1 Chapter 01

Steven memasuki rumahnya dengan senyum kepuasan. Hari ini ia baru saja memenangkan sebuah kasus yang sangat sulit. Bukan kasus biasa. Steven melakukan argumentasi hebat dan membalikkan keadaan di saat-saat terakhir. Hal ini tentu membuat namanya semakin terkenal sebagai pengacara muda yang sangat berbakat dan para jaksa pasti akan semakin membencinya.

Steven menjatuhkan diri di atas sofa empuknya dan menyeringai saat melihat siaran di TV. Media sedang memujinya setinggi langit atas kemenangannya di persidangan tadi. Padahal jika dihitung dengan teori peluang, kesempatannya untuk menang sangat tipis bahkan hampir mustahil. Namun lelaki cerdik ini sangat jeli dalam mengambil celah sehingga hal yang mustahil itu bisa ia wujudkan.

Kesenangannya kemudian terusik dengan telepon rumah yang berdering keras.

"Halo."

"Halo, Steven, selamat, nak. Ibu baru melihat beritanya tadi." Suara lembut seorang wanita menyapa pendengarannya.

Steven tersenyum mendengar suara wanita yang sangat dirindukannya itu. "Terima kasih, Bu."

"Kapan kau akan pulang, nak? Ibu dan Hendry sangat merindukanmu."

Senyum Steven tadi kemudian hilang secara perlahan. Pertanyaan yang sama yang selalu dilontarkan ibunya setiap kali mereka berbicara melalui telepon. "Ibu tahu itu sulit buatku."

"Apa kau belum bisa memaafkan ayahmu?" tanya sang ibu dengan nada lirih. Wanita ini tahu betul alasan kenapa putra bungsunya selalu menghindar dari pertanyaan kapan akan pulang.

"Hn. Entahlah."

"Steven tidak bisakah kau datang untuk mengunjungi Ibu? 30 menit pun tidak masalah." Sang ibu sepertinya sedikit putus asa untuk sekedar mengajak putra bungsunya itu berkunjung ke rumah. Selalu saja seperti ini.

"Maaf." Dengan sedikit rasa bersalah, pria bermata onyx ini menutup panggilan telepon dari ibunya. Bukannya ia tidak mau pulang, namun kenangan menyakitkan itu masih menghantuinya sampai sekarang. Pria berambut raven ini lebih memilih menghindar daripada harus mengingat lagi semuanya.

.

oOo

.

Malam harinya Steven memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya di salah satu night club kelas atas di pusat kota jakarta. Sudah lebih dari tiga gelas margarita yang diminumnya, namun tanda-tanda mabuk sama sekali tidak terlihat. Kehidupan yang keras selama lebih dari sepuluh tahun sudah ia jalani, hanya beberapa gelas margarita tidak akan membuatnya tumbang dengan mudah.

"Yo ... Stev … kau menjadi headline hari ini. Semua orang membicarakanmu. Kau membuat jaksa sekelas Aggyuma terdiam. Kau luar biasa, Stev!" puji seorang pria dengan gigi yang agak runcing.

Steven menyeringai tipis mendengar pujian lelaki yang sudah mengambil tempat di sebelahnya itu. "Ambil celah, maka kemenanganmu di depan mata."

"Kau terlalu merendah Stev, semua orang sudah tahu kalau Samudra adalah pemimpin kelompok Mafia terbesar di Indonesia. Sudah banyak tindakan kriminal dimana dia merupakan dalang utamanya. Kau dengan cerdas membuatnya lepas dari semua tuduhan," puji Justin lagi.

"Hn."

Lalu tatapan Justin dialihkan ke depan. "Stev, lihat wanita yang bergaun merah di dance floor itu," kata Justin sambil menunjuk seorang wanita dengan gaun merah yang sangat pendek. Wanita itu sedang menari sambil mengerling nakal ke arah dua lelaki itu, "Bagaimana? Dia sexy kan?"

"Aku tidak tertarik," jawab Steven tanpa melihat ke arah dance floor.

"Astaga, Steven! Lihatlah sepertinya dia sangat tertarik kepadamu," ujar Justin lagi. Benar saja, wanita bergaun merah itu menari sambil sesekali mengerling ke arah sang pengacara muda.

"Tidak usah membujukku jika kau memang menginginkannya."

Justin tersenyum puas mendengar jawaban sahabatnya itu. "Wah, wah, pengacara handal memang tidak bisa ditipu, ya."

Steven mengangkat bahunya tanda bosan, Justin sendiri sudah berjalan menuju dance floor dan menghampiri si sexy yang sedari tadi menggodanya dan Steven. Lelaki bermata tajam ini memandang sekelilingnya dengan saksama. Suasana riuh ala night club tidak bisa mengusir sesuatu yang sudah lama mengganjal di hatinya. Sesuatu yang ingin memberontak keluar namun selalu tertahan.

Merasa semakin bosan, lelaki tampan ini kemudian melangkahkan kakinya menuju ke parkiran. Ia sama sekali tidak peduli dengan ulah para wanita yang berusaha untuk menggodanya, menarik perhatian si pengacara muda yang sedang menuju puncak karirnya. Jika mau, model internasional sekelas Scarlett pun bisa ia dapatkan. Namun Steven sedang tidak berada dalam mood untuk berkencan, permintaan sang ibu masih terngiang-ngiang dalam benaknya.

Setelah duduk di dalam mobil, Steven masih merenung sebentar. Jujur ia sangat merindukan ibunya dan Hendry, sudah lebih dari sepuluh tahun mereka tidak bertemu. Semuanya karena satu alasan: jerry. Nama itu sudah menorehakan luka yang terlalu dalam untuknya.

Tenggelam dalam pikiran sendiri, Steven tak sadar jika ada seseorang yang sepertinya sedang panik masuk ke dalam mobilnya. Lamunannya tadi menjadi terusik karena kehadiran sosok tersebut.

"Kumohon, cepat jalankan mobilnya, mereka akan menangkapku!" pinta remaja bertopi biru yang saat ini sudah duduk di sebelahnya.

"Siapa kau? Dan berani sekali kau memerintahku!" bentak Steven.

"Kumohon, aku akan sangat berterima kasih jika kau mau menolongku." Kali ini remaja itu memohon sambil menggoyangkan lengan Steven dengan kedua tangannya.

"Aku tidak butuh rasa terima kasihmu," ujar Steven tak acuh.

Remaja itu terlihat seperti akan menangis. "Mereka akan menangkapku. Aku akan melakukan apa pun jika kau mau menyelamatkanku."

"Hah? Bocah, jangan menangis sepertin anak perempuan," ejek Steven.

"Orang dewasa seperti kalian mana mungkin mengerti dengan perasaan kami," jawab remaja itu lirih.

Steven seperti tertohok dengan kata-kata remaja di sampingnya itu, kata-kata itu mengingatkannya kembali pada luka lama yang sudah berusaha ia kubur dalam-dalam. Dalam diam, Steven mulai menghidupkan mesin mobilnya dan mengendarai kendaraan mewah itu menjauhi parkiran night club.

"Terima kasih, Paman," kata si remaja dengan penuh syukur.

"Hn. Siapa namamu?"

"Blossom," jawabnya ragu.

"Blossom? Itu kan nama perempuan?" tanya Steven dengan sedikit penasaran.

Remaja yang bernama Blossom itu kemudian melepas topi yang dikenakannya sehingga Steven dapat melihat rambut cepaknya yang berwarna pink. "Kurasa Paman sudah tahu kenapa aku dinamakan Blossom."

"Hn."

Blossom sedikit bingung saat di tengah perjalanan mereka paman penolongnya itu menepikan mobilnya. "Lokasi kita sudah cukup jauh dari night club tadi. Kau bisa turun sekarang."

1 menit ...

... 10 menit kemudian.

Steven mengernyitkan kening tanda heran karena bocah itu tidak mau turun juga. "Hei, bocah ..."

"Aku tidak punya tempat tinggal, Paman," jawabnya polos.

'Benar-benar bocah tidak tahu diri!' pikir Steven.

"Dengar, ya, bocah berambut aneh. Aku tidak peduli kau mau punya tempat tinggal atau tidak. Sekarang juga keluar dari mobilku!" bentak Steven dengan kesal.

Namun si bocah malah memandang dengan sorot mata penuh permohonanpadanya. "Kumohon Paman, aku akan melakukan apa pun. Asalkan kau mengijinkan aku tinggal di rumahmu."

"Tidak!" Dengan segera Steven turun dari mobilnya dan secepat kilat membuka pintu di mana bocah itu duduk. "Keluar!" perintahnya lagi.

"Malam ini saja, Paman. Aku janji tidak akan nakal atau mengganggumu," pinta Blossom.

"Dengar bocah. Aku sudah muak sejak tadi kau memanggilku paman! Aku ini bukan pamanmu dan kau bukan siapa-siapaku. Jadi sekarang turun dari mobilku!" Kali ini nada dalam perintah Steven lebih tinggi dari sebelumnya. Ia sudah hampir hilang kesabaran karena bocah itu.

"Aku hanya minta tumpangan untuk malam ini saja. Selanjutnya aku janji tidak akan menyusahkan Paman lagi." Rupanya Blossom juga tak kalah keras kepalanya untuk meminta tumpangan dari si paman ganteng.

Berdebat dengan anak kecil? Sungguh Steven merasa seperti orang bodoh saja. Apalagi beberapa orang mulai mendekati mereka untuk melihat apa yang terjadi. Steven mendecih kesal saat seorang polisi yang sudah memarkir sepedanya juga ikut mendekati mereka.

"Ada apa ini, Tuan?" tanya si polisi.

"Paman marah padaku dan dia tidak mau mengizinkan aku tinggal di rumahnya. Padahal hanya dia satu-satunya yang kupunya," jawab Blossom dengan wajah tanpa dosa. Akting yang sepertinya sangat sempurna.

Jangan ditanya reaksi Steven. Jika bisa, bocah sialan ini sudah dia tendang jauh-jauh. "Hei bocah …"

"Padahal aku hanya ingin bersama Paman. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi," ujar Blossom lirih.

Perkataan Blossom tentu saja menimbulkan simpati dari beberapa orang yang menghampiri mereka. Beberapa orang bahkan langsung mengiba melihatnya.

"Astaga, Paman macam apa itu?"

" Pamannya sungguh tidak punya hati!"

"Pamannya benar-benar tidak punya belas kasihan!"

"Padahal si paman terlihat kaya namun mengurus keponakannya saja tidak mau."

Telinga Steven benar-benar sudah panas mendengar ocehan dari orang-orang yang tidak tahu cerita yang sebenarnya itu. Emosinya semakin meninggi saat melihat Blossom yang menunjukkan wajah sedih karena sudah ditelantarkan.

"Hei, Tuan, seharusnya kau tidak boleh berlaku seperti ini pada keponakanmu. Lihatlah dia begitu membutuhkan perlindunganmu sebagai pamannya. Aku bisa menahanmu karena menelantarkan anak ini." Teguran dilayangkan polisi setengah baya itu pada Steven. Suara-suara yang sependapat dengan si polisi terdengar semakin kuat. Ingin rasanya Steven memberikan standing applause pada akting bocah berambut aneh itu.

Mengembuskan napas dengan kesal, Steven memandang dengan tajam bocah di depannya ini, "Kau menang, bocah." Tidak memedulikan sekitarnya, lelaki emo ini kemudian memasuki mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan penuh.

.

oOo

.

"Sekarang turun!" perintah Steven saat mobil sedan mewah itu sudah terparkir manis di garasi rumahnya.

Rumah Steven tidak bisa dibilang terlalu besar, tapi terlihat sangat elegan. Rumah itu terletak di tengah-tengah halaman yang tertata rapih. Bangunan dua tingkat yang mungkin hanya terdiri dari beberapa ruangan, namun sangat berkelas. Steven memang tidak mau tinggal di rumah yang terlalu besar dan banyak ruangannya, apalagi ia hanya tinggal sendiri. Walaupun rumahnya ini tergolong tidak terlalu besar, namun bisa dipastikan rumah yang ditinggalinya ini memiliki harga yang sangat mahal.

"Ini rumahmu, Paman?" tanya Blossom penasaran.

"Berhenti bertanya dan turunlah," jawab Steven sinis.

Dengan kikuk, Blossom mengikuti paman jangkung itu memasuki rumahnya. Blossom begitu kagum dengan interior di dalamnya, minimalis tapi kesan angkuh seperti pemiliknya sangat terasa.

"Duduk!" dengan sedikit takut ia duduk di sofa yang berhadapan dengan Steven.

"Kau sudah mempermalukanku hari ini!"

"Maaf …"

"Aku belum selesai, bocah! Jangan memotong pembicaraanku!" Nyali Blossom semakin ciut saat mendengar bentakan Steven. Remaja berambut merah muda ini semakin menunduk takut.

"Sekarang katakan, siapa nama orang tuamu? Alamatmu? Dan kenapa kau tadi seolah-olah sedang dikejar?" tanyanya bertubi-tubi.

Blossom terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari lelaki yang ada di hadapannya itu. "Orang tuaku sudah meninggal, aku tinggal di panti asuhan yang ada di pinggiran Kota. Karena bangkrut panti asuhan kami sudah ditutup dan siang tadi baru saja digusur, sebelumnya saudara-saudara yang lain sudah menemukan orang tua yang mau mengadopsi mereka. Tidak ada seorang pun yang mau menampungku."

"Terus kenapa tadi kau seperti sedang dikejar?"

"Saudara dari pemilik panti mau membawaku ke Kalimantan. Tapi aku tidak mau, karena di sana pasti aku akan dipaksa bekerja di pabrik dengan upah yang lebih rendah dari buruh," jawabnya lagi dengan lirih.

"Darimana kau tahu kalau kau akan dipekerjakan dengan bayaran tidak layak?" lagi-lagi Steven bertanya dengan sedikit curiga. Anak ini pasti sedang menyembunyikan sesuatu, ia yakin.

"Aku mendengar percakapan mereka. Pemilik panti memang sudah lama tidak suka padaku. Kumohon Paman, aku akan jadi anak baik. Aku bisa melakukan pekerjaan rumah, asalkan Paman tidak mengusirku."

Steven meneliti remaja di depannya dengan seksama, mencari adanya kebohongan dalam diri anak itu. "Aku belum bisa percaya pada ceritamu."

"Ta-tapi, Paman. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, aku juga tidak tahu kemana aku harus pulang. Aku akan menuruti semua kata Paman," ujarnya putus asa.

Anak yang kehilangan pegangan, tidak tahu kemana harus melangkah. Seorang bocah polos yang tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tidak ada uluran tangan, tidak ada pertolongan, dan hanya ada keputus asaan yang menguar. Semua ini mengingatkan Steven pada sosok dirinya sendiri sepuluh tahun yang lalu. Kesan yang diberikan anak itu, sama seperti yang dialaminya dulu.

Tapi Steven juga bukan orang bodoh. Setelah menanyakan nama dan alamat dari panti asuhan tempat tinggal Blossom dulu dia segera menghubungi orang untuk mencari informasi. Tidak sampai 30 menit informasi yang dia inginkan sudah diperoleh. Semua pernyataan Blossom tentang panti asuhan itu benar adanya sehingga ia merasa tidak punya pilihan lagi.

"Kau bisa melakukan pekerjaan rumah?"

Senyum seketika terbit di wajah Blossom. "Bisa Paman!" jawabnya sambil mengangguk mantap.

"Apa kau bersekolah?"

"Aku sudah putus sekolah sejak panti asuhan kami ditutup." Nada bicaranya kembali menunjukkan kesedihan.

"Kau membawa berkas-berkasmu?"

Blossom menggeleng perlahan. "Sudah hilang saat panti digusur."

"Hn. Rumah ini hanya memiliki dua kamar, kamarku di lantai dua dan satu kamar lagi di sebelah dapur. Dapurnya dari sini belok kanan. Kau silakan menempati kamar itu. Setiap hari kau harus bangun pagi-pagi sekali, membersihkan rumah dan siapkan sarapan untukku. Cukup siapkan sandwich dan jus tomat."

Senyum kebahagiaan seketika terpatri di wajah Blossom saat mendengar semua kata-kata Steven.

"Terima kasih, Paman," ucapnya penuh haru.

"Hn. Kau boleh ke kamarmu. Ini kuncinya," kata Stevem sambil melemparkan kunci kamar pada Blossom.

"Terima kasih, Paman." Sambil tersenyum lega ia berjalan menuju kamar yang tadi ditunjukkan Steven padanya.

.

.

.

Steven hanya belum menyadari kalau Blossom adalah seorang gadis yang sedang menyamar.

.

.

.

To be continue

avataravatar
Next chapter