetangga barunya. Rupanya dia menempati kamar lantai dua yang selama ini kosong. Balkon mereka berjarak sekitar lima meter. Cukup jelas untuk jarak pandang anak-anak muda.

Senja memperhatikannya sejenak. Dari tempatnya berdiri, Damai terlihat begitu tenang, menatap lurus ke depan sambil sesekali menegak minuman kalengnya. Anak laki–laki itu berambut hitam rapi meskipun sedikit panjang, Senja tidak sempat memperhatikannya tadi, ternyata hidungnya bangir, apalagi dari samping. Matanya berwarna kecoklatan dan kulitnya bersih. Alisnya tebal, bibirnya berwarna merah. Definisi laki-laki tampan pada usianya. Tunggu sebentar, lagi-lagi senja seperti pernah melihatnya. Tapi dia belum ingat dimana.

Senja mengerjap begitu Damai menoleh ke arahnya. Seperti seseorang yang sedang kecolongan memperhatikannya dari jauh, Senja segera mengalihkan pandangan darinya. Membuka asal novel yang ada di tangannya.

Damai mendenguskan hidungnya. Tersenyum ramah pada Senja. "Hai Senja," sapanya. Mengangkat sebelah tangan pada tetangganya itu. "Nice to meet you."

avataravatar
Next chapter