6 Ke toko souvernir

Seorang gadis berwajah cantik berkulit putih dengan rambut tergerai panjang memakai atasan casual dengan motif bunga-bunga. Berpose mengikuti arahan sang fotografer. Saat ini dalam hitungan detik gadis itu berganti berbagai pose. Gadis itu duduk menyamping mengangkat dagunya ke atas, bibir sedikit terbuka untuk menambah kesan sexy namun tetap terlihat manis. Ia berganti menyilangkan kaki nya kali ini mata nya menatap lensa kamera.

 

"Yak...satu..dua..."

 

"Cekrek....cekrek....cekrek..." bunyi jepretan kamera diikuti blitz yang menyala

 

"Satu kali lagi..... fokus kamera"

 

Kata si pemuda sambil kembali mengangkat kamera bersiap untuk mengambil foto. Mereka berdua kembali berkutat dengan peran masing-masing keduanya mirip orang yang sedang memadu kasih, memadu kasih dalam arti saling menatap menembus lensa kamera berbicara melalui tatapan mata tak perlu ada kata karena mereka berdua sudah tau apa mau masing-masing. Yah begitu sekiranya jika seorang fotografer bertemu dengan model nya dalam sesi pemotretan.

 

"Oke.. done...." kata sang pemuda.

 

Gadis bersurai panjang itu tersenyum berjalan mendekati si pemuda yang memakai kemeja flanel biru dipadukan jeans biru pudar.

 

"Gimana.... bagus gak?" tanya sang gadis.

 

"Sapa dulu yang foto, pasti banyak hasil yang bagus donk" jawab si pemuda dengan senyum bangga.

 

"Bukan karena modelnya emang cantik ya?"

 

"Cantik juga kalo gak ada bakat depan kamera percuma"

 

"Jadi ini maksudnya cuma kamu aja yang bagus?" si gadis pura pura merajuk.

 

"Haahha... gak gitu juga.... kamu selalu bagus jika di kameraku"

 

"Gomballllll....." si gadis tersipu malu.

 

"Serius..." kata si pemuda meyakinkan.

 

Mereka berdua berjalan beriringan sekitar taman yang dipilih mereka untuk mengambil beberapa foto. Keduanya saling melempar senyum berbincang banyak hal tentang apa saja yang menurut mereka menarik untuk dibahas.

 

"Kamu gak ingin pulang??" tanya si pemuda di sela-sela obrolan mereka.

 

Gadis yang ditanya terdiam menghentikan langkahnya sesaat,senyumnya memudar.

 

"Kamu dah gak mau nampung aku ya?"

 

Si gadis tersenyum kecut lalu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

 

"Gak gitu Jeng..... aku bahkan siap nampung kamu seumur hidup jika kamu mau"

 

"Lalu....??"

 

"Apa kamu gak kangen keluargamu?" tanya si pemuda nada suaranya sangat lembut penuh hati hati.

 

"Mana mungkin aku gak kangen Yud... tapi apa orang yang aku kangenin mau mengerti aku? Kamu tau kan apa cita-cita ku, apa mau ku, apa harapan ku. Seenak nya saja mereka semua mau menghancurkan mimpi ku"

 

Kata gadis yang bernama Ajeng, ada kesedihan dari sorot matanya.

 

"Masih ada aku Jeng.... aku akan selalu ada buat mu akan selalu dukung kamu mewujudkan mimpimu. Aku janji"

 

Yudha meraih tubuh ramping Ajeng, membawa gadis itu ke dalam dekap pelukan hangat miliknya, menyandarkan kepala si gadis di dadanya yang bidang, membelai surai panjang itu dengan lembut berharap bisa mengurangi rasa kecewa dan sedih pada gadis yang namanya sudah lama bertahta di relung hatinya.

 

Yudha dan Ajeng bersahabat sudah lama. Yudha adalah satu-satunya orang terdekat yang mendukung mimpi Ajeng. Pria itu mencintai Ajeng, sangat mencintai namun dia harus menahan cinta itu dihatinya tanpa mengharapkan lebih. Dia bukan tidak pernah mengutarakan isi hati nya pada Ajeng. Pria gagah itu pernah menyatakan cintanya, namun gadis pujaannya menolak. Bukan karena Ajeng tidak menyukai Yudha, wanita mana yang bisa menolak pria sebaik Yudha. Pria mapan, sabar, penyayang, rela berkorban demi orang yang dicintai.

 

Menolak karena Yudha adalah orang yang mendukung mimpinya. Dia tidak mau jika mereka menjalin hubungan asmara, suatu hari jika ada perpisahan di antara mereka hal itu akan menjadi jarak untuk mereka berdua.

 

Yudha menerima keputusan Ajeng. Baginya, kebahagian Ajeng adalah bahagianya juga. Jika memang suatu hari bukan dirinya yang mendampingi Ajeng, tak apa dia akan tetap tersenyum untuk Ajeng.

 

Waktu terus berlalu, hari terus berganti. Setelah tiba-tiba mendapat pesan dari kakaknya beberapa hari yang lalu, Algis tidak menerima kabar lagi tentang kakaknya. Nomor ponsel Ajeng tidak aktif lagi. Bapak dan ibunya tidak bisa mencari kakaknya secara terang-terangan dimuka umum, semua demi nama baik keluarga Panji. Teman-teman Ajeng di kampus tidak tau tentang pernikahan Ajeng. Saat dijodohkan dan orangtuanya menetapkan hari pernikahan, Ajeng meminta kepada orangtuanya untuk tidak mempublikasikan kabar itu. Dia tidak mau.

 

Bisa saja Ajeng meminta seperti itu pada bapak dan ibunya. Namun tidak akan bisa buat keluarga Panji. Resepsi itu wajib! Panji adalah anak tunggal keluarga Suryadi, pengusaha sukses yang mempunyai beberapa hotel mewah yang menyebar di beberapa kota, punya restoran, punya resort di kota xxx yang tiap tahun nya menghasilkan pundi-pundi uang. Harta keluarga panji seakan tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Jadi, resepsi pernikahan tetap berlangsung.

 

Pagi itu Algis berada di taman depan halaman rumah keluarga Suryadi. Salah satu tangannya memegang selang untuk menyiram tanaman. Dia hanya mengenakan kaos berwarna putih dan celana pendek serta memakai sendal jepit. Pagi ini dia tidak ada kuliah, jadi dia sengaja mencari kesibukan, lagi pula di rumah orang tuanya dia sering melakukan hal itu dengan ibu.

 

"Kamu ngapain Gis..." suara mama Panji mengejutkan Algis yang sedang asik menyirami bunga. Ibu Rina dan suaminya sudah kembali dari luar kota.

 

"Kamu ngapain sirami bunga, udah ada tukang kebun yang ngerjain"

 

"Gak apa apa ma...hari ini Algis kan gak kuliah"

 

"Kamu rajin banget Algis... oh ya gak kuliah ya, sama... Panji juga hari ini gak kerja, kamu ikut Mama ya... temenin Mama buat ke toko souvenir buat resepsi pernikahan kalian"

 

Algis tertegun mendengar kata kalian, namun ia cepat berpikir positif mungkin Mama kelepasan bicara atau lupa. Jika Ajeng kembali bukan dirinya lagi yang akan menemani Panji di resepsi yang tinggal menghitung hari.

 

"Iya Ma, Algis siap-siap dulu"

 

"Eh..tapi....." Bu Rina sedikit ragu ragu.

 

"Ada apa Ma" tanya Algis heran

 

"Emm... gini Gis..yang punya toko itu salah satu kenalan Mama. jadi kamu bisa kan pakek baju....." Bu Rina tidak melanjutkan kata-katanya, dia merasa tidak enak untuk mengutarakan yang dia inginkan.

 

Algis itu anak baik, dia pandai memahami isi hati orang lain jadi dia tau apa maksud wanita paruh baya itu.

 

"Algis paham Ma..." kata Algis sambil tersenyum lembut ke arah wanita yang di panggil nya mama.

 

"Kamu perlu bantuan???" tanya Bu Rina.

 

"Gak usah Ma..Algis bisa kok"

 

"Hmm baiklah.. biar nanti Panji yang antar kita ya, mumpung dia gak kerja kadang weekend pun dia kerja"

 

Algis masuk ke dalam kamar nya ia membersihkan diri lalu menyiapkan apa yang diperlukan untuk merombak penampilannya. Tak sulit bagi Algis untuk memadukan pakaian apa yang akan ia kenakan, itu karena dia mempunyai kakak yang sangat menyukai dunia fashion. Kakaknya tidak segan menghabiskan uang jajan bulanannya untuk membeli baju. Kakaknya Ajeng, juga suka berdandan. Kerap kali Ajeng mengajak Algis mencoba baju baju baru yang biasa ia beli, jika sudah seperti itu mereka akan seharian di dalam kamar. Ajeng akan mengambil foto-foto Algis, begitu juga sebaliknya. Sedekat itu dia dan Ajeng.

 

Algis sudah hampir siap, hanya perlu sedikit sentuhan make up di wajahnya. Dengan sedikit pengetahuan yang ia dapat dari kakaknya, Algis berusaha memakai make up senatural mungkin namun tetap terlihat cantik.

 

"Hachiiiii...." Algis bersin untuk yang kesekian kalinya, hidungnya sampai memerah.

 

Panji berdiri di depan pintu. Tangannya menggantung di udara, niatnya mengetuk pintu tapi ia ragu. Karna perintah mamanya dia sekarang berdiri didepan pintu kamar Algis.

 

"Tok..tok..tok..."

 

Akhirnya Panji memaksakan diri mengetuk pintu.

 

"Gis.... udah siap belum mama udah nunggu" teriak Panji

 

"Iya Mas sebentar lagi.." jawab Algis dari dalam kamar.

 

Tidak lama setelah itu pintu kamar terbuka, keluar sosok gadis cantik dari balik pintu. Panji diam terpaku, lidahnya kelu, matanya tidak berkedip, memandang seseorang yang berdiri di hadapannya. Dari sekian banyak gadis yang pernah dia kencani, belum pernah ia melihat yang semanis ini.

 

Algis berdiri didepan Panji. Melihat Panji terpaku diam dengan bibir sedikit terbuka, Algis tau Panji sedang terkagum melihat penampilannya. Wajah Algis sedikit bersemu merah ia menundukkan kepala menghindari tatapan mata Panji. Saat ini, Algis mengenakan jaket denim warna hitam untuk outernya. Sedangkan baju dalamnya, Algis memakai kemeja denim slim fit dengan dua kancing teratas terbuka sedikit, memamerkan dada putih Algis. Ditambah, ada kalung warna keemasan melingkar di leher jenjang Algis menambah kesan indah pada lehernya. Sedangkan untuk bawahannya, Algis memakai jeans ketat warna putih. Untuk menambah kesan feminim, Algis memakai rambut palsu bergelombang dengan warna golden brown. Dan untuk sentuhan akhir, Algis memakaikan topi baret motif kotak-kotak ala idol kpop.

 

"Mas...." panggil Algis lirih dia masih menundukkan kepala.

 

"Ah... iyaaa... ayo turun Mama udah nunggu" kata Panji gugup perlahan kesadarannya kembali. Panji memutar tubuhnya, lalu berjalan.

 

"Mas.....Mas Panji salah arah"

 

Panji menghentikan langkahnya dan memandang lurus kedepan, ternyata benar dia salah arah seharusnya dia berjalan ke arah tangga bukan ke arah ruang kerjanya. Panji membalikkan badan dengan gugup, dia berjalan ke arah tangga disusul Algis di belakangnya. Diam-diam Algis tersenyum senang.

 

Panji Algis dan Bu Rina sampai di toko souvernir paling besar di kota. Pemiliknya adalah kenalan mama Panji. Usaha toko suvenirnya tak hanya satu tempat. Kenalan mama Panji itu punya 10 cabang toko besar di berbagai kota. Pelanggannya kalangan selebritis, pejabat dan pengusaha.

 

"Hai..... Jeng Rina... apa kabar... senang sekali lho bisa di kunjungi Nyonya Suryadi" sapa wanita paruh baya yang bernama Bu Delima.

 

"Ahhh biasa saja.....Kamu dikunjungi Kridatama saja biasa saja apa lagi saya" jawab mama Panji setengah bercanda.

 

Kedua wanita sosialita itu terkekeh. Pandangan mata Bu Delima beralih ke arah Panji dan Algis.

 

"Eh.. ini pengantin baru ikut datang ya" kata Bu Delima.

 

Panji hanya berdehem untuk mengurangi rasa canggung. Algis tersenyum ramah ke arah bu Delima.

 

Mata Bu Delima memandang ke arah Algis raut wajahnya berubah saat ia melihat ke arah dada Algis.Kenapa tidak ada gundukan di sana.

 

"Biasa itu Jeng.... masih dalam masa pertumbuhan" kata mama Panji seakan mengerti apa yang dipikirkan Bu Delima.

 

"Ahh....hahhha iyaaa....iyaa, Panji.. kamu harus pandai service biar cepat pertumbuhannya" canda Bu Delima, kembali dua wanita paruh baya itu terkekeh bersama.

 

Seakan itu adalah hal lucu buat mereka berdua, Algis makin menundukkan kepalanya menyembunyikan rona merah pipinya. Dia tak mengerti kenapa kata-kata godaan seperti itu, membuat hatinya berdesir belakangan ini.

 

Panji berada di toilet sekarang, dia berdiri menghadap cermin toilet lalu membasuh wajahnya di wastafel.

 

"Harus nya diantar sopir saja tadi" gumam Panji.

 

Sekali lagi dia membasuh wajah, menarik nafas panjang mencoba mengumpulkan kewarasannya.

 

"Kamu dari mana aja sih Ji..." tegur bu Rina ketika melihat sosok Panji kembali di hadapan nya.

 

"Dari toilet" jawab Panji seadanya

 

Sekilas matanya melirik ke arah Algis hati panji bertanya-tanya mengapa Algis bisa secantik itu wajah dan bentuk tubuh nya menyerupai gadis sungguhan dan mengapa dia merasa gemas melihat Algis berpakaian seperti seorang gadis.

 

Algis berjalan berkeliling, melihat-lihat deretan souvenir yang berjejer rapi.

 

"Ada yang kamu suka?" tiba-tiba Panji sudah berdiri di samping Algis.

 

"Semua bagus mas.."

 

"Tapi pasti ada yang kamu suka kan"

 

"Yang ini... sepertinya akan lebih bermanfaat buat tamu undangan mas"

 

Algis memegang mug putih berhiaskan pegangan berbentuk love. Panji menganggukkan kepala.

 

"Ma.....bungkus mug putih untuk souvenir" teriak panji sambil berjalan ke arah pintu keluar.

 

Algis tak berkedip melihat kearah Panji. Sudut bibirnya berkedut menahan senyum. Sesenang ini kah dia? Ada perasan senang di hati Algis, setelah beberapa hari ini ada beban tak enak di dalam hatinya namun sekarang rasa itu menguar begitu saja.

 

"Mas panji pasti dah gak marah lagi sama kejadian di kamar waktu itu" kata Algis dalam hati.

 

Bersambung....

avataravatar
Next chapter