1 Pertemuan Pertama

Dalam perjalanan menuju kantor, Dean mengarahkan pandangannya ke jendela mobil. Bias kaca yang gelap membuat Dean seakan kembali merangsang pikirannya pada masa lalu yang muram. "Aku akan membalas semua perbuatanmu, Eduardus, aku janji! Kau sudah membuat dua wanita yang kucintai meninggal. Jadi kau juga harus ...."

Drttt.... Drtt....

Getaran ponsel membuat Dean menghentikan pikirannya. Diambilnya ponsel dari saku jas hitam yang mahal itu. Mata Dean yang tadinya tajam kini berbinar saat melihat nama si penelepon. Ia pun segera menyambungkan panggilannya. "Halo, Mom?"

"Dean! Apa benar kau sudah bertemu dengannya?" Suara wanita di balik telepon terdengar gembira.

Dean tersenyum. "Iya, Mom, tapi belum secara langsung. Mungkin hari ini aku akan bertatap muka dengannya."

"Oh ya, ampun, mom ingin sekali bertemu dengannya, Dean."

Dean terkekeh. "Sabar, Mom, suatu saat pasti Mom akan bertemu dengannya."

"Iya, Sayang. Tapi ...."

"Tapi apa, Mom?"

"Tapi kalau kau sudah bersamanya, jangan siksa dia, Dean. Jangan kejam-kejam padanya."

Dean tertawa. "Tidak, Mom, aku tidak mungkin setega itu padanya. Kalau aku melakukannya, bisa-bisa mendiang ibunya akan datang dan menghantuiku setiap malam."

Wanita di balik telepon tertawa. "Baiklah, kalau begitu. Jaga dirimu, Dean dan tolong jaga dia, ya?"

"Tanpa Mommy suruh pun aku pasti akan menjaganya. Mommy tenang saja."

"Kau benar-benar putra andalan mommy. Bye."

Tut! Tut!

***

Kensky berjalan kaki di atas trotoar. Indahnya kota New York membuat wanita yang memiliki warna rambut hijau keabu-abuan itu senang berjalan kaki setiap hari. Wajahnya yang cantik dan lembut begitu berseri-seri saat terkena angin.

Drtt... Drtt...

Bunyi getaran ponsel membuat Kensky meraih benda portable itu dari dalam tas salempangnya. Sambil terus berjalan tanpa melihat air yang tergenang di sepanjang jalan, Kensky terus melangkah sambil menyambungkan panggilan.

"Halo, Tan?"

"Kau di mana, Sky? Kau jadi kan ke apartemenku pagi ini?"

Kensky menepuk jidat dan menghentikan langkahnya sesaat sebelum melanjutkan langkahnya lagi. "Ya ampun, maafkan aku, Tanisa. Aku belum sempat menceritakannya padamu. Aku sudah diterima oleh instansi yang kau referensikan padaku tempo hari. Jam sembilan nanti aku ada jadwal wawancara di sana."

"Jam sembilan? Ini kan masih jam tujuh, Sky."

"Iya. Aku memang sengaja pergi pagi karena rencana akan mampir di Cafe Bebbi dulu untuk sarapan. Mungkin nanti selesai wawancara baru aku akan___"

Byur!!

Cipratan air membasahi seluruh tubuh dan ponselnya. Air yang berwarna cokelat itu bahkan berhasil masuk ke dalam mulutnya.

"Uwek. Dasar brengsek!" pekiknya keras. Dilihatnya mobil sedan berwarna hitam baru saja lewat. "Halo, Tan? Halo?!" Ia menatap layar ponselnya yang berwarna hitam. "Kok mati?" Ia menekan tombol samping untuk menyalakan layar tapi gagal. Handphone-nya tewas. "Aggrrkhh!" pekiknya keras. "Ponselku rusak lagi."

Ditatapnya rok hitam ketat sampai paha yang sudah basah dan kemeja putih berlengan panjang kini berwarna cokelat. "Ya ampun, aku harus bagaimana? Bajuku sudah kotor dan basah lagi!" Ia berteriak. "Dasar supir brengsek!"

Zet!

Tiba-tiba mobil itu berhenti. Hal itu membuat Kensky terdiam di posisinya. Ia menatap sosok dari balik kemudi yang keluar dan membukakan pintu di bagian belakang. Ditatapnya seorang pria bertubuh tinggi dan kekar keluar dari mobil. Rambutnya yang berwarna cokelat dan acak terlihat mempesona.

"Oh, my God!" Lutut Kensky langsung lemas saat pria itu berbalik.

Dia sangat tampan dengan rahang tegas dan kokoh yang berjambang. Mata abu-abunya menatap tajam. Dengan langkah gontai lelaki itu mendekati Kensky. "Kau bilang apa tadi? Kau bilang brengsek?"

"Mampus," batin Kensky. Ia ingin pingsan saja karena tak tahan melihat ketampanan pria itu. Tapi perbuatan pria itu yang sudah mengotori dan merusak ponselnya membuat sikap keras Kensky muncul. "Iya, brengsek! Memangnya kenapa? Supirmu telah membuat diriku basah. Bukan hanya itu, ponselku juga rusak."

"Supirku?" Pria itu berbalik menatap sang supir. "Apa benar kau yang melakukannya?" Sang supir menunduk salah dan hendak minta maaf, tapi pria itu mencegahnya dan kembali menghadapi Kensky. "Dia tidak melihat airnya, Nona! Siapa suru kau berjalan tanpa melihat. Jalan itu pakai mata!"

Mata Kensky melotot. "Jalan itu pake kaki, bukan mata! Supirmu yang harusnya menyetir pakai mata! Dia kan bisa melihat di mana ada air tergenang dan para pejalan kaki yang lewat. Lihat ...," ia menunjuk tubuhnya yang kotor, "Dia sudah membuatku berantakan!"

Sang supir mendadak maju untuk minta maaf, tapi lagi-lagi si pemilik mobil mencegahnya. "Apa yang kau inginkan sekarang?" tanya si pria itu pada Kensky.

"Minta maaf dan ganti rugi! Ponselku rusak." Kensky memperlihatkan ponselnya yang berlayar hitam. "Lihat! Ponselku tidak bisa hidup."

"Ganti rugi! Memangnya kamu siapa?"

"Kensky. Aku Kensky Revina."

Mata sang pria terbelalak. "Kensky Revina? Kenapa namamu bisa sama dengan calon istriku, ya? Atau jangan-jangan kau adalah calon istriku?" Tatapa Dean tajam seakan menusuk.

Tapi Kensky tidak terintimindasi. Ia berdecak dan balas menatap pria itu. "Nama boleh sama, tapi orangnya berbeda, Tuan."

"Aku tidak tahu. Lagi pula aku sendiri belum pernah bertatap muka dengan wanita itu. Tapi kalau dari ciri-cirinya kalian sama persis."

Kensky mulai kesal. "Tuan, namaku adalah Kensky Revina Oxley. Apa calon istri Anda nama belakangnya seperti itu?"

Pria itu semakin mendekati Kensky. Gayanya bahkan tidak mau kalah. "Tapi kenyataan namanya memang sama. Nama lengkapnya juga Kensky Revina Oxley." Pria itu menyeringai.

Kensky terkejut. "Itu tidak mungkin!"

"Tapi itu mungkin, Nona. Nama ayahmu Eduardus Oxley, kan?"

Lagi-lagi Kensky ternganga. "Dari mana kau tahu nama Daddy?" bentaknya.

Lelaki itu menyeringai. "Kalau begitu tebakanku benar. Perkenalkan, namaku Dean Bernardus Stewart," katanya seraya mengulurkan tangan untuk berjabat. "Aku calon suamimu, Sky."

"Itu tidak mungkin. Aku tidak mengenalmu! Dan dari mana kau tahu nama kecilku?"

Didekatinya Kensky lalu berbisik, "Ayahmu sudah menjodohkan kita sejak kecil, Sky. Itu artinya kau sudah ditakdirkan milikku untuk selamanya." Dean mundur berapa langkah menjauhi Kensky lalu memborong wajah dan tubuh gadis itu dengan tatapannya yang membuat hati wanita sekeras apapun pasti meleleh. "Aku tak menyangka, ternyata calon istriku sangat cantik dan ...," Ia kembali mendekati Kensky lalu berbisik, "sangat menggairahkan."

Mata indah Kensky melolot. "Apa katamu?!" Ia meraih sepatu flat-nya kemudian memukuli tubuh Dean. "Dasar pria brengsek! Aku bukan calon istrimu! Aku tidak mengenalmu dan ayahku tidak pernah menjodohkan aku!"

Teriakan Kensky mengundang orang-orang untuk menatap mereka. Dean yang memanfaatkan kesempatan itu, dengan sigap merebut sepatu Kensky dan semakin membuat gadis itu kesal.

"Kembalikan sepatuku!"

"Kau ini ternyata berisik juga, ya?" Dean menjauhkan sepatu itu dari Kensky lalu melemparkannya ke tengah jalan. "Ambil sana kalau mau."

Dengan kesal Kensky pun berlari ke tengah jalan dan mengambil sepatunya. Ketika sudah berhasil mengambil sepatunya, ia berbalik dan melihat mobil Dean sudah tidak ada. "Dasar laki-laki, gila! Berani-benarinya dia mengaku calon suamiku!"

Kensky terpaksa memutar balik ke arah jalan. Karena waktunya tak cukup lagi untuk kembali ke rumahnya, ia akhirnya berjalan kaki menuju apartemen Tanisa yang kebetulan tak jauh dari situ.

***

Ting! Tong!

Tak membuang waktu lama ia pun sampai di sebuah apartemen sederhana yang ada di pusat Kota. Dipencetnya bel dan sosok tuan rumah pun muncul.

Ting! Tong!

Clek!

"Sky!" Tanisa terkejut saat melihat sahabatnya dalam keadaan kotor dan basah. "Apa yang terjadi padamu?" Ia menahan tawa.

"Maukah kau meminjamkan pakaian untukku?"

Tawa Tanisa tak bisa ditahan lagi. Ia terbahak-bahak. Setelah puas, ia kemudian mempersilahkan Kensky masuk. "Kau habis tercebur, ya?" Ia berjalan lebih dulu, mengambil handuk bersih untuk sahabatnya itu. "Mandilah, aku akan menyiapkan pakaiannya."

Kensky menurut. Gadis bertubuh mungil dan berkulit putih itu berjalan menuju kamar mandi. Sementara Tanisa yang berambut gelap dengan kulit eksotis hanya bisa menahan tawa melihat tubuh dan rambut panjang sahabatnya itu yang biasanya rapi, kini menjadi lepek dan kotor.

Sejurus kemudian Kensky keluar dari kamar mandi. Sebagian tubuhnya yang tidak tertutup handuk terlihat bercahaya. Rambutnya yang panjang dibungkus dengan handuk putih."

"Memangnya yang terjadi sampai kau seperti ini? Apa saking seriusnya mengobrol di telepon tadi, kau tidak melihat jalan dan jatuh ke selokan, begitu?" ledek Tanisa. Ia menahan tawa karena merasa lucu setiap kali mengingat penampilan Kensky saat datang tadi.

Sambil mengeringkan tubuh dan mulai memakai pakaian dalam yang sudah disediakan Tanisa, Kensky mulai bercerita, "Tadi saat asik bicara denganmu di telepon, tiba-tiba sedan hitam lewat dan melindas air yang tergenang di sepanjang jalan. Air itu mengenai tubuh dan merusak ponselku."

Tanisa tertawa. "Ya ampun, kau pasti sangat malu." Ekpresinya berubah. "Tapi kenapa ponselmu bisa rusak? Memangnya ponselmu kena air?"

Kensky mulai mengancingkan kemeja putih yang berlengan panjang. "Kurasa begitu. Aku meletakan ponsel itu di telinga kiri, sementara pancaran airnya dari sebelah kanan." Ia menghentikan jari-jari lentiknya tepat di kancing terakhir. "Kau tahu, air kotor itu bahkan sempat masuk ke mulutku dan untung saja pejalan kaki yang lain tidak ada."

Tanisa terbahak lagi. "Ya ampun, Sky, sial sekali harimu ini." Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal.

"Sial? Enak saja kau bilang sial. Kalau aku sial, hari ini tidak akan ada jadwal wawancara untukku di perusahan itu."

Tawa Tanisa perlahan terhenti. Ditatapnya Kensky yang sudah mengenakan kemeja putih polos juga rok hitam ketat yang panjangnya di atas lutut. Mereka memiliki tubuh yang sama. Ukuran underware bahkan sama, hanya saja Tanisa sering mengenakan bra yang ukurannya lebih besar dari aslinya, agar dadanya terlihat berisi.

Tanisa menahan tawa. "Pasang silikon di mana, Miss?" ledeknya lalu tertawa.

Dilemparkannya handuk setengah basah itu di wajah Tanisa. "Suntik silikon, enak saja kau bicara." Ia berjalan menuju meja rias yang posisinya dekat pintu.

Tanisa menatapnya dengan tawa yang masih terdengar. "Lalu bagiamana selanjutnya, apa mobil itu tidak berhenti? Apa pemilik mobil itu tidak bertanggung jawab?"

Kensky menceritakan perdebatan yang terjadi di antara dirinya dan Dean sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Calon suami?" tanya Tanisa dengan nada terkejut, "Kenapa dia berkata begitu, ya?"

Kensky mengangkat bahu. "Ya, tapi katanya seperti itu. Dia bahkan menyebutkan nama Daddy dengan lengkap. Aneh, bukan?"

Tanisa berdiri mendekati Kensky. "Aneh memang, tapi kenapa tebakkannya bisa benar, ya? Atau jangan-jangan benar yang dia katakan, kalau ayahmu telah menjodohkan kalian?"

Kensky meraih sikat rambut dan mulai menyisir rambutnya yang setengah basah. "Entalah, tapi aku rasa dia hanya mengada-ngada. Kalau memang demikian, Daddy pasti sudah mengatakan hal itu sejak dulu dan sudah mempertemukan kami. Daddy juga pasti akan melarangku begini-begitu dan lain-lain demi menjaga perasaan pria itu, tapi faktanya tidak, kan? Daddy bahkan tidak pernah membahas soal perjodohan itu selama ini."

"Iya, sih, tapi coba kamu pikir, hal yang tidak mungkin dia bisa menebak namamu dengan lengkap dan benar. Begitu juga nama ayahmu yang disebutkannya dengan lengkap."

"Sudahlah, Tan, aku tidak mau memikirkan hal itu. Biarlah ayahku yang menjalaninya jika itu benar. Aku tidak ingin pacaran atau pun menikah muda. Lelaki itu memang sangat tampan, bahkan siapa saja wanita yang melihatnya pasti akan bertekuk lutut. Jujur, aku bahkan sempat terpesona saat melihatnya." Ia menatap Tanisa dari cermin "Tapi aku tidak mau memikirkan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah bekerja agar mendapat gaji untuk membayar sewa apartemen dan keluar dari rumah itu. Rumah yang dulunya seperti surga bagiku, tapi sekarang seperti neraka buatku."

Continue__

avataravatar
Next chapter