13 Ajeng kembali

Rintikan hujan tak menyurutkan langkah Ajeng mencari taxi di pinggir jalan. Hatinya bergemuruh tak tenang, kakinya bergetar serasa tak sanggup menopang tubuhnya. Ia panik dan kalut berjalan kesana kemari, undangan berwarna coklat ditangannya ia genggam erat. Sudah cukup lama gadis itu menunggu namun taxi yang diharapkannya tak kunjung ada. Rintikan hujan semakin deras,surai panjang itu mulai basah.Tubuh rampingnya mulai mengigil dingin. Akan tetapi tekadnya tetap bulat ia harus datang, memastikan dengan matanya sendiri.

Setelah hampir basah kuyub akhirnya taxi yang diharapkan melintas didepannya. Ajeng memberhentikan taxi, dia segera masuk ke kursi belakang saat taxi berhenti didepannya.

"Tolong antar saya ke alamat ini pak"

Ajeng menyerahkan undangan yang hampir sobek karna basah oleh air hujan.

"Iya mbak" jawab si supir taxi. pria paruh baya itu mulai mengemudi menuju alamat yang ditunjukkan penumpangnya.

Di dalam taxi Ajeng duduk di sudut kursi penumpang  bagian belakang. Kakinya merapat, kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri mencoba menghalau rasa dingin yang mulai menjalari tubuhnya. Meski begitu rasa dingin itu tak mampu mengalihkan carut marut pikirannya. Bayangan wajah adiknya membuat dadanya terasa sesak.

Tak berapa lama taxi yang ditumpangi Ajeng sampai di depan hotel bintang lima. Bangunan yang menjulang tinggi dan megah milik keluarga Suryadi. Ajeng segera membayar ongkos taxi lalu bergegas keluar dari dalam mobil. Dengan langkah tergesa Ajeng berjalan ke pintu utama hotel yang langsung terhubung lift ke ballroom hotel.

Setibanya di depan pintu ballroom hotel jantung Ajeng berdetak lebih cepat ada rasa ragu merayapi hatinya.Perlahan Ajeng melangkah mendekati pintu, namun belum sampai ia masuk dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar memakai setelan jas hitam menghampiri dirinya.

Dua pria itu mengamati Ajeng dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ajeng mengerti akan arti tatapan dua pria besar di depannya,dengan kedua tangannya Ajeng berusaha membersihkan pasir yang mengenai celana jeansnya, sepatu kets yang ia pakai basah dan kotor karna dia sempat kehujanan saat mencari taxi di pinggir jalan depan gedung apartement Yudha. Dengan tangan gemetar Ajeng merapikan rambutnya yang lepek karna air hujan.

"Maaf mbak...dilarang masuk"

Kata salah satu pria.

"Saya mohon pak ijinkan saya masuk, keluarga saya ada di dalam" mohon Ajeng  dengan wajah memelas.

"Gak bisa mbak...di dalam ada pesta dan gak semua orang bisa masuk sana"

"Tapi pak keluarga saya di dalam, saya harus masuk"

Ucap Ajeng tak mau menyerah dia nekat menerobos tubuh dua pria besar didepannya. Namun dengan sigap dua pria itu menarik Ajeng menjauh dari Pintu. Ajeng meronta berusaha melawan namun tubuh kecilnya tak cukup mampu meloloskan diri dari cengkraman dua pria bertubuh besar.

"Lepasin saya, biarkan saya masuk!!!" Teriak Ajeng. Dua pria itu tak peduli.tetap menarik tubuh Ajeng menjauh dengan paksa.

"Lepas pak..saya mohon.." Ajeng masih berusaha memohon meski tak di hiraukan.

"Berhenti!!!!"

Ajeng dan dua orang pria yang menariknya berhenti bergerak mereka serempak menoleh kedatangnya suara itu.

"Lepaskan dia!"

"Yudha....." kata Ajeng dengan nada penuh kelegaan.

Mendengar Ajeng menyebut nama Yudha dua pria itu reflek mengendurkan cengkeraman mereka.

"Yudha....." 

Ajeng melepaskan diri dengan mudah ia berhambur memeluk tubuh Yudha erat-erat.

"Yudha... bawa aku masuk kesana, aku mohon " kata Ajeng dengan suara bergetar.

"Tenangin diri kamu dulu Jeng"

Yudha membelai rambut Ajeng yang acak-acakan. Melihat gadis yang dia cintai terlihat brantakan seperti itu hati Yudha terasa teriris.

"Pak...Saya fotografer di dalam. Saya yang akan bertanggung jawab"

Yudha menunjukkan tanda pengenalnya pada dua pria di hadapannya. Meski ada keraguan di wajah dua pria itu akan tetapi mereka tetap membiarkan Yudha membawa Ajeng masuk ke dalam ballroom.

Di dalam ballroom hotel Yudha membawa Ajeng ke sudut ruang mencari tempat teraman agar tidak menarik perhatian orang lain. Ajeng bersembunyi dibelakang Yudha. Mereka berdiri di dekat pohon sakura buatan, Yudha melepas blazernya lalu memakaikan ke tubuh Ajeng menutupi kaos tipis yang mencetak jelas lengkuk tubuh gadis itu karna kaos yang Ajeng pakai basah.

Di tengah-tengah tamu undangan Panji dan Algis berdiri saling bergandengan tangan mereka berdua tak henti menebar senyum bahagia ke para tamu selayaknya pasangan sungguhan. Setelah melewati beberapa rangkaian acara, tiba saatnya di puncak acara. Dua sejoli itu akan melakukan dansa sebagai persembahan di malam bahagia mereka.

Panji dan Algis berdiri saling berhadapan. Kedua mata mereka bertemu, saling pandang satu sama lain. Panji menatap penuh kagum ke binar mata pemuda manis didepannya .Yang saat ini menjelma menjadi seperti seorang bidadari dengan segala kecantikanya. Pria bertubuh tinggi itu tak habis pikir apa yang dilakukan oleh team make up. Bagaimana mereka bisa membuat Algis yang sejatinya seorang laki-laki sama seperti dirinya, malam ini berubah menjadi seperti wanita sungguhan. Gaun burkat berwarna senada dengan setelan jas miliknya nampak melekat pas ditubuh ramping Algis.

Ketika lantunan musik lagu you are the reason mulai di mainkan, Panji merengkuh pinggang ramping Algis. Menarik tubuh Algis untuk lebih dekat merapat pada tubuhnya. Bisa Panji rasakan, telapak tanganya menyentuh kulit halus punggung Algis yang terbuka hingga batas pinggang.

Ingin rasanya Panji melepas jasnya menutup punggung putih itu. Ada rasa tak rela menelusup hatinya ketika banyak pasang mata menatap penuh damba ke arah si manis. Punggung ini miliknya kulit putih ini miliknya tidak boleh ada orang yang melihat selain dirinya. Begitu pikir Panji malam ini. Dia sejenak lupa janjinya pada diri sendiri. Lupa akan janjinya bahwa dia harus selalu sadar Algis itu laki-laki sama seperti dirinya. Dia tidak boleh menyukai laki-laki! Begitulah janjinya kala itu.

Namun mungkin malam ini janji tinggalah janji. Nyatanya Panji tak berkedip menatap ke arah Algis, sorot matanya penuh damba bercampur minat.

"Mas...kasih kode kalo mau ganti langkah ya" Bisik Algis di telinga Pria yang saat ini tangan kanannya tengah mengelus halus pinggangnya.

"Aku yang pimpin, kamu ikutin arahan aku aja" jawab Panji di telinga Algis. Hembusan nafas hangat Panji membuat bulu tengkuk Algis meremang. Jantungnya berdebar ga karuan seakan ingin melompat ke lantai ballroom.

"Algis percaya sama Mas Panji, Mas gak akan bikin Algis bergerak gak karuan kayak sapu lantai" kata Algis dengan raut wajah gugup.

Mendengar itu Panji reflek tersenyum geli. Algis terkesiap. Untuk pertama kalinya Algis melihat ekspresi Panji yang seperti itu. Jenis ekspresi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Senyum Panji itu mahal, hanya orang beruntung yang bisa melihat jenis senyum yang barusan Algis lihat.

Mengikuti alunan musik Panji mulai melangkah kecil. Tangan kanannya memegang pinggang kiri Algis. Sedangkan tangan kirinya diangkat ke atas lebih tinggi dari bahu dan mengegam lembut tangan kanan Algis.

Meraka mulai berdansa, suasana menjadi lebih romantis ketika hanya lampu sorot yang mengarah ke Panji dan Algis sebagai penerang ruangan. Walau sedikit kesusahan Algis berusaha mengikuti arahan Panji. Dia memilih pasrah membiarkan Panji mengontrol tubuhnya. mengingat dia tidak punya cukup banyak waktu untuk berlatih dansa. Suara tepuk tangan dan jeritan tamu undangan terdengar riuh ketika Panji mengarahkan Algis untuk berputar.

"Bersiaplah..hitungan ke delapan Aku akan mengangakatmu dan berputar" Bisik Panji di tengah-tengah dansa mereka.

Mendengar itu Algis menyiapkan diri berusaha merilekskan tubuhnya. Dan saat tempo musik berubah lebih cepat Panji mengangakat tubuh mungil Algis ke udara membawa Algis berputar, kedua lengan Algis merangkul erat di leher Panji. Selama berputar Algis memejamkan mata Dia takut kalo saja mereka berdua terjatuh di lantai.

Namun apa yang dia takutkan tidak terjadi. Ketika musik mulai melambat Panji menurunkan tubuh ramping si manis mereka kembali saling berhadapan dengan kedua lengan Panji yang masih merengkuh di pinggang Algis.

Bersamaan dengan alunan musik yang akan segera berahir Panji meraih tengkuk Algis membawa wajah si manis mendekat ke arahnya. Panji memiringkan wajah, dengan penuh kelembutan Panji mendaratkan sebuah ciuman romantis di bibir mungil Algis.

" Huuuuuuuuuaaaaaaaa" sorak para tamu.

Semua tamu undangan berdiri bertepuk tangan menyoraki adegan romantis di depan mata mereka.

"Kalian romantis banget bikin aku pengen menikah besok!!"

Teriak salah satu dari ratusan tamu undangan di dalam ballroom, celetukan itu mengundang gelak tawa para tamu  undangan.

Bayangin ini Mas Panji dan Algis. Duhhh jadi pengen nikah jomblo

Di sudut ruang, di bawah pohon sakura buatan. kedua tangan Ajeng mencengkeram erat kedua sisi pinggang pria dihadapannya. Gadis itu menyembunyikan wajahnya di balik punggung kokoh Yudha.Tangisnya pecah. Air mata yang ditahan sejak tadi akhirnya tak sanggup lagi untuk ia bendung. Ajeng menyandarkan wajahnya di punggung Yudha, mencoba mencari tempat untuk menumpahkan segala rasa pedih dan kecewa yang ia rasakan.

Apa yang tidak ingin ia lihat sungguh terjadi. Di depan sana di dekat pelaminan ia melihat kedua orang tuanya sedang tersenyum bahagia. Mereka bisa tersenyum seperti tak ingat bahwa mereka sedang kehilangan anak gadisnya.

Di pelaminan itu juga ia melihat adik laki-laki nya berpura-pura menjadi dirinya memakai gaun pengantin yang seharusnya untuk dirinya. Berpelukan bahkan berciuman dengan pria yang harusnya menjadi suaminya.

Memang benar dirinya yang meninggalkan pernikahan itu tapi sungguh ia tak menyangka jika orang tuanya akan melakukan hal hingga sejauh ini.

Menggunakan raga adik laki-lakinya untuk menggunakan namanya menggantikan posisinya.

Memikirkan itu membuat Ajeng semakin terisak pilu. Dengan lembut Yudha mengusap tangan Ajeng. Dari usapan lembut itu seakan ingin menyampaikan pada gadis pujaan hatinya bahwa gadis itu tak sendiri, ada dirinya yang akan selalu di sisinya apa pun yang terjadi.

"Ayok pulang Yud..." pinta Ajeng dengan suara serak dan lirih.

"Iya" sahut Yudha.

Sambil merangkul bahu gadis yang dia cintai merapat ke dalam dekapannya, Yudha membawa Ajeng keluar dari ballroom. Meninggalkan pesta pernikahan pria yang hampir saja menjadi suami gadis pujaan hatinya.

Hari telah berganti pesta telah berahir. Meskipun di pesta itu tidak ada media yang diijinkan untuk meliput, namun tetap saja kecepatan jari nitizen tak bisa di bendung. Di akun-akun sosial media beredar foto-foto resepsi pernikahan Panji.

sebagian besar komentar datang dari kaum hawa. Banyak ragam komentar yang mereka tinggalkan di salah satu akun instagram lambe murah. Ada yang memuji ada juga yang patah hati.

Grecia : Semoga bahagia langgeng terus yaa..

Lapita : Pengen dicium bang Panji juga

lala : potek hati satu nusantara

sarah : Sisakan satu cowok kayak gini tuhan

Johan : Pengen di semein Mas Panji

Komentar terahir mendapat banyak balasan dari nitizen yang kebetulan membaca.

xxx : Najis

xxx : seme apaan sih gais

xxx : lu homo

xxx : gue juga mau woiiii

Begitulah komentar nitizen membanjiri postingam akun istragram lambe murah, yang memposting foto ciuman Panji dan Algis di hari resepsi pernikahan mereka.

Ajeng turun dari taxi. Pagi ini ia memutuskan untuk pulang ke rumah menemui kedua orangtuanya. Kaki jenjangnya menginjak halaman rumah, setelah dua minggu ia kabur. selama ia kabur, ia tidak menghubungi orangtuanya sama sekali. Selain pergi karna  menghindari perjodohan, gadis itu juga ingin belajar hidup mandiri dan ingin menunjukkan kepada orangtuanya bahwa dia bisa mencapai cita-citanya meski tanpa dukungan orangtuanya. Namun semua rencana yang disusunnya tidak berjalan mulus. Pagi ini dengan rasa sesak di dada, gadis itu pulang. Dia ingin segera meluapkan rasa kesal yang menumpuk dihatinya.

Ibu Ambar sedang menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan segera pergi ke kantor untuk kembali bekerja setelah dua hari cuti. Saat sedang asik menyiapkan makan pagi, Ibu Ambar dikejutkan oleh Ajeng yang tiba-tiba saja sudah ada dihadapannya berdiri tak jauh darinya.

"Ajeng...."

Wanita paruh baya itu dengan penuh kerinduan berjalan ke arah putrinya. Diraihnya tubuh Ajeng ke dalam pelukannya. Bu Ambar membelai surai panjang itu, memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi. Anak gadisnya kembali setelah setengah bulan pergi dari rumah tanpa pamit meninggalkan pernikahannya.

"Ibu kangen Ajeng... kamu kemana saja, Bapak dan Ibu nyariin kamu kemana-mana"

Tak ada sahutan dari Ajeng. Tubuhnya mengejang saat ibunya memeluknya. Sebenanya dia juga merindukan ibunya, namun rasa kecewa dihatinya tak bisa ia abaikan begitu saja. Ia tak membalas pelukan sang ibu. Perlahan Ajeng melepaskan diri dari pelukan Bu Ambar.

" Ajeng...." Suara Pak Prayitno mengejutkan Ajeng dan Bu Ambar.

Pak Prayitno tak kalah terkejut saat melihat putrinya pagi ini tiba-tiba pulang ke rumah. Sang Bapak itu begitu bahagia putrinya telah kembali pulang, setelah ia cukup lelah mencari kesana-kemari namun tak menemukan jejaknya.

Hari ini gadis itu telah pulang dalam keadan sehat. Pria itu merasa sangat lega, beban yang terasa berat dipundaknya mendadak luruh hanya dengan melihat putrinya baik-baik saja.

"Kamu kemana Ajeng kenapa kamu pergi dari rumah??kalo..kamu gak...."

"Sudah puas bapak sekarang?!"

Potong Ajeng. Ia tak membiarkan Bapaknya menyelesaikan kalimatnya. Bibir Pak Prayitno terkatup. Pria itu terdiam seketika.

"Ajeng....kamu jangan kasar gitu sama Bapak"

Kata Bu Ambar mengingatkan. Wanita itu mulai merasakan aura tak baik.

"Kenapa gak boleh Bu...kalo Bapak saja bisa semena-mena sama hidup Ajeng, kenapa Ajeng gak boleh seenaknya juga" jawab Ajeng dengan nada bicara mulai meninggi.

"Kamu ngomong apa Jeng bapak gak pernah begitu"

"Gak pernah kata Ibu??? melarang keras cita-cita Ajeng. Lalu tanpa persetujuan Ajeng menerima lamaran orang kaya itu. Apa itu bukan semena- mena sama hidup Ajeng bu??"

"Ajeng...dengerin Ibu nak"

Bu Ambar mendekati putrinya mencoba mengusap pundak Ajeng, tapi Ajeng mengelak ia tak mau disentuh.

"Dimana Algis sekarang???"

Pertanyaan itu membuat kedua orangtuanya tercekat. Suara mereka berhenti di tenggorokan. Mereka tak segera menjawab.

Ajeng tersenyum setengah,ia menatap tajam ke arah kedua orangtuanya.

"Setelah tidak berhasil menikahkan Ajeng dengan anak orang kaya itu. Bapak dan Ibu mengirim Algis ke istana mereka. Menggunakan nama Ajeng berpura-pura menjadi Ajeng begitu"

"Ajeng..duduk dulu kamu harus mendengar penjelasan Bapak dan Ibu" Kata Pak prayitno. Namun Ajeng tak mau mendengar. Hatinya panas, kecewa, amarahya meluap.

"Kenapa Bapak dan Ibu sama sekali tidak menyerah. Bahkan sanggup menipu semua orang, menjadikan Algis berpakaian seperti prempuan. Kalo Bapak dan Ibu ingin sekali Algis jadi istri pria itu, kenapa gak sekalian suruh dia keluar negri ganti kelamin"

"Plakkkkkkkkkk" sebuah tamparan keras melayang ke pipi Ajeng hingga wajah gadis itu memerah dan membekas telapak tangan.

"Jaga mulut kamu Ajeng...Ibu gak pernah ngajarin kamu bicara tidak sopan dengan orangtua"

Geram Ibu Ambar. Untuk pertama kalinya wanita itu memukul putri satu-satunya. Ajeng menatap nanar ke arah ibunya sambil memegangi pipinya yang berdenyut nyeri. Namun rasa nyeri itu tak sebanding dengan nyeri didalam hati.

"Ajeng benci sama Ibu!!!!!!" Teriak Ajeng.

Gadis itu bergegas pergi meninggalkan rumah kedua orangtuanya.

"Ajeng..tunggu, kamu mau kemana" cegah Pak prayitno.

"Lepasin tangan Ajeng Pak"

"Tapi kamu mau kemana?? Kamu tidak boleh pergi lagi Jeng"

"Ajeng mau ke tempat yang seharusnya Ajeng berada. Mengambil apa yang seharusnya menjadi milik Ajeng"

Setelah mengatakan itu Ajeng berlari mencari taxi, lalu meninggalkan rumah orangtuanya. Pak prayitno tak bisa menghentikan putrinya yang sedang diliputi rasa amarah dihatinya.

Bu Ambar terduduk di sofa ruang tamu rumahnya. Wanita itu menangis tersedu-sedu. Dia menyesali tindakan kasarnya kepada Ajeng putrinya. Sambil terus terisak, Bu Ambar meremas tangan kanan yang ia gunakan untuk menampar Ajeng. Bu Ambar sungguh sangat menyesal.

"Sudah bu...berhenti menangis"

Pak Prayitno akhirnya tidak jadi berangkat kerja. Pria itu tidak tega meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti itu sendirian di rumah.

"Kenapa Ajeng seperti itu pak, kenapa dia tidak mau mendengar penjelasan Ibu. Kenapa dia berpikiran sempit Pak..."

Kata Bu Ambar dalam isak tangisnya.

"Ajeng..itu wataknya keras Bu..dia saat ini sedang emosi"

"Tapi ibu merasa gagal mendidik anak pak. Dan pergi kemana lagi dia sekarang"

"Jangan menyalahkan diri sendiri Bu. Sudah Ibu tenang, Ajeng akan baik-baik saja"

Ucap Pak Prayitno berusaha menenangkan hati istrinya.

Bersambung....

avataravatar
Next chapter