15 Tugas selesai

Malam itu di sebuah bar, Yudha duduk menghadap counter bar. Dia meneguk minuman berakohol yang disodorkan seorang bartender berulang kali tanpa jeda. Pria bertubuh tinggi itu menunduk, menyembunyikan wajahnya. Ia menyandarkan kepalanya yang sudah terasa berat pada lengan kokohnya di atas meja bar.

Yudha di temani Arga, pria bertubuh lebih kecil dari Yudha itu hanya duduk diam disisi sahabatnya. Sebenernya dia pria yang sangat sibuk, banyak hal yang harus dikerjakannya. Terkadang pekerjaannya menyita waktu istirahatnya di malam hari. Sekarang waktu istirahatnya tersita oleh rengekan sahabatnya yang meminta untuk menemaninya minum di bar.

Arga tak bisa menolak, dia paham sahabatnya sedang butuh teman bicara. Di lihat dari keadaan sahabatnya, Arga tau Yudha sedang mode galau dan Arga sangat paham hal apa yang membuat temannya itu galau seperti orang kalah judi.

Ini bukan kali pertama jadi Arga sudah sangat hapal, Yudha pasti sedang meratapi cintanya. Cinta yang dia perjuangkan bertahun-tahun tapi tidak membuahkan hasil. Arga yang melihat saja merasa lelah. Kenapa sahabatnya itu tak pernah merasa lelah, berkali kali kecewa tapi berkali kali juga bangkit lagi untuk mengejar gadis pujaan nya. Arga tidak menengerti kenapa cinta membuat orang bodoh, di dunia banyak sekali pilihan kenapa harus berdiri dan terpuruk pada satu hati. Bukankah lebih baik mencari cinta yang lain, begitulah cinta deritanya tiada akhir...

Melihat perjuangan temannya, Arga semakin memantapkan hati tak perlu berdekatan dengan mahluk hidup bernama wanita.Merepotkan. Selalu ingin di mengerti, apalagi sikap manja para wanita menurutnya sangat menjengkelkan. Kenapa harus pria yang memanjakan wanita, tidak bisakah seorang pria juga bermanja pada pasangannya.

Ahhh apa yang Arga pikirkan, ia menggelengkan kepalanya berusaha membuyarkan lamunannya. Yang jelas Arga tidak mau berhubungan dengan wanita merepotkan. Arga tidak suka titik!!!

"Ayoo.. Gue antar pulang, udah malem" Ajak Arga.

Yudha mengangkat kepala, mata sendunya menatap ke arah sahabatnya.

"Gue males pulang. Di apartement udah gak ada siapa-siapa"

Jawab Yudha sambil meneguk lagi minuman yang masih tersisa di gelas yang ia pegang.

Yudha enggan pulang ke apartementnya, Ajeng gadis yang biasanya menunggunya pulang sudah tidak ada lagi. Gadis pujaan hatinya itu sudah mengambil keputusan bulat, dia akan kembali ke rumah orang tuanya mengahiri masa kaburnya. Yudha senang akan hal itu akhirnya Ajeng mau pulang, biar bagaimanapun Ajeng punya keluarga. Yudha tidak mau gadis yang ia cintai berlarut-larut dalam pelarian. Meskipun dia tak keberatan dia justru senang menampung Ajeng di apartementnya.Tapi bukan kepulangan si gadis yang membuat Yudha bermuram durja.

Melainkan keputusan gadis pujaan hatinya itu untuk menerima perjodohan. Ajeng pulang untuk melanjutkan pernikahannya dengan laki-laki pilihan kedua orangtuanya.Hal itulah yang membuat Yudha tersakiti.

"Kalo Lo gak mau pulang ke apartement Lo ,ya udah.. pulang tempat gue setidaknya masih ada gue" tawar Arga.

"Ga...apa gue jelek?" 

Arga mengernyitkan kening.

"Lo cakep,siapa bilang lo jelek..??"

"Apa gue miskin??" Tanya Yudha lagi

"Lu fotografer mahal, Lo punya cafe.Siapa yang bilang lo kere?"

"Trus kenapa Ajeng gak pernah liat ke Gue? apa yang kurang dari Gue Ga? Gue selalu ada buat dia. Gue sayang dia. Gue cinta sama dia,  tapi kenapa semua itu gak cukup kuat buat bikin hati dia milih Gue"

Tutur Yudha dengan suara serak tertekan. Mendengar itu Arga mendesah.

"Udah waktu nya Lo move on Yud. Mau sampek kapan Lo habisin waktu Lo buat ngejar satu orang"

"Gue cinta dia Ga...."

"Karna lo gak pernah nyoba buka hati sama orang lain. Ahhh sudahlah, ayook pulang gue dah capek banget"

Arga meriah pergelangan tangan Yudha mengajaknya berdiri. Namun Yudha yang sudah mabuk jadi limbung. Dia terhuyung dan hampir terjatuh. Beruntung Arga cepat menangkap tubuh tinggi sahabatnya.

"Lu selalu repotin gue Yud.." Arga memapah tubuh Yudha keluar dari bar.

"Ga...."

"hmmm..."

"Malam ini boleh gue tidur sama Lo"

Langkah Arga terhenti seketika.Ia memandang ke arah Yudha.

"Ma-maksud Lo..."

"Di apartement lo cuma ada satu kamar, Gue gak mau tidur di sofa"

Arga membuang nafas lega lalu dia kembali melanjutkan langkahnya,memapah Yudha berjalan ke arah mobil miliknya.

Pak Suryadi beserta keluarga besarnya berkumpul di ruang tengah rumahnya yang besar. Hari ini orangtua Algis  datang ke rumah mewah Pak Suryadi beserta Ajeng. Sudah diputuskan oleh kedua keluarga itu, Mulai hari ini semuanya akan kembali pada tempatnya masing-masing. Ajeng diantar ke rumah Panji sebagaimana mestinya, sedangkan Algis tugasnya telah selesai buat dia berada di rumah Panji. Tugasnya hanya disaat kakak prempuannya belum kembali. Kini kakak perempuannya telah kembali. Itu artinya dirinya harus meninggalkan rumah ini, meninggalkan Panji.

Ajeng gadis itu memutuskan untuk menerima perjodohannya dengan Panji, dia berjanji pada orangtuanya dan pada orangtua Panji bahwa dia akan menjadi istri yang baik untuk Panji seperti harapan bapak dan ibunya. Lalu apakah gadis itu melepas cita-cita nya untuk menjadi seorang model. Tentu saja tidak. Ajeng adalah gadis cerdas, dia tidak mungkin mengambil keputusan tanpa ada keuntungan.

Dia bukan Algis pemuda yang penurut. Ajeng adalah gadis cerdas, mandiri, cantik, dan berambisi apa yang dia inginkan harus ia genggam bagaimanapun caranya.

Semua orang di ruangan itu terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga semua pandangan mata tertuju Pada sosok ramping manis namun terlihat rapuh berdiri di ujung anak tangga lantai atas.Dengan langkah gontai Algis melangkah turun menapaki satu demi satu anak tangga sembari membawa koper miliknya.

Ibu Ambar wanita paruh baya itu tersenyum haru saat melihat putra kesayangannya. Wanita itu begitu merindukan putranya. Ada rasa lega di hati Bu Ambar, Anak kesayangannya akan segera kembali ke rumah, tidak lagi harus berpura-pura menjadi kakaknya. Selama ini dia dikejar rasa bersalah karena merasa menjerumuskan anaknya sendiri dalam sebuah sandiwara yang tak masuk akal.

Seperti di aba-aba semua orang di ruang tengah itu serentak berdiri ketika Algis sudah berada berdiri diantara mereka. Ada gurat kesedihan di wajah manis itu, Namun ia tetap berusaha tersenyum menunjukan pada semua orang bahwa dia baik baik saja.

Ketika Algis berjalan ke arah dimana kedua orangtuanya berdiri. Ajeng sang kakak meraih koper miliknya sendiri, berjalan anggun penuh percaya diri maju ke arah dimana Panji dan kedua orang tuanya berdiri. Algis menunduk tak berani menatap sorot mata kakaknya yang terasa dingin menembus hatinya. Mereka berdua melangkah bersimpangan dan tanpa sengaja bahu mereka saling bersentuhan.

Algis menghentikan langkahnya ketika sudah berada di hadapan sang Ibu.

"Gis...." Bu Ambar memeluk tubuh ramping Algis. Wanita itu sangat merindukan putranya. Begitupun Algis, ia membalas pelukan ibunya dengan lembut.

"Pak Suryadi...terima kasih atas kebaikan Bapak selama ini. Sebenarnya sebagai orangtua saya malu dengan segala kekacauan yang dibuat oleh anak saya"

Kata Pak Prayitno pada besan dan sekaligus atasannya.

"Sudah Pak tidak apa-apa..sekarang semua sudah bisa dilanjutkan sesuai dengan rencana kita sejak awal. Panji dan Algis,ehhh...maaf maksud saya Panji dan Ajeng akan jadi suami istri yang sah. Biar saya yang urus semuanya pak"

Jawab Pak Suryadi dengan nada ramah dan penuh pengertian. Pak Prayitno dan Bu Ambar mendekati Ajeng putri mereka yang berdiri disisi Panji.

"Ajeng...Anak Bapak..baik-baik di sini...hormati Nak Panji, hormati kedua orangtua Nak Panji dan keluarga yang lain" Pria itu mengelus rambut panjang putrinya dengan sayang.

"Kalo ada sesuatu hal, kamu harus bilang ya...gak boleh ambil keputusan sendiri. Ibu sayang sama kamu Ajeng"

Bu Ambar memeluk Ajeng, gadis itu hanya diam setengah tersenyum. sebuah senyum yang sedikit ia paksakan.

Setelah memberi sedikit pesan pada Ajeng, Pak Prayitno dan Bu Ambar kembali ke arah dimana putra mereka Algis berdiri termangu.

"Kita pulang..Gis..." ucap Bu Ambar sembari meraih pergelangan tangan putranya. Namun Algis menghentikan ibunya, melepas pergelangan tangannya dari jemari sang Ibu.

"Algis belum pamit Bu....." Ucapnya lirih.

Pemuda manis itu melangkah mendekati Pak Suryadi dan Bu Rina. Algis tersenyum matanya berkaca-kaca, meskipun tidak lama dia berada di rumah ini namun dia sudah merasa dekat dengan kedua orangtua Panji. Bahkan Algis sudah mengganggap mereka seperti orangtuanya sendiri.

"Papa..Mama..Algis Pamit ya.. maaf kalo selama di sini Algis merepotkan.Trimaksih Algis di perlakukan seperti anak papa dan mama selama di sini"

Bu Rina memeluk Algis erat-erat. Entah mengapa wanita itu merasa tak rela melihat Algis anak yang nurut harus pergi dari rumahnya. Sejak kedatangan Algis rumahnya tak lagi sepi, pemuda itu kerap membuat suasana rumah menjadi hangat.

Algis melepas pelukan Bu Rina, lalu melangkah mendekati Om Pras dan Tante Mela berdiri. Seperti pada kedua oran tua Panji, Algis berpamitan pada mereka berdua. Om Pras menepuk bahu Algis sambil tersenyum ramah. Tante Mela menangis tersedu, wanita cantik itu memeluk tubuh ramping Algis. Dari sekian banyak orang diruangan itu, Tante Mela lah yang paling terlihat sangat sedih dan berlinang air mata.

"Jaga diri baik-baik Algis. Semoga kamu bahagia. Semoga kamu segera dapat pasangan yang bisa perjuangin kamu dan jagain kamu ya" Kata Tante Mela sambil melirik ke arah Panji. Entah apa maksud kata-kata tante Mela. Yang dilirik tak merespon, tatapannya tetap tenang.

"Tepati janjimu..besok aku jemput" Bisik Nio ke telinga Algis. Pemuda Manis itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Nio melirik ke arah Panji, Ia cemberut saat Panji menatapnya dengan sorot mata tajam.

Algis melangkah ke arah Panji, jantungnya berdebar cepat saat ia sudah berhadapan dengan pria bertubuh tegap itu. Seulas senyum Algis persembahkan untuk pria yang membuat harinya menjadi lebih berwarna, walau begitu gurat kesedihan tak mampu ia sembunyikan.Mata bulat itu menatap sendu kearah Panji.

"Mas....Algis pulang yaaa..." Lirih Algis suara nya serak seperti sedang menahan tangis terasa pilu bagi siapa saja yang mendengarnya.

Panji terpaku, di tatapnya lekat-lekat pemuda didepannya itu. Lidahnya terasa kelu, dia tidak tau harus berbuat apa dan harus berbicara apa. Ia sendiri sedang kebingungan akan perasaannya.

"Jaga diri baik-baik"

Kata Panji sembari mengusak rambut halus Algis. Mendapat perlakuan itu hati Algis semakin lara. Dia tahu hari ini akan datang, namun dia tidak pernah tau jika akan seberat ini.

"Kak....."

Ajeng mentap dingin kearah Adiknya. Gadis itu tiba-tiba merangkul lengan Panji. Seakan ingin menunjukkan pada adiknya dialah pemilik Panji sebenarnya. 

Keinginan untuk berpamitan dengan kakaknya mengucapkan sekata dua kata Algis urungkan. Dia tak sanggup berdiri lama-lama di ruangan ini. Algis memutar tubuhnya melangkah menghampiri kedua orangtuanya.

Mereka bertiga melangkah bersama meninggalkan kediaman keluarga Suryadi. Algis ingin menoleh ke belakang sekali lagi. Ia ingin melihat wajah Panji, tapi dia tidak bisa melakukan itu. Ia takut akan menjadi lebih berat jika ia menoleh ke belakang. Biarlah semua yang pernah ia lalui di rumah ini menjadi sebuah kenangan yang akan ia simpan rapat disudut ruang hatinya.

Pak Tori, Bi Inah dan satu pelayan lainnya dari kejauhan, mereka melihat perpisahan yang begitu mengharukan. Ketiga pelayan itu diam-diam menyeka air mata. Meski mereka bertiga hanyalah pelayan, tapi mereka sangat dekat dengan Algis. Pemuda itu ramah dan bersikap sangat sopan kepada mereka yang hanya seorang pelayan.

Pak Prayitno mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan suasana dalam mobil sunyi, tidak ada percakapan antara mereka bertiga.

Algis duduk di sudut kursi mobil bagian belakang, ia menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Bibirnya diam terkatup pikirannya kembali melayang mengingat hari-hari yang ia lalui bersama Panji.

Singkat memang, namun meskipun dengan waktu yang singkat itu Panji mampu membuat hati Algis merindu pilu sekalipun mereka baru berpisah beberapa saat yang lalu. Bagaimana ia akan melewati hari-hari berikutnya?mampukah ia kembali seperti dulu seperti belum mengenal Panji.

Algis menyeka air mata yang menggenang dipelupuk  matanya. Jangan sampai Bapak dan Ibunya melihat ia menangis. Karna Algis tak akan mampu menjawab jika orangtuanya bertanya, dia menangisi apa?? apa yang membuatnya terluka??.

Lagi pula dirinya adalah seorang laki-laki. Tidak seharusnya dia menangis seperti seorang gadis. Dia harus kuat. Harus mampu membuang segala bentuk rasa yang hinggap dihatinya.

Biarkan Panji bahagia dengan kakaknya karna memang begitulah seharusnya. Dia tidak boleh mendambakan calon suami kakaknya. Dia tidak boleh merindukan calon suami kakaknya. 

Dia harus membunuh rasa itu, harus!!.  Rasa itu salah, pada orang yang salah, dan pada gender yang salah.Kakaknya adalah pilihan yang tepat. Perempuan yang tepat untuk Panji. Bukan dirinya, Panji tidak benar-benar melihatnya sebagai jati dirinya. Panji mendekatinya menyentuhnya hanya ketika dia menjadi bayangan Kakaknya. Begitulah yang ada dalam benak Algis.

Bersambung.....

avataravatar
Next chapter