1 Pertemuan Pertama

Dalam perjalanan ke kantor sosok Dean sedang mengarahkan pandangannya ke arah jendela mobil. Bias kaca yang gelap membuat pria berambut cokelat dan pemilik mata abu-abu yang indah itu merangsang pikirannya tentang masalalunya yang suram.

"Jangan pikir kamu bisa lolos, Eduardus Oxley. Sampai kapanpun aku akan membalas semua perbuatanmu, karena telah membunuh dua wanita yang paling aku cintai," kata Dean dalam hati, "Aku berjanji, aku akan___"

Drttt... Drttt...

Getaran ponsel membuat Dean menghentikan pikirannya. Ia mengambil benda pipih itu dari saku jas hitamnya yang mahal lalu menatap layar. Mata abu-abunya yang tadi begitu tajam, kini berubah cerah ketika melihat nama si penelepon.

"Halo, Mami?"

"Dean," sapa wanita dari balik telepon, "Apakah kamu sudah bertemu gadis itu? Bagaimana keadaannya, Dean? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia kurus, gemuk atau ___"

"Mami," sergah Dean, membuat wanita itu menghentikan ucapannya. Ia tersenyum dan berkata lagi, "Aku belum bertemu gadis itu, Mam. Mungkin hari ini aku akan bertemu dengannya."

"Oh, Dean. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku benar-benar merindukannya, Dean."

Dean terkekeh. "Sabar ya, Mam. Pasti ada saatnya Mami akan bertemu dengannya. Mami masih ingat kan apa yang dikatakan ibu dari gadis itu?"

"Iya, aku masih inget. Makanya aku rela menahan rindu sampai saatnya tiba. Tapi kali ini aku ...." Wanita di balik telepon itu menghentikan suaranya.

"Tapi apa, Mam?"

"Tapi kamu harus berjanji dulu."

"Janji apa, Mam?"

"Kamu harus berjanji padaku. Bahwa ketika dia sudah bertemu denganmu nanti, janganlah kau menyiksanya. Jangan kejam-kejam padanya, Dean."

Dean lagi-lagi tertawa. "Aku janji, Mami. Lagi pula aku tidak bisa kejam padanya. Jika aku berani melakukan hal itu, roh ibunya pasti akan datang dan menggangguku setiap malam."

Wanita di balik telepon itu tertawa. "Baiklah kalau begitu. Jaga dirimu, Dean. Kau jugs harus menjaga gadis itu jika kau telah bertemu dengannya."

Tanpa Mami memberitahu pun aku pasti akan menjaganya. Mami tenang saja."

"Kamu benar-benar anak andalan kami. Ya sudah, sampai jumpa lagi." Wanita di belakang telepon itu pun memutuskan panggilan.

Di sisi lain.

Kensky berjalan santai diatas trotoar. Keindahan kota New York di pagi hari membuat wanita pemilik rambut panjang yang warnanya cokelat kehijauan ini tampak bahagia. Karena tidak memiliki kendaraan, Kensky lebih senang berjalan kaki di pagi hari untuk menghirup udara bersih yang belum terkontaminasi polusi.

Drtt... Drtt...

Suara telepon bergetar membuat Kensky segera meraih benda itu dari dalam tasnya. Sambil terus berjalan tanpa melihat genangan air yang berada tak jauh di hadapannya, Kensky kini menyambungkan panggilan itu.

"Halo, Tan?"

"Kamu di mana, Kensky? Kamu akan datang ke apartemenku pagi ini, kan?"

Kensky menepuk dahinya. "Astaga, aku lupa. Maaf, Tanisa. Saking sibuknya aku lupa memberitahukannya padamu."

"Soal apa, Kensky?"

"Soal lamaran kerja yang aku ajukan tempo hari."

"Oh, iya. Aku ingat. Terus?"

"Aku sudah diterima dan pagi ini aku ada wawancara di kantor itu."

"Benarkah? Aku ikut senang, Sky. Lalu, di mana kamu sekarang? Kenapa ada suara mobil lalu-lalang?"

"Aku sedang perjalanan menuju kantor itu, karena jam sembilan nanti wawancaranya akan dimulai."

"Jam sembilan? Ini masih jam tujuh, Kensky." Terdengar tawa Tanisa di balik telepon.

"Memang. Tapi aku sengaja pergi lebih awal, karena aku ingin mampir ke Bebbi Caffe dulu untuk sarapan. Mungkin setelah wawancara aku akan ke apartemenmu dan____"

Byur!

Cipratan air kotor itu kini membasahi tubuh, rambut, dan ponsel Kensky. Air yang warna cokelat itu bahkan berhasil masuk ke mulut Kensky saat cipratan itu mengenainya dan mulutnya dalam keadaan terbuka.

Kensky segera memuntahkan air itu. "Dasar sialan!" Ia berteriak dengan suara keras. Dilihanya sebuah mobil hitam baru saja melewatinya. Kensky ingin berkomentar, tapi pikirannya kini tertuju pada sahabatnya.

Dengan cepat Kensky menempelkan kembali ponselnya ke telinga dan tak memperdulikan mobil itu.

"Halo, Tan? Halo?" Kensky menatap layar ponsel yang sekarang berwarna hitam. Dalam hatia ia berkata, "Kenapa tidak ada suara, ya?" Kensky menekan tombol kunci untuk menyalakan layar, tapi tidak bisa. Ia menekan lama dan ternyata ponselnya mati total.

Kensky kembali mengingat daya batrei yang dilihatnya terakhir kali. "Perasaan dayanya penuh." Saking penasarannya Kensky kembali menekan tombol samping untuk menyalakannya, tapi hasilnya sama. Mati.

"Sial!" dia berteriak keras, "Jangan bilang kalau ponselku rusak, Tuhan. Aku tidak punya uang untuk membelinya."

Mata Kensky kini menatap pada dirinya sendiri. Rok hitam ketat dan licin yang panjangnya sampai paha itu sudah basah. Kemeja putih berlengan panjang itu pun kini telah berubah warna menjadi cokelat. Bahkan ia sendiri bisa merasakan jika pakaian dalamnya juga pasti basah.

Kensky ingin menangis. "Ya ampun, bagaimana ini? Sebentar lagi kan aku ada wawancara," Dengan kesal Kensky pun berteriak, "Dasar mobil sialan!"

Tanpa disadari Kensky ternyata mobil itu sudah lama berhenti di dekatnya. Sosok dari balik kemudi pun leluar dan membuka pintu di bagian belakang.

Kensky terdiam. Tatapannya terfokus pada pria bertubuh jangkung dan kekar. Pria itu turun dari mobil. Rambutnya yang cokelat dan tampilannya yang berantakan terlihat memukau saat terkena sinar matahari pagi.

"Ya Tuhan," teriak Kensky dalam hati. Lututnya nyaris lemas saat pria itu berbalik, "Dia sangat tampan," puji Kensky saat melihat rahangnya yang tegas dan kokoh itu memiliki janggut.

Mata abu-abu pria itu menatap tajam. Dengan langkah gontai ia mendekati Kensky lalu berkata, "Apa katamu tadi?" tanyanya pelan.

Suara pria itu berat dan rasanya Kensky ingin pingsan, karena tak tahan melihat ketampanan pria itu. Namun, perlakuan yang baru saja diterimanya membuat sikap garang Kensky pun seakan tergugah. Tatapannya yang tadi terkagum-kagum, kini berubah kusut.

"Kataku sialan, kenapa? Sopirmu itu telah membuatku basah. Bukan hanya itu juga, tapi ponselku rusak akibat percikan air kotor itu."

"Supirku?" Pria itu menoleh ke belakang untuk melihat pria berjas hitam yang kini berdiri di belakangnya, "Apakah kau yang telah membasahi semua bajunya?"

Si supir itu menundukkan kepalanya untuk meminta maaf, tapi pria yang merupakan pemilik mobil itu menghentikannya dan berbalik menghadapi Kensky lagi.

"Dia tidak melihat air itu, Nona! Sama seperti Anda tadi waktu berjalan tanpa menggunakan mata Anda," bentaknya.

Mata Kensky melotot sambil berkacak pinggang. "Ingat ya, Pak. Di mana pun Anda berjalan, Anda harus menggunakan kaki Anda, bukan mata Anda! Lihat," Kensky menunjukkan tubuhnya, "pakaianku kotor dan sebentar lagi aku ada wawancara "

Sopir itu spontan melangkah maju untuk meminta maaf, tapi lagi-lagi si pemilik mobil menghentikannya, "Apa yang Anda inginkan sekarang, Nona?" tanyanya pada Kensky.

"Minta maaf dan ganti rugi! Aku hanya ingin kalian mengganti handphone-ku saja," Kensky menunjukkan ponselnya kepada mereka, "Lihat, benda ini sudah tidak bisa hidup lagi," katanya sambil menekan tombol untuk menghidupkan layar yang tidak lagi berfungsi."

"Kau pikir kamu siapa?"

Spontan ia menyebutkan nama, "Kensky. Namaku Kensky Revina."

Mata pria itu melebar. "Kensky Revina? Kenapa namamu bisa sama dengan calon istriku, ya? Atau mungkin kau adalah calon istriku?" katanya sambil menyeringai.

Kensky tidak terpengaruh. Dia hanya terkekeh dan kembali menatap pria itu. "Nama boleh sama, tapi orangnya berbeda."

"Entahlah. Lagi pula aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Tapi dari ciri-ciri, kalian berdua sangat mirip," balas Dean.

Kensky semakin kesal. Ia tidak suka disamakan dengan orang lain. "Siapa pun Anda, aku tidak mengenal Anda. Dan asal Anda tahu, nama saya adalah Kensky Revina Oxley. Mungkin nama depanku bisa sama dengan nama calon istri Anda, tapi nama belakangnya tidak mungkin, kecuali kami terlahir dari ayah yang sama."

Pria itu terkejut. "Tapi nama kalian berdua sama. Nama lengkapnya juga Kensky Revina Oxley."

Kensky balas terkejut. "Itu tidak mungkin!"

"Itu mungkin, Nona. Apa benar nama ayah Anda adalah Eduardus Oxley?"

Kensky terkejut lagi. Mulutnya menganga. "Bagaimana kau tahu nama ayahku?"

Pria itu menyeringai. "Kalau begitu tebakan saya benar, kan?" Dengan cepat ia mengulurkan tangan, "Perkenalkan, namaku Dean Bernardus Stewart. Aku calon suamimu, nona Kensky Revina Oxley."

Kensky menggeleng kepala. "Itu tidak mungkin. Aku tidak mengenalmu."

Dean semakin mendekati Kensky lalu berbisik, "Ayahmu sudah menjodohkan kita sejak kecil," Dean mundur beberapa langkah untuk menjauhi Kensky. Dengan tatapan menyelidik ia berkata, "Aku tidak menyangka kalau ternyata calon istriku begitu cantik dan ...," Dean kembali mendekati Kensky dan berbisik, "sangat menggairahkan."

Bola mata Kensky yang berwarna gold itu melotot. "Apa katamu?!" Dia meraih sepatu flatnya dan memukuli tubuh Dean, "Dasar pria mesum. Aku bukan calon istrimu! Aku tidak mengenalmu dan ayahku tidak pernah menjualku pada pria sepertimu."

Teriakan Kensky mengundang orang untuk menatap mereka. Dean yang memanfaatkan kesempatan itu dengan sigap menyambar sepatu Kensky hingga gadis itu semakin kesal.

"Kembalikan sepatuku!"

"Kau cukup berisik juga, ya?" Dean menarik sepatu itu dari Kensky dan melemparkannya ke tengah jalan, "Ambillah jika kamu mau."

Dengan kesal Kensky berlari ke tengah jalan untuk mengambil sepatunya. Dan ketika dia berhasil mengambil sepatunya, dia berbalik lalu melihat mobil Dean sudah hilang.

"Dasar orang gila! Beraninya dia mengaku-ngaku sebagai calon suamiku!"

Bersambung___

Halo, Sobat. Jangan lupa untuk berikan komentar dan masukan ke rak buku, ya. Kalau suka, next. Kalau tidak, jangan. Hehe

avataravatar
Next chapter